Titiek, dari Biologi ke ‘Warta Loji’
Setijati Sastrapratedja
[WIKI-TOKOH] Ada slogan iklan berbunyi “sudah duduk lupa berdiri”. Secara bebas, itu kadang diartikan “sudah mapan lupa berendah hati”. Hal itu tak berlaku bagi Setijati Sastrapratedja. Hidup bagi dia adalah ruang yang harus diisi dengan memberikan diri agar bermanfaat bagi orang lain.
Hidup berdua dengan suami yang menderita sakit sekitar dua tahun terakhir, penampilan Titiek, panggilannya, jauh dari kesan lelah dan bosan. Kepala Lembaga Biologi Nasional yang pertama di Indonesia dan pencinta keanekaragaman ini terkesan selalu penuh inspirasi.
Dari perempuan bersosok kecil ini muncul pemikiran besar, holistik, sekaligus penuh empati. Dia berbicara tentang posisi Indonesia pada cakupan global dalam bidang keanekaragaman (hayati), kerja sama internasional, tentang daya dukung alam, ironi pendidikan, sampai paradoks pembangunan.
Ia melihat Indonesia sebagai satu dari tiga negara terkaya keanekaragaman hayatinya di dunia, selain Zaire dan Brasil. Namun, ketika kekayaan tergelar di depan mata, kita justru menganggap itu sudah seharusnya. Kita menganggap kondisi tersebut hal yang biasa dan menyia-nyiakannya. Itulah yang dilakukan bangsa ini.
“Kekayaan berupa keanekaragaman itu ada di sekitar kita, berlimpah ruah, tapi kita bersikap taken for granted. Mengapa mesti ribut? Kan, pohon banyak. Dengan berpikir demikian, kita justru membuang kekayaan itu. Semua hilang beterbangan. Kalau sekarang kita berbicara soal hutan, orang di Jawa dan anak-anak tak tahu karena tak ada lagi hutan,” ujarnya.
“Banyak yang tak menyadari, kehidupan kita amat bergantung pada keanekaragaman hayati,” ungkap Titiek.
Ketergantungan itu meliputi bidang pangan, kesehatan, ketersediaan sumber daya air, energi, dan kesuburan tanah. Padahal, motor utama pembangunan negeri ini adalah pangan, air, dan energi.
“Untuk energi, kita bergantung pada bahan bakar fosil, padahal ada kayu bakar, ada gelombang, angin, dan sebagainya. Sementara keanekaragaman mikroorganisme di dalam tanah belum banyak disadari,” tuturnya.
Titiek adalah orang Indonesia pertama yang belajar keanekaragaman hayati di Hawaii. “Awalnya saya sekolah di Akademi Biologi Ciawi pada 1955 karena orang Belanda akan pergi semua,” ujarnya.
Ia mengawali karier di Kebun Raya Bogor, kemudian meneruskan pendidikan hingga meraih gelar doktor di Universitas Hawaii, AS, tahun 1967. Selama mengambil gelar itu, dia sempat menjadi asisten dosen dan asisten riset.
Jejaknya di dunia biologi mencapai puncak saat mengepalai Lembaga Biologi Nasional, LIPI, dan menerima penghargaan Sarwono Award pada 2005. Berbagai konferensi dan kongres keanekaragaman hayati serta biologi internasional dia ikuti sebagai peserta ataupun pembicara.
“Di tingkat internasional, Indonesia tak pernah ketinggalan. Di UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), FAO (Food and Agriculture Organization), dan CBD (Convention on Biological Diversity), selalu ada komitmen Indonesia,” tuturnya. Indonesia termasuk yang pertama meratifikasi CBD.
Lalu, mengapa Indonesia tetap tak mampu menjaga kekayaan keanekaragamannya, bahkan terus menyusut? “Sebab, political will itu tidak diikuti political action. Aksi itu harus meliputi semua perangkatnya, seperti institusi, pendanaan, dan sumber daya. Itu yang kurang kita lakukan,” tuturnya.
Pada pertemuan Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil, 1992, Titiek keras menyerukan pentingnya aspek pembangunan manusia dalam menjaga keanekaragaman hayati.
“Target 2010 merupakan indikator keberhasilan upaya kita mengurangi laju hilangnya sumber daya yang mendukung kehidupan kita. Tanpa target itu, tak ada yang tahu berapa banyak keanekaragaman yang masih tersisa bagi masa depan manusia,” katanya. Tahun ini dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai Tahun Keanekaragaman Hayati Internasional.
Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah tak adanya keberlanjutan dalam keikutsertaan di level dunia. Laporan tinggal “laporan”, tak ada implementasinya di lapangan. Padahal, kunci keberhasilan di sini salah satunya adalah konsistensi.
Dia pun heran mengapa Indonesia malah mengutamakan langkah konservasi. Padahal, sebagai negara berkembang mestinya kita lebih mendorong pemanfaatan keanekaragaman itu dan pembagian keuntungan yang merata untuk mengangkat kesejahteraan rakyat.
Di luar pemikiran, Titiek terjun langsung mengolah kebun di Pusat Pengembangan Iptek (Puspiptek) Serpong yang berisi tanaman langka dari seluruh Indonesia. Ini wujud keprihatinannya melihat kesenjangan antara kebijakan pemerintah dan pengetahuan di masyarakat.
Mendidik rakyat
Kini Titiek telah melepas “kursi internasional”-nya. Dia menemukan bahwa kunci untuk keluar dari berbagai persoalan bangsa ini adalah pendidikan.
“Urusan internasional itu gampang. Konferensi, bicara, membuat laporan, membuat buku, dan selesai. Mau dibaca orang atau tidak, terserah,” ungkapnya getir.
Dia lalu memilih menyentuh langsung masyarakat yang terdekat dengannya. Pada 2003, ia mendirikan perpustakaan di depan rumahnya untuk anak-anak di sekitarnya.
“Saya mengajar seminggu sekali. Ada sekitar 20 anak yang datang. Saya ajari mereka menyanyi dan menabung. Ternyata daya kreasi anak-anak itu relatif rendah,” katanya.
Semua itu, menurut Titiek, akibat dari pendidikan kita yang tak jelas arahnya. “Kita tak tahu mendidik itu untuk apa? Contohnya, lulusan SMA ‘hanya’ bisa bekerja sebagai petugas kebersihan. Mereka tak dibekali keterampilan untuk bisa mandiri.”
Sayapnya lalu melebar pada komunitas. Titiek juga memelopori terbitnya Warta Loji (ia tinggal di Kelurahan Loji, Bogor). “Ini merupakan alat komunikasi lurah dan warganya serta antarsesama warga,” katanya bersemangat.
“Kebijakan lurah dituliskan di sini untuk warga, ada juga segmen antarwarga, misalnya info tentang tukang pijat yang ada di kelurahan kami. Kalau butuh membetulkan televisi rusak, warga cukup mengundang tukang reparasi yang ada di kelurahan ini. Kehidupan bersama kembali dihidupkan, kita belajar hidup berbangsa dari sini,” katanya tentang media komunikasi bulanan itu.
Ia melakukan semua itu dengan penuh semangat. Oleh karena itu, biaya menerbitkan Warta Loji dari koceknya menjadi tak terasa membebani.
Masih banyak lagi yang dia bicarakan, seperti “bom waktu” kependudukan yang tak teperhatikan hingga visi bahari untuk pembangunan Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Ia menyayangkan pembangunan Indonesia yang bervisi daratan. Idenya serasa tak pernah habis. e-ti
Sumber: Kompas, Kamis, 22 Juli 2010 | Penulis: Brigitta Isworo Laksmi