Novum Gradum Pendidikan

Trilogi Revolusi Pendidikan

Video Panji Gumilang – Novum Gradum: Pendidikan Tak Boleh Berhenti
0
14
Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang: Pendekatan Novum Gradum Trilogi Revolusi Pendidikan Indonesia
Lama Membaca: 7 menit

Syaykh Al-Zaytun Prof. AS Panji Gumilang memperkenalkan Novum Gradum Pendidikan — sebuah gagasan jalan baru, loncatan baru dan derajat (gradum, degree) baru pendidikan secara menyeluruh yang berpijak pada sejarah peradaban, sains dan teknologi, berpadu dengan nilai ilahi dan ideologis, yang ditujukan untuk membangun bangsa yang tertata unggul gemilang.

Dalam suasana hangat yang penuh semangat kebangsaan, Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang berdiri di hadapan ribuan peserta Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025, sebagai pidato pamungkas sesi pertama (30/4/2025), yang bukan hanya menyimpulkan hasil simposium, tetapi melontarkan satu gagasan besar: Novum Gradum Pendidikan, yang artinya Jalan Baru, Cara Baru, Loncatan Baru, Level Derajat Baru Pendidikan. Novum Gradum Pendidikan — sebuah gagasan loncatan baru pendidikan menyeluruh yang berpijak pada sejarah peradaban, sains dan teknologi, berpadu dengan nilai ilahi, seni dan ideologi yang ditujukan untuk membangun bangsa yang tertata unggul gemilang. Bagi Panji Gumilang, pendidikan bukan sekadar kurikulum atau pengajaran, melainkan sistem hidup yang harus terus berjalan, menyatukan semua unsur, dan ditopang oleh kesadaran kolektif untuk menjemput kemajuan, bukan mengejar ketertinggalan.

Ia tidak membuka dengan pujian atau sambutan panjang. Kalimat pertamanya langsung menusuk jantung realitas pendidikan kita hari ini. “Mutu pendidikan yang selalu disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara—‘Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani’—sekarang berubah. Eng Arso Mangun Kuoso. Eng Madya Numpuk Bondo. Tut Wuri Hanje Galih. Ini yang berjalan,” ungkapnya. Dengan gaya khasnya yang lugas, Panji Gumilang menyampaikan bahwa nilai-nilai dasar pendidikan kita telah digeser oleh semangat kekuasaan dan materialisme. Di depan publik pendidikan dari berbagai penjuru negeri, ia mencontohkan perilaku pejabat yang hilang arah sebagai hasil dari sistem pendidikan yang gagal membentuk karakter: Palsu.

Namun, ia tidak berhenti pada kritik. Ia mengajak peserta menyusuri kembali akar peradaban dan sejarah pendidikan umat manusia. Dari Nabi Ibrahim hingga tokoh Yunani Kuno: Socrates, Plato, Aristoteles. Dari Aristoteles, ia menelusuri bagaimana teori deduktif—yang dikenal sebagai Organon—melahirkan Alexander Agung. Kemudian ia menuju ke Barat modern: Francis Bacon, filsuf Inggris yang memperkenalkan pendekatan induktif dalam berpikir ilmiah, Novum Organum; sebuah karya filsafat dalam bahasa Latin (1620) oleh Francis Bacon, yang menyajikan metode induktif untuk penyelidikan ilmiah dan filosofis. “Francis Bacon tidak punya sekolah, namun masuk dalam sekolah trilogi—university yang kemudian jadi Universitas Cambridge. Mengembangkan berbagai teori. Berlawanan dengan teori awal, deduktif atau kias.”

Panji Gumilang tidak sedang mengajarkan sejarah filsafat. Ia membangun landasan untuk menyampaikan sebuah sintesis. Menurutnya, pendidikan ideal adalah gabungan antara deduksi Aristoteles dan induksi Bacon. Tapi ia tidak berhenti di situ. Ia memasukkan satu dimensi lain: nilai-nilai ilahi. Dari situlah lahir gagasan Novum Gradum, berproses dari kontemplasi “Topo Broto 351” yang diikhtiarkannya dengan diksi Remontada from Within. “Mudah-mudahan The Zaytun ini bisa mema­dukan antara Organon dan Novum Organum menjadi Novum Gradum.”

Novum Gradum menjadi ‘simbol’ sintesis antara pendekatan deduktif dan induktif, antara Barat dan Timur, antara logika dan nilai ilahi. Panji Gumilang menyebutnya sebagai gagasan pendidikan yang berpijak pada kias dan istiqro, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai metode istinbat hukum dan pencarian hikmah. Ia menegaskan: “Kalau sudah ajaran ilahi, maka menyampurkan antara istiqro dan kias, antara induktif dan deduktif. Enak saja. Gampang-gampang saja.” Konsep ini tampak sederhana saat diucapkan, tetapi sarat makna. Ia menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar metodologi berpikir, tetapi juga sistem nilai dan orientasi hidup. Di sinilah Novum Gradum menjadi gagasan yang bukan hanya filosofis, tapi juga praktis.

Dalam konteks hukum, secara gramatikal, novum adalah sesuatu yang baru, bukti atau fakta baru dan/atau keadaan baru yang belum terungkap sebelumnya, kemudian timbul setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam bahasa Latin, novum yang dikenal dengan noviter perventa bermakna sebagai fakta baru yang ditemukan yang mana umum­nya diperbolehkan untuk diajukan dalam suatu kasus, sekalipun proses pembelaan sudah selesai. Dalam KBBI, novum adalah peristiwa atau bukti baru; atau alasan untuk naik banding dengan ditemukannya bukti baru. Novum adalah alasan atau peristiwa yang baru dikemukakan atau baru muncul di kemudian hari.

Dalam pengertian lebih luas, Novum adalah berarti “hal baru” atau “kebaruan.” Dalam konteks fiksi ilmiah, kata ini merujuk pada inovasi yang masuk akal secara ilmiah yang membedakan dunia fiksi dari dunia nyata. Ini adalah konsep utama dalam teori fiksi ilmiah Prof. Darko Suvin, yang digunakan untuk mengeksplorasi bagaimana inovasi ini menciptakan keterasingan kognitif dan memungkin­kan komentar tentang dunia penulis.

Etimologi dari kata Latin: Novum adalah bentuk tunggal netral dari kata sifat “novus,” yang berarti “baru”. Diadopsi dalam fiksi ilmiah, “novum” (sering digunakan dalam bentuk jamak, “nova”) merujuk pada elemen yang masuk akal secara ilmiah yang membuat dunia fiksi berbeda dari dunia kita. Teori Suvin menyatakan bahwa “novum” menciptakan rasa keterasingan, yang mendorong pembaca untuk merenungkan realitas dan masyarakat mereka sendiri. Contoh:
Pesawat ruang angkasa yang lebih cepat dari cahaya; masyarakat dengan kecerdasan buatan yang canggih; atau dunia dengan hukum fisika yang berbeda; semuanya bisa menjadi contoh “novum” dalam cerita fiksi ilmiah. Novum adalah istilah yang digunakan oleh sarjana fiksi ilmiah Prof. Darko Suvin dan lainnya untuk menggambarkan inovasi yang masuk akal secara ilmiah yang digunakan oleh narasi fiksi ilmiah. Novum (n) sebagai unsur ilmiah (bukan supranatural atau fantasi) dalam sebuah karya yang menunjukkan bahwa karya tersebut terjadi di dunia yang berbeda dari dunia kita, sehingga menetapkan bahwa karya tersebut harus dianggap sebagai fiksi ilmiah.[1]

Dalam karya awal teori fiksi ilmiahnya yang penting, Metamorphoses of Science Fiction: On the Poetics and History of a Literary Genre (1979), Profesor Darko Suvin kelahiran Yugoslavia menempatkan fiksi ilmiah sebagai bentuk sastra yang ditandai oleh dua perangkat yang tidak biasa: Keterasingan Kognitif dan Novum.[2] Ia menyebut, pen­tingnya fiksi ilmiah (SF) di zaman kita semakin meningkat; antara lain, jika kita mengambil perbedaan generik minimal dari SF, yakni kehadiran novum naratif (dramatis personae dan/atau konteksnya) yang secara signifikan berbeda dari apa yang menjadi norma dalam fiksi “naturalistik” atau empiris, maka akan ditemukan bahwa SF memiliki hubungan kekerabatan yang menarik dan dekat dengan subgenre sastra lain yang berkembang pada waktu dan tempat yang berbeda dalam sejarah sastra.[3]

Advertisement

Khas dalam menciptakan dan memahami dunia imajiner yang berbeda dari dunia kita sendiri, melalui observasi ilmiah, teori, dan eksperimen empiris. Dunia tekstual baru tersebut dipisahkan dari dunia kita terutama melalui gangguan drastis, pelanggaran anomali dalam kebenaran yang diterima; singkatnya, hal baru yang mengganggu yang begitu aneh, dan pada awalnya tidak dapat dijelaskan, sehingga layak mendapat kategori tersendiri: novum. Nova (novum) fiksi ilmiah yang sering digunakan termasuk alien, perjalanan waktu, singularitas teknologi, kecerdasan buatan, dan kekuatan psikis.[4]

Suvin berpendapat bahwa genre fiksi ilmiah dibedakan dari fantasi karena ceritanya digerakkan oleh novum yang divalidasi oleh logika yang disebutnya sebagai keterasingan kognitif. Ini berarti bahwa “hal baru” hipotetis yang menjadi topik cerita dapat dibayangkan keberadaannya melalui cara ilmiah dan bukan melalui sihir, yaitu, melalui pelaporan fiksi secara faktual dan dengan mengaitkannya dengan realitas secara masuk akal.[5]

Sementara kata Gradum (jamaknya, Gradus) adalah istilah Latin, yang secara umum diterjemahkan menjadi “langkah” atau “derajat” (“step” or “degree”). Kata ini juga dapat merujuk pada “pangkat” atau “kedudukan” (“rank” or “standing”) dalam konteks tertentu, terutama dalam lingkungan akademis; khususnya dalam frasa ad eundem gradum, artinya diakui memiliki peringkat atau kedudukan akademis yang sama (setingkat) dengan orang lain. Hal ini sering terjadi ketika sebuah universitas mengakui gelar atau kredensial seorang mahasiswa dari institusi lain. Gradus juga dapat merujuk pada “tempat pendaratan” atau “tangga untuk naik dan turun kapal”. Kata ini juga digunakan dalam frasa “Gradus ad Parnassum,” kamus prosodi abad ke-17. Dalam Wiktionary disebut, Gradum, akusatif tunggal dari gradus, berarti Lulus.[6]

Gradum (Latin), Degree (Inggris) dan/atau step, stage, rank, position (langkah, tahapan, pangkat, posisi). Tahapan langkah ke derajat, pangkat, dan posisi berikutnya. Syaykh Panji Gumilang lebih menegaskannya, tahapan loncatan langkah baru ke derajat, level, pangkat dan posisi lebih tinggi dari sebelumnya. Novum Gradum adalah tahapan loncatan baru transformasi revolusioner pendidikan beralaskan fakta, bukti, keadaan dan temuan baru melalui observasi ilmiah, teori, dan eksperimen empiris untuk mencapai (lulus) gradum, degree, peringkat atau kedudukan akademis lebih tinggi dari sebelumnya hingga setingkat atau lebih tinggi dengan /dari derajat pendidikan modern lainnya.

Panji Gumilang kemudian menunjukkan bagaimana gagasan itu akan diwujudkan. Ia merancang pelatihan delapan unsur pendidikan: guru, administrator, yayasan, siswa, orang tua, penyedia konsumsi, kebersihan kampus, dan keamanan. Semuanya, katanya, harus dilatih bersama agar membentuk ekosistem pendidikan yang tidak terputus. “Unsur 8 inilah yang harus terus dilatih supaya bisa ekosistem pendidikan ini tidak terputus-putus.” Pelatihan delapan unsur itu dirancang mulai 1 Juni. Panji Gumilang menjelaskan akan ada kurikulum, algoritma, dan evaluasi capaian. Ia bahkan menyebut rencana kehadiran dua profesor tamu setiap bulan sebagai bagian dari proses pembinaan kolektif yang sistematis. “Ada kurikulumnya, ada algoritmanya, supaya pencapaiannya bisa diuji, bisa dievaluasi, atau mengadakan inovasi.” Langkah ini mencerminkan keyakinannya bahwa pendidikan adalah proses yang harus dijaga kesinambungannya. Pendidikan tidak bisa hanya diserahkan kepada guru atau kurikulum. Ia harus hidup dalam sistem sosial, dalam tata kelola yang konkret.

Semangat kebersamaan menjadi bagian penting dari gagasan Panji Gumilang. Ia tidak meminta negara atau lembaga donor. Ia menawarkan musyawarah sebagai jalan keluar. Ia menjelaskan secara rinci bagaimana logistik pelatihan bisa ditanggung bersama. Makan di dalam kampus lebih murah daripada izin keluar. Menginap cukup mengganti biaya cuci kasur. “Silakan tulis: saya sanggup setiap hadir sekian. Selesai, bukan? Itu namanya kerakyatan yang dipimpin. Ada pimpinannya. Ada leader-nya. Oleh hikmah kebijaksanaan.” Ia menegaskan bahwa semua bentuk partisipasi itu bukan beban, tapi bagian dari keterlibatan. Inilah manajemen pendidikan ala musyawarah yang ia bangun perlahan, dari Al-Zaytun, untuk Indonesia.

Di sisi lain, ia menolak keras paradigma pembangunan pendidikan yang hanya mengganti kurikulum tanpa membangun infrastruktur pendukung. Ia menyebut bahwa dari 18.000 pulau di Indonesia, baru sekitar 6.000 yang terisi layanan pendidikan, dan itupun tidak sepenuhnya terkontrol. “Kalau infrastruktur pendidikan disebar di 6.000, siapa yang kontrol? Sehingga indeks pendidikan di Indramayu ini baru sampai 5,12. Apakah seperti ini yang kita harapkan 2045?”

Panji Gumilang juga mengkritik cara berpikir bangsa ini yang menurutnya terlalu sering terjebak dalam inferioritas. Ia tidak setuju dengan semangat “mengejar ketertinggalan”. Baginya, itu adalah narasi yang menyiratkan kelemahan. Ia mendorong bangsa ini untuk mengejar kemajuan, bukan masa lalu. “Sering tokoh-tokoh di Indonesia bilang, ‘Mari kita berbuat sehebat-hebatnya untuk mengejar ketertinggalan.’ Bagaimana ketertinggalan kok dikejar? Mengejar kemajuan! Sekalipun nggak sampai, sudah maju. Kita bergerak maju.” Ia percaya bahwa bangsa ini harus berhenti membandingkan diri dengan negara lain, dan mulai membangun sistem sendiri yang sesuai dengan watak dan kondisi bangsa.

Dalam Novum Gradum, pendidikan adalah alat untuk menciptakan masa depan, bukan membayar utang masa lalu. Di akhir tausiyahnya, Panji Gumilang tak hanya berbicara tentang program, bukan pula target politik. Ia berbicara tentang waktu dan kesetiaan. Pendidikan, menurutnya, adalah perjuangan panjang yang harus dijalani terus menerus. Ia tidak mengenal akhir, kecuali akhir kehidupan itu sendiri. “Kita mulai dari titik kecil ini. Andai kata nggak mau juga dari kecil ini, sehingga pada tahun 2045 kalau masih belum tertata, kita ada mewakili Indonesia yang tertata.” Dan akhirnya, ia mengakhiri dengan kalimat yang sederhana tapi menggugah. Satu kalimat yang mewakili filosofi hidupnya sebagai pendidik selama puluhan tahun. “Kapan bosan hidup? Setelah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Begitu.” Pendidikan, bagi Panji Gumilang, adalah jalan sunyi yang tak boleh berhenti. Novum Gradum adalah batu tapak loncatannya.[7]

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Remontada from Within, Novum Gradum: Trilogi Revolusi Pendidikan (79 Tahun Syaykh Al-zaytun).

 

Footnotes:

[1] Novum: SF-Dictionary. https://sfdictionary.com/view/2267/novum

[2] Suvin, Darko, 1979. Metamorphoses of Science Fiction; On the Poetics and History of a Literary Genre. New Haven and London: Yale University Press, p. 3-10.

[3]  Suvin, Darko, 1979. Metamorphoses of Science Fiction; p. 3.

[4]  Novum: SF-Encyclopedia https://sf-encyclopedia.com/entry/novum

[5]  Novum: Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Novum

[6] Gradum: https://en.wiktionary.org/wiki/gradum

[7] Gumilang, Panji, Syaykh, 02/05/2025. Novum Gradum: Jalan Panjang Pendidikan Tak Boleh Berhenti; Mimpi Besar Pendidikan dari Al-Zaytun untuk Indonesia. Reportase Mangatur L. Paniroy: TokohIndonesia.com – Tokoh.id; https://tokoh.id/berita/topik-pilihan/novum-gradum-jalan-panjang-pendidikan-tak-boleh-berhenti/

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments