
[OPINI] – Oleh Ch. Robin Simanullang SIB 25-09-1990: Konglomerasi (konglomerat) merupakan fenomena baru dalam kekuatan perekonomian kita yang implikasinya belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat luas. Sehingga wajar bila muncul sikap psikologis tertentu atas kehadiran konglomerat itu. Apa lagi bila masyarakat lebih merasakan adanya dampak negatif perilaku konglomerat tersebut.
Perbincangan mengenai konglomerat, sejak kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah, amatlah hangat. Ada suara pro dan kontra. Suara yang pro lebih melihat dampak positif kehadiran konglomerat tersebut. Suara yang kontra merasa waswas atas segi-segi negatif konglomerasi tersebut.
Suara yang pro memandang kehadiran konglomerat dapat lebih meningkatkan ekspor, mempercepat industrialisasi, memperluas lapangan dan kesempatan kerja, serta memperkuat daya saing dalam menghadapi globalisasi ekonomi dunia dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
Ditulis di Medan, Senin malam 24 September 1990 dan diterbitkan sebagai Tajuk Rencana Harian Sinar Indonesia Baru, Medan, Selasa 25 September 1990.
Sementara, suara yang kontra melihat konglomerat (yang merupakan suatu bentuk usaha raksasa yang ruang lingkupnya terdiversifikasi dalam sentralisasi pengambilan keputusan) telah membangkitkan rasa waswas atas segi-segi negatif kehadirannya. Sebab, oleh kekuatan ekonomi konglomerat, yang raksasa itu, apa yang dilakukannya akan terasa bagi masyarakat luas, yang pada gilirannya dikuatirkan dapat menyinggung rasa keadilan sosial.
Bila kita mendalami dua sikap – pro dan kontra – tersebut, barangkali baiklah kita lebih mengarahkan pandangan ke arah perilaku (sepak terjang) konglomerat itu, selain mengamati keberadaannya dalam kancah perekonomian nasional. Menurut hemat kami, perilaku konglomerat itulah inti dan kunci persoalan. Bagaimana mereka berperilaku dengan keraksasaan, keanekaragaman usaha dan sentralisasi keputusan dalam (sesuai dengan) sistem perekonomian Demokrasi Ekonomi (kerakyatan, kekeluargaan, UUD 1945)?
Dalam situasi belum adanya perundangan yang mengatur keberadaan dan perilaku konglomerat, tidak mustahil bila ada konglomerat yang berperilaku seperti melakoni sistem free fight liberalism, tidak menghindari etatisme, monopoli, oligopoli dan oligopsoni. Perilaku di mana yang besar mencaplok yang kecil, yang kuat menggilas yang lemah. Sehingga menghambat perkembangan perusahaan kecil dan menengah, serta menutup kemungkinan tumbuhnya usaha kecil dan menengah baru.
Lebih berbahaya lagi, apabila terjadi kongkalikong antarkonglomerat dalam semacam kartel dan reciprocity. Misalnya, kongkalikong untuk saling membeli jasa dan produk masing-masing tanpa memedulikan situasi pasar untuk membatasi atau meniadakan akses pasar bagi para pesaing.
Adalah kurang bijak bilamana kita dengan gampang mengeneralisasi semua konglomerat berperilaku seperti itu. Namun kita tidak buta terhadap kenyataan dan kecenderungan yang ada. Maka kekuatiran pun tidak mudah dikesampingkan, tanpa menutup mata atas adanya dampak positifnya pula.
Pakar ekonomi terkemuka Indonesia yang suaranya tidak hanya didengar di dalam negeri melainkan juga di mancanegara, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, telah beberapa kali mengutarakan kekuatiran itu. Dalam pidato ilmiahnya pada Dies Natalis ke-40 Universitas Indonesia di kampus Salemba, Jakarta, Sabtu 22/9/1990, beliau mengatakan kini sudah sangat mendesak kebutuhan akan perangkat perundang-undangan beserta badan-badan pelaksananya yang mengawasi tindak-tanduk konglomerat dan kartel perusahaan besar. Sebab secara de fakto mereka cenderung menjurus pada oligopoli dan oligopsoni dengan melanggar etika bisnis dan lain-lain yang dianggap tidak wajar.
Selain menuntun tumbuhnya kesdaran etis dan tanggung jawab sosial konglomerat, perangkat perundang-undangan dan badan pengawas konglomerat sudah amat mendesak untuk membatasi keleluasaan gerak konglomerat yang cenderung semakin jauh dari ciri-ciri demokrasi ekonomi.
Konglomerat yang menguasai berbagai cabang produksi strategis dapat mengancam perekonomian nasional bila mereka lebih condong berperilaku segi-segi negatif seperti diuraikan di atas. Konglomerat yang tidak berperilaku etis dan tidak merasa punya tanggung jawab sosial, kadar kesadaran nasional rendah, berpeluang besar melakukan berbagai manipulasi. Sentralisasi keputusan dari sekian banyak perusahaan yang dibawahinya boleh mungkin diatur, antara lain, yang seharusnya untung disebut rugi untuk menghindari pajak. Sebaliknya, bila perlu sebuah anak perusahaan yang rugi pun boleh mungkin disulap jadi untung bila untuk kepentingan go public, misalnya.
Itu sekadar gambaran, betapa perilaku konglomerat itu berdampak luas ke berbagai sektor kegiatan yang dapat merugikan negara dan menyesatkan masyarakat. Apalagi bila konglomerat itu punya anak perusahaan di luar negeri yang memudahkannya mengatur arus dana ke luar negeri. Belum lagi bilamana para konglomerat itu berkolusi dengan penguasa.
Namun, kita tetap berpengharapan bahwa para konglomerat itu suatu saat akan tiba pada kesadaran yang tinggi untuk berperilaku sesuai dengan etika dan sistem perekonomian kerakyatan (kekeluargaan) yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Begitu pula para penentu kebijakan (penguasa).
Ditulis di Medan, Senin malam 24 September 1990 dan diterbitkan sebagai Tajuk Rencana Harian Sinar Indonesia Baru, Medan, Selasa 25 September 1990. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Arsip TokohIndonesia.com
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA