
[WAWANCARA] – WAWANCARA SUTIYOSO: Seperti apa pembangunan kota metropolitan Jakarta dalam visi Gubernur Sutiyoso yang akrab dipanggil Bang Yos. Benarkah jenderal bintang tiga ini kurang berpihak kepada wong cilik? Lalu, mengapa dia tega melakukan penggusuran? Serta, mengapa dia bersikukuh mengubah badan hukum Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) menjadi perseroan? Bagaimana keberpihakannya kepada usaha kecil dan menengah? Lalu, kenapa dia mengizinkan hypermarket bertumbuh? Selain itu, sesungguhnya bagaimana kerlibatannya dalam Peristiwa 27 Juli 1996?
Bang Yos menjawab sejumlah pertanyaan itu, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, dengan lugas dan tangkas. Uraiannya mengalir laksana air menelusuri alur sungai tanpa tersendat. Semua dijawab dengan lugas dan tak terkesan formal. Saat wawancara dengan wartawan Tokoh Indonesia dia didampingi lima stafnya yakni Kepala Biro Humas dan Protokol Catur Laswanto, Kepala Dinas Perhubungan Rustam Effendi, Kepala Dinas PU Fadly Misbach, Kepala Dinas Trantib & Linmas Soebagio dan Kepala Dinas Kesehatan Abdul Chalik Masulili.
Percakapan berlangsung bersahaja seperti antarsahabat, antara ayah dengan anak, jauh dari kesan formalitas. Tidak ada kesan membantah atau membela diri, melainkan memberi penjelasan apa adanya.
Percakapan dengan tiga wartawan TokohIndonesia.com Ch Robin Simanullang dan H Syahbuddin Hamzah, itu berlangsung di ruang tamu Gubernur di Balaikota Jakarta, Kamis 24 Maret 2005. Wawancara yang lebih pas disebut sebagai percakapan itu tak terasa melebihi waktu yang dijadwalkan, dua jam. Padahal, sebagai gubernur, tentulah dia mempunyai jadwal yang padat.
Jika dipilah, ada dua bagian penting dari materi wawancara itu. Pertama mengenai kisah hidup Bang Yos semenjak kecil hingga menjadi jenderal dan gubernur. Kedua, mengenai kinerja dan obsesinya selaku Gubernur DKI Jakarta. Beberapa bagian dari hasil wawancara itu, kami tulis dalam artikel tersendiri. Kami juga menulis narasi tentang apa dan siapa Bang Yos dalam sudut pandang Tokoh Indonesia. Dia kami apresiasi sebagai sosok pemimpin bermental platinum.
Kemudian dalam bahagian artikel wawancara ini, sebagian kami sajikan ulang untuk lebih memaknai kebersahajaan dan kelugasan jawaban-jawabannya. Itu pun tidak semua bisa tersaji dalam Majalah Tokoh Indonesia ini. Namun dalam versi Web Site Tokoh Indonesia, kami menyajikannya lebih lengkap. Berikut ini adalah petikan wawancara kami dengan Bang Yos.
TokohIndonesia.com (TI): Apa saja pengalaman menarik yang bisa Anda petik sewaktu bertempur di Timtim atau di medan perang lain?
Sutiyoso – Bang Yos (BY): Dalam pertempuran di berbagai tempat, mendidik kita untuk berani melakukan suatu tindakan yang berisiko tinggi, asal itu untuk kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan negara. Nah, keberanian mengambil risiko, itu salah satu pengalaman yang menarik. Kita sebagai pemimpin jangan hanya safety player. Jangan sampai seperti itu. Melainkan setiap masalah harus diselesaikan apapun risikonya.
Tetapi jangan sampai membuat kebijakan yang ngawur. Dan untuk tidak ngawur, kita jangan merasa pintar sendiri. Meski jenderal, jangan merasa ahli di segala bidang. Jenderal, ya ahli pertempuran, bukan ahli membangun. Maka kita pandai-pandai menggunakan orang pintar.
TI: Ketika Anda menjadi Pangdam Jaya, terjadi sebuah peristiwa di Jakarta. Publik juga ingin tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya, dan cara Anda mengatasi masalah 27 Juli 1996 itu?
Situasi politik di negeri ini terutama Ibukota begitu panas kala itu. Namun perlu dipahami, bahwa bukan level Panglima Kodam bersentuhan dengan politik. Urusan politik ukuran tentara adalah Kepala Staf Angkatan dan Pangab. Kita tidak akan pernah diajak bicara soal politik.
Jadi saya tegaskan, yang namanya Sutiyoso pun nggak ada interes politik pada waktu itu. Tetapi interes saya adalah bagaimana mengamankan Ibukota.
Biang keladi peristiwa itu sebenarnya adalah Kongres PDI di Medan. Pemaksaan untuk merontokkan Megawati digantikan pemimpin PDI yang berkiblat kepada yang bisa di-handle oleh pemerintah. Nah itu biang keladinya. Setelah Pak Soerjadi diakui pemerintah resmi sebagai Ketua Umum PDI, maka beliau dan kelompoknya merasa berhak menempati kantor PDI di Jalan Diponegoro. Tapi de facto kantor itu dipakai oleh kelompoknya Bu Mega, itu masalahnya. Wajar saja dalam konteks ini, Pak Soerjadi dan kelompoknya ingin menggunakan kantor itu. Itulah yang terjadi, perebutan dan mempertahankan kantor itu.
Nah, kita kan di tengah-tengah. Urusan saya adalah urusan keamanan Jakarta, bukan cuma titik itu saja. Terjadi perebutan kantor itu, lalu kita mengamankan tempat itu. Kalau melihat tentara Kodam dan polisi ada di situ, itu memang tanggungjawabnya. Jadi kalau saya ada laporan, pagi-pagi ada ribut di sana, saya harus datang.
Bukan peristiwa itu saja, waktu peristiwa Golkar dengan PPP di Jatinegara yang diisukan ada masjid dibakar, karena saya sholat di situ, ya saya berada di situ. Jangan diartikan terus saya ada rekayasa di situ. Maka itu, saya yakinkan Anda: Apa interes saya? Nggak ada kepentingan politik saya, tetapi kepentingan keamanan yang menjadi tanggungjawab saya. ?crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 20)
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Prosesnya Menjadi Gubernur
TI: Bagaimana prosesnya Anda menjadi Gubernur periode pertama?
Intinya, saya tidak pernah terbayang dan tidak pernah bercita-cita ingin menjadi Gubernur. Tapi saya prajurit. Di mana jaman itu, jabatan mana saja sebenarnya main tunjuk saja, main perintah dan saya harus menerima. Jadi saya dicalonkan, ya saya ikut saja.
Namun demikian, ngomong jujur saja, tadinya saya tidak suka jabatan gubernur itu. Semata-mata karena merasa bukan habitat saya. Bukan meremehkan jabatan Gubernur, bukan. Tetapi setelah saya jadi Gubernur, itu sebuah kenyataan. Saya tidak akan pernah berhasil kalau tidak fokus di tugas itu, dan tugas itu harus saya cintai walau apa pun alasannya.
TI: Anda termasuk Gubernur DKI yang paling beruntung sebab bekerja untuk lima Presiden. Komentar Anda?
Makanya saya diberikan satu penghargaan oleh MURI sebagai seorang Gubernur yang mengalami lima pemerintahan. Tapi itu semua ada hikmahnya. Ada pelajaran di dalamnya. Apalagi saya menjadi Gubernur dua kali sama sekali tidak pernah saya perkirakan. Bahkan saya sebenarnya sudah siap untuk berhenti waktu itu. Tapi itu kan panggilan tugas.
TI: Bekerja dengan lima Presiden tentu Anda perlu melakukan suatu adjustment?
Ya, itu betul. Kalau presidennya ganti, kabinetnya ganti orang baru lagi, urusan lagi dari awal. Sebagai contoh, rencana saya membangun kereta di bawah tanah tak jadi-jadi karena paling tidak ada lima menteri yang berkompeten dalam masalah ini saya approach satu-satu. Lalu wakil presiden sampai presidennya. Pas sudah mau final, rontok ganti lagi. Orang baru lagi, saya mulai lagi dari awal sampai lima kali nggak jadi-jadi.
TI: Pengalaman yang paling menarik, bekerja dengan Presiden yang mana?
Ya semua mempunyai ciri masing-masing. Pada dasarnya figur pemimpin itu ada kelebihan ada kekurangannya. Saya orangnya positive thinking saja. Saya serap yang positif dan saya nggak akan persoalkan yang negatifnya.
TI: Anda sangat mengandalkan solusi mengatasi kemacetan lalulintas Jakarta dengan Pola Transportasi Makro (PTM) Jakarta. Bagaimana proses munculya ide yang spektakuler itu?
Pada pemerintahan yang saya pimpin pada periode pertama 1997-2002, itu Anda tahu sendiri kondisi Indonesia sulit, terutama Ibukota dengan kerusuhan Mei 1998. Dampaknya luar biasa, terutama terhadap keuangan daerah.
Jadi saya berangkat dengan anggaran keuangan yang sangat minim. Oleh karena itu, target saya adalah survival, tetap eksis mempertahankan Ibukota dengan beban-beban yang ditugaskan sebagai pusat pemerintahan, Ibukota negara, pintu gerbang masuk ke Indonesia, kota pariwisata, kota budaya dan sebagainya. Itu bisa saya jamin.
Nah, sentralnya adalah keamanan dan ketertiban yang harus saya kembalikan. Saya berangkat dari kerusuhan Mei yang begitu hebat membuat traumatis masyarakat. Bayangkan, kerugian kita kalau dirupiahkan secara materi Rp 15 trilyun, yang mati 293 orang, belum lagi peristiwa lain seperti penjarahan dan katanya ada perkosaan segala macam, membuat masyarakat traumatis.
Bagaimana saya mengembalikan rasa aman, itu tidak mudah. Saya harus rangkul aparat keamanan dan TNI/Polri. Beruntung kapasitas saya sebagai mantan Panglima Kodam dengan pangkat Letnan Jenderal menolong saya untuk bisa memobilisasi, bekerjasama dengan aparat TNI/Polri, mengembalikan rasa aman. Walaupun kala itu, hal itu bukan pekerjaan mudah, bahkan sangat sulit. Mengapa sulit? Karena TNI/Polri sendiri lagi dihujat. Jadi mereka merasa mending tiarap saja di barak daripada dihujat dan dicaci-maki. Tapi saya ajak, ayo berbuat sesuatu meski ini memang sulit.
Alhamdulilah, berangsur-angsur keamanan dan ketertiban pulih. Sejalan dengan itu, keuangan Pemprov Jakarta pun menjadi bagus. Dari Rp 1,7 trilyun APBD-nya (tahun pertama 1998), tahun kedua (1999) sudah Rp 3,2 trilyun, tahun ketiga (2000) Rp 4,1 trilyun, tahun keempat (2001) Rp 8,4 trilyun, dan tahun kelima masa jabatan periode pertama (2002) Rp 9,6 trilyun. Lalu, periode kedua pada tahun keenam (2003) anggaran menjadi Rp 11,7 trilyun, tahun ketujuh (2004) Rp 12,6 trilyun, dan tahun kedelapan (2005) kita proyeksikan Rp 14 trilyun. Peningkatan ini dianggap sulapan apa tidak, terserah saja penilai.
Pada periode kedua (2002-2007), saya lalu memilih program-program strategis. Di antaranya, pertama, penanggulangan banjir dengan cara membangun Banjir Kanal Timur (BKT). Kedua transportasi dengan menciptakan Pola Transportasi Makro (PTM).
Ketiga, di bidang lingkungan hidup, saya sudah menandatangani MoU dengan Malaysia. Perut bumi kita ini sudah tercemar habis-habisan berpuluh-puluh tahun harus kita hentikan dengan teknologi yang tepat guna murah-meriah.
Lalu, keempat pembangunan rumah susun massal, contohnya di Cengkareng. Kita tidak akan membiarkan orang hidup di pinggir sungai yang kumuh. Di atasnya jongkok di bawahnya gosok gigi, nyuci beras dan piring. Sehingga anak-anaknya pada kudisan semua.
Lalu saya pindahkan ke tempat yang layak di rumah susun yang massal di Cengkareng. Di situ ada rumah sakit, sekolah, lapangan bola, lapangan basket. Rumah susun massal itu harus kita kembangkan terus untuk merelokasi orang-orang itu supaya mereka mempunyai harapan hidup yang lebih baik ke depan.
Kemudian kelima, Program Langit Biru. Polusi Jakarta sudah begitu parah. Tadi saya baru membuka lokakarya yang diikuti satu survey, berapa sih polusi udara yang dihirup oleh rakyat Jakarta. Survey dilakukan oleh sebuah universitas terkenal di Amerika Serikat. Jadi saya datang ke lokakarya itu karena ini masalah penting bagi kita. Udara buruk Jakarta rankingnya nomor tiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok. Kontribusi yang paling dominan berasal dari kendaraan bermotor. Saya sebagai pimpinan daerah harus ada upaya serius untuk memangkas itu.
Untuk itulah Pola Transportasi Makro diadakan, supaya mobil berkurang dan angkutan umum masal dan tidak berpolusi yang beroperasi. Angkutan umum masal dimaksud, yakni monorail dan subway, kereta api bawah tanah, lalu busway dengan menggunakan gas. Nanti penggunaan gas kita perluas kepada anggkutan umum yang lain, misalnya kendaraan-kendaraan dinas pemerintahan daerah maupun TNI/Polri. Juga akan ada pembatasan mobil sehingga yang jalan sedikit dan ramah lingkungan semua. Ditambah lagi dengan penghijauan untuk menyerap CO2 yang dihembuskan oleh polusi-polusi itu.
Kembali ke Pola Transportasi Makro. Sekali lagi saya katakan, pemimpin itu harus berani mengambil sikap menyelesaikan masalah apa pun risikonya, tapi jangan ngawur.Untuk tidak ngawur berbicaralah dengan orang yang ngerti.
Di dalam mengatasi masalah transportasi saya kumpulkan pakar-pakar transportasi. Hasilnya sangat mengejutkan. Bahwa kendaraan bermotor di Jakarta yang sudah ada 4,5 juta, terdiri kendaraan roda empat 2,5 juta dan kendaraan roda dua sebanyak dua juta. Ada lagi yang mengerikan, tiap hari 600.000 unit kendaraan tetangga masuk ke Jakarta. Mereka rumahnya saja di Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi, tapi dari pagi sampai sore datang ke Jakarta. Ditambah lagi mobil baru setiap hari dibeli. Tahun 2003 rata-rata 138 unit dan tahun 2004 ada 226 unit. Hal ini kalau dibiarkan terus akan sangat mengerikan, bisa terjadi stagnasi.
Karena itu harus dilakukan reformasi terhadap transportasi dengan empat moda: subway dari selatan ke utara, monorail dari timur ke barat, busway 15 koridor, dan angkutan air Kanal Barat dan Kanal Timur. Jadi pembangunan kota Jakarta ke depan muatannya water front city. Rumah, apartemen, dan real estat dihadapkan ke sungai sehingga tidak kotor lagi.
Ke depan, kita membuat program yang menyelesaikan masalah-masalah krusial yang kita hadapi. Tapi perlu waktu, perlu biaya dan masyarakat harus sabar. Tapi paling tidak ke depan ada yang kita harapkan dan harus diteruskan oleh Gubernur pengganti saya. Saya hanya memulainya saja. ?crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 20)
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Berguru ke Bogota
TI: Masih soal transportasi, gagasan itu sedemikian bagusnya memberi harapan masalah krusial ini bisa diselesaikan. Tapi di lapangan terkadang tidak selalu sebaik yang dipikirkan. Busway saja mendapat sorotan yang demikian hebat?
Saya sudah berguru ke Amerika Latin. Di Bogota, saya pernah tanya sama Walikotanya: Apa pengalamannya waktu meluncurkan busway. “Saya mau dilengserkan gara-gara busway ini, tetapi setelah masyarakat tahu kegunaannya sekarang saya didemo setiap hari, mereka minta untuk ditambah koridornya sesegera mungkin.”
Jadi waktu saya dan staf digebukin tentang busway, saya diam saja. Karena saya ngerti bahwa kayak begitu memang pengalamannya. Sekarang orang pakai dasi dan jas naik busway. Ingat, busway koridor Blok M-Kota, baru satu dari 15 koridor yang merupakan subsistem dari Pola Transportasi Makro.
Jadi itu adalah starting point. Belum apa-apa, tapi paling tidak sudah saya mulai. Dan tahun ini akan saya tambah lagi dua koridor dari Harmoni ke Pulo Gadung arah timur dan Harmoni ke Kalideres arah baratnya.
Dan setiap tahun akan kita tambah, sehingga tahun 2007, pada saat saya mengakhiri tugas sebagai gubernur, saya harapkan sudah ada tujuh sampai 10 koridor busway dan monorail sudah bisa jalan.
Lalu jalan-jalan layang pun akan dibangun menuju ke pusat kota dengan fly over. Elevated toll road, jadi di atas jalan ada lagi jalan tol yang menuju ke pusat kota. Saya yakin bisa, karena banyak peminat investasinya. Selain itu, pelabuhan yang modern juga akan kita bangun .
TI: Konkritnya, pada tahun 2007 sudah bagaimana wajah transportasi Kota Jakarta?
Dalam hal monorail ada green line dan blue line. Tahun 2007 green line monorail sudah beroperasi. Green line-nya saya harapkan sudah jadi. Green line itu adalah rute yang sibuk dari Kampung Melayu-Tanah Abang-Mangga Dua sampai Senayan. Jadi itu akan menusuk Timur-Barat. Maksudnya apa? Supaya tetangga kita kalau masuk Jakarta tidak lagi dengan 600.000 unit lagi kendaraan. Mereka lebih baik naik kendaraan umum itu.
Stasiun besar di batas-batas kota akan ada. Akhirnya orang akan meninggalkan kendaraan pribadinya. Nanti kalau Sabtu-Minggu, holiday time, baru dia jalan-jalan menggunakan mobil pribadinya sehingga bisa lebih hemat pengeluaran masyarakat itu.
TI: Pekerjaan Monorail sepertinya juga ada kendala yang Anda hadapi, ya?
Ada, ya biasalah proyek besar kan. Di mana-mana membangun infrastruktur yang melibatkan investor asing selalu meminta jaminan pemerintah daerah mupun pusat di negeri itu. Saya sudah survey di Manila, di Bangkok, selalu ada sharing pemerintah walaupun kecil.
Nah, mereka minta itu, wajar saja. Apalagi setelah ada ledakan di Marriott, ada ledakan di Kedutaan Australia, itu wajar saja. Dan investasi itu tidak harus pemerintah daerah yang membayar. Saya bisa menarik investor dalam negeri untuk berpartisipasi.
Monorail sudah dimulai. Teknologi yang dipakai adalah teknologi Jepang, Hitachi, itu ternyata sangat mahal. Memang, barang baik pasti mahal. Namun, saya mencari, mereview teknologi alternatif di Korea. Saya ke Korea dan Cina. Setelah kunjungan itu saya akan putuskan teknologi yang akan dipakai. Dan saya yakinkan masyarakat Jakarta monorail akhirnya akan jadi.
TI: Dalam penerapan monorail bagaimana ketersambungannya dengan busway?
Semua integrated. Anda dari titik mana ke titik mana selalu akan ketemu kendaraan umum, semua integrated. Seperti di Dukuh Atas, sebuah contoh, di situ akan ada persimpangan lima antarmoda stasiun subway, busway, monorail, angkutan air dan kereta api luar kota. Semua di satu stasiun.
TI: Salah satu masalah krusial lain di Jakarta adalah banjir. Rencana Anda mengatasinya adalah membangun Kanal Timur dan Kanal Barat yang sebenarnya sudah lama direncanakan tapi selalu belum berhasil. Ada nggak terobosan Anda di situ?
Jadi begini. Kita kenali dulu yang menyebabkan Jakarta banjir itu apa. Yang pertama ancaman dari sungai. Ada 13 sungai yang mengancam Jakarta mengalir dari selatan. Karena itu sungai harus dikendalikan. Sebenarnya pengendaliannya tidak cukup di Jakarta dengan kanal tetapi harus dikendalikan dari hulu.
Dengan cara membangun situ-situ raksasa, danau-danau raksasa sebagai kantong-kantong air. Jadi pada saat hujan di mana debit air tinggi, disalurkan ke situ-situ atau waduk. Sehingga air yang masuk ke Jakarta sudah berkurang dan langsung disalurkan lewat kanal. Situ dan waduk itu nanti berfungsi juga untuk olahraga, rekreasi dan irigasi.
Sebenarnya, Kanal Barat sudah disumbang Belanda 30 tahun lalu. Tapi sejak Bang Ali sampai Bang Yos tidak pernah bisa membangun Kanal Timur. Nah, sayalah yang mulai sekarang.
Selain karena melewati lebih dua propinsi yakni Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, juga biayanya besar, seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Jadi harus dibiayai oleh pemerintah pusat. Tapi kalau mengandalkan itu, nggak akan pernah jadi.
Maka waktu pemerintahan Ibu Megawati sudah terjadi konsensus, biaya Rp 5 trilyun itu ditopang oleh pemerintah pusat separuh dan dari Pemprov DKI separuh. Saya bagian membebaskan lahan 27 kilometer lebih untuk pelebaran 100 meter, menghabiskan dana Rp 2,4 trilyun.
Cilakanya, rakyat meminta ganti rugi pembebasan lahan itu kadang-kadang nggak kira-kira. NJOP-nya Rp 300 ribu minta Rp 700 ribu. Mana mungkin kita bayar. Nanti kita disalahkan KPK kalau itu kita turuti.
Ancaman kedua adalah air pasang. Jakarta sangat riskan terhadap air pasang, karena 40 persen wilayah Jakarta secara geografis berada di bawah permukaan air laut. Caranya bagaimana? Kita bendung dengan reklamasi pantai setinggi tiga meter. Sehingga kalau ada air pasang, bisa terbendung.
Masalahnya, untuk membangun kantong-kantong air itu tadi adalah wewenang daerah tetangga kita. Itu sebabnya perlu Jabodetabek Punjur (Jakarta Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi serta Puncak Cianjur) di-manage satu tangan.
Itulah yang kita usulkan di dalam revisi Undang-Undang No 34 Tahun 1999 Tentang Kedudukan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Apakah nanti menteri yang ditunjuk untuk mengkoordinir atau siapa, tetapi harus ada yang ditunjuk. ?crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 20)
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
04 | Banjir Kanal Timur
TI: Kembali ke Banjir Kanal Timur yang ada kendala pembebasan lahannya, tentu Pemprov DKI tidak akan berhenti, walau ada tuntutan warga soal harga yang lebih tinggi?
Iya. Sekarang petunjuk Wapres, kita memperbaiki Keppres. Keppres nanti berbunyi, karena ini kepentingan umum harga NJOP sebagai patokan, tetapi yang akan kita bayar sesuai harga pasar. Harga pasar itu umumnya lebih tinggi tetapi ada ukurannya.
TI: Mengenai penanggulangan banjir termasuk membersihkan sungai supaya bebas dari kotoran, sampah dan limbah rumah tangga, air yang kuning serta berbau, bagaimana caranya?
Pertama, 13 sungai dari Puncak, Cianjur, Bogor dan Depok itu harus di-manage satu tangan. Kalau ke-13 sungai itu dikendalikan dari hulu, tentu akan lebih jernih. Kedua adalah soal kebijakan. Water front city, rumah menghadap ke sungai bukan lagi membelakangi sungai. Dengan demikian, sungai pasti akan bersih.
Selama ini sampah rumah tangga paling banyak, karena orang pada tinggal di tepi sungai. Itu harus kita tertibkan, relokasi tetapi yang manusiawi. Contohnya seperti rumah susun di Cengkareng. Sekarang saya lagi membangun di Kali Adem 600 unit, juga pindahan dari pinggir kali.
TI: Tentang angkutan sungai kapan mulai direalisasikan?
Mudah-mudah dalam waktu dekat sudah bisa dioperasikan. Kalau yang Kanal mungkin nggak ada masalah. Tetapi sungai-sungai yang lain, karena sudah kadung jembatannya rendah, jadi notok kepala orang, harus dibongkar dulu lalu bikin melengkung. Tapi akan kita coba, paling nggak yang lewat Manggarai itu akan kita coba.
TI: Salah satu kebijakan Anda yang juga tergolong kontroversial dalam pandangan publik adalah masalah penggusuran, sampai-sampai Anda disebut tidak berperikemanusiaan dan tidak berpihak kepada wong cilik. Apa yang melatarbelakangi Anda demikian teguh menjalankan kebijakan itu?
Pemakaian kata penggusuran harus diluruskan dulu. Kalau tanah milik perorangan dipaksa dikosongkan untuk kepentingan swasta, itu penggusuran. Padahal yang saya lakukan bukan seperti itu. Ini adalah penertiban. Jadi dia menduduki tanah orang secara illegal, harus saya tertibkan. Sekarang saya ingin cerita, dan masyarakat pembaca sambil merenungkan apabila dia jadi saya. Saya berikan dua contoh kasusnya hampir sama, di Cengkareng yang terkenal itu, lalu yang di Tanjung Duren.
Yang di Cengkareng, itu milik Perumnas diduduki orang tanpa hak seluas 50 hektar. Padahal dulu ada dokumennya, orang-orang itu hanya bercocok tanam di jaman krisis. Kala itu kita dihimbau oleh pemerintah pusat agar memanfaatkan lahan tidur. Salah satunya yang dimanfaatkan adalah tanah milik Perumnas di Cengkareng.
Lalu mereka yang mau bercocok tanam di lahan itu didaftar oleh Walikota. Ada tiga poin perjanjian yang ditandatangani orang-orang itu, ada juga foto dan tandatangan atau cap jempol. Inti perjanjian itu: Satu, saya hanya bercocok tanam; Dua, tidak akan membuat bangunan sekecil apa pun; Tiga, apabila Perumnas ingin menggunakan, kita sukarela untuk pindah tanpa diberi ganti rugi.
Kedua, kasus di Tanjung Duren, tanah milik Haji Munawar. Itu didukung oleh pernyataan dan surat resmi kepada pemerintah daerah dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang menyatakan secara sah (hukum) bahwa tanah itu adalah milik Haji Munawar.
Kemudian Haji Munawar mengirim surat kepada Walikota agar hak-haknya dilindungi. Pengadilan juga memerintahkan agar Pemerintah Daerah menertibkan bangunan liar yang ada di situ. Haji Munawar teriak-teriak, dia bayar PBB sama kita tapi tidak bisa memanfaatkan lahannya. Gigit jari. Lalu minta perlindungan pada kita. Nah masyarakat yang membaca ini, tolong, andaikata jadi Gubernur Sutiyoso apa yang harus dilakukan.
Sementara orang-orang itu pintar, mengundang orang-orang miskin benaran di dalamnya untuk tamengnya. Negoisasi diganti rugi nggak mau. Padahal Haji Munawar yang punya tanah sudah mau bayar Rp 500 ribu per orang. Nah, sekarang apa pilihannya?
Dalam hal ini rakyat harus menilainya secara objektif dong. Negosiasi diganti rugi nggak mau. Walikota kirim surat membongkar sendiri 15 hari, nggak diperhatikan. Kirim surat kedua tujuh hari, nggak juga dibongkar. Yang terakhir satu hari. Setelah satu hari, mereka sudah tahu akan dieksekusi. Jadi dia sudah pasang barikade bakar ban. Lalu petugas datang, anak buahnya Sutiyoso sama Pak Makbul Kapolda. Kan nggak ada pilihan dia mau bagaimana, apakah membiarkan, apakah dengan selimut miskin orang boleh menjarah tanah seperti itu? Jadi jangan melihat kejadian itu dari sudut pandang yang sempit, kesewenang-wenangan. Saya pun trenyuh karena selimutnya itu memang orang benaran.
Nah pada saat ditertibkan pintar dia, dia kerek bendera yang lagi berkuasa saat itu. Kalau dulu warnanya kuning sekarang merah. Kan waktu itu tahun 2004, bendera PDI Perjuangan dipajang. Orang PDI-P jadi ngomel sama saya, padahal saya kan bukan orang politik. ?crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 20)
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
05 | Rumah Sakit Umum Daerah
TI: Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jakarta, Anda gagas pula menjadi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Timbul kesan baru keberpihakan Pemda DKI Jakarta kepada rakyat kecil semakin jauh, benarkah demikian?
Kalau saya tidak concern terhadap orang miskin di bidang kesehatan mana mungkin saya diberikan award oleh Menteri Kesehatan. Kita sangat peduli dengan orang miskin. Mana ada yang nyebar Kartu Sehat terhadap orang miskin untuk bisa berobat gratis di mana pun di 77 RSUD dan swasta, selain di DKI Jakarta? Semua biaya pengobatan gratis itu dibayar Pemprov DKI Jakarta ke rumah sakit itu.
Perubahan jadi PT itu jangan disalahartikankan, menjadi swastanisasi. Kita punya saham 99 persen di situ, satu persen lagi pegawainya. Yang kita PT-kan adalah pengelolaan, manajemen yang profesional, tapi jiwa dari rumahsakit melayani dan memelihara kesehatan masyarakat itu tetap. Lihat, apakah tarifnya jadi mahal kan nggak.
Coba perhatikan, mana ada provinsi yang memproyeksikan Rp 100 milyar untuk orang miskin. Kita hanya dapat jatah Rp 14,9 milyar dari pemerintah dari kompensasi BBM tapi saya menambah Rp 100 milyar untuk orang miskin.
Mana ada provinsi yang merawat orang miskin seperti itu dengan mengakses mudah, datang, menjalani pemeriksaan, diobati, selesai, pulang, gratis. Bahkan kita pernah mengobati satu orang miskin Rp 240 juta karena harus operasi.
Ini Ibukota Negara jangan disamakan dengan Temanggung atau Wonogiri. Nggak nyambung, kemampuan kita berbeda. Kita seharusnya dibandingkan dengan Singapura atau Taipei, begitu dong. Rumahsakit pemerintah tapi pelayanannya berkelas, berkualitas, baik yang bayar maupun yang gratis.
TI: Tapi, apa jaminan yang gratis ini akan mendapatkan pelayanan yang layak?
Kan bisa dicek apakah Gubernur ngomong saja. Kelas tiga di RS Cengkareng, orang kaget-kaget berapa bayarnya coba, Rp 20 ribu. Itu sudah termasuk perawatan, penginapan, makan tiga kali sehari, dua kali snack dan buah.
Ada rumahsakit yang segitu, ini yang bayar kelas tiga. Tapi kalau kelas dua, kelas satu dan VIP, dia kan orang berduit tetap dong standar, kita bersaing dengan swasta yang lain.
TI: Kemudian, mengenai hypermarket yang berkembang sedemikian rupa?
Begini ya, namanya kan ada rumus demand and supply. Seorang developer, kayak Anda misalnya, mau nggak bangun supermarket kalau demand-nya tidak ada.
Dia kan nggak mau memberikan supply seperti itu. Jadi sudah ada petanya dan marketnya masing-masing. Pembeli di pasar tradisional dengan yang di supermarket beda orangnya. Ini juga suka didramatisir.
Logika saja dipakai, adakah seorang developer mau membangun supermarket rugi, nggak ada orang di situ. Ingat yang dilayani pun bukan hanya orang Jakarta yang 10 juta orang, tapi 21 juta yaitu orang Jakarta dan sekelilingnya, Jabodetabek, yang masuk ke supermarket-supermarket di Ibukota.
TI: Lalu, masih adakah perlindungan Pemprov DKI terhadap UKM dan pedagang-pedagang kecil?
Soal UKM, kita paling peduli. Yang pertama bukti untuk itu adalah struktur organisasi. Adakah di provinsi lain yang namanya Kepala Dinas UKM? Di DKI saja adanya dan itu sampai ke tingkat bawah. Adakah UKM diberikan tempat yang sangat elit, seperti di Waduk Melati delapan lantai. Itu khusus showroomn-ya UKM.
Developer di sana hanya saya ijinkan kalau membangun UKM. Itu daerah elit. Jadi tamu-tamu yang menginap di hotel-hotel di situ melihat, oh di Jakarta ada barang murah meriah di showroom-nya, partai besarnya tinggal dikirim dari tempat-tempat mereka. Jadi kepedulian kita terhadap UKM tinggi.
TI: Anda, tentu membutuhkan dukungan staf untuk menjalankan berbagai kebijakan yang terbilang inovatif dan spektakuler itu?
Ya memang staf saya itu babak belur. Karena saya nggak peduli soal waktu. Sehingga saya sering dimarahi istri gara-gara saya menelepon staf jam setengah satu pagi atau jam dua belas malam. Saya anggap itu biasa. Kalau saya tunda besok, bisa lupa. Sekarang saja telepon, lagi tidur, bangunin, begitu saja. Kalau dalam soal kerja, harus 24 jam, kalau diperlukan. Nggak peduli jam berapa.
Karena namanya pelayan masyarakat itu, harus begitu. Saya ingin kota ini tampil representatif, kompetitif, sejajar dengan kota-kota besar di dunia. Mengapa tidak bisa.
Sekarang kita mulai ijo royo-royo, berkicau, burung bisa hidup, bersih kotanya, tertib, rakyatnya sejahtera lahir dan batin, itu sebuah visi yang saya canangkan.
TI: Tentu, dalam memilih staf itu pasti ada kriterianya?
Saya nggak pernah mengintervensi pemilihan staf. Ada badan yang saya tunjuk namanya Baperjakat (Badan Pertimbangan Pangkat dan Jabatan) yang dipimpin Wagub di level tertentu, dan Sekda di bawahnya. Semua terlibat di situ, saya hanya memberikan matriks.
Jadi tidak pernah intervensi. Badan itu, sesudah menemukan si anu, lalu dia ekspos kepada saya. Saya mulai bertanya kenapa dia. Lalu dia jelaskan ini ini ini. Sudah, keluarkan surat perintah. Sebelum resmi dilantik, saya panggil dulu bersama-sama, kalian saya jadikan Kepala Dinas atau Walikota, dalam tempo enam bulan saya akan adakan evaluasi.
Enam bulan terus saya ikuti. Ah, no thing to do, nggak bikin apa-apa, esoknya timbang terima. Jadi saya nggak pernah menanyakan, wah, ini orang Jawa apa orang Batak ya, ini Islam, Kristen, atau Budha. Oh, nggak ada cerita kayak gitu sama saya.
Saya melihat kualitas orang, semua mempunyai hak yang sama. Tetapi kalau ia nggak berbuat apa-apa, nggak berprestasi, nggak mau nunggu lama-lama harus ganti dia. Dia bukan orang yang tepat di situ. ?crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 20)
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
06 | Akhir Periode Kedua
TI: Tahun 2007, Anda akan mengahiri periode jabatan kedua tentu tidak akan ikut lagi dalam Pilkada selanjutnya. Anda ingin meninggalkan Jakarta dalam kondisi seperti apa?
Itu tadi, saya kan sudah mencanangkan program-program yang strategis transportasi, banjir, lingkungan hidup, rumah susun massal, dan sebagainya.
Ini sudah harus kelihatan walaupun belum tuntas untuk mendorong Gubernur berikutnya mau meneruskan. Dan rakyat harus melihat dan mendorong Gubernur untuk diteruskan. Dan saya sangat meyakini kota ini akan menjadi kota yang kehidupannya representatif dan kompetitif sejajar dengan kota-kota besar lain di dunia. Kita harus bertekad harus mempunyai suatu kepercayaan diri bahwa kita bisa melakukan itu.
TI: Dukungan keluarga tentu sangat berpengaruh terhadap kemajuan kinerja Anda?
Pertama, mereka sudah tahu bahwa saya mencanangkan akan lebih mementingkan tugas daripada urusan mereka. Jadi mereka dari kecil sudah saya ajarkan mandiri.
Kedua, setelah jadi pemimpin sipil, pemerintahan, saya kasih tahu sama anak dan keluarga: Saya sekarang ini sudah tidak di militer. Medan saya sudah lain yaitu medan politik.
Nah, politik itu permainannya kadang-kadang kotor. Jadi kalian hendaknya bisa memahami. Kalau ada isu ini isu itu, nggak usah ke mana-mana, tanya sama Papa, betul apa tidak.
Jangan berkomentar apa-apa karena saya ini sudah di medan politik, ada orang yang suka sama saya, juga ada yang tidak suka.
TI: Bagaimana sesungguhnya perasaan Anda setelah menjadi Gubernur?
Pertama kali awal-awalnya berat bagi saya karena nggak biasa dikritik. Tentara itu nggak ada kritik-kritikan. Ngeritik, tempeleng langsung. Di tentara kayak begitu.
Tetapi saya harus sadar bahwa saya memimpin organisasi sipil. Saya belajar luar biasa. Jangankan itu, senyum saja saya harus belajar dulu. Jadi performance saya sudah terbentuk sebagai militer jalan tegap bermuka garang. Bagaimana saya harus mengubahnya dengan cengengesan, bukan hal mudah bagi saya. Belum lagi perilaku kepemimpinan harus saya sesuaikan.
Segala yang positif di militer saya adopsi, saya sesuaikan. Misalnya tentang disiplin pegawai, etos kerja. Lalu soal bagaimana menerima kritik. Kritik itu kan ada yang ngawur ada yang benar. Kalau yang ngawur masuk sini keluar sana, ngapain lama-lama kita pikir. Kalau kritik itu sehat, konstruktif, kita endapkan. Kalau itu menyangkut diri kita, kita introspeksi. Kalau itu kinerja aparat kita evaluasi.
Jadi kegiatan saya pertama begitu masuk mobil mau ke kantor, itu kan hanya lima menit perjalanan dari rumah saya ke kantor, yang saya buka adalah kliping koran. Udah ngerti masalah apa, tinggal kalau ketemu wartawan sudah tahu masalah apa yang kira-kira ditanyakan.
Mulai saya tanya staf saya sana-sini, ini apa, ini apa. Jadi mereka nggak akan sempat cuek, apatis, nggak bakalan bisa. Ini masalah kita semua, kamu harus bisa menjelaskan pada saya. Karena memang ada selentingan kayak begini, jelaskan. Jika lewat telepon saya sudah bisa menerima, oke sudah. Kalau nggak, saya panggil dia untuk menjelaskan.
TI: Ini pertanyaan terakhir, selama menjabat sebagai Gubernur bagaimana Anda membina hubungan kemitraan dengan DPRD?
Sesuai apa yang ada di undang-undang saja bahwa DPRD mitra kita. Jadi saya tidak mau berseberangan dengan mereka. Artinya, kebijakan-kebijakan publik saya harus atas persetujuan mereka. Itu saja yang saya pegang. Tetapi juga saya minta mereka jangan aneh-aneh. Barang sudah jelas harus dilakukan tapi pura-pura dilarang, nah ini yang aku nggak suka.
Mari kita urus masyarakat dengan cara-cara yang proporsional dan mengerti fungsi masing-masing. Mereka pun harus membantu kita sebagai mitra, jangan mengganjal terus.
Saya terbuka untuk dikritik karena memang tugas mereka mengawasi. Kalau ada kinerja, ada sesuatu yang nggak benar, silakan. Bukan dewan saja tetapi rakyat juga saya buka peluang untuk mengeritik melalui Kotak Pos 0008. ?crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 20)
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)