
[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Muladi, SH | Secara sinis atau olok-olok sering dikatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana—dan peraturan hukum pidana lainnya —sebenarnya merupakan “Magna Carta” yang memberikan pedoman bagi pelaku tindak pidana untuk dapat meloloskan diri dari proses peradilan pidana.
“Magna Carta” merupakan piagam agung tentang kebebasan di Inggris, yang dideklarasikan pada 1215. Ia mengharuskan raja Inggris saat itu, King John (1199-1216), memproklamasikan kebebasan-kebebasan tertentu dan menerima tuntutan agar tak bertindak sewenang-wenang. Tak seorang pun yang berstatus bebas (freeman ) yang bukan budak (non- serf ) dapat dipidana, kecuali atas dasar hukum negara.
“Magna Carta”—keberadaannya dipaksakan oleh para baron atau kaum feodal untuk melindungi hak-hak istimewa mereka— sering dikatakan sebagai cikal bakal instrumen konstitusional hak asasi manusia (HAM) sepanjang zaman dan merupakan landasan kebebasan individu terhadap kemungkinan kesewenang- wenangan penguasa.
KUHP dan perundang-undangan pidana lain pada intinya mengatur syarat-syarat pemidanaan, yang mengharuskan dipenuhinya asas legalitas.
Dengan demikian, aparat penegak hukum—atas dasar perundang-undangan pidana yang berlaku—harus secara profesional dan antisipatif peka sehingga dapat mendeteksi langkah-langkah yang akan dilakukan oleh para pelaku tindak pidana. Dengan demikian, upaya pemanfaatan secara negatif celah-celah hukum dapat dihadapi atau dicegah secara dini.
Pelaku tindak pidana, apalagi yang sudah berpengalaman dan didukung pengacara profesional, pasti berusaha mengkaji celah- celah dan kelemahan syarat- syarat pemidanaan tersebut agar berhasil meloloskan diri dari jangkauan penegakan hukum pidana yang berlakunya didasarkan pada asas legalitas. Bahwa, tiada suatu perbuatan boleh dipidana, kecuali atas dasar perundang-undangan hukum pidana yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan tersebut (asas nullum delictum, noela poena sine praevia lege poenali).
Belum lagi lingkungan keteraturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang secara ketat mengatur prosedur penegakan hukum pidana materiil. Ini dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak negara untuk menghukum dan usaha melindungi HAM si pelaku atas dasar asas praduga tidak bersalah.
Salah satu hal yang sering terjadi adalah kabur atau bersembunyinya orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana, seperti para tersangka koruptor dan penjahat lain, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Sampai-sampai penegak hukum harus memasukkan yang bersangkutan ke daftar pencarian orang atau menerbitkan perintah cegah dan tangkal hingga mengirimkan red notice kepada International Criminal Police Organization (Interpol).
Masa Kedaluwarsa
Para pelaku tindak pidana tersebut pasti sangat paham bahwa dalam hukum pidana terdapat ketentuan tentang kedaluwarsa; tentang hapusnya kewenangan untuk menuntut dan hapusnya kewenangan untuk menjalankan pidana. Sebagai contoh, bagi kejahatan yang diancam pidana denda dan kurungan atau penjara yang tidak lebih dari tiga tahun, masa kedaluwarsa untuk menuntut adalah sesudah lewat enam tahun mulai keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan. Bagi kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari tiga tahun setelah lewat 12 tahun. Sementara semua kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup akan kedaluwarsa setelah lewat 18 tahun.
Hak menjalankan pidana bagi terpidana yang berhasil kabur juga akan gugur sesudah sepertiganya lebih lama dari waktu gugurnya hak untuk menuntut. Hak menjalankan pidana mati tidak dapat kedaluwarsa. Waktu kedaluwarsa dihitung keesokan hari sesudah keputusan hakim telah memiliki kekuatan tetap.
Alasan adanya ketentuan kedaluwarsa ini adalah adanya kenyataan bahwa perputaran waktu yang relatif lama dianggap telah meniadakan cedera akibat tindak pidana terhadap tertib hukum. Selain itu mengaburkan tujuan pemidanaan, seperti pembalasan atau tujuan lain seperti pemasyarakatan dan pencegahan yang bersifat umum.
Kesulitan pembuktian setelah lampau waktu merupakan alasan lain. Selanjutnya, kepastian untuk menutup perkara agar tidak berlarut-larut juga diperlukan.
Pihak yang berpandangan ekstrem menganggapnya sebagai bonus atas ketidakmampuan penegak hukum untuk menangkapnya. Sebagian kesalahan itu seolah- olah juga harus dibagi dan dibebankan sebagian kepada aparat penegak hukum.
Perlu dicatat, mengingat beratnya kualitas tindak pidana, hukum pidana internasional atas dasar Statuta Roma 1998 mengatur bahwa bagi tindak pidana pelanggaran HAM yang berat— seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta kejahatan perang dan agresi—tidak berlaku ketentuan tentang kedaluwarsa. Demikian pula Konvensi PBB untuk Memerangi Korupsi (UNCAC, 2003) menganjurkan negara-negara menentukan jangka waktu kedaluwarsa bagi tindak pidana korupsi lebih lama daripada kejahatan biasa.
Dengan demikian, aparat penegak hukum—atas dasar perundang-undangan pidana yang berlaku—harus secara profesional dan antisipatif peka sehingga dapat mendeteksi langkah-langkah yang akan dilakukan oleh para pelaku tindak pidana. Dengan demikian, upaya pemanfaatan secara negatif celah-celah hukum dapat dihadapi atau dicegah secara dini.
Penulis Prof. Dr. Muladi, SH, Guru Besar Undip, mantan menteri Kehakiman (1998-1999) dan Gubernur Lemhannas (2005-2011). Pernah juga diterbitkan di Harian Kompas, Kamis, 28 Juli 2011. Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA