Kebenaran Itu Menyakitkan

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (10)

0
11
Lama Membaca: 5 menit

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (10)

The Truth Hurts. Sebuah kebenaran sejarah yang menyakitkan. Misionaris yang merasa superior tidak pernah mencoba mendalami kepercayaan leluhur Batak kepada Debata Mulajadi Nabolon secara jernih. Mereka hanya mengutuk dan menghakiminya. Tidak mau memandang ‘potensi’ kepercayaan kepada Debata tersebut, sebagai suatu tahap dalam perkembangan agama: Dari agama budaya bertransformasi (inkulturasi) ke agama wahyu (Abrahamik).

Dalam konteks ini, Marcus Braybrooke, mengacu teolog misionaris Belanda Hendrik Kraemer, menyebut, orang Kristen harus menilai agama lain dalam terang Injil. “Tugas utama Gereja adalah ‘mengumumkan Pesan Tuhan yang tidak dapat disesuaikan dengan agama atau filsafat mana pun’. Wahyu Tuhan di dalam Kristus adalah sesuatu yang sangat baru; tetapi pesan itu perlu disajikan ‘dengan cara yang meyakinkan dan menang untuk menunjukkan semangat pelayanan Kristiani yang sejati kepada Tuhan dan manusia’. Inilah sebabnya mengapa Kraemer sangat ingin agar orang Kristen benar-benar memahami dunia pemikiran siapa yang mereka khotbahkan. Kekristenan juga merupakan unit religius yang mencakup semuanya, yang disatukan oleh pemahaman tertentu tentang totalitas keberadaan, yang oleh Kraemer disebut Realisme Alkitabiah”.[1]

Lyof (Leo) N. Tolstoi mengatakan Agama Kristen adalah kesadaran tertinggi manusia tentang hubungannya dengan Tuhan yang telah dicapai umat manusia, naik dari langkah kesadaran religius yang terendah hingga tertinggi. Maka, kata Tolstoi, Agama Kristen, dan semua orang yang menganut Agama Kristen yang benar, mengetahui bahwa manusia telah mencapai tingkat kejernihan dan kesadaran religius tertentu, hanya berkat kemajuan umat manusia yang tak henti-hentinya dari kegelapan ke terang, tidak dapat menjadi tidak toleran.[2]

Menurut Tolstoi, para guru besar Agama Kristen sejati ketika bertemu kepercayaan yang baru bagi mereka dan tidak setuju dengannya, tidak hanya menahan diri dari mengutuk dan menolak keyakinan seperti itu, tetapi dengan senang hati menyapa, mempelajari, memeriksa kembali, menolak apa yang tidak sesuai dengan alasan, menerima apa yang menjelaskan dan meninggikan kebenaran yang mereka akui, dan masih lebih dikonfirmasi dalam apa yang umum bagi semua keyakinan. Begitulah sifat Agama Kristen pada umumnya, dan karenanya berlaku bagi mereka yang menganut agama Kristen sejati.[3]

Namun, sebagian misionaris lebih memaknai misinya sebagai utusan Gereja Kristen daripada utusan Agama (Ajaran) Kristen. Sejarah Gereja membuktikan perbedaan konsepsi dengan Agama Kristen. Gereja Kristen yang benar, yang sumbernya Kristus dan janji-Nya, tidak boleh menggunakan kekerasan dalam misinya, apapun alasannya.[4] Namun, sejarah Gereja membuktikan apa yang dikenal ‘perang yang adil’ atau Perang Suci dan Perang Salib, di mana Gereja terlibat dalam kekerasan dan pembunuhan.

Padahal, sebagaimana dikemukakan Tolstoi, Gereja Kristen, menurut definisi yang diasumsikannya sendiri, adalah masyarakat manusia yang didirikan oleh Tuhan dan memiliki tujuan transmisi kepada umat manusia dari iman yang benar yang menyelamatkan mereka baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Tetapi, bagaimana, kemudian, masyarakat manusia seperti itu, yang memiliki rahmat dan doktrin instrumennya, ingin dan benar-benar melakukan kekerasan terhadap mereka yang tidak mengakui ajarannya?[5]

Itulah sebabnya, Tolstoi membedakan Agama Kristen dengan Gereja Kristen. “Agama Kristen dan Gereja Kristen adalah konsepsi yang sama sekali berbeda. Benar bahwa setiap Gereja menegaskan bahwa Gereja adalah satu-satunya perwakilan agama Kristen; tetapi Agama Kristen, yaitu pengakuan Agama Kristen yang merdeka, sama sekali tidak mengakui bahwa Gereja adalah wakil dari Agama Kristen. Penganut Agama Kristen bahkan tidak dapat melakukannya, karena ada banyak Gereja, dan masing-masing menganggap dirinya sebagai satu-satunya wadah dari Kebenaran Ilahi yang lengkap”.[6]

Kebingungan dari dua konsepsi yang berbeda ini, yang terus-menerus digunakan untuk berbagai tujuan oleh para umat Gereja, yang menjelaskan fakta bahwa semua argumen mereka tentang keinginan toleransi bagi Gereja, menderita karena ketidakjelasan, keangkuhan, ketidaklengkapan, dan seluruh keinginan untuk persuasif. Tolstoi mengatakan: “Bagaimana Gereja yang memaknai dirinya sebagai masyarakat manusia yang memiliki tujuan untuk memberitakan kebenaran, dan yang tidak dapat memiliki alat kekerasan, namun menggunakan kekerasan terhadap agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya? Sederhananya: bahwa lembaga yang menamakan dirinya Gereja Kristen bukanlah lembaga Kristen, tetapi lembaga sekuler; sebuah organisasi yang tidak setuju dengan Agama Kristen, atau bertentangan dengan Agama Kristen”.[7]

Gereja, yang bersatu dengan kekuasaan, selalu menggunakan kekerasan, kekerasan tersembunyi.[8] Di antaranya ‘perang yang adil’ demi dan atas nama Tuhan, Perang Suci (Holy War). Itu pelakon iblis berjubah malaikat. Itu adalah dosa terhadap Roh Kudus! Sebagaimana dikemukakan Christopher Tyerman (2004), sejarawan Perang Suci dan Perang Salib paling terkenal, menyebut itu dosa terhadap Roh Kudus (is the sin against the Holy Ghost)![9]

Sementara, Henry van Dyke dalam Gospel For A World of Sin menyebut dosa adalah kekuatan egois, iri hati, penuh kebencian yang mengambil kehidupan dari cinta dan membuatnya impoten untuk selamanya, mimpi sia-sia yang tidak akan pernah terwujud, hantu yang indah dan tidak berguna. Dosa adalah kekuatan yang memisahkan, mengasingkan, dan memenjarakan yang menutup jiwa dari nafas pemurnian Roh Ilahi dan meninggalkannya di penjara bawah tanah, untuk menghirup udara yang sama berulang-ulang sampai dibekap. Dosa adalah kekuatan yang memberontak, bergejolak, menyiksa yang menghancurkan kedamaian batin jiwa, mengganggunya dengan nafsu yang gelisah, menyiksanya dengan ketakutan yang menghantui. Dosa adalah kekuatan kekacauan dan kematian. Bukan hanya karena hal itu mempengaruhi kehidupan lahiriah, bukan karena ia menabur benih kerusakan fisik dan pembusukan, bukan karena ia melahirkan korban kekerasan dan kehancuran; Melainkan  karena ia meresap ke dalam kehidupan batin, karena ia meracuni aliran-aliran eksistensi manusia di mata airnya, karena ia melumpuhkan energi-energi vital umat manusia.[10]

Advertisement

Reinhold Niebuhr (1949) dalam Faith and History, A Comparison of Christian and Modern Views of History menekankan,  Gereja Kristen adalah komunitas orang percaya yang penuh harapan, yang tidak takut hidup atau mati, sejarah sekarang atau masa depan, diyakinkan bahwa seluruh hidup dan semua perubahan sejarah berdiri di bawah kedaulatan yang suci, namun penuh belas kasih, Tuhan yang kehendaknya terungkap secara luar biasa di dalam Kristus. Ini adalah komunitas yang tidak takut akan penghakiman terakhir, bukan karena terdiri dari orang-orang kudus yang tidak berdosa tetapi karena komunitas orang-orang berdosa yang diampuni, yang tahu bahwa penghakiman itu penuh belas kasihan jika tidak dihindari.[11]

Idealnya, kata Reinhold Niebuhr, gereja adalah komunitas orang percaya yang bertobat. Sebenarnya gereja selalu dalam bahaya menjadi komunitas orang-orang yang diselamatkan yang telah membawa makna hidup hanya pada kesimpulan prematur lainnya. Berbahaya menjadi komunitas orang benar yang meminta Tuhan untuk membela mereka melawan orang yang tidak benar; atau, lebih buruk lagi, yang mengaku membela Tuhan melalui buah kebenaran mereka sendiri. Dalam kasus itu gereja kehilangan cinta sejati Kristus, yang merupakan buah hati yang menyesal (bertobat), dengan mengklaim kasih itu sebagai milik yang aman. Singkatnya, gereja selalu dalam bahaya menjadi Anti-Kristus karena tidak cukup bersifat eskatologis. Ia hidup terlalu sedikit oleh iman dan harapan, serta terlalu banyak dengan pretensi kebenarannya sendiri.[12]

Ibadah gereja menjadi murah dan dangkal, tidak memiliki harta penuh kesaksian Kristen; ajaran gereja menjadi sentimental dan moralistik, kurang memiliki disiplin pengalaman panjang; dan kehidupan gereja menjadi tanpa hukum, tidak memiliki disiplin konsensus Kristen. Juga bukan klaim untuk kesempurnaan yang para orang kudus buat/atas dasar kasih karunia yang tidak terukur dan langsung lebih dapat ditoleransi daripada klaim kemusyutahan (kemutlakan) yang dibuat untuk sarana kasih karunia oleh bagian lain dari gereja.[13]

Ernest A. Cooke (1909) dalam artikelnya Man’s Limitations and Possibilities di The Latter-Day Saints’ Millennial Star (Bintang Milenial Orang Suci Zaman Akhir) menyebut, sejarah Perang Salib, Inkuisisi dan Reformasi; filosofi Voltaire; ratusan pesta Kristen hari ini adalah monumen yang akan mengabadikan kebodohan manusia dalam mencoba menjalankan kekekalan di garis waktu; kedunguan manusia “duduk di bait Allah, menunjukkan dirinya bahwa (seolah) dia adalah Tuhan.”[14]

Seperti di Tanah Batak, ada misionaris yang dikultuskan bahkan nyaris dituhankan, berbasis disinformasi pula. Jemaat Gereja Batak Protestan, sudahi mengultuskan misionaris, apalagi mengultuskan dan menyebutnya apostel serta nyaris menuhankan salah seorang di antaranya yang catatan sejarah misinya kelam (Injil terdistorsi), dan menafikan lebih 100 misionaris lainnya.

 

Bersambung || Sebelumnya

 

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11.3.1, Hlm. 1952-1956.

 

Footnotes:

 

[1] Braybrooke, Marcus, 1973: p.2.

[2] Tolstoi, Leo N., 1902: What is Religion?, p.51-52.

[3] Tolstoi, Leo N., 1902: p.52.

[4] Tolstoi, Leo N., 1902: p.50-51.

[5] Tolstoi, Leo N., 1902: p.50-51.

[6] Tolstoi, Leo N., 1902: p.52-53.

[7] Tolstoi, Leo N., 1902: p.53.

[8] Tolstoi, Leo N., 1902: p.56

[9] Tyerman, Christopher, 2004: Fighting For Christendom Holy War And The Crusades, New York: Oxford University Press Inc, p.14.

[10] Dyke, Henry Van, 1893: Gospel for a World of Sin, The Brick Church Manse, New York City: Hodder and Stqughton, p.92-93.

[11] Niebuhr, Reinhold, 1949: Faith and History, A Comparison of Christian and Modern Views of History; New York: Charles Scribner’s Sons, p.238.

[12] Niebuhr, Reinhold, 1949: p.238.

[13] Niebuhr, Reinhold, 1949: p.239-240.

[14] Cooke. Ernest A.,1909. Man’s Limitations and Possibilities. In The Latter-Day Saints’ Millennial Star, No. 16, Vol. LXXI. Thursday, April 22, 1909. Liverpool: Charles W. Penrose, p. 245.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments