
[SELEBRITI] Meski telah tiada, nama Gombloh sebagai penyanyi dan pencipta lagu masih tetap dikenang. Karya-karyanya pun masih kerap dibawakan hingga saat ini. Tema lagu-lagu ciptaannya hampir menyentuh semua aspek kehidupan mulai dari cerita rakyat kecil, romantika cinta, kelestarian alam, hingga cinta Tanah Air.
Gombloh memiliki nama asli Soedjarwoto Soemarsono, lahir di Jombang pada 14 Juli 1948. Anak ke-4 dari enam bersaudara dari pasangan Slamet dan Tatoekah ini tumbuh dalam lingkungan keluarga yang amat sederhana. Sang ayah hanya seorang pedagang ayam potong di pasar tradisional di kota Jombang.
Sebagai orangtua, Slamet amat berharap anak-anaknya dapat bersekolah setinggi mungkin agar memiliki kehidupan yang lebih baik. Oleh sebab itu, begitu menyelesaikan pendidikannya di SMA Negeri 5 Surabaya, Gombloh melanjutkan ke Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Kuliah di ITS sebenarnya bertentangan dengan keinginan Gombloh, namun karena ingin membahagiakan kedua orangtuanya, ia pun menurut.
Setelah beberapa lama, hati Gombloh mulai berontak, ia tak ingin menjalani sesuatu yang tidak sejalan dengan minat dan bakatnya. Ia pun nekat membolos demi menekuni hobinya bermusik, hingga pada suatu ketika sang ayah menerima sepucuk surat yang berisi peringatan dari kampus tempat Gombloh belajar.
Untuk menghindari perdebatan panjang dengan orangtuanya, Gombloh kabur ke Bali. Di Pulau Dewata itu ia berpetualang sebagai seniman. Di sana ia mendapatkan kehidupan yang selama ini didambakannya, hidup tenang, jiwa bebas, tanpa kekangan disiplin ketat dan rutinitas jadwal kuliah.
Setelah sekian lama berkelana sebagai seniman jalanan di Bali, Gombloh mulai membuat album rekaman. Namun ia mengawali debutnya bukan sebagai penyanyi solo melainkan dengan tergabung dalam grup beraliran art rock/orchestral rock bernama Lemon Tree’s Anno ’69. Gaya bermusik grup yang pernah beranggotakan musisi Leo Kristi dan Franky Sahilatua ini banyak dipengaruhi oleh band-band mancanegara seperti ELP dan Genesis.
Gombloh yang memiliki andil paling besar dalam menciptakan lagu grup musik tersebut banyak terinspirasi dari keseharian rakyat kecil. Tengok saja, lagu-lagu kaum pinggiran berjudul Doa Seorang Pelacur, Kilang-Kilang, Poligami Poligami, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, dan Selamat Pagi Kotaku.
Selain itu ia juga tergerak menulis lagu yang bercerita tentang kondisi alam. Salah satu karyanya yang melegenda adalah Berita Cuaca atau yang lebih populer dengan nama Lestari Alamku, walaupun itu bukan judul yang sebenarnya.
Gombloh juga mengangkat tema nasionalisme dalam lagu-lagunya, seperti Dewa Ruci, Gugur Bunga, Gaung Mojokerto-Surabaya, Indonesia Kami, Indonesiaku, Indonesiamu, Pesan Buat Negeriku, BK, dan Kebyar Kebyar. Lagu yang paling akhir masih sering dinyanyikan hingga saat ini.
Di samping lagu-lagu yang bertema serius, Gombloh juga menciptakan lagu-lagu cinta. Tapi lagu cinta ciptaannya tak seperti karya musisi kebanyakan yang menggunakan lirik puitis nan romantis. Gombloh lebih senang memilih kata-kata yang terkesan ‘nyeleneh’ dalam lirik lagu yang dikarangnya. Misalnya saja Lepen yang bermakna ‘got’ dalam bahasa Jawa, tetapi yang dimaksud Lepen oleh Gombloh adalah ‘lelucon pendek’.
Kekayaan imajinasi seorang Gombloh selain dapat dilihat dari beragamnya tema yang dipilihnya, juga dari bahasa yang ia gunakan dalam setiap karyanya. Selain bahasa Indonesia, Gombloh bersama Lemon Tree’s juga pernah pula merilis album berbahasa Jawa yang kemudian diberi judul Sekar Mayang.
Setelah berhasil menelurkan sepuluh judul album bersama Lemon Tree’s, Gombloh memutuskan untuk bersolo karir di tahun 1983. Pasca hengkang dari band tersebut, kemampuan Gombloh dalam mencipta lagu semakin menggila. Seperti judul album solo perdananya dirilis tahun 1983, Gila. Setahun berselang, Gombloh kembali hadir dengan album terbarunya yang diberi judul 1/2 Gila. Kemudian di tahun 1986, album ketiganya yang bertajuk Apel resmi diluncurkan. Masih di tahun yang sama, Gombloh kembali mengeluarkan album berjudul Semakin Gila. Album solo terakhirnya Apa Itu Tidak Edan dirilis tahun 1987.
Banyak pengamat musik yang berpendapat, semenjak bersolo karir, Gombloh terkesan mengendurkan idealismenya dengan lebih mengedepankan album bergaya pop ringan dan dengan lirik-lirik sederhana dan jenaka. Meski begitu, karya-karyanya tetap disukai masyarakat dan namanya tetap populer. Hasil kerja kerasnya itu tentu mendatangkan keuntungan materi yang tak sedikit namun ia tak menjadi kaya dengan itu. Karena ia lebih suka menghabiskan rezeki yang didapat dengan makan-makan bersama kawan-kawannya. Bagi Gombloh, industri musik hanya sebagai ladang menuangkan kreativitasnya bukan untuk memperkaya diri.
Musisi sederhana nan idealis ini menghembuskan nafas terakhirnya di Surabaya pada 9 Januari 1988 di usia yang masih terbilang muda, 40 tahun. Penyakit paru-paru yang memang telah lama menggerogoti tubuh kurus Gombloh akibat kebiasaannya merokok dan begadang, pada akhirnya merenggut jiwa sang seniman kreatif itu.
Banyak kalangan merasa kehilangan sosok Gombloh, dari mulai masyarakat awam yang menjadi penggemarnya, hingga rekan seprofesinya, para seniman. Delapan tahun setelah kepergiannya tepatnya tahun 1996, sejumlah seniman Surabaya membentuk Solidaritas Seniman Surabaya untuk mengenang Gombloh yang dianggap sebagai pahlawan seniman Kota Pahlawan itu.
Selain itu, mereka juga membuat patung Gombloh seberat 200 kg yang terbuat dari perunggu. Patung tersebut kemudian ditempatkan di halaman Taman Hiburan Rakyat Surabaya, salah satu pusat kesenian di ibukota provinsi Jawa Timur itu.
Nama besar Gombloh kembali mengemuka saat peringatan Hari Musik Indonesia III di Jakarta. Dalam acara yang dihelat pada 30 Maret 2005 itu, almarhum mendapat penghargaan Nugraha Bhakti Musik Indonesia secara anumerta dari Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI). Dalam ajang penghargaan tersebut, Gombloh disandingkan dengan nama-nama besar di dunia musik lainnya seperti Nike Ardilla, Titiek Puspa, Anggun, Iwan Fals, Ebiet G Ade, Titek Sandhora, Deddy Dores dan Broery Marantika. eti | muli, red