
[OPINI] – Oleh Dr. Victor Silaen | Saya heran setiap kali Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, mengatakan Aksi Kamisan yang dilaksanakan di depan Istana Merdeka sekali seminggu itu merupakan ”pesanan”. Saya kira mungkin dia resah karena calon presiden yang diusung partainya selalu dikait-kaitkan dengan Aksi Kamisan itu. Padahal para aktivis aksi tersebut bukan menyoroti satu orang, melainkan sejumlah orang yang diduga kuat terlibat dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Jadi, mestinya Fadli tak perlu sensitif seraya mengeluarkan kata-kata yang meremehkan bahwa aksi tersebut sekedar ”pesanan”.
Kamis sore, 26 Juni lalu, Aksi Kamisan yang dilaksanakan oleh Gerakan Rakyat Melawan Lupa itu kembali digelar di depan Istana Merdeka. Mereka mengusung sejumlah tuntutan seperti hapuskan penyiksaan dan penculikan di Indonesia, tangkap dan adili panjahat di Pengadilan HAM Ad Hoc, serta menolak calon presiden pelanggar HAM. Juru bicara Gerakan Rakyat Melawan Lupa, Maruli Rajaguguk, mengatakan akan terjadi kemunduran sejarah jika Indonesia kembali dipimpin oleh presiden yang diduga terkait dengan berbagai pelanggaran HAM masa lalu.
Tahun ini Tragedi Kemanusiaan Mei 1998, termasuk penculikan para aktivis sebelumnya, sudah memasuki tahun ke-16. Menurut Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden BJ Habibie, 23 Juli 1998, kerusuhan massal tersebut tak terjadi secara spontan, melainkan sistematis. Massa yang terlibat terdiri dari orang-orang yang aktif (penggerak) dan pasif. Ditengarai sejumlah oknum militer terlibat di dalamnya.
Akibat aksi tersebut, lebih dari 1.000 orang meninggal karena terjebak di dalam lebih dari 1.344 bangunan yang terbakar atau dibakar. Belum lagi seribu lebih kendaraan roda empat dan roda dua yang dirusak atau dibakar. Selain itu ada sejumlah perempuan Tionghoa yang diperkosa secara massal dan mengalami kekerasan fisik.
Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, di antaranya pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban, dan perlunya digelar pengadilan militer untuk petinggi ABRI yang terlibat dan penyelidikan lanjutan. Namun, sebagian besar rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti pemerintah.
Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, di antaranya pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban, dan perlunya digelar pengadilan militer untuk petinggi ABRI yang terlibat dan penyelidikan lanjutan. Namun, sebagian besar rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti pemerintah. Akan halnya Komnas HAM, tahun 2003, membentuk sebuah tim penyelidikan pro-justisia yang akhirnya menyimpulkan ada bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam rentetan kerusuhan Mei itu. Hasil penyelidikan tersebut disampaikan ke Kejaksaan Agung selaku penyidik pada 9 September 2003. Karena tak ada respons, pada 29 Januari 2004, Komnas HAM kembali melayangkan surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakannya.
Beberapa bulan kemudian, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan Komnas HAM. Lantas, melalui surat Nomor 09/TUA/I/2005 tanggal 6 Januari 2005, Komnas HAM menyampaikan pendapat bahwa pengembalian berkas penyelidikan itu tidak berdasar karena Jaksa Agung tak pernah menyatakan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM tidak lengkap.
Lebih lanjut, berdasarkan catatan Komnas HAM tahun 2008, Jaksa Agung menyatakan bahwa hasil penyelidikan belum bisa ditindaklanjuti karena Pengadilan HAM Ad Hoc belum terbentuk. Menyikapi itu, Komnas HAM berpendapat bahwa penyidikan dan penuntutan dapat dilakukan tanpa menunggu pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc. Tak ada ketentuan di dalam UU tentang Pengadilan HAM bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc harus dibentuk lebih dulu. Sejak itulah proses hukum atas rentetan peristiwa Mei 1998 itu seakan terlupakan.
Syukurlah, pertengahan Mei dan akhir Juni lalu Komnas HAM sudah memanggil bekas mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zein terkait kasus penghilangan paksa 13 aktivis tahun 1998. Tapi, Kivlan mangkir sampai sekarang. Padahal dalam acara debat di sebuah stasiun televisi swasta, ia mengaku tahu di mana keberadaan para aktivis yang diculik itu. Sayangnya, sikap tak-hormat kepada lembaga negara itu didukung oleh Fadli Zon, yang dengan entengnya mengatakan isu pelanggaran HAM itu basi dan hanya merupakan “pesanan” lawan politik Prabowo.
Padahal, ini soal nyawa manusia yang telah direnggut paksa. Bagaimana jika ada anggota keluarganya yang menjadi korban? Lagi pula kalau Kivlan merasa tak bersalah, mengapa takut memenuhi panggilan Komnas HAM? Sebagai mantan pejabat tinggi TNI, mestinya dia memberi keteladanan yang baik kepada rakyat. Bukankah kalau ia jadi datang ke Komnas HAM justru akan memberi konstribusi positif kepada negara ini di bidang penegakan hukum?
Terkait itu kita juga harus mendesak Presiden SBY untuk segera memberikan instruksi kepada Jaksa Agung agar segera memulai penyidikan atas pelbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM itu. Kita tak ingin beban sejarah yang kelam itu dilanjutkan terus ke masa depan, entah sampai kapan. Kita tak mau pelbagai peristiwa itu akhirnya dianggap selesai hanya karena kita lupa.
Dari perspektif politik, Aksi Kamisan ini dapat dimasukkan dalam gerakan sosial baru (new social movement), yang para anggotanya terdiri dari orang-orang sipil non-negara, tidak berafiliasi dengan partai politik, yang bertujuan untuk mencapai sebuah kepentingan dengan berbagai cara nir-kekerasan. Setiap Kamis sore, puluhan orang secara rutin melakukan aksi diam demi menuntut penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa silam itu. Ada yang bernyanyi, berdoa, dan berorasi.
Indonesia kini ibarat sebuah Negeri Lupa, tempat di mana pelbagai pelanggaran HAM di masa silam terlupakan begitu saja. Namun dengarlah apa kata Suciwati, isteri (almarhum) Munir, yang tak kenal lelah berjuang menuntut keadilan dan kebenaran terkait terbunuhnya sang pejuang HAM itu. “Yang kami lakukan ini adalah salah satu upaya melawan lupa,” ujarnya. “Korban dan keluarga korban sepertinya kehabisan energi psikologis, ekonomi, dan semuanya sepertinya tak menghasilkan apa-apa. Tetapi, perjuangan tak boleh berhenti. Kalau korban diam, semuanya lewat dan peristiwa serupa terus terjadi. Kita juga tidak bisa menyandarkan perjuangan ini pada pihak lain. Kita harus berjuang sendiri.”
Aksi Kamisan itu diinspirasi oleh Aksi Selasa di Plaza de Mayo, Buenos Aires, Argentina. Dimulai sejak 30 April 1977, diprakarsai oleh 14 ibu dari orang-orang muda korban penculikan aparat junta militer di sana, mereka menggemakan suara yang tak pernah terdengar di ruang politik Argentina: meminta pertanggungjawaban negara. Mereka sebelumnya tak pernah ikut dan berpikir tentang politik. Nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan ditempa melalui pengalaman personal. Mereka menggendong nilai-nilai itu ke dalam sistem yang melakukan teror terhadap warganya sendiri selama The Dirty War (1976-1983) dan sesudahnya karena pemerintah baru tetap mempertahankan militerisme yang menolak bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM di negara itu. Berdasarkan catatan resmi Argentina, lebih dari 1.500 orang muda dan mereka yang dianggap “berbahaya” dihilangkan selama era rezim junta militer Argentina yang dipimpin oleh Jenderal Jorge Rafael Vadela (1976-1983).
Setelah 25 tahun, tuntutan ibu-ibu di Plaza de Mayo itu akhirnya dipenuhi pemerintah Argentina, bahkan mendorong lahirnya Konvensi Anti-penghilangan Orang secara Paksa yang disahkan Majelis Sidang Umum PBB pada 19 Desember 2006. Berefleksi dari kisah perjuangan mereka, kita seharusnya mendukung Aksi Kamisan itu seraya menuntut tegaknya hukum demi masa depan Indonesia yang cerah.
*Penulis: Dr. Victor Silaen, Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA