Sarang Korupsi Sistemik

 
0
30
Majalah Berita Indonesia Edisi 40
Majalah Berita Indonesia Edisi 40 - Sarang Korupsi Sistemik

VISI BERITA (Reformasi Nirmoral, 21 Juni 2007) – Malam itu, seperti pemandangan umum Jakarta selama puluhan tahun, masyarakat terus dijejali dengan hingar bingar nyanyian para pengamen. Tidak hanya musik dan nada falsnya yang membuat hati merasa tidak terhibur, tetapi juga gaya mereka yang sudah berubah menjadi setengah preman.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 40 | Basic HTML

Begitu juga dengan pengalaman kru Majalah Berita Indonesia. Selepas keluar dari food court mal Taman Anggrek yang sangat mewah di lantai 4, untuk sebuah wawancara dengan salah seorang tokoh agama, langsung disambut dengan nyanyian para pengamen, sesaat setelah memasuki bus PPD kelas ekonomi 46.

Mendengar lagu itu, mungkin saja seisi bus bergumam dalam hati, “Untung saja, Sukarno dan Suharto tak berkuasa lagi. Kalau tidak para pengamen ini sudah digaruk”. Gumaman itu benar, Bung Karno sangat tidak suka dengan musik berbau kebaratbaratan. Ia menyebutnya musik ngak ngik ngok. Dalam teori musik, jenis musik ala Bung Karno itu pasti tidak ditemukan. Demikian juga Pak Harto, sangat tidak suka mendengar musik-musik bernada protes sosial. Baginya, kalau ada permasalahan, harus disampaikan melalui saluran-saluran resmi, dan jangan nyanyi di bus kota.

Hal yang jauh semakin buruk dari latar belakang umum masyarakat Jakarta tadi adalah gaya para pengamen yang semakin intimidatif. Mereka tidak mau lagi menunggu kerelaan para penumpang tetapi dengan mata melotot, mereka memaksa para penumpang perempuan menyerahkan sumbangan mereka. Di pihak lain, mereka tidak sungkan-sungkan bersimpuh di depan para penumpang pria yang terlihat keren, berpenampilan bersih, dan menenteng tas besar. Mungkin dalam pikiran mereka, “Ini pasti kelas profesional yang mungkin akan memberi lebih banyak”. Namun mereka tidak tahu, bahwa apa yang mereka rasakan, juga dirasakan seluruh penumpang bus, yakni pendapatan yang tetap sementara harga-harga terus membubung.

Dan para pengamen itu tidak tahu, bahwa selama 2 jam wawancara dengan seorang tokoh agama, kru Majalah Berita Indonesia harus menahan dahaga dan lapar, karena sudah waktunya makan malam tapi tidak ada makanan dan minuman. Namun demikian, nyanyian fals mereka yang berisi pesan-pesan sosial, tetap mengundang rasa empati dan mudah-mudahan suara fals mereka terus membahana ke gedung DPR, ke Istana negara, dan ke telinga para pemimpin partai politik. Dan untuk itu, kru Berita Indonesia akhirnya mengeluarkan uang ribuannya.

Tidak ada yang bisa membantah bahwa gaya setengah preman atau full preman itu sudah melewati batas-batas toleransi moral. Bahkan mereka sudah seperti “makhluk hidup lain” yang mengedepankan naluri dan mengesampingkan nurani. Namun sebaliknya, yang paling bertanggung jawab pada pembangunan moralitas bangsa ini, seperti tokoh-tokoh politik, agama, hingga para pemimpin formal, tidak memiliki good will untuk membangun moral bangsa. “Lalu, mengapa kita menuntut para pengamen itu bermoral?”

Bukankah seharusnya hari raya ke-9 reformasi diwarnai pencapaian agenda reformasi? Lalu mengapa pada saat yang bersamaan justru diwarnai terungkapnya aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ke sejumlah pemimpin dan tokoh-tokoh partai politik. Kita diingatkan kembali, bahwa salah satu agenda reformasi adalah penyelenggaraan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Hampir semua narasumber Berita Indonesia mengakui, bahwa KKN atau kejahatan apalah namanya yang melibatkan dana DKP hanyalah puncak es yang tampak di permukaan. Itu hanyalah secuil dari sedemikian besarnya KKN yang masih menggurita di negeri ini. Lihat saja skandal keuangan terbesar di negeri ini, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), tidak pernah tuntas. Maklum, sejumlah anggota Kabinet Indonesia Bersatu juga terlibat menggunakan dana itu.

Tidak ada yang menduga bahwa para calon presiden itu maupun pasangannya tidak mau berpikir dua kali ketika menerima sumbangan kampanye yang melebihi ambang batas yang diatur dalam UU. Realitas sedemikian menunjukkan, betapa besarnya hasrat berkuasa setiap orang, seakan-akan tidak peduli bagaimana caranya mendapatkan kekuasaan itu, pokoknya menjadi penguasa saja.

Advertisement

Kini kita mulai tersadar, betapa reformasi yang berjalan sedemikian lama nyaris tanpa menyentuh ranah moral. Kita lebih suka membentuk UU dan membangun lembaga baru daripada membenahi moralitas kita. Walhasil, yang kita dapat adalah reformasi nirmoral.

Tidak mengherankan jika kabinet demi kabinet yang memerintah di negeri ini sepanjang reformasi, selalu digoyang dengan ketidakpercayaan (distrust). Namun bukan hanya itu saja, ketakutan paling besar kita tentang massifnya ketidakpercayaan hingga tercerai-berainya negeri ini, seakan-akan sudah ada di depan mata. (red/BeritaIndonesia)

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 40

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Lintas Media

Lintas Tajuk

Berita Obituari

Berita Khas

Lentera

Berita Ekonomi

Berita Nasional

Berita Metropolitan

Berita Daerah

Berita Politik

Berita Hankam

Berita Iptek

Berita Kesehatan

Berita Tokoh

Berita Hukum

Berita Budaya

Berita Perempuan

Berita Mancanegara

Berita Humaniora

Berita Olahraga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini