
[WIKI-TOKOH] Setiap orang yang datang ke Yanti harus pulang menjadi lebih baik dan bahagia. Itulah moto hidup Yanti Nisro dan banyak orang telah membuktikan kebenarannya.
“Saya ini seperti tempat sampah. Setiap orang ingin curhat, menumpahkan unek- unek dan masalahnya kepada saya,” tutur Yanti. Bahkan saat facial di salon, ia pun setia mendengar curhatan mbak- mbak kapster yang melayani dia. “Saya bisa berkenalan dengan orang yang sama sekali baru di pesawat dan dalam waktu setengah jam, saya sudah tahu sejarah hidupnya dari A sampai Z.”
Faktanya memang demikian. Hanya dalam waktu kurang dari lima menit sejak berkenalan, perbincangan dengan Yanti sudah terasa cair dan santai. Sama sekali tidak ada kesan jaga jarak atau jaga wibawa untuk menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang memegang jabatan tinggi.
Maka kami pun ngobrol dengan leluasa tentang hampir apa saja. Mulai dari kesibukannya sebagai data acquisition leader, jabatan setara direktur di perusahaan riset pasar Nielsen (dulu dikenal dengan AC Nielsen) untuk wilayah Asia Tenggara bagian selatan, yang meliputi Indonesia, Malaysia, dan Singapura, “Saya bertanggung jawab terhadap pengumpulan data dari lapangan untuk seluruh riset dan survei yang dikerjakan Nielsen di tiga negara itu,” katanya.
Hingga cerita romantis bagaimana dia bertemu dengan Barry Corbett, pria asli Irlandia yang sudah sembilan tahun menjadi suami tercintanya. Atau tentang masa kecil Yanti saat masih tinggal di tepian Kali Garang di tengah Kota Semarang.
Manajemen kasih
Kehangatan dan keakraban Yanti ini tidak hanya muncul saat dia sedang kumpul bersama keluarga atau teman-teman dekatnya atau saat diwawancara media saja, melainkan juga ia terapkan di tempat kerja.
Sebagai direktur yang membawahkan operasional perusahaan di tiga negara sekaligus, Yanti tidak merasa canggung atau risi untuk jalan-jalan atau nonton bersama anak buahnya. “Saya pernah jalan ramai-ramai saat weekend dengan OB di kantor. Tidak masalah,” tuturnya.
Dalam istilah Yanti, ia menerapkan love management alias “manajemen kasih” dengan tim kerjanya di kantor. Ia melakukan pendekatan pribadi kepada setiap anggota tim, tak ada batasan kaku antara atasan dan bawahan.
“Apa yang saya lakukan sekadar menularkan energi positif. Pada dasarnya semua orang butuh diakui, di-wong-ke. Saya percaya orang harus happy dulu, baru bisa produktif,” ungkap Yanti, yang sudah 20 tahun lebih berkarier di institusi yang terkenal dengan survei rating pemirsa televisi ini.
Dengan pendekatan itulah, tim di bawah Yanti menjadi tim yang dipuji berkinerja terbaik di antara cabang-cabang Nielsen di kawasan Asia-Pasifik. “Anak buah saya sering diminta membantu tim-tim di negara lain. Saya memang ingin menunjukkan ke dunia luar bahwa orang Indonesia mampu berkiprah di dunia internasional,” ujarnya.
Di luar kantor, anak sulung dari tiga bersaudara ini tak kalah aktifnya. Ia baru saja selesai menjabat sebagai Presiden Soroptimist International of Jakarta (SIJ), sebuah organisasi amal internasional yang beranggotakan wanita-wanita profesional dan berkiprah dalam bidang pemberdayaan wanita dan anak-anak.
“Anggota SIJ sampai saat ini hanya 15 orang. Bukan karena kami eksklusif, tetapi lebih karena sudah kebanyakan organisasi di Indonesia ini sehingga susah membangun organisasi baru,” kata pehobi golf dan jalan-jalan ini.
Amal
Salah satu program SIJ yang paling monumental adalah rekonstruksi dan rehabilitasi Desa Lamreh di Krueng Jaya, Aceh, yang hancur disapu tsunami 2004. Program senilai 800.000 dollar AS ini berhasil menghidupkan kembali desa yang luluh lantak itu.
“Tidak saja kami bangun kembali rumah-rumah penduduknya, tetapi juga kami lengkapi dengan gedung PKK sampai mobil ambulans,” papar Yanti.
Dua tahun kemudian, gempa melanda Yogyakarta. Yanti, yang tidak mendapat tiket pesawat ke Yogya, nekat bermobil dari Jakarta ke Yogya bersama ibu dan adiknya untuk membagikan bantuan.
“Kami belanja dulu berbagai barang untuk bantuan dan saya telepon kantor di Semarang agar juga menyiapkan bantuan. Setelah itu kami berangkat. Setelah masuk tol, saya baru sadar tidak tahu jalan ke Yogya, ha-ha-ha,” tuturnya.
Namun, dengan modal nekat, sampailah Yanti dan rombongan ke Yogyakarta dan sukses mengedrop bantuan darurat di salah satu desa. Ia berangkat dari Jakarta hari Sabtu malam, sampai di Yogya Minggu pagi dan harus segera kembali ke Jakarta sore harinya.
“Hari Senin siang saya harus berangkat ke Jepang untuk pertemuan Soroptimist. Tanpa saya duga sebelumnya, mereka langsung menanyakan bantuan apa yang paling dibutuhkan korban gempa Yogya. Saya langsung paparkan kondisi di Yogya dan pulang dari sana saya dititipi bantuan senilai 6.000 dollar AS. Saya percaya, tidak ada kebetulan dalam hidup ini,” kenangnya.
Kini, Yanti sedang merintis sebuah organisasi baru yang bernama Orsin (kebalikan dari nama belakangnya, Nisro). Melalui organisasi ini, Yanti ingin memberdayakan dan memberi inspirasi kepada setiap masyarakat Indonesia agar segera bangkit dari keterpurukan. “Cita-citanya bisa menjadi seperti Oprah Winfrey. Untuk tahap awal ini, kami sedang membangun website www.orsinworld.com yang berisi artikel-artikel inspiratif,” ungkapnya.
***
Belajar Keterbukaan Sejak Kecil
Yanti Nisro (42) lahir di sebuah keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang guru yang kemudian menjadi tentara. Yanti kecil sudah membantu ibunya menambah penghasilan keluarga. “Dari SD sampai SMP, saya dan adik selalu berangkat ke sekolah sambil membawa termos berisi es untuk dititipkan di kantin sekolah,” tutur alumnus Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) Semarang (sekarang menjadi SMA 5 Semarang) ini.
Sejak awal, ayah Yanti selalu menekankan satu hal kepada anak-anaknya, yakni bahwa dalam hidup seseorang harus menjadi pintar. “Hidup harus pinter, demikian pesan Bapak. Itu sebabnya, sejak kecil Bapak dengan tekun mengajarkan matematika kepada saya. Akhirnya, saya selalu meraih nilai tertinggi di kelas untuk matematika, dan bahkan sampai sekarang saya paling kuat di matematika,” ungkap Yanti.
Selain matematika, orangtua Yanti juga mengajarkan keterbukaan. Segala permasalahan yang dihadapi keluarga sebisa mungkin dibicarakan terbuka dengan semua anggota keluarga. “Saat saya diterima kuliah di IPB, saya memahami bahwa kiriman uang dari rumah sangat pas-pasan karena saya tahu betul berapa gaji Bapak waktu itu,” kenang anak sulung ini.
Otak yang cemerlang membuat Yanti beberapa kali loncat kelas saat sekolah. Itu sebabnya, ia sudah lulus sekolah pada usia 17 tahun dan sudah bergelar sarjana pada usia 21 tahun. Sebagai sarjana yang masih segar, ia langsung melamar bekerja di AC Nielsen Indonesia. “Saya diterima sebagai anggota staf data processing, yang pekerjaannya membikin program komputer. Beda jauh sama ilmu statistik yang saya pelajari di kampus,” tutur Yanti, yang masih setia di Nielsen hingga saat ini.
Di kantor Nielsen itu juga, Yanti bertemu jodohnya. Ada cerita unik di balik pertemuan ini. Saat itu Yanti sedang gelisah mengapa tidak kunjung menemukan pasangan hidup. “Waktu saya naik haji, saya berdoa kepada Allah minta jodoh. Saya yakin doa itu akan dikabulkan sehingga saya pulang dengan semangat tinggi,” kenangnya.
Tidak lama setelah pulang ke Indonesia, ia bertemu dengan Barry Corbett, pria Irlandia yang baru saja masuk bekerja di AC Nielsen. Mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun, sebagai seorang Muslim taat (dan hampir-hampir fanatik menurut pengakuannya sendiri), Yanti harus menghadapi perang batin jatuh cinta dengan orang dari negeri seberang yang berbeda agama. “Saya sampai berangkat umrah untuk minta diberi petunjuk dan kekuatan hati,” ungkap Yanti.
Ternyata terbukti, Corbett memang jodoh yang disiapkan Tuhan untuk dia. Mereka menikah sembilan tahun silam. “Saya waktu itu merasa sebagai orang paling agamis, religius. Tetapi, saya belajar nilai-nilai islami yang sesungguhnya justru dari suami saya yang waktu itu belum tahu apa-apa soal Islam. Saya belajar untuk jujur, mengasihi, dan menghormati sesama dari suami,” tuturnya. e-ti
Sumber: Kompas, Minggu, 5 April 2009 | Dahono Fitrianto