Kisah Islam Masuk Tanah Batak
Sisingamangaraja XII
Oleh: Ch. Robin Simanullang
Agama Islam sudah lebih dulu masuk ke Tanah Batak sebelum misionaris Kristen dan penjajah Belanda. Perihal kapan (waktu) dan siapa yang membawa serta metode penyebaran agama Islam yang bagaimana diterapkan ke Tanah Batak, ada banyak pendapat (teori). Di antaranya, Teori Barus (Pesisir Barat), Teori Perbatasan (Aceh), Teori Melayu (Pesisir Timur), dan yang paling menonjol adalah Teori Islamisasi (Padri, Minangkabau). Namun apapun metode penyebarannya, Islam telah diterima sebagian orang Batak sebagai agama yang rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam).
Pada saat orang Batak masih menganut kepercayaan leluhurnya kepada Mulajadi Nabolon yang direfleksikan dalam nilai-nilai adat dan sistem kekerabatannya, yang dari sudut pandang agama Islam dan Kristen dinilai sebagai kafir dan animisme atau Sipelebegu (penyembah hantu), orang Batak sendiri tidak mengenalnya sebagai agama atau aliran kepercayaan; Melainkan nilai-nilai adat yang menyatu dengan semua aktivitas kehidupannya yang bersifat religius (berkepercayaan, menyembah, mamele) kepada Debata Mulajadi Nabolon dan Sumangot (roh), orangtua dan nenek-moyangnya.
Kepercayaan adat yang melekat dalam aktivitas orang Batak tersebut menjadi faktor utama yang membuat orang Batak bertahan lama dan tidak mudah menerima pengaruh agama Islam (maupun Kristen), paling tidak sampai tahun 1820-an. Kendati orang Batak sudah berinteraksi dengan para pedagang Arab dan para tetangga yang sudah beragama Islam di perbatasan Aceh, Minangkabau dan Melayu, namun sangat sedikit yang mau menerima agama karena dimaknai harus melepas adat dan identitas kebatakannya.
Dari Hikayat Raja-raja Pasai dan batu nisan Sultan Malik as-Salih, tahun 1297, menunjukkan Islam sudah masuk ke Aceh, pada abad 13. Juga Sejarah Melayu menunjukkan Islam sudah masuk tahun 1612. Komunitas Muslim pertama di Indonesia adalah di pelabuhan Pasai di Sumatera bagian utara pada tahun 1290. Tapi orang Batak yang bertetangga dengan Aceh dan Melayu belum tersentuh Islam, sampai awal abad 19.
Johannes Kowal (1922) dalam Berichte über Sumatra bis zum beginn des 16 Jahrhunderts (Laporan tentang Sumatra hingga awal abad ke-16) menyebut bahwa laporan-laporan Arab tidak mengatakan apa-apa tentang agama penduduk Ramny (Sumatra) sampai abad ke-14. Ibn Batuta adalah orang pertama yang mengatakan bahwa penduduk pulau Dhaouah, yang identik dengan Ramny, sebagian mengaku Islam. Pada waktu kapan Islam memperoleh pengikut pertamanya di antara orang-orang Sumatra tidak dapat ditentukan dengan tepat. Menurut kronik Melayu, Atjeh pertama kali dipimpin raja beragama Islam terjadi pada 1205. Namun, sampai sekitar tahun 1300, para pengaku kepercayaan Islam di Sumatra tampaknya tidak banyak. Menurut Marco Polo, yang mengunjungi Sumatra tidak lama sebelum akhir abad ke-13, hanya sebagian dari penduduk pesisir di Kesultanan Felech (Perlak) yang memeluk Islam. Baru pada awal abad ke-14, setelah “Sejarah Melayu” di bagian barat laut Sumatra, orang-orang Islam memiliki kegiatan misionaris (penyebar agama) yang berhasil dalam skala yang lebih besar. Pasuri, Lambri, Haru, Perlak dan Samadra berturut-turut dimenangkan oleh Islam. Raja Mara Silu dari Samadra dipanggil Malik setelah pertobatannya ul Saleh. Putranya Malik-ul-Zahair atau Malik-ul-Zaher tentu saja orang yang sama dengan Almalic Azzhahir, Sultan Somothrah, pada 1346. Karena itu Almalic Azzhähir adalah putra raja Islam pertama di Samadra, yang pertobatannya pasti terjadi pada awal abad ke-14. (Kowal, Johannes, 1922: s.22-23).
Lebih lanjut Kowal mengatakan sekitar pertengahan abad ke-14, para penganut Islam di Sumatra sudah sangat banyak dan mendominasi terutama bagian barat laut pulau itu.
Secara khusus, waktu dan metode penyebaran Islam ke Tanah Batak, yang paling menonjol, menurut Het Bataksch Instituut (Leiden), entri pertama adalah ke selatan Padang Lawas di Mandailing pada saat Padri (+ 1820 – 1830). Sekitar tahun 1850 Mandailing dan Angkola sebagian besar adalah Muslim: pada tahun 1880 masih ada beberapa penyembah berhala di Padang Lawas; setelah 1890 dapat dianggap sebagai keseluruhan Muslim, kecuali untuk beberapa gereja kecil Kristen. Het Bataksch Instituut mencatat, secara bertahap, Islam menembus wilayah Angkola utara: Batang Toru, Sibolga, Sipirok, Pahae dan dalam beberapa tahun kemudian bahkan sampai ke Silindung. Saat itu (1909), di Pahaë ada + 500 hingga 600 Muslim, di Silindung hanya beberapa keluarga. Di jalan dari Tarutung (Silindung) ke Pangaloan (Pahae) bahkan sudah ada masjid.
Ketika itu, Islam membuat beberapa kemajuan dalam sepuluh tahun terakhir (1809-1909) di beberapa wilayah rendah Karo Dusun (khususnya Langkat) dan di bagian Simeloengoen atau Si Baloengoen (Simalungun). Bahkan Dr. Hagen telah mengklaim bahwa ada waktu ketika Islam telah menembus ke jantung daerah Toba. Di Karo Gunung, orang Batak juga sudah memiliki pengetahuan tentang Islam, kemungkinan besar melalui kontak dengan Gayo dan Aceh, meskipun tidak dapat diketahui dengan pasti tentang hal ini. Bahasa Karo juga menunjukkan jejak pengaruh Muslim. Mereka mungkin telah memasuki Batak Karo melalui bahasa Melayu. Juga terlihat dari karakteristik mantra mulai dengan bismillah.
Dalam pemerintahan Hindia Belanda, tanah Batak yang selama berabad-abad mampu bertahan dari gempuran perang suci Islam, baik dari utara (Aceh) maupun dari Selatan (Mingkabau), akhirnya mampu mengislamkan sebagaian Tanah Batak. Gottfried Simon (1912) dalam The Progress and Arrest of Islam in Sumatra, menyebut: “Apa yang gagal dilakukan selama berabad-abad dengan Islam telah dicapai secara spontan dalam waktu kurang dari satu dekade di bawah perlindungan Pemerintah Kolonial.” (Gairdner, WHT, 1910: The Reproach of Islam, Third Edition, London: Church Missionary Society, p.294.)