Opini Lainnya
Tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah, yang semakin marak terjadi terutama di tahun politik, diatur dalam KUHP dan UU ITE dengan ancaman pidana yang berat. Meski kebebasan berpendapat dijamin, tanggung jawab dalam penyampaiannya tetap krusial untuk menghindari jerat hukum. Upaya mediasi dan pembinaan masyarakat diharapkan dapat meredam konflik dan memperkuat solidaritas sosial, menjadikan kita lebih waspada dan bijak dalam berinteraksi di era digital ini.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Perbuatan mencemarkan nama baik seseorang sering kali berubah menjadi tindakan fitnah, yang keduanya diancam pidana baik di dalam KUHP maupun UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016. Sejak era reformasi, tindakan pencemaran nama baik atau fitnah kerap terjadi dengan tujuan menjatuhkan atau merusak harkat dan martabat seseorang, sering kali ditujukan kepada pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Perbuatan ini umumnya meningkat sebelum, selama, dan setelah tahun-tahun politik seperti pilkada, pilpres, atau pemilu. Di satu sisi, pelarangan perbuatan pencemaran nama baik atau fitnah bertujuan meningkatkan moralitas selain sebagai bentuk penjeraan, sehingga diharapkan dapat menciptakan situasi masyarakat yang aman, damai, dan tenteram. Tidak jarang, tindakan pencemaran nama baik atau fitnah dilakukan dengan sengaja demi imbalan sejumlah uang sebagai pembayaran jasa.
Selain itu, pelaku sering kali bertindak secara berkelompok dengan motif ancaman pemerasan untuk memperoleh keuntungan finansial. Perbuatan memberikan kritik sosial tidak dilarang dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; bahkan di dalam UU a quo juga diberikan hak dan kewajiban kepada LSM dan ormas tertentu untuk memperhatikan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban di samping hak-hak yang diberikan oleh undang-undang.
Masalah krusial yang timbul dari dua jenis perbuatan ini adalah keseimbangan antara hak dan kebebasan yang bertanggung jawab di satu sisi, dan hak berdemokrasi untuk menyampaikan aspirasi kepada negara di sisi lain. Baik KUHP maupun UU ITE belum sepenuhnya mempertimbangkan perbedaan dan keseimbangan antara kebebasan berserikat dan berkumpul. Fakta yang tampak dari kasus pencemaran nama baik dan fitnah adalah bahwa penghukuman terhadap pelaku sering kali dibalut dengan hak dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
Namun demikian, pembuat UU ITE dan KUHP mengakui adanya hak dan kebebasan berpendapat di muka umum, namun juga menekankan pentingnya kebebasan yang bertanggung jawab untuk mencegah penyampaian aspirasi yang berubah menjadi pencemaran nama baik atau fitnah yang jelas dilarang dan diancam hukuman berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Di dalam Bab XVI tentang Penghinaan, Pasal 310 KUHP menyatakan:
- Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena PENCEMARAN dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Jika terdakwa tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, tindakan pencemaran nama baik dapat berubah menjadi fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 311 (1) KUHP, yang menyatakan bahwa jika terdakwa dibolehkan membuktikan tuduhannya tetapi gagal, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan apa yang diketahuinya, maka ia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.
Ancaman hukuman terhadap perbuatan pencemaran dalam UU ITE lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), yaitu: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ancaman pidana terhadap perbuatan pencemaran diatur dalam Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Perbedaan utama antara ketentuan KUHP dan UU ITE adalah bahwa dalam UU ITE, tindakan pencemaran dilakukan melalui transaksi elektronik, sedangkan di KUHP hanya mencakup tindakan pencemaran secara langsung terhadap korban yang dilakukan secara tertulis dan disebarluaskan agar diketahui umum.
Karena 99% tindakan pencemaran nama baik atau fitnah umumnya dilakukan dengan bantuan teknologi informasi, dapat dipastikan tindak pidana ini termasuk dalam kewenangan UU ITE dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda satu miliar rupiah.
Untuk menghadapi maraknya tindakan pencemaran nama baik atau fitnah, diperlukan peran pemuka agama dalam membina masyarakat di tingkat RW dan wilayah kecamatan guna membangun kesetiakawanan sosial antar warga. Selain itu, dalam proses pemeriksaan perkara pencemaran nama baik atau fitnah, diupayakan adanya perdamaian antara pelaku dan korban dengan bantuan aparat penegak hukum sebagai mediator, sehingga dapat dihindari perasaan dendam yang berkepanjangan melalui musyawarah dan mufakat. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK