Opini Lainnya
Praktik-praktik sontoloyo (tidak etis) di dunia politik, seperti ujaran kebencian dan penyebaran hoaks, serta di dunia hukum, yang terlihat dalam proses perancangan dan penegakan hukum, menjadi sorotan penting. Kisah tragis Sengkon dan Karta yang dihukum keliru serta maraknya korupsi di lembaga negara menjadi bukti rusaknya moralitas di berbagai bidang. Harapan besar tertuju pada pemimpin baru yang diharapkan mampu membawa perubahan mendasar, guna menciptakan sistem hukum yang adil dan bersih, demi kenyamanan, keamanan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Terinspirasi dari pernyataan Presiden di hadapan ketiga Calon Presiden tentang kampanye politik yang tidak lagi menggunakan cara-cara ujaran kebencian, hoaks, dan tindakan melanggar kesusilaan alias politik sontoloyo, hal serupa terjadi pula di bidang hukum dan penegakan hukum.
Proses perancangan undang-undang, pembahasan rancangan UU di DPR RI bersama pemerintah, hingga penetapan dan pengesahan rancangan UU oleh DPR RI disaksikan pemerintah, serta penegakan hukum mulai penyelidikan hingga persidangan di pengadilan, sering kali menunjukkan kesontoloyoan yang tidak kalah parah dari bidang politik.
Contohnya, UU BPK yang menyatakan bahwa jika pimpinan BPK tersandung kasus pidana, maka pemeriksaan harus seizin presiden. Ini jelas melanggar Konstitusi UUD 45 Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.
Dalam penegakan hukum, kita juga menyaksikan berbagai bentuk kesontoloyoan. Kasus Sengkon dan Karta, misalnya, yang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman karena pembunuhan, tetapi kemudian terbukti bukan pelaku dan akhirnya dibebaskan setelah bertahun-tahun dipenjara. Lalu ada hukuman percobaan untuk Misnah yang mencuri lima buah kakao karena kelaparan, tertahannya pemeriksaan kejaksaan agung terhadap seorang pimpinan BPK karena terlibat korupsi kasus BTS Kemeninfo, serta tersendat-sendatnya kejaksaan agung dalam mengusut aliran dana BTS ke perusahaan yang dikuasai “orang kuat”. Selain itu, ada pula pemerasan penyidik terhadap tersangka untuk keuntungan finansial dan kasus suap yang melibatkan oknum polisi, jaksa, dan hakim sebagai contoh penegakan hukum yang sontoloyo.
Tentu, pernyataan Presiden tidak hanya ditujukan pada satu atau dua parpol saja, melainkan pada parpol yang memenangi pemilu 2024, terutama pemimpin yang diberi amanah oleh 270 juta rakyat, khususnya dalam bidang pembangunan hukum dan penegakan hukum.
Selama 76 tahun kemerdekaan, kita menyaksikan kerusakan moral dalam penyelenggaraan negara baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif oleh oknum-oknum penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, dalam perencanaan RAPBN, sejak pembahasan di Bappenas telah terjadi “sistem ijon” rencana kegiatan proyek-proyek di K/L tertentu yang mempunyai anggaran fantastis. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa bantuan atau backing dari oknum PPK dan pimpinan di K/L tersebut. Pola sistem ijon ini berlanjut dalam pembahasan RAPBN/RAPBD bersama anggota DPR/DPRD.
Merujuk kondisi pembusukan RAPBN/RAPBD tersebut, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa setiap tahun terjadi kebocoran pelaksanaan APBN/APBD sebesar 35% dari total yang telah disetujui DPR/DPRD. Implikasi sosial-ekonomi dari proses pembusukan ini adalah kerugian keuangan negara yang fantastis dan kerugian perekonomian nasional yang masif dan tidak terelakkan.
Kondisi pembusukan ini tidak dapat dihentikan meskipun pemerintah telah membentuk KPK yang memiliki wewenang luar biasa dengan langkah-langkah hukum luar biasa pula, seperti penyadapan tanpa izin ketua PN atau Dewas KPK serta wewenang koordinasi dan supervisi atas kinerja kepolisian dan kejaksaan, disertai kewenangan mengambil alih kasus korupsi dari kedua instansi tersebut jika salah satu dari 12 syarat pengambil-alihan (take-over) dipenuhi.
Hal ini disebabkan oleh kekeliruan cara pandang para ahli hukum dan sosiologi yang menganggap bahwa korupsi hanya dapat diberantas dengan penegakan hukum, terutama pemenjaraan. Semakin banyak koruptor dihukum, diharapkan semakin jera orang untuk korupsi. Namun kenyataannya, banyak koruptor di penjara justru mendapat fasilitas istimewa, terutama yang berasal dari tingkat sosial ekonomi tinggi. Fasilitas istimewa berdasarkan UU Pemasyarakatan ini “memanjakan” narapidana korupsi, sehingga efek jera semakin memudar.
Berdasarkan kenyataan di atas, terbukti bahwa kekonyolan dan kesontoloyoan dalam hukum dan penegakan hukum telah terjadi dari hulu ke hilir, dan setiap tahun anggaran baru hal tersebut terus berlanjut tanpa ada yang dapat menghentikannya. Ini terjadi karena praanggapan di lingkungan birokrasi tiap K/L bahwa yang penting anggaran negara habis tersedot dan digunakan daripada menyisakan anggaran setiap akhir tahun, karena terlanjur dijadikan tolok ukur kinerja penyelenggaraan negara. Dalam kondisi serba kesontoloyoan ini, merebaklah sistem percaloan/mafia peradilan dan sistem ijon proyek-proyek di beberapa K/L.
Jika elit pimpinan politik mau merenungkan bahwa politik bukan hanya untuk meraih kekuasaan tetapi juga mengandung beban moral dan sosial terhadap bangsa dan negaranya, serta memahami fungsi dan peranan hukum sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan yang dimilikinya, termasuk masa jabatan presiden dan wakil presiden, maka harapan terciptanya elit pimpinan/kekuasaan yang bermartabat dan dihormati akan dapat kita raih. Hukum pun akan difungsikan pada tempat yang selayaknya, di mana setiap orang di NKRI ini akan merasa nyaman, aman, dan damai. (TI/red)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK