[WAWANCARA] – WAWANCARA: Ketentuan Undang-Undang Pemilu No.10 Tahun 2008 yang diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi ( MK ) tentang parliamentary threshold (PT), memacu semua partai politik (Parpol) untuk mendapatkan dukungan suara sebesar-besarnya, minimal 2,5% agar dapat melampaui PT.
Jika tidak, Parpol itu sama sekali tidak boleh mempunyai wakil di DPR. Sehingga peta persaingan partai-partai politik dalam Pemilu 2009 akan sangat ketat.
Mantan Ketua DPR dan Ketua DPP Partai Golkar Dr. Ir. Akbar Tanjung mengemukakan hal itu dalam wawancara dengan Wartawan Tokoh Indonesia Budi Raharjo, hari Senin 2/3/2009 di Jakarta. Akbar memperkirakan hanya sekitar 10 Parpol yang akan lolos parliamentary threshold. Politisi senior, yang oleh situs Ensiklopedi Tokoh Indonesia (TokohIndonesia.Com) , merilis profilnya ‘Hidupnya adalah Politik’ – lahir menjadi politisi — itu juga memperkirakan beberapa Parpol lama akan mengalami penurunan drastis dalam perolehan suara pada Pemilu 2009.
Sementara, mengenai posisi Partai Golkar, Akbar melihat memang agak sulit dalam menentukan sikap. Karena Partai Golkar tidak sepenuhnya ada dalam posisi Pemerintah seperti Partai Demokrat, juga tidak sebagai partai oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ). Demikian diungkapkan Akbar Tanjung, selaku pengamat politik senior, yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar. Berikut petikan wawancaranya dengan Tokoh Indonesia:
Tokoh Indonesia (TI): Semua Parpol menetapkan target minimal perolehan suara dalam Pemilu Legislatif 2009. Bagaimana menurut Anda, selaku pengamat politik senior dan mantan ketua umum Partai Golkar, tentang peta persaingan Parpol dalam Pemilu 2009 ini?
Akbar Tanjung (AT): Peta persaingan partai-partai Politik dalam Pemilu 2009 sangat ketat, karena semua partai-partai itu berusaha untuk mendapatkan dukungan suara sebesar-besarnya, minimal 2,5% agar dapat melampaui Parliamentary Threshold.
Apabila Parpol itu tidak dapat melampaui Parliamentary Threshold 2.5%, maka Parpol itu sama sekali tidak boleh mempunyai wakil di DPR, dan kemudian ketentuan undang-undang ini semakin diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi ( MK ), karena adanya 11 partai politik yang mengajukan judicial review ke MK.
Maka keputusan tersebut harus dilaksanakan oleh semua partai politik untuk meraih suara terbanyak dalam dalam pemilu 2009, agar partai tersebut mempunyai Fraksi di DPR. Demikian ketatnya persaingan antara partai-partai politik, kita ketahui bersama bahwa jumlah partai politik di tingkat pusat ada 38 partai dan 6 partai lokal di Aceh sebagai peserta Pemilu 2009.
Sebagai bahan perbandingan diketahui pada Pemilu 2004, partai-partai politik yang melewati ambang batas 3% ada tujuh partai politik dimana partai Golkar sebagai partai pemenang mendapatkan dukungan suara sekitar dua puluh lima juta suara, dengan kursi 128, kursi di DPR. Sedangkan PDIP mengalami penurunan suara yang tajam, dibandingkan dengan Pemilu 1999, dimana mereka mendapat 190 kursi di DPR. Kemudian partai-partai politik lainnya antara lain: PPP, PKB, PAN, Demokrat, dan PKS melampaui ambang batas 3% dalam perolehan suara pada Pemilu 2004.
Tentu saja minimal ketujuh partai ini berusaha untuk mempertahankan supaya mereka tetap pada posisi seperti perolehan suara pada pemilu 2004, ditambah partai-partai baru yang juga berusaha melewati ambang batas. Menurut perhitungan para pengamat, partai-partai politik yang bisa melampaui ambang batas ada sepuluh (10 ) partai politik.
Jadi kalau tahun 2004 sudah ada tujuh partai politik, berarti tinggal 3-4 partai politik baru yang diperkirakan mampu melampaui ambang batas. Hal tersebut diperkirakan dilihat dari aktivitasnya yang cukup intens menjelang pemilu 2009. Partai-partai politik itu di antaranya: PDS, walaupun partai ini bersaing dengan Partai Kasih Demokrasi Indonesia yang juga didukung oleh umat Kristiani; Kemudian partai Hanura yang dipimpin oleh Wiranto; Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto; PKNU, diuntungkan karena terjadinya konflik di tubuh PKB, kemungkinan besar suara PKB itu pindah ke PKNU khususnya di wilayah Jawa Timur; Hal ini pun diharapkan oleh partai-partai lama yang tidak melampaui ambang batas seperti Partai Bintang Reformasi (PBR) yang merupakan partai pecahan dari partai PPP, kemungkinan juga Partai Matahari Bangsa (PMB) yang memiliki basis warga Muhammadyah. Jadi dengan demikian ada lima partai di luar dari tujuh partai yang bersaing juga secara ketat untuk mendapatkan suara melampaui ambang batas.
Mengenai proyeksi perolehan suara memang kita belum bisa pastikan betul, namun jika dilihat dari segi survey, Partai yang masuk tiga besar adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan hasil formasi urutan yang berbeda-beda. Selain ketiga partai tersebut, partai yang mendekati adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut hemat saya ada beberapa partai politik lama yang mengalami penurunan drastis dalam perolehan suara pada pemilu 2009, karena konflik internal partai dan faktor-faktor lainnya di antaranya: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Penbangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional ( PAN ).
Di sisi lain, jumlah pemilih dalam pemilu 2009 diperkirakan sekitar 170 juta, kalau misalkan yang memilih itu ada yang Golput 20%, berarti 34 juta, sisanya 136 juta pemilih yang menggunakan hak pilihnya, itulah yang diperebutkan oleh partai peserta pemilu 2009 mendatang.
Tapi khusus untuk partai Golkar, Jusuf Kalla tetap optimis Golkar akan memperoleh suara 25%. Beliau mengatakan basis pendukung Golkar yang sudah ada 16%, pemilih baru kita anggap 2%, kemudian dengan intensitas kampanye para caleg yang secara langsung akan diperoleh suara 3%, ditambah yang lain-lain, beliau optimis perolehan suara Golkar mencapai 25%, walaupun menurut lembaga survey perolehan suara partai Golkar pada pemilu 2009 kurang dari 20%. Pada Pemilu yang lalu perolehan suara Golkar 21.8%, atau sekitar 24.5 juta suara.
Pada saat ini kita masih memiliki 50 hari (saat wawancara) untuk berkampanye, intensitas iklan dalam berkampanye dapat mempengaruhi citra partai di depan publik. Kita dapat lihat beberapa partai yang berkampanye dengan ikon masing-masing seperti Partai Demokrat dengan menggunakan ikon Bapak SBY, PDIP dengan Ibu Megawati, Hanura dengan Bapak Wiranto, Partai Geridra dengan Bapak Prabowo, dan Partai Golkar dengan ikon Bapak Jusuf Kalla.
Bahkan di beberapa iklan Golkar saya juga diikutsertakan, hal ini untuk memberikan gambaran pada publik bahwa di dalam tubuh partai Golkar tidak terjadi perpecahan. Itulah kompetisi yang makin tajam dalam usaha memperoleh suara terbanyak pada pemilu 2009.
TI:
Beberapa survey mengindikasikan perolehan suara Partai Golkar akan menurun , bagaimana menurut pandangan Anda?
AT: Memang menurut beberapa pengamat politik maupun hasil dari beberapa lembaga survey, Golkar itu akan mengalami penurunan dalam perolehan suara pada Pemilu 2009, karena citra Golkar juga menurun di mata masyarakat. Kenapa demikian? Karena Golkar itu susah sekali dalam memosisikan dirinya.
Kalau Demokrat jelas posisinya mendukung SBY sebagai presiden, PDIP posisinya jelas sebagai partai oposisi, penyeimbang, tetapi kalau Golkar ini pemerintah, tetapi jika kita lihat dari hitorisnya, pemerintah inikan bukan pemerintah yang dicalonkan oleh Partai Golkar. Kalau Pemilu 2004 calon yang didukung partai Golkar adalah Wiranto, dan pada putaran kedua calon Partai Golkar adalah Megawati, jadi SBY & JK tidak dicalonkan oleh partai Golkar Hanya saja pada waktu Munas ke tujuh di Bali, Jusuf Kalla menjadi ketua umum Golkar, maka posisi Partai Golkar tidak lagi sebagai penyeimbang, tetapi menjadi kekuatan pendukung pemerintah. Akan tetapi posisi ini di mata publik, pendukung pemerintah yang penuh adalah Partai Demokrat. Jadi kalau pemerintah ini sukses, yang terangkat adalah Partai Demokrat, tidak Golkar, walaupun JK sebagai Wakil Presiden tetap mempunyai peranan penting dalam pemerintahan.
Selain itu, menjelang pemilu legislatif orang sudah menyebut-nyebut calon Presiden, antara lain sudah muncul SBY dari Demokrat, Ibu Megawati dari PDIP, bahkan lebih dari itu Ibu Megawati telah pula mencoba untuk mencari calon-calon pendampingnya sebagai wakil presiden, sudah ada beberapa nama yang disebut-sebut yang kuat seperti Sultan Hamengku Buwono X, Prabowo Subianto, Hidayat Nurwahid, Surya Paloh, kemudian nama saya, kelima orang itulah yang disebut-sebut sebagai calon pendamping Ibu Mega.
Sementara itu, Golkar selalu mengatakan pemilihan calon Presiden nanti saja setelah Pemilu legislatif. Saya sebenarnya sudah bicara sejak satu setengah tahun yang lalu, agar Partai Golkar menyiapkan diri untuk menetapkan calon presiden, sebagai mana yang dilakukan Golkar pada tahun 2004, yaitu melalui konvensi. Sebab konvensi itu merupakan pembelajaran polik yang sangat baik, dengan adanya konvensi yang dipelopori oleh Golkar, maka Golkar dianggap betul-betul partai yang pro reformasi, partai modern, partai yang demokratis, sehingga citranya naik, dan naiknya citra Golkar inilah mempunyai arti bagi kemenangan Golkar yang berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam Pemilu 2004.
Tapi Bapak Jusuf Kalla selalu menolak tentang pentingnya konvensi dan beliau menganggap konvensi tidak ada untungnya bagi Golkar. Inilah yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap Partai Golkar. Padahal kita tahu, Golkar itu partai besar, pemenang pemilu, partai yang sudah berpengalaman dalam bidang politik, telah ikut pemilu legislatif delapan kali, sejak awal Orde Baru tahun 1971 sampai dengan 2004 pemeritahan reformasi. Golkar itu mempunyai sumberdaya manusia yang cukup dan bisa diandalkan untuk menduduki berbagai posisi-posisi politik, tingkat nasional termasuk posisi presiden & wakil presiden.
Perlu diketahui, Golkar juga memiliki infrastruktur partai yang menjangkau basis-basis masyarakat, dari pusat, propinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, kelurahan, sub-sub desa, dan sub-sub kelurahan. Golkar juga memiliki infrastruktur. Orang akan mengatakan partai yang besar seperti ini kenapa tidak mempunyai keberanian memiliki calon presiden, kok tidak punya kepercayaan diri untuk mempunyai calon Presiden. Ini semua mempengaruhi citra Golkar.
Tetapi setelah ini saya dengar DPP Golkar sudah menyetujui proses penetapan calon presiden Partai Golkar, yang dimulai saat ini sampai pemilihan legislatif selesai, dimana DPD-DPD tingkat I dan tingkat II, diberi kesempatan untuk mengusulkan nama-nama bakal calon presiden, sebanyak-banyaknya tujuh orang. Nama-nama itu akan disurvey. Survey itu diadakan sebelum pemilu legislatif satu kali, dan setelah pemilu legislatif satu kali, jadi dua kali survey dilakukan,dan kemudian disahkan oleh rapim khusus.
TI:
Bagaimana pandangan Anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai penentuan Caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ?
AT: Iya memang itu sudah merupakan ketentuan dari Mahkamah Konstitusi yang sudah barang tentu kita harus menjalankan keputusan tersebut. Memang pada waktu pembahasan di DPR tentang Undang-undang Pemilu, pendapat seperti ini juga sebetulnya sudah muncul dari beberapa fraksi, tetapi fraksi-fraksi besar waktu itu menolak.
Fraksi besar berkeinginan pada ketetapan berdasarkan nomor urut, dengan ketentuan adanya bilangan pembagi, bahkan partai Golkar yang sangat ngotot, dengan sistem nomor urut, walaupun bilangan pembaginya 100%, tahun 2004, lalu turun, sampai akhirnya turun sampai 30%. Jadi bilamana anggota legislatif itu mendapatkan suara 30% lebih maka dia akan menjadi anggota DPR, terserah dia nomor urutnya berapa, tetapi jika tidak mencapai 30%, kembali lagi kepada Nomor urut, 1..2..3..dst.
Pada waktu penetapan caleg, partai Golkar yang tadinya ngotot untuk nomor urut, Ketua Umum Jusuf Kalla mendapatkan kesulitan dalam menentukan siapa nomor urut 1..2..3..dst, karena semua berharap mendapatkan nomor kecil, dan itu semuanya merupakan keinginan para Caleg, berusahalah mereka untuk mendapatkan nomor kecil. Akhirnya JK secara intern memutuskan berdasarkan suara terbanyak sehingga kemudian Golkar menetapkan susunan penetapan calon legislatif itu berdasarkan suara terbanyak. Keputusan berdasarkan suara terbanyak ini memang menjadi lebih ketat karena keterpilihan seseorang itu ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Di sini pun terjadi persaingan antar partai maupun internal partai. ?ti/budi raharjo