Ratu Perfilman Indonesia
Yenny Rachman
[SELEBRITI] Pada akhir tahun 70-an, ia digelari “The Queen of Indonesian Cinema” oleh kalangan industri film Indonesia karena hampir semua film yang dibintanginya masuk dalam jajaran box office dan diapreasiasi para kritikus film. Kiprahnya membintangi puluhan film membuahkan 2 Piala Citra melalui Kabut Sutra Ungu (1979) pada FFI 1980 dan Gadis Marathon (1981) pada FFI 1982.
Semasa remaja, Yeyen, demikian wanita kelahiran Jakarta 18 Januari 1959 ini biasa disapa, dikenal sebagai gadis yang sedikit pemberontak. Ia ‘suka lari’ dari rumah, sekolahnya pun mandek di kelas 2 SMP. Suatu kali, untuk menghibur diri, ia bermain ski es di Senayan, Jakarta. Tanpa disadarinya, pembawaannya yang cuek dan ceplas-ceplos rupanya menarik perhatian seorang produser bernama Tuty Soeprapto.
Yeyen yang pada waktu itu masih berusia 14 tahun kemudian ditawari main film iklan. Selain itu, ia mulai berkiprah sebagai foto model dan peragawati. Sayangnya, pilihan Yeyen untuk terjun ke dunia hiburan tak mendapat restu orangtuanya terutama sang ayah. Meski dilarang, wanita blasteran Aceh, Tionghoa, dan Madura ini terus merintis kariernya sebagai aktris. Karirnya di dunia film diawali dengan menjadi pemain figuran dalam film-film berjudul Jangan Biarkan Mereka Lapar, Prahara, Rama Superman Indonesia, Susana, dan Ita Si Anak Pungut. Tak berbeda dengan kehidupan nyata, peran-peran yang dipercayakan padanya, tak jauh-jauh dari sosok gadis lincah, manja, dan bandel.
Pada tahun 1975, pemilik nama asli Jenny Rosyeni Rachman ini mulai mendapat porsi lebih besar dengan menjadi pemeran utama dalam film Rahasia Gadis yang pada akhirnya melejitkan popularitasnya. Setelah sukses tampil dalam film besutan BZ Kadaryono itu, kesempatannya untuk berakting semakin terbuka lebar. Tercatat dalam kurun waktu tahun 1977 hingga 1985, Yenny berperan sebagai pemeran utama dalam 20-an judul film. Film-film yang dibintanginya pun bukan karya sutradara sembarangan melainkan mereka yang sudah amat berpengalaman menelurkan karya-karya berkualitas.
Mereka antara lain Sjuman Djaya, Teguh Karya, serta tak ketinggalan sutradara spesialis film cinta, Wim Umboh. Namanya pun sudah bisa disejajarkan dengan bintang-bintang film top lainnya dimana Yenny mematok tarif Rp 5 juta hingga 7 juta untuk sebuah peran, sebuah angka yang cukup fantastatis di masa itu. Pada akhir tahun 70-an, Yenny Rachman bahkan masuk dalam jajaran The Big Five, yakni aktor dan aktris dengan honor termahal bersama Roy Marten, Doris Callebaute, Yati Octavia dan Robby Sugara.
Tak berlebihan jika saat itu daya tariknya diibaratkan seperti magnet yang berhasil menarik para penonton sehingga film-filmnya berhasil menjadi box office. Aktingnya pun kerap mendapat apresiasi dari para kritikus film. Oleh karena itu, Yenny Rachman kemudian diberi gelar The Queen of Indonesian Cinema oleh kalangan pelaku industri film Indonesia.
Berkat film laris arahan Sjuman Djaya yang berjudul Kabut Sutra Ungu, Yenny Rachman untuk pertama kalinya menyabet Piala Citra sebagai aktris terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 1980. Film jempolan karya Sjuman lainnya yang pernah dibintangi Yenny adalah Bukan Sandiwara, Budak Nafsu, dan RA Kartini. Yenny kembali dinobatkan sebagai aktris terbaik dalam ajang FFI 1982 lewat film garapan sutradara Chaerul Umam, Gadis Marathon.
Meskipun SMP tidak lulus, wawasan Yenny terbilang cukup luas. Ia memanfaatkan profesinya sebagai bintang film yang kerap bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Baik dari sesama artis dan para sutradara, khususnya dari almarhum Sjuman Djaja, yang banyak memberikannya pengarahan dalam berakting. Dengan arahan Sjuman Djaja pula, ia terdorong menjadi mahasiswa pendengar Akademi Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ). “Saya tidak hanya ingin jadi pemain, saya ingin juga memperdalam seluk-beluk pembuatan film,” ujar Yenny seperti dikutip dari situs tamanismailmarzuki.com. Untuk menambah pengetahuannya tentang dunia film, Yenny juga sering membaca buku tentang sinematografi.
Berkat film laris arahan Sjuman Djaya yang berjudul Kabut Sutra Ungu, Yenny Rachman untuk pertama kalinya menyabet Piala Citra sebagai aktris terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) 1980. Film jempolan karya Sjuman lainnya yang pernah dibintangi Yenny adalah Bukan Sandiwara, Budak Nafsu, dan RA Kartini. Yenny kembali dinobatkan sebagai aktris terbaik dalam ajang FFI 1982 lewat film garapan sutradara Chaerul Umam, Gadis Marathon.
Meski namanya sudah terkenal dan predikat sebagai aktris papan atas telah disandangnya, Yenny tak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Ia kerap mengadakan pengajian di villanya yang bergaya kelenteng di Cipanas, Bogor. Selain itu, ia aktif mengaji di Majelis Taklim Al Qohar di Bandung, yang mempunyai cabang di Sawangan, Depok. Pada tahun 1982, Yenny menunaikan rukun Islam yang kelima, ibadah haji.
Tak seperti karirnya di dunia film yang berjalan tanpa kendala berarti, kehidupan asmara Yenny boleh dikatakan cukup berliku. Pernikahannya dengan Budi Prakoso, adik pengusaha dan seniman Setiawan Djody, berakhir dengan perceraian. Sebelumnya di tahun 1986, ia dan Budi dituduh terlibat dalam penganiayaan terhadap S.K. Marta, wartawan majalah Vista. Menurut keduanya, Martha membuat berita yang kurang menyenangkan mengenai hidup perkawinan mereka.
Di sisi lain, perceraiannya dengan Budi sempat memunculkan masalah baru lantaran keduanya berseteru soal hak asuh putri tunggal mereka, Ayu Sekarini. Ayu akhirnya tinggal bersama ayahnya hingga bersekolah desain grafis di Amerika Serikat. Pada akhirnya, hubungannya dengan mantan suami pertamanya itu berjalan baik. Yeyen berterimakasih pada Budi karena telah mendidik putrinya dengan baik.
Setelah pernikahannya dengan Budi berakhir, Yenny kembali membina rumah tangga dengan suami keduanya, Niti Yudowahyo, seorang pria keturunan Indonesia-Australia. Sayangnya, ia tak dapat mempertahankan perkawinannya sehingga pasangan suami istri itu resmi berpisah pada 11 Desember 2007.
Meski sudah dua kali gagal dalam mempertahankan pernikahannya, bukan berarti Yenny jera untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Hanya berselang setahun setelah perceraiannya, pada 18 April 2008, aktris yang gemar memasak makanan Jepang ini resmi disunting oleh Supradjarto, salah seorang direksi Bank BRI. Dalam pernikahan itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin bertindak sebagai wali hakim mempelai putri, sedangkan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto menjadi saksi pernikahan.
Seiring bertambahnya usia, kiprah Yenny perlahan-lahan surut. Meski demikian, ia belum sepenuhnya mundur dari jagad perfilman. Setidaknya ia masih tetap aktif memberikan pandangannya demi kemajuan dunia yang telah membesarkan namanya itu dengan aktif di berbagai organisasi. Seperti saat kongres PARFI 2006, ia terpilih sebagai ketua umum organisasi para aktor dan aktris film Indonesia itu untuk periode 2006-2010, mengantikan Eva Rosdiana Dewi.
Pada tahun 2011, setelah 15 tahun vakum, Yenny Rachman kembali ke dunia akting lewat film religi Di Bawah Lindungan Kabah. “Saya seperti bayi yang baru dilahirkan lagi, lebih 15 tahun saya nggak pernah menyentuh dunia layar lebar,” ujar Yenny seperti dikutip dari situs solopos.com.
Sebagai tanda dirinya telah kembali, Yenny ingin tampil maksimal di film yang diadaptasi dari novel karya Buya Hamka itu. “Saya pingin ngasih kontribusi saya lagi semaksimal mungkin. Saya pingin film ini jadi bagian dakwah saya. Saya ingin film Indonesia bisa kembali ke era 80-an,” jelasnya.
Yenny mengaku, menemui sedikit masalah selama proses syuting terutama soal waktu. Yenny sudah tidak terbiasa dengan jadwal syuting yang begitu padat. “Saya saja dulu kalau bikin film sampai setahun, dua tahun, ini sampai tujuh hari,” ujarnya. Di film tersebut, Yenny beradu akting dengan aktor muda Herjunot Ali. Ia berperan sebagai ibu dari Hamid, tokoh yang diperankan oleh Junot. eti | muli, red)