Korupsi dan Kecemasan Rezim

 
0
373
Korupsi dan Kecemasan Rezim
Bambang Soesatyo | TokohIndonesia.com | DokPri

[OPINI] – Oleh Bambang Soesatyo, SE, MBA | Sekarang hingga 2014, pemerintah dan penegak hukum bisa saja mempetieskan dua skandal keuangan Bank Century dan mafia pajak. Tetapi, di kemudian hari, ketika rezim sudah berganti, bukan tidak mungkin semua noda itu akan dibuka lagi untuk menemukan kebenaran.

RUU Tipikor memang sudah ditarik, tetapi penarikan itu tidak menghilangkan kesan awal tentang niat pemerintah kompromistis terhadap koruptor. RUU itu pun layak dilihat sebagai produk dari oknum penguasa korup yang mulai diselimuti rasa takut. Agar tidak kecolongan, seluruh komponen masyarakat harus mengawasi dan mengkritisi revisi UU Tipikor itu. Memperbandingkan antara semangat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerangi korupsi dan isi atau muatan RUU (Rancangan Undang-Undang) Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang diajukan pemerintah, sangat bertolak belakang. Tidak hanya itu, RUU dimaksud pun jelas-jelas bertentangan dengan aspirasi rakyat.

Apakah pemerintah sekarang ini memenuhi syarat untuk menyandang status good governance? Atau sebaliknya, lebih patut disebut bad governance? Selama skandal Bank Century tidak dituntaskan melalui proses hukum yang kredibel dan independen, dan selama pemerintah tidak bersungguh-sungguh memerangi mafia pajak, penyematan status bad governance tak bisa dihindari. Dua kasus itu memperlihatkan kejahatan korupsi yang luar biasa terhadap negara dan rakyat.

Ekstremnya, para perancang RUU itu sama sekali tidak menghiraukan suara rakyat yang sudah puluhan tahun memendam kemarahan terhadap perilaku korup oknum birokrat negara.Perancang RUU itu berasumsi, kalau presiden setuju, DPR pasti tidak bisa menghalangi mengingat mayoritas suara dikuasai oleh koalisi partai pendukung pemerintah. Kita tentu masih ingat,bagaimana kuatnya penolakan beberapa anggota partai koalisi pemerintah yang dimotori Partai Demokrat, menolak mati-matian usulan penggunaan hak angket untuk membongkar jaringan mafia pajak yang melibatkan penyelenggara negara.

Kalau RUU dimaksud diterima begitu saja, dia bukanlah sebuah mesin perang yang bisa diandalkan untuk memberangus korupsi, melainkan sebuah bungker atau sistem perlindungan yang akan menyuburkan korupsi di negara ini. RUU Tipikor itu memang sudah ditarik kembali oleh Kementerian Hukum dan HAM dari Sekretariat Negara, dan akan diperbaiki kembali. Tetapi, publik akan ingat bahwa RUU itu mencerminkan niat pemerintah untuk kompromistis terhadap koruptor. Penghilangan pasal tentang hukuman mati atau pasal tentang ancaman hukuman minimal terhadap individu yang terbukti melakukan korupsi menunjukkan betapa tolerannya rezim sekarang ini terhadap koruptor.Kesan ini tak bisa ditutup-tutupi lagi.

Kalau dikaitkan dengan posisi pemerintah menyikapi skandal Bank Century, plus kemenangan kekuatan politik pendukung pemerintah menggugurkan usul DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki mafia pajak, RUU Tipikor yang konyol itu justru mempertegas sikap pemerintah yang kompromistis terhadap koruptor. Nyaris tidak ada dorongan kuat dari pemerintah agar penegak hukum sungguh-sungguh memproses hukum skandal Bank Century. Juga sangat ironis, karena pemerintah justru mengerahkan semua kekuatan politiknya di Parlemen untuk menggugurkan usul penggunaan hak angket DPR atas kasus mafia pajak.

Dengan demikian, RUU Tipikor yang kontroversial itu bisa dilihat sebagai cerminan sikap dan posisi pemerintah terhadap koruptor, yakni tidak tegas, tidak lugas,penuh toleransi,dan sangat kompromistis.RUU Tipikor yang sarat kelemahan itu pun tak jelas arahnya.RUU itu lebih memperlihatkan niat untuk bergerak mundur dari medan perang melawan para koruptor. Bagaimana mungkin bisa memenangi perang melawan korupsi jika RUU itu malah mempersulit alat-alat negara menjerat koruptor.

Kecemasan Rezim

Rincian tentang kelemahan RUU Tipikor itu sudah dibahas berbagai kalangan sepanjang pekan terakhir Maret 2011. Secara keseluruhan, dicatat ada sembilan aturan yang hilang atau dilemahkan di RUU Tipikor, dibanding UU 31/1999 dan 20/2001. Materi yang paling banyak disorot adalah hilangnya ancaman hukuman mati.Padahal ancaman ini sudah diatur sebelumnya dalam Pasal 2 ayat 2 UU No 31/1999. Tak kurang dari PBNU menyuarakan kekecewaan mereka. PBNU sudah bersikap tegas bahwa koruptor harus diganjar dengan hukuman seberat-beratnya. Karena itu, bagi PBNU, ancaman hukuman mati harus ada dalam UU Tipikor.

Pendirian PBNU itu setidaknya patut diyakini sebagai mencerminkan sikap mayoritas rakyat Indonesia, khususnya mereka di akar rumput yang sudah puluhan tahun dizalimi oleh kegagalan negara memberangus para koruptor. UU Tipikor lahir dari pengalaman panjang kerugian dan penderitaan rakyat Indonesia akibat pencurian uang negara oleh para koruptor. Pinjaman luar negeri dimanipulasi. Spesifikasi atau kualitas proyek diturunkan. Rakyat pun harus membayar aneka pungutan liar kepada oknum birokrat negara/ daerah.Itusemuaadalahkerugian negara,kerugian rakyat, yang bisa dikonversi menjadi kerugian keuangan negara/rakyat.

Logika apa yang dijadikan dasar sehingga pera perumus RUU Tipikor itu merasa UU Tipikor tidak perlu mengatur soal penyelamatan kerugian negara. Kalau pasal tentang hal ini diloloskan, negara tidak diberi hak untuk menyita harta curian koruptor. Dengan begitu,setelah menjalani hukumannya yang relatif ringan, terpidana korupsi dan keturunannya boleh menikmati hasil jarahan itu. Akhirnya, patut untuk dibuat kesimpulan bahwa RUU Tipikor itu lebih memperlihatkan rasa takut sekelompok orang yang saat ini berkuasa. Mereka sejak sekarang mulai coba merancang perlindungan. Sudah pasti RUU itu lebih menyerap aspirasi para koruptor, bukan aspirasi rakyat.

Untuk menghindari hukuman yang berat di kemudian hari, mereka menggagas revisi UU Tipikor.Revisi itu lalu melahirkan rancangan RUU Tipikor dengan ancaman hukuman seringan mungkin dan tidak mematikan. Juga UU Tipikor yang tidak akan membuat mereka kembali menjadi orang miskin. Mereka menutup peluang negara untuk menyita harta kekayaan mereka. Mereka rupanya sudah berasumsi bahwa pada saatnya nanti mereka akan menjadi warga negara biasa yang tidak lagi punya kekuasaan. Ketika penegak hukum negara memburu dan menjerat mereka dengan sangkaan korupsi,UU Tipikor rancangan merekalah yang akan mengatur ancaman hukuman terhadap mereka.

Advertisement

Menjalani hukuman ringan, dan sesudahnya boleh melakoni hidup mewah karena uang jarahan itu tetap aman. Apakah pemerintah sekarang ini memenuhi syarat untuk menyandang status good governance? Atau sebaliknya, lebih patut disebut bad governance? Selama skandal Bank Century tidak dituntaskan melalui proses hukum yang kredibel dan independen, dan selama pemerintah tidak bersungguh-sungguh memerangi mafia pajak, penyematan status bad governance tak bisa dihindari. Dua kasus itu memperlihatkan kejahatan korupsi yang luar biasa terhadap negara dan rakyat.

Sekarang hingga 2014, pemerintah dan penegak hukum bisa saja mempetieskan dua skandal keuangan itu. Tetapi,di kemudian hari, ketika rezim sudah berganti, bukan tidak mungkin semua noda itu akan dibuka lagi untuk menemukan kebenaran. Opini TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Penulis Bambang Soesatyo, SE, MBA, Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar. Pernah juga diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, 7 April 2011 di bawah judul Korupsi dan Rezim yang Kompromistis.

Tokoh Terkait: Bambang Soesatyo, Susilo Bambang Yudhoyono, | Kategori: Opini | Tags: golkar, Wartawan, Pengusaha, Korupsi, DPR, HMI, politik, KNPI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini