
[OPINI] – SURAT TERBUKA Surat Terbuka Kepada Presiden Terpilih (2) – Pak Presiden RI Terpilih, izinkan saya menyampaikan harapan: Cermat dan berhati-hatilah memilih anggota kabinet yang akan membantu Anda dalam lima tahun ke depan. Jangan terjebak pada pilihan dari kalangan profesional murni yang tidak memiliki sikap politik yang jelas. Sebab, jabatan menteri itu bukan jabatan (jenjang karier) profesional, melainkan jabatan politik (leadership politik).
Kepada Yth:
Presiden RI Terpilih Bapak Ir. Joko Widodo
Pak Presiden RI Terpilih, sejak Anda masih menjabat Walikota Solo (saat Anda belum apa-apa dalam kancah politik nasional), saya sudah sangat yakin dan menulis tentang Anda bahwa Anda adalah pemimpin yang baik, tulus, jujur, bersahaja, visioner, berani (risk taker) dan tanpa pamrih; pemimpin yang melayani, melayani dan melayani; pemimpin fenomenal yang akan mengubah Indonesia.
Bagi saya, keterpilihan Anda menjadi Presiden RI Ketujuh adalah suatu berkah dan bukti bahwa Allah Yang Maha Kuasa masih sangat mengasihi Indonesia: Mengubah (restorasi) Indonesia; Menjadikan Indonesia Hebat! Maka, saya juga yakin bahwa keterpilihan kepemimpinan politik (kenegarawanan) Anda sebagai Presiden adalah pemenuhan doa, harapan, impian dan pilihan rakyat Indonesia yang pluralis.
Saya yakin bahwa Anda tidak akan pernah gentar dan takut akan mengalami kegagalan dalam mengemban amanah, harapan dan impian rakyat tersebut. Sebab saya yakin, Anda akan menjunjung tinggi integritas diri sebagaimana adanya (jujur, tulus dan bersahaja). Itu saja! Diaplikasikan dengan kenegarawanan yang tidak saja ditopang intelektual rasional dan emosional melainkan juga sisi religius. Bahwa kini Anda adalah pribadi nomor satu di Indonesia, pemimpin politik (negarawan) yang punya hak prerogatif.
Salah satu hak prerogatif Presiden adalah memilih para menteri dan/atau para pembantunya. Hak ini hanya melekat pada Presiden, tidak pada Wakil Presiden. Konstitusi (Pasal 4 ayat 2 UUD 1945) mengamanatkan bahwa Wakil Presiden adalah pembantu Presiden (Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu satu orang Wakil Presiden). Inilah ujian konstitusional pertama yang akan Anda hadapi dalam penyusunan anggota kabinet (Kabinet Presidensil). Tentu saja adalah sangat bijaksana apabila Anda mendengar suara (saran, pendapat) Wakil Presiden dibanding suara-suara lainnya.
Namun, yang paling pokok yang ingin saya kemukakan dalam surat terbuka ini adalah berkaitan dengan berkembangnya desakan agar Anda lebih memilih kalangan profesional murni untuk posisi-posisi penting dan strategis dalam kabinet Anda. Bahkan ditegaskan, jangan memberikan posisi-posisi penting dan strategis itu kepada kader partai (politisi). Pandangan ini disuarakan oleh para pengamat (termasuk pakar politik), kalangan profesional, aktivis LSM dan sebagainya.
Bagi saya, sebagai seorang jurnalis dan bukan anggota partai politik mana pun, tapi sangat mendambakan bertumbuhnya demokrasi modern (berasas Pancasila) di negeri ini, sangat risih mendengar pandangan-pandangan apolitik dan deparpolitisasi tersebut. Pikiran saya sederhana: Bagaimana membangun demokrasi modern tanpa peran partai politik (kader politik, politisi)? Apalagi: Bukankah jabatan menteri itu jabatan politik?
Bagi saya, sebagai seorang jurnalis dan bukan anggota partai politik mana pun, tapi sangat mendambakan bertumbuhnya demokrasi modern (berasas Pancasila) di negeri ini, sangat risih mendengar pandangan-pandangan apolitik dan deparpolitisasi tersebut. Pikiran saya sederhana: Bagaimana membangun demokrasi modern tanpa peran partai politik (kader politik, politisi)? Apalagi: Bukankah jabatan menteri itu jabatan politik?
Maka, itulah pasalnya saya mengangkat lead surat terbukan ini: Pak Presiden RI Terpilih, cermat dan berhati-hatilah memilih anggota kabinet yang akan membantu Anda dalam lima tahun ke depan. Jangan terjebak pada pilihan dari kalangan profesional murni yang tidak memiliki sikap politik yang jelas. Sebab, jabatan menteri itu bukan jabatan (jenjang karier) profesional, melainkan jabatan politik (leadership politik).
Menurut hemat saya, dalam penyusunan anggota kabinet, masalah kader partai (politisi) dengan kalangan profesional, tidak saja hanya tidak perlu didikotomikan, melainkan harus dicermati sikap dan jejak rekam politiknya.
Dalam kaitan ini, saya sangat banggga ketika Anda sejak awal menyatakan akan menegakkan konstitusi dan pemerintahan presidensil. Dan untuk itu dalam menggalang kerjasama politik (kata orang: koalisi) pencapresan, Anda juga menegaskan kerjasama politik tanpa syarat. (Ini suatu keberanian kepemimpinan politik Anda yang fenomenal). Saya memahami pernyataan Anda bukan hitam-putih dalam artian tidak akan memilih menteri dari partai-partai politik pengusung dan pendukung Anda. Sebab hakikat politik (kerjasama politik) adalah kerjasama menggapai kekuasaan untuk mengelola negara (kebijakan negara) demi menyejahterakan rakyat dan kejayaan bangsa dan negara. Melainkan, saya memahaminya, bahwa Anda tidak mau disandera dengan syarat-syarat dalam posisi Anda sebagai Presiden yang memiliki hak prerogatif, terutama dalam penyusunan anggota kabinet.
Anda juga sudah berulangkali menyatakan bahwa kader partai politik banyak yang profesional, juga ada profesional yang di luar partai. Lalu, Anda ditanya pers besaran persentase profesional partai dibanding profesional murni. Anda tegaskan tidak ada persentase.
Maka, izinkan saya menyampaikan pandangan: Bahwa jauh lebih baik memilih kalangan profesional yang kader partai (politisi) yang sudah jelas nyata jejak rekam politiknya daripada memilih kalangan profesional murni yang tidak jelas arah dan sikap politiknya. Jangan-jangan kalangan pofesional murni itu tidak punya sikap politik terhadap Pancasila dan/atau malah anti-Pancasila.
Menurut hemat saya, sebagai contoh, ekonomi neoliberal yang kini dianut pemerintah adalah akibat lemahnya sikap politik berasas Pancasila dari para pengelola kebijakan ekonomi dan keuangan. Mereka meninggalkan nilai-nilai dasar Pancasila dengan alasan kelenturan ideologi bertopeng efisiensi. Contoh konkrit, kata mereka, lebih efisien mengimpor beras daripada susah-payah membuka lahan baru. Anehnya, di negeri eyangnya neoliberal, petani justru diproteksi. Akhirnya, Indonesia hanyut terbawa arus neoliberalisme, kapitalisme dan individualisme. Pancasila hanya menjadi pajangan. Impreliasme ekonomi menguasai Indonesia.
Maka, dalam pandangan saya, kriteria seseorang untuk menjabat menteri (pembantu Presiden), keberpihakan atau sikap politik yang teguh pada Pancasila adalah jauh lebih penting daripada nilai kompetensi (profesional). Jadi, seorang politisi (berideologi Pancasila dan taat asas) yang memiliki kompetensi (profesional) adalah jauh lebih baik (memiliki nilai tambah) menjadi menteri, daripada seseorang profesional murni yang apolitik dan/atau punya sikap politik yang netral/anti Pancasila.
Menteri itu adalah jabatan politik. Leadership politik itu diasah di partai politik. Seorang prefesional yang tidak pernah berani bersikap dalam politik, paling tidak pernah menjadi aktivis, sangat pantas diragukan kemampuan leadershipnya sebagai menteri yang adalah jabatan politik. Jabatan politik itu adalah suatu sarana kepemimpinan dan upaya kekuasaan (penentuan kebijakan publik) untuk mewujudkan kepedulian dan keberpihakan kepada rakyat, bangsa dan negara.
Jabatan menteri itu bukan jabatan (jenjang karier) profesional (kompetensi teknis), melainkan jabatan politik, yang adalah jabatan kepemimpinan politik. Seorang menteri tidak harus paham (kompeten) secara teknis (detail) mengenai segala bidang tugas di kementeriannya. Dia lebih dituntut memiliki kemampuan (kompetensi) dalam kepemimpinan yang menentukan arah tujuan dan menjamin tujuan itu akan dicapai. Kepemimpinan politik (visi dan arah tujuan) yang mempu menggerakkan para staf (dirjen, direktur, dsbnya) yang kompeten (ahli, profesional) di kementeriannya. Dalam konteks ini, makanya persyaratan menjadi Presiden pun tidak mesti bergelar Profesor Doktor, tetapi cukup setingkat Sekolah Menengah Atas saja, asalkan memiliki kompetensi kepemimpinan politik, yang diuji (dipilih rakyat) dalam Pemilu.
Memang, kegalauan (antipati) para pengamat dan aktivis LSM terhadap para politisi belakangan ini, khususnya pada era reformasi ini, muncul akibat sepak terjang para (beberapa) politisi yang makin langka menunjukkan kenegarawanan. Harus diakui, setelah mengamati tingkah-laku para politisi, pejabat publik dan penyelenggara negara, khususnya dalam era reformasi 16 tahun belakangan ini bahwa hampir di semua lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) korupsi makin merajalela. Ironisnya, para pejabatnya, umumnya mengaku dan merasa sebagai negarawan.
Sebagai contoh, salah satu yang selama ini diposisikan (dipersyaratkan oleh konstitusi) harus seorang negarawan yakni hakim Mahkamah Konstitusi, ternyata melakukan korupsi (menerima suap) secara masif. Ketua Umum atau kader partai yang menduduki jabatan politik (pejabat negara) korupsi daging sapi, dana haji, Hambalang dan sebagainya. Profesional (guru besar) terlibat suap mafia migas. Mereka menyembunyikan diri dan menipu publik seperti ‘hantu berjubah malaikat’. Berkata demi rakyat, tetapi hanya memikirkan kelompok dan diri sendiri (serakah).
Barangkali sangat elok bila kita belajar dari perjalanan partai politik di republik ini yang telah melahirkan negarawan-negarawan hebat seperti Bung Karno, Bung Hatta, Kyai Haji Agus Salim, Syahrir, Kyai Wahid Hasyim, dan masih banyak lagi. Mereka sungguh tulus mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan diri dan kelompoknya sendiri.
Berbeda sekali dengan para politisi dan pejabat negara saat ini yang seolah-olah sudah sepakat menganggap gelanggang politik dan jabatan sebagai kesempatan untuk meraih karir untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Jika pada era Orba para politisi nyaris tak punya hati nurani dan idealisme, pada era reformasi ini ditambah lagi tanpa rasa kebangsaan dan tanpa rasa malu.
Tampaknya sebagian mereka, menjadi anggota parlemen dan pejabat negara, tanpa bekal pemahaman seluk-beluk politik dan masalah kenegaraan dengan baik. Politik uang pun merajalela. Korupsi tak lagi didominasi eksekutif dan yudikatif tetapi telah mengganas di legislatif. Lebih parah lagi, sepertinya sebagian mereka tak berkenan menganut idealisme, nilai-nilai moral dan rasa kebangsaan yang telah disepakati para bapak pendiri bangsa ini, sebagaimana tertuang dalam Pancasila yang menjadi dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kondisi ini, jika dibiarkan, akan menyebabkan bangsa ini terjerumus dalam kesulitan yang akhirnya mencekik leher sendiri. Mungkin, hal inilah yang mendorong beberapa LSM menghadirkan gerakan anti politisi busuk. Untuk mencegah makin sempurnanya kebusukan moral dan kepicikan sebagian besar elit politik bangsa ini.
Tapi, jangan karena ulah mereka itu, kita menjadi merendahkan fungsi partai politik yang amat vital dalam negara demokrasi. Reformasi, seyogyanya suatu kesempatan baik untuk melahirkan politisi-politisi negarawan di negeri ini. Inilah kesempatan yang sepatutnya digunakan sebagai momentum melahirkan politisi negarawan. Politisi yang tulus, profesional, punya idealisme dan fatsoen politik untuk mengabdikan diri dengan menempatkan kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya di atas kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompoknya sendiri.
Pertanyaan yang berkembang di publik, apakah masih ada politisi atau elit bangsa ini yang negarawan? Tentu tidak bijaksana bila selalu apatis dan pesimis. Sesunggunya masih banyak di antara anak bangsa ini kader-kader negarawan. Bahkan terlalu panjang jika namanya dituliskan satu-persatu dalam surat ini. Kendati harus pula dimaklumi bak kata pepatah: Tak ada gading yang tak retak.
Pak Presiden RI Terpilih; Memang hal ini akan menjadi suatu dilema yang akan Anda hadapi. Tetapi, saya yakin ketulusan akan menuntun Anda untuk memilih para menteri yang menempatkan kekuasaan sebagai sebuah sarana, bukan tujuan utama, ‘Power is a means, but not our ultimate goal.’ Menteri yang menjadikan tujuan utamanya adalah mewujudkan Indonesia baru yang demokratis, berkeadilan, terbuka, dalam masyarakat majemuk yang saling menghormati.
Menteri yang berasal dari partai atau bukan, saya berharap Anda akan membentuk Kabinet Kerja Profesional yang sama sekali tidak menimbulkan efek loyalitas ganda dan penyalahgunaan jabatan (abuse of power). Kabinet yang beranggotakan para menteri yang punya prinsip mampu melepaskan diri dari kepentingan diri, kelompok dan partainya manakala duduk sebagai pejabat negara.
Salam Pak Presiden RI Terpilih. Mohon maaf jika pandangan saya dalam surat terbuka ini terlalu latah, atau tidak berkenan di hati Anda. (Bersambung, Presiden, Politisi atau Negarawan (Presiden Hanya Lima Tahun).
Surat Terbuka: Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Baca Surat Terbuka Lainnya:
(1) Menteri yang Taat Konstitusi
(2) Kabinet Kerja (Profesional;
(3) Presiden, Politisi atau Negarawan