Antropolog Penyelami Kaharingan
Marko Mahin
[WIKI-TOKOH] Pdt. Dr. Marko Mahin, STh, MA, seorang pendeta (teolog) dan antropolog penyelami Kaharingan, agama Dayak. Putra Dayak Ngaju kelahiran Sei Kayu, Kabupaten Kapuas, Kalteng, 26 Maret 1969, ini adalah alumni S-1 Teologi, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (1997), S-2 Fakultas Teologi, Universitas Leiden, Belanda (2003) dan S-3 Antropologi, Universitas Indonesia (2009).
Marko Mahin memperoleh gelar Doktor bidang Antropologi setelah berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah” pada sidang terbuka Senat Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) di bawah pimpinan Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono M.Sc Dekan FISIP UI, Selasa (29/12) bertempat di Gedung F Ruang AJB FISIP, kampus Depok.
Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Robert M.Z Lawang dengan Ko-Promotor Dr. Iwan Tjitradjaja serta dewan penguji Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin, Dr. Harry Kustanto, dan Dr. Tony Rudyansjah. Hasil yudisium dengan predikat “Cum Laude” berhasil diperoleh pria yang pernah menerima beasiswa dari Global Ministry International-USA ini.
Marko Mahin menyelesaikan pendidikan S2 Master of Arts (MA) di Fakultas Teologi, Universitas Leiden-Belanda pada tahun 2003. Selain masih tercatat sebagai staf pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, hingga kini Marko juga masih aktif dalam Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) sejak tahun 2007. Selain itu, ia juga menulis buku dan melakukan penelitian, salah satunya adalah “Baseline Survey of Knowledge, Attitude and Perception of People Who Live in Buffer Zone of National Park Sebangau in Central Kalimantan-Indonesia.
Penyerahan IjazahDinamika agama dan budaya terus mengalami perubahan-perubahan yang luar biasa dan merupakan suatu proses yang selalu bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu, termasuk dalam hal ini Kaharingan, yaitu nama agama masyarakat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Menurut masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah terdapat 223.349 orang penganut agama Kaharingan. Namun, karena kebijakan negara yang hanya mengakui 5 agama resmi, maka Kaharingan dilihat sebagai “adat”, “kebudayaan”, atau “aliran kepercayaan.” Dengan demikian, para penganut agama Kaharingan secara tidak langsung diklasifikasikan sebagai orang-orang yang “belum beragama” atau “tidak beragama”. Karena mereka dipandang tanpa agama, maka dalam iklim politik Indonesia yang khas mereka bisa dengan mudah dituding sebagai komunis, pemberontak dan musuh Negara. Agar dapat eksis sebagai entitas sosial, politik, budaya dan agama di panggung kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah dan Indonesia, para aktivis Kaharingan dengan sadar melakukan praktik-praktik sosial tertentu. Beberapa strategi dan siasat dibangun dan terbangun untuk memperoleh relasi dan posisi yang menguntungkan secara sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Secara teoritis, penelitian ini memperlihatkan bagaimana politik kultural dan keagamaan terbangun dan dibangun oleh para penganut agama Kaharingan ketika berhadapan dengan struktur-struktur objektif yang ada di sekitar mereka. Dalam penelitian ini para penganut Kaharingan dilihat sebagai individu-individu yang aktif, atau sebagai subjek yang menjalani proses dialektika kehidupan yang terus menerus melakukan dialog dengan agen-agen yang lain. Mereka dipandang sebagai satu kelompok masyarakat yang memiliki teori tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya yang meliputi model-model tentang bagaimana dunia ini, bagaimana dunia seharusnya, keberadaan manusia serta kosmologi. (http://dgb.ui.ac.id/berita/promosi-doktor-marko-mahin.html)
Menyelami Kaharingan
Banyak orang beranggapan bahwa Kaharingan bukanlah agama, melainkan hanya adat, kebudayaan, atau aliran kepercayaan milik masyarakat suku Dayak di Kalimantan. Anggapan seperti itu muncul karena negara hanya mengakui enam agama resmi.
Para penganut Kaharingan sempat mendapat label sebagai orang yang tak beragama. Kaharingan dinilai hanya agama orang pedalaman atau penghuni hutan tropis. Agama masa lampau dan diramalkan bakal punah seperti kayu lapuk.
“Itu tidak benar,” kata Marko Mahin, antropolog, penerima beasiswa Ausbildungschilfe, Jerman, 1992-1997. Dia juga menjadi mahasiswa lulusan terbaik dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta dengan predikat cum laude.
Sejak 30 Januari lalu, Marko menyandang gelar doktor antropologi setelah lulus dengan predikat cum laude dari Program Pascasarjana Antropologi, Universitas Indonesia. Disertasinya yang berjudul Kaharingan, Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng) dia pertahankan tanggal 29 Desember 2009.
Gelar intelektual ini istimewa karena diraih oleh putra Dayak Ngaju. Marko lahir di Sei Kayu, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kaharingan adalah agama Dayak Ngaju sejak ribuan tahun lalu.
“Saya lelah dengan penggambaran sewenang-wenang tentang Kaharingan. Mereka dilabel dan distigma sebagai kafir, penganut agama kegelapan, atau agama para pengayau,” kata penerima beasiswa dari Netherlands Education Center (NEC) Indonesia untuk program S-2 di Universitas Leiden, Belanda, dan beasiswa dari Global Ministry International, Amerika Serikat, (2006-2009) ini.
Marko meyakini, pasti ada penjelasan ilmiah yang lebih manusiawi dan tidak diskriminatif. Untuk membuktikannya, antropolog, teolog, dan pendeta yang bertugas sebagai pengajar agama dan kebudayaan di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT-GKE), Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini membaur dengan para penganut Kaharingan selama setahun untuk mengkaji Kaharingan dan penulisan disertasi.
“Kaharingan itu agama para leluhur Dayak. Saya terpanggil meneliti sekaligus menyelami keluhurannya,” ujar Marko yang juga memperoleh Visiting Research Fellowship, Asia Research Institute (ARI) of the National University of Singapore, pada Mei-Juni 2008.
Itu sebabnya dia terlibat langsung pada berbagai upacara yang digelar pengikut Kaharingan, seperti upacara Tiwah (ritual kematian tahap akhir), dan upacara Basarah (ibadah rutin Kaharingan setiap Kamis atau malam Jumat).
Kaharingan itu adalah agama yang dilahirkan masyarakat Dayak di Kalimantan, bukan impor dari luar. Secara sosial dan historis, agama ini berbeda dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Kaharingan awalnya tak bisa mengikuti ukuran beragama seperti keenam agama itu, yang antara lain punya hari besar, rumah peribadatan, dan organisasi keagamaan. Tak mengherankan jika ada yang meramalkan, agama Dayak ini akan punah seperti kayu lapuk.
Pendapat itu, ungkap Marko, kontras dengan faktanya. Kaharingan mempunyai sistem adaptif yang baik terhadap perubahan sosial dan modernisasi. Kepercayaan ini pertama kali diperkenalkan Tjilik Riwut tahun 1944, saat menjabat Residen Sampit dan berkedudukan di Banjarmasin.
Mitos suci
Kata ‘kaharingan’ semula hanya dipakai pada upacara ritual keagamaan Dayak Ngaju, dalam basa sangiang, bahasa ritual para balian (imam) saat menuturkan mitos-mitos suci. Kata ‘kaharingan’ berarti hidup atau kehidupan. Tahun 1945, Kaharingan diajukan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Banjarmasin sebagai penyebutan bagi agama Dayak.
Tahun 1950, dalam Kongres Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia, Kaharingan resmi dipakai sebagai generik untuk agama Dayak. Tahun 1980, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.
“Hindu dipilih bukan karena ada kesamaan dalam ritualnya, melainkan sebagai agama tertua di Kalimantan,” katanya.
Dalam perkembangannya, mereka punya tempat untuk beribadah kepada Sang Pencipta Ranying Hattalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa), yakni Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Tahun 2006 di Kalteng terdata 212 Balai Basarah.
Mereka juga punya kitab suci, Panaturan, dan buku agama lain, seperti Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan, dan Buku Penyumpahan/Pengukuhan (untuk acara pengambilan sumpah/pengukuhan jabatan).
Mereka juga merayakan hari keagamaan, mendirikan organisasi keagamaan untuk pembinaan umat mulai dari desa hingga provinsi, mendidik guru agama, dan mencetak buku agama mulai dari SD hingga perguruan tinggi, mengadakan Festival Tandak, seperti Musabaqah Tilawatil Quran dan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi), serta membangun kompleks pemakaman dan Sandung.
Sejak tahun 1980 mereka dimasukkan sebagai penganut Hindu. Badan Pusat Statistik Kalteng tahun 2007 mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan. Perkembangan agama ini di Kalteng meluas ke suku Dayak lain, seperti Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang. Meskipun sistem kepercayaannya berbeda dengan Dayak Ngaju, agama yang mereka anut juga disebut Kaharingan.
Dayak Meratus di Kalsel, Dayak Tunjung dan Benuaq di Kaltim juga menyebut agama mereka Kaharingan. Di Kalbar ada Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai, yang menggelar upacara Tiwah.
“Para penganut Kaharingan sangat rasional dalam menjalankan keluhuran agamanya, sama seperti agama lain,” kata anak keempat dari 7 bersaudara ini.
Marko meraih gelar doktor berkat dorongan ayahnya, Ruthman Luther Mahin, petani di Desa Sei Kayu, yang berjuang menyekolahkan tujuh anaknya. Sejak SD mereka bersekolah di Palangkaraya. e-ti
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Februari 2010 | Penulis: M Syaifullah