Misionaris Metzler: Si Singamangaraja Tidak Keberatan Keberadaan Zending

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (2)

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (1)
0
14
Sangkakala Perang Batak
Lama Membaca: 4 menit

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (2)

 

Kristenisasi pusat Tanah Batak berlangsung sedemikian rupa dalam kolaborasi mutualisme symbiosis kolonialis Belanda dengan misionaris Jerman. Terlihat dari sikap Misionaris Nommensen yang pernah menolak kehadiran Raja Si Singamangara XI (1866) dan menerima kedatangannya kedua kalinya dengan dingin ‘tanpa pemberitaan Injil’ (1873); dan terus berlanjut, baik dalam rangka perundingan menghindari perang maupun pertemuan pribadi. Dan, sama sekali tidak ada (belum penulis temukan) bukti sejarah bagaimana upaya Nommensen untuk menemui Si Singamangaraja XI-XII atas inisyatifnya sendiri.

Pada Februari 1878, untuk menghindari perang, Si Singamangaraja XII menyurati Residen Boyle dan Nommensen yang dia ketahui sudah berada di Pos Misi Suci Bahalbatu meminta berunding didampingi Nommensen dan seorang pasukan tanpa senjata di Pintu Bosi,[1] tetapi Boyle dan Nommensen menolak. Berkaitan dengan hal ini, J.P.G. Westhoff (1878) dalam De oorlog te Toba op Sumatra menyebut, “De resident zond een brief aan den priesterkoning en vroeg naar zijn eigenlijke bedoeling. Hij antwoordde, niets tegen de zendelingen te hebben. Wanneer hij de soldaten terugtrok, dan zou hij komen en met ons spreken”. (Residen mengirim surat kepada Raja-Imam dan menanyakan niatnya yang sebenarnya. Dia menjawab bahwa dia tidak menentang misionaris. Ketika dia (pen: Belanda) menarik tentara, dia akan datang dan berbicara kepada kami (misionaris).[2] Tetapi jawaban Si Singamangaraja itu tidak sesuai keinginan Residen.

Baik Residen Boyle maupun Nommensen menghendaki Raja Si Singamangaraja menyerah. Boyle dan Nommensen meminta perundingan di Pos Misi Bahal Batu yang telah menjadi Markas Tentara Belanda terdepan, sehingga Sisingamangaraja menolak pertemuan di tempat itu. Hal itu juga menunjukkan Boyle tidak menghendaki adanya perundingan, tetapi menghendaki Si Singamangaraja menyerah tunduk tanpa syarat. Hal ini tercermin dalam laporan Nommensen sendiri di BRMG 1878 (12).[3]

Namun demikian, pada tahun 1889, ketika Sisingamangaraja berada di Lintong (di kampung tulangnya Raja Ompu Babiat Situmorang, di sebelah Barat Danau Toba perbatasan Pakpak Dairi); masih mengundang Nommensen bertemu untuk menyampaikan pesan persahabatan dengan Belanda tanpa penjajahan melalui hubungan kekerabatan (pernikahan). Sebagaimana juga diungkapkan Pendeta Kleopas M.L. Tobing (1863-1938) bahwa Nommensen memintanya mendampingi untuk memenuhi undangan Raja Sisingamanaraja.[4] Mereka pergi ke Lintong, setelah sebelumnya Nommensen menemui dan meminta petunjuk dari Gubernur O.M. de Munnick yang saat itu ‘berkantor’ di Laguboti turun langsung mengendalikan pergerakan militer untuk mengakhiri perjuangan Si Singamangaraja;[5] mereka pun diikuti pasukan Belanda yang diawasi langsung Asisten Residen PALE van Dijk dari Tarutung.[6] Sehingga Sisingamangaraja mengurungkan niat menemui Nommensen, dan pada saat itu juga segera menyingkir dari Lintong ke Pearaja, Pakpak Dairi, karena Belanda sudah mengetahui tempatnya. Terbukti, saat itu juga pasukan militer Belanda menyerbu Lintong dan membakar kampung dan rumah-rumah penduduk.[7]

Selain itu, pembusukan nama Si Singamangaraja XII dilakukan secara masif kolaboratif oleh kolonialis Belanda dengan koalisi dan jaringannya. Di antaranya, dalam Tijdschrift de Rijnsche Zending Edisi 40, 1909, ketika seluruh keluarga Si Singamangaraja XII belajar Alkitab di bawah pelayanan Pandita Henokh Lumbantobing, sebelum semua mereka dibabtis secara sukarela; Majalah Misi Rhine tersebut dalam “Catatan Redaksi’ Bij de Plaat, menarasikan dengan indah namun sayang juga dibumbui pembusukan (pemutarbalikan fakta): “Apa perubahan haluan! Pendeta-raja yang agung, selama bertahun-tahun ia menjadi penyebab ketakutan dan kerusuhan di tanah Ratak, penentang keras pemerintahan Belanda, musuh bebuyutan Misi. Dan sekarang dia tidak ada lagi, dan anak-anaknya dibimbing oleh seorang guru Kristen asli. Kita seolah-olah harus meletakkan tangan kita di atas kepala anak-anak itu, dan berdoa agar Tuhan menjaga dan membantu mereka, menjadi berkat bagi umat mereka, dan suatu kehormatan bagi nama Kristus. Semoga citra mereka menggerakkan banyak orang untuk doa itu, dan membangkitkan cinta untuk pekerjaan besar Misi. Untuk catatan kami, juga berseru kepada kami suatu ladang putih sampai panen. Mari kita berdoa untuk para pekerja yang dibutuhkan dalam panen itu.”[8]

Si Singamangaraja selalu disebut musuh bebuyutan Misi, kendati Si Singamangaraja sudah menegaskan sikapnya bahwa dia hanya menentang penjajah dan akan menemui para misi­onaris. Bahkan di bahan ajar sejarah sekolah dasar kolonial diajarkan bahwa “Singa Mangaradja akan datang! Dia akan membunuh misionaris dan semua orang Kristen! Singa Mangaradja menyebabkan misi banyak masalah. Singa Mangaradja, juga disebut raja imam, adalah orang yang luar biasa. Orang-orang sebangsanya menyembah dia sebagai orang suci dan mengatakan kepadanya segala macam hal aneh. Tidak heran jika orang-orang Batak takut akan raja imam itu. Orang-orang Kristen di Silindung bersiap untuk mati ketika mereka mengetahui bahwa Singa Mangaradja sedang dalam perjalanan untuk membunuh misionaris dan semua pengikutnya. Dia juga menentang Pemerintah.“[9]

Padahal kenyataannya tidak begitu. Misionaris Metzler, dalam laporannya di Berichte der RMG 1878 (7), mengungkapkan bahwa Si Singamangaraja XII tidak keberatan dengan keberadaan zending, dia hanya ingin agar pasukan Belanda kembali (pen: tidak menjajah Tanah Batak Merdeka), dan setelah itu Si Singamangaraja bersedia untuk datang dan berbicara dengan kami (misionaris).[10] Tetapi Nommensen menolaknya dan tidak menyambut keinginan dan permintaan Si Singamangaraja XII untuk bertemu tersebut.

Nommensen sangat teguh dalam prinsipnya mengkristenkan orang Batak dengan kuasa kegelapan perang dengan cara menaklukkan Si Singamangaraja dan orang Batak di bawah naungan kolonialis Belanda dan Misionaris Jerman. Maka setiap kali Si Singamangaraja meminta bertemu dan menawarkan perundingan tidak (kurang) direspons sepantasnya. Walaupun Si Singamangaraja telah mengemukakan prinsipnya bahwa dia hanya menolak penjajahan Belanda, sementara tentang keberadaan zending dia tidak keberatan dan akan menemui para misionaris jika penjajah Belanda sudah pergi, sebagaimana diungkapkan Misionaris Metzler dan J.P.G. Westhoff (1878).

Namun, Nommensen tidak bersedia memilih alternatif yang ditawarkan Si Singamangaraja XII tersebut. Nommensen memilih bersekutu dengan sesama Eropa daripada bertemu  apalagi bersekutu dengan Si Singamangaraja yang dipandangnya sebagai orang tidak beradab pemakan manusia (kanibalis) dan Sipelebegu. Pada awalnya tidak semua misionaris sependapat dengan pilihan Nommensen, sebagaimana diungkapkan C. Th. Scharten (1919).[11] Walaupun kemudian, sebagaimana diungkapkan Meerwaldt (1904), akhirnya para misionaris sepakat dengan Ephorus Nommensen bahwa orang-orang Kristen harus membantu kepala mereka dalam perang, tetapi dengan syarat bahwa perang itu adil; semua misionaris kita bersatu dalam keinginan bahwa, ketika Tanah Batak merdeka digabungkan (aneksasi), situasi-situasi yang tidak menyenangkan ini akan segera diakhiri di bawah pemerintah.[12]

Advertisement

Bersambung || Sebelumnya

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy Jilid 3 Bab 11.3.1, Hlm. 1933-1936. 

 

Footnotes:

[1] Sinambela, Poernama Rea, 1992: h. 6.

[2] Westhoff, J.P.G., 1878: De oorlog te Toba op Sumatra, bl.99.

[3] BRMG 1878 (12), p. 361-381.

[4] Oppusunggu, H.A. (Penyunting), 2006: K.M.L. Tobing Misionaris Lokal; Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, h.73-75.

[5] Munnick, O.M. de, 1912. Autobiografie. Mijn Ambtelijk Verleden, (1858-1894). Amsterdam: J.H. de Bussy, bl.341-344.

[6] Sinambela, Poernama Rea, 1992: h.22; dan Dijk, P.A.L.E. van, 1895: bl.480-482.

[7] Hooyer, G.B., 1896: b.174.

[8] De Rijnsche Zending; Tijdschrift, jrg. 40, 1909; Uitgegeven door de Vereeniging tot bevordering der belangen van het Rijnsche Zendinggenootschap te Barmen; Onder Redactie van J. H. Meerwaldt, C. J. H. Verweijs en P. Van Wijk Jr. Amsterdam: H. C. Thomsen, bl.1.

[9] Duinen, G. van, 1919, b.95.

[10] BRMG 1878 (7), p.199-202.

[11] Scharten, C. Th., 1919, p.30.

[12] Meerwaldt, J.H., 1904: Worstelingen en Overwinningen in de Tobalanden, bl.132.

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments