
[WAWANCARA] Wawancara Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono (1 dari 8) – Laksamana Agus Suhartono memang ditakdirkan menjadi Panglima TNI. Sebab pas dia menjabat Kepala Staf Angkatan Laut, saatnya giliran pelaut (Angkatan Laut) jadi Panglima Tentara Nasional Indonesia (Panglima TNI).
Takdir itu memang tidak datang secara instan, tapi melalui proses. Setelah lulus dari AAL, dia sudah ditempatkan di berbagai kapal di Armada Timur, menjadi komandan di lima kapal perang. Hampir sebagian besar waktunya, mulai dari berpangkat Letda sampai dengan Kolonel berada di kapal. Pengalaman di kapal itu memberinya beberapa pelajaran yang yang berguna dalam meniti jalan hidup dan karirnya.
Untuk lebih mendalami perjalanan hidup Agus Suhartono, Redaksi TokohIndonesia.com mengajukan surat permohonan wawancara pada 7 Februari 2012. Namun, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, merasa belum pas dan belum waktunya untuk diwawancara dan dipublikasikan di TokohIndonesia.com. “Karena dari sisi pengalaman, rasanya belum waktunya di media yang menampilkan tokoh Indonesia,” katanya.
Walaupun akhirnya Laksamana Agus Suhartono bersedia diwawancarai setelah Pemimpin Redaksi TokohIndonesia.com menyampaikan berbagai pertimbangan dan alasan melalui Kapuspen TNI Mayjen Iskandar Sitompul dan Kolonel Cpl Ir. Minulyo Suprapto , MSc, MSi, MA, Kadispenum Puspen TNI, khususnya melalui Letkol Arh Hari Mulyanto, Kasubdisgiatblik Dispenum Puspen TNI. Bolak-balik terjadi komunikasi baik melalui telepon dan e-mail melalui Letkol Arh Hari Mulyanto.
Pada saat wawancara, pernyataan itu pun diulang sampaikan: Merasa belum pas dan belum waktunya, bila dilihat dari sisi pengalaman pribadinya. Namun, Wartawan TokohIndonesia.com kembali meyakinkan bahwa hal ini bukanlah untuk kepentingan pribadi Panglima TNI sendiri, melainkan kepentingan rakyat Indonesia (publik), hal mana rakyat harus tahu kiprah panglimanya. Rakyat juga perlu berlajar dari pengalaman Panglima TNI-nya.
Akhirnya, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menyediakan waktunya yang amat berharga melayani ‘seabrek’ pertanyaan Wartawan TokohIndonesia.com Ch. Robin Simanullang didampingi Christian Natamado dan Bantu Hotsan (fotografer). Wawancara berlangsung di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu 11 April 2012.
Wawancara pun berlangsung dalam waktu cukup lama, dua kali lebih lama dari alokasi waktu yang dijadwalkan sebelumnya. Panglima TNI Agus Suhartono didamping Kapuspen TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul dan Kadispenum Puspen TNI Kolonel Cpl. Minulyo Suprapto. Sebelum wawancara, Kasubdisgiatblik Dispenum Puspen TNI Letkol Arh Hari Mulyanto, didampingi staf Puspenum TNI Mayor TNI Herbert Sembiring, memberi penjelasan dan masukan kepada TokohIndonesia.com untuk dapat mengefektifkan keterbatasan waktu yang tersedia.
Sebagian isi wawancara ini kami sajikan dalam bagian biografinya. Namun demi menjaga orisinalitasnya, hasil wawancara tersebut kami terbitkan dalam delapan judul, yakni: (1) Saat Pelaut Jadi Panglima TNI; (2) Lima Pesan Kepala Negara; (3) TNI Mampu dan Tak Pernah Gentar; (4) Begini Postur Alutsista TNI Ideal ; (5) Politik TNI Adalah Politik Negara; (6) Evaluasi TNI tentang Kondisi Bangsa; (7) Visi & Tujuh Syarat Pemimpin Nasional; (8) Pengaruh Orangtua, Bung Karno dan Isteri.
Berikut petikan wawancara bagian pertama berjudul ” Saat Pelaut Jadi Panglima TNI ” perihal jejak rekam singkat Agus Suhartono dari kecil sampai diangkat jadi Panglima TNI:
TokohIndonesia.com (TI): Kami sangat mengapresiasi waktu Panglima yang sangat berharga. Kami dari TokohIndonesia.com berupaya untuk mengukir kiprah dan jejak rekam para tokoh di web site TokohIndonesia.com, yang cita-cita panjangnya menjadi Ensklopedia Tokoh Indonesia online. Dimana kami berharap agar setiap orang (publik) memiliki kemudahan untuk mengenal, siapa tokoh yang pernah berkiprah di Indonesia. Sebagai seorang Panglima TNI, tentu bukanlah orang biasa, itu sebuah pencapaian karir dan perjuangan panjang. Sebab, banyak tentara tidak semua bisa menjadi jenderal dan Panglima. Jadi jenderal dan panglima tentu juga adalah anak-anak bangsa yang terpilih. Untuk menghemat waktu, pasti waktu Anda amat berharga, kami mengawali pertanyaan menyangkut pribadi Panglima, kalau boleh bertutur, supaya bisa kita bagi pengalaman Anda mulai dari kecil sampai panglima. Apa yang membuat Anda bisa menjadi Panglima dari pengasuhan sejak kecil?
Agus Suhartono (AS): Terimakasih. Sebelum bercerita bahwa sebenarnya menjadi Panglima itu, saya lebih cenderung hal itu adalah kehendak daripada sejarah, dan kehedak daripada Tuhan. Artinya memang kalau orang tidak digariskan menjadi panglima, mungkin juga tidak akan menjadi panglima. Saya sangat mempercayai itu.
Saya dilahirkan di Blitar, 25 Agustus 1955. Ayah saya seorang pensiunan bardon yaitu pegawai pegadaian. Bardon itu bahasa Belanda. Karena beliau sebagai pegawai negeri, maka memang beliau memiliki disiplin yang sangat tinggi. Oleh karena itu, anak-anaknya dididik dalam lingkungan kedispilinan yang tinggi. Tetapi, memang disiplin dalam konteks, bukan disiplin mati, bukan. Tapi disiplin yang dikaitkan dengan konteks, terutama tanggung jawab. Contohnya begini, kalau seseorang diberikan tanggung jawab maka bila ada kegiatan lain, maka tanggung jawab itu harus diselesaikan dulu. Itu disiplin dengan konteks.
Setiap waktu tertentu harus belajar. Itu harus ditaati. Kalau waktunya belajar tidak bisa dilaksanakan pada waktu yang dijadwalkan semula, maka jam belajar harus digeser, artinya bahwa jumlah belajar itu harus tetap. Disiplin seperti itu.
Jadi contohnya juga, dulu saya suka olahraga voli. Kalau saya harus ke pertandingan voli sore hari, maka kewajiban saya, harus mengisi air kamar mandi dari sumur. Maka harus saya isi dulu sebelum saya berangkat ke pertandingan voli. Itu menurut saya pendidikan yang akan membawa seseorang menuju ke arah kehidupan yang terarah dengan baik.
Saudara saya juga banyak, yaitu 10 orang. Saya nomor sembilan (9), tiga kakak saya sudah tidak ada. Kemudian yang lainnya tersebar di seluruh wilayah Indonesia tapi rata-rata memang sudah pensiun.
Kemudian, saya sekolah, SD, SMP, SMA di Blitar. Kemudian selepas SMA melanjut ke Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1978. Sebenarnya, saya tidak begitu paham dengan tentara. Tapi karena keinginan saya ketika itu, hanya bagaimana saya bisa mencari pendidikan yang dibiayai oleh negara (ikatan dinas), kemudian memiliki masa depan yang baik. Saya akhirnya mendaftar di Akademi Angkatan Laut (AAL) atas bimbingan kakak saya. Kebetulan, kakak saya itu sarjana farmasi, jadi wajib ikut militer di Angkatan Laut. Jadi saya dibimbing akhirnya bisa masuk di Akademi Angkatan Laut.
Setelah lulus dari AAL, saya ditempatkan di berbagai kapal di Armada Timur. Hampir sebagian besar waktu saya, Letda sampai dengan Kolonel berada di kapal. Tetapi, di kapal ini juga memberikan suatu pelajaran yang menarik bagi kehidupan saya (kita). Pertama, pelajaran yang bisa kita ambil betapa besar kekuasaan Tuhan itu, khususnya di lautan, itu sangat terasa.
Kedua, sebagai seorang pelaut jangan sekali-kali mencoba melawan arah. Tetapi harus bagaimana menyiasati, mengikuti, kondisi, situasi alam itu agar kita bisa mencapai tujuan. Itu suatu pelajaran yang menarik bagi saya. Karena sebenarnya di dalam kehidupan ini kita selalu berhadapan dengan suatu masalah. Tetapi bagaimana kita berupaya berlayar di atas masalah tersebut untuk mencapai tujuan. Seperti tadi, tidak boleh dihindari, tapi jangan dilawan untuk mencari solusi yang paling baik. Itu mendidik seorang perwira akan lebih matang lagi.
Ketiga, di kapal juga mendidik kita bagaimana bersosialiasi dengan pimpinan, dengan sesama (satu) pangkat, dan anak buah. Karena semuanya itu menjadi kehidupan yang harus disinergikan sedemikian rupa, sehingga menjadi satu kesatuan yang sangat baik. Artinya setiap orang memiliki peran tugas, kehidupan masing-masing, dan setiap orang punya masalah masing-masing. Namun demikian semuanya itu kalau tetap bisa disinergikan, tugas pokok itu akan bisa dicapai.
Nah, setelah dari kapal, saya diberikan kesempatan untuk bertugas sebagai staf di Mabes Angkatan Laut, sebagai Perwira Pembantu Bidang Strategi dan Operasi, Staf Operasi. Kemudian, setelah itu saya juga diberi kesempatan untuk menjadi Wakil Asrena (Wakil Asisten Perencanaan KSAL). Juga saya diberi kesempatan untuk menjadi Kasatgas pengadaan kapal di Belanda. Diberi kesempatan menjadi Komandan Kodikal, mendidik para prajurit Angkatan Laut. Diberi kesempatan menjadi Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat, Asisten Operasi, Asisten Perencanaan, Inspektur Jenderal di Kemhan, kemudian menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut (2009-28 September 2010) dan Panglima TNI (28 September 2010 – sekarang).
Artinya memang dari sisi pembekalan, untuk pendapat saya pribadi, pembekalan memang perlu ditempuh untuk menduduki suatu jabatan-jabatan tertentu. Artinya dari beberapa pengalaman itu akan membuat cara berpikir kita menjadi lengkap. Dan itu bisa kita gunakan untuk memimpin suatu organisasi. Itu kalau pengalaman secara garis besar.
TI: Kemudian dari SMA di Blitar, sebelum ke Akademi Angkatan Laut, itu juga melalui seleksi. Ketika di SMA itu bagaimana metode kegiatan belajarnya sehingga bisa diterima di Akademi Angkatan Laut?
AS: Saya sekali lagi, saya percaya kepada jalan Tuhan, itu jalan yang (dipilih) oleh Tuhan. Saya tidak tahu kenapa waktu kelas dua, selain senang olahraga, senang juga untuk jogging. Sehingga semua itu menguatkan, mempermudah dalam memasuki tes. Tetapi kalau yang namanya tes akademis dan lain sebagainya, saya kira pembekalan dari SMA itu semuanya memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk menghadapi tes AAL.
Biasanya berbeda justru pada konsep pisik. Kalau yang namanya psikotes, tidak bisa kita atur ‘kan. Dalam hal psikotest itu boleh dikatakan, saya berterimakasih kepada orangtua saya, karena orangtua mendidik itu demikian berpengaruh kepada psikotes. Jadi secara nggak sadar memang, kalau sejak kecil dididik seperti itu, hasil psikotesnya akan terbawa dari hasil didikan sejak kecil itu. Oleh karena itu, saya sangat berterimakasih sekali kepada orangtua yang mendidik saya, sehingga mengarahkan kepada hal-hal yang positif itu. Tapi kalau pisik memang harus disiapkan oleh masing-masing individu. Dan kesiapan kita itu tergantung dari porsi latihan yang diikuti atau yang diaturkan itu.
TI: Selama taruna di Akademi Angkatan Laut itu pasti ada saja kisah-kisah menarik. Apa kira-kira, dan dengan siapa, apa dan bagaimana?
AS: Ha-ha-ha. Memang, kalau di Akademi Angkatan Laut selalu menarik memang. Artinya, kebersamaan itu sangat kental. Pendidikan itu ditempuh melalui suatu kebersamaan. Memang inti pokoknya di dalam akademi itu, pendidikan ada dua macam. Pendidikan dalam konteks klasikal untuk akademis, dan pendidikan non akademis dalam konteks kehidupan taruna (sosial).
Kehidupan taruna itu, mendidik bagaimana para calon perwira dapat menjalin kebersamaan dengan teman yang lain. Arah utamanya di situ. Karena bagaimana organisasi TNI yang besar, selalu dituntut suatu kebersamaan. Oleh karena itu secara awal pendidikan selalu dilatih kebersamaan. Nah kebersamaan itu memang harus ditempuh. Contohnya begini: Ada satu orang yang melakukan pelanggaran, tetapi semuanya harus menerima risikonya. Itu hanya untuk memupuk kebersamaan. Kalau saya bilang menanggung resikonya, bukan berarti dalam bayangan dipukuli, bukan. Artinya ada satu yang melanggar maka yang lain harus ikut menanggung akibatnya.
Maka dari situlah timbul empati, kebersamaan, pemahaman antara yang satu dengan yang lain. Timbul toleransi di antara satu sama lain. Itu yang paling penting. Jadi orang biasanya melanggar akhirnya bertoleransi, “Ah tidak usah lagi saya melanggar. Karena teman saya ikut menanggung.” Toleransi itu muncul, tapi teman yang lain yang ikut dihukum juga memberikan empati kepada teman yang dihukum. Karena memang yang dihukum ini karena keterbatasan mereka, kita juga ikut merasakan.
Saya akhirnya ikut bersama-sama membantu mereka untuk bisa memperbaiki di kemudian hari. Jadi yang paling berkesan di akademi itu bagi saya itu. Bagaimana pendidikan diarahkan untuk memupuk kebersamaan yang pada akhirnya melahirkan empati, toleransi dan lain sebagainya.
TI: Yang bersifat lucu, agak nakal. Ada nggak kira-kira?
AS: Saya kira setiap teman, pasti ada hal-hal yang lucu. Tapi saya kira itu hal yang umumlah, ha-ha-ha.
TI: Kemudian, Anda sangat berpengalaman sebagai komandan di kapal-kapal perang. Sampai lima KRI, dalam catatan kami. Di kapal perang itu, namanya di lautan dalam tempo yang cukup lama. Pengalaman itu tentu lebih menantang. Secara manusiawi, apa kira-kira pengalaman yang paling berkesan?
AS: Pengalaman saya yang paling berkesan. Ada beberapa, satu di antaranya adalah bagaimana membawa prajurit di kapal itu untuk melaksanakan tugas walaupun pada saat lebaran, Idul Fitri, misalnya. Itu bukan main tantangannya bagi kita. Secara pribadi, saya sendiri juga punya masalah keluarga. Artinya dengan keluarga, harus menyelesaikan supaya keluarga bisa menerima apa adanya. Di sisi lain anak buah, harus diberikan pemahaman bahwa ini tugas yang harus kita lakukan sehingga harus membebaskan kondisi yang seperti ini.
Nah, yang terpenting di sini adalah bagaimana membuat suatu kegiatan, agar anak buah itu bisa menerima kondisi yang ada tanpa terlalu larut terhadap kondisi sentimentil di rumahnya (masing-masing). Kegiatan-kegiatan seperti ini kita arahkan kepada pasukan.
Contohnya, waktu itu saya pernah di Makassar dengan satu kapal anak buah. Nah, kita cari kegiatan mencoba menghubungi teman-teman, ada nggak kira-kira sembako yang mau disumbangkan di pulau-pulau terpencil atau di sekitar. Dan ternyata, sambutannya cukup positif. Kita kumpulkan, naikkan ke kapal, kita antar ke pulau-pulau kecil sekitar Pulau Makassar dan pulau yang lain. Dan itu bisa memberikan pemahaman tersendiri bagi prajurit kita, bahwa sebenarnya tidak hanya dia yang mengalami jauh dari keluarga saat Idul Fitri. Para penduduk masyarakat yang di pulau terpencil itu juga mengalami bahkan lebih dari pada mereka (prajurit). Itu yang bisa membangkitkan semangat daripada anak buah. Memang, itu bukan hal yang mudah untuk mengendalikan sejumlah prajurit yang harus mengahadapi situasi yang sedemikian. Di sisi lain, kita sendiri harus mengendalikan diri sendiri. Tantangannya di situ.
Hal-hal lain yang berkesan bagi saya adalah pada saat saya ditugaskan membawa kapal dari Jerman ke Indonesia, itu harus menempuh suatu perjalanan yang cukup berat karena harus melintasi samudera yang kebetulan cuacanya kurang bagus. Disitulah peran seorang komandan dibutuhkan bagaimana mereka tetap mampu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya sehingga kapal ini menjadi selamat. Itu hal-hal yang menarik bagi saya.
Dan itu tidak mungkin pernah saya lupakan, karena hanya sebagian kecil yang bisa bertahan di kapal. Karena yang lainnya harus mengalami mabuk dan sebagainya. Tetapi bagaimana agar tetap mereka bisa ikut bertahan, memberikan semangat agar mereka bisa melaksanakan tugas, itu hal yang menarik bagi saya.
TI: Kemudian tidak semua yang lulusan Akademi Angkatan Laut jadi Laksamana, bintang empat. Apa cerita yang mengawali sehingga Anda bisa menerima bintang empat? Ada nggak pembicaraan sebelum di Wanjakti misalnya, ‘sassusnya’ bagaimana, sampai bisa bintang empat?
AS: Sebenarnya seorang perwira itu sudah mulai dimonitor sejak mereka lulus. Itu selalu dimonitor oleh pimpinan, lingkungan, oleh kakak dan adik-adik. Yang memonitor bukan hanya pimpinan, tidak! Tetapi lingkungan juga ikut memonitor. Sejak mereka lulus itu selalu dimonitor kemampuannya dan sebagainya.
Maka, justru seorang perwira yang paling sering diberi tugas, itu seharusnya merasa berbahagia karena diberikan kesempatan untuk membuktikan tugas yang diberikan bisa dilakukan. Nah, kalau perwira itu diberi penugasan, keberatan, menghindar, itu berarti membuang peluang mereka untuk membuktikan bahwa ia mampu. Jadi kuncinya di situ. Jadi saya selalu menyarankan kepada adek-adek juga, apapun yang diberikan penugasan kepada Anda lakukan dengan sebaik-baiknya. Ini adalah peluang untuk menunjukkan kemampuan Anda.
Nah, saya memang sering menerima penugasan dulu. Macam-macam penugasan kita lakukan. Artinya penilaian itu kita serahkan kepada orang yang menggunakan kita. Berarti bagi saya yang terpenting, bagaimana melakukan tugas yang terbaik sesuai dengan kemampuan dan memberikan yang terbaik bagi organisasi.
Bahwa penilaian orang lain, ini layak atau tidak, itu adalah hal lain yang tidak perlu kita ikut campuri. Karena pada dasarnya, jangan sampai kita menilai diri kita sendiri. Biar saja orang yang menilai. Kita bekerja dengan baik. Kalau mereka menganggap layak, silahkan digunakan untuk kepentingan organisasi. Jadi saya memang tidak pernah membicarakan, saya harus ke sana, tidak. Tapi syukur Alhamdulillah saya diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan yang memang yang bisa kita gunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kemampuan kita masing-masing.
TI: Tapi sebelum resmi diangkat mejadi bintang empat. Tentu pernah ada orang memanggil Anda begitu ya, “Anda mau diangkat menjadi Laksamana”?
AS: Nggak. Angkatan Laut nggak begitu (ha-ha-ha). Nggak begitu, di Angkatan Laut tidak pernah ada begitu. Semua itu, tadi, rapat pimpinan di sana, ada yang menilai dan menentukan.
TI: Memang formalnya lewat Wanjakti, tapi juga ada dari sisi informalnya?
AS: Nggak. Tapi kalau orang pesan begini, “Kamu jaga diri.” Hanya begitu saja. Itu memang ada. Tetapi tidak pernah, kamu akan menjadi pemimpin. Tidak! Silahkan kamu jaga diri baik-baik, agar tidak mengganggu karirmu, itu yang ada. Itu juga pesan kepada letnan lulusan. Jaga diri baik-baik, laksanakan tugas dengan baik, pupuk kemampuan dengan membaca.
TI: Saat menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Laut sejak tanggal 9 November 2009 hingga 28 September 2010, apa kebijakan yang Anda lakukan?
AS: Saat saya menjabat sebagai Kasal, saya mencoba membuat kebijakan melalui tagline “Semangat Baru atau The New Sprit of The Indonesian Navy” yang bertujuan untuk menggelorakan semangat kepada segenap prajurit TNI AL bahwa mereka adalah prajurit penjaga kedaulatan NKRI di wilayah laut yang memiliki jatidiri dan kebanggaan, sehingga diharapkan dapat menjaga nama baik dan citra TNI AL dalam mendukung keberhasilan tugas pokok TNI, meliputi:
Pertama, Kehormatan (Honour). Prajurit TNI Angkatan Laut yang memiliki integritas tinggi dalam tugas dan tanggung jawab serta dapat menjalin dan menjaga hubungan dengan atasan, rekan, dan bawahan. Menjaga martabat TNI Angkatan Laut dan diri sendiri serta mendapat pengakuan dan dibanggakan masyarakat;
Kedua, Kejujuran (Honesty). Prajurit TNI Angkatan Laut yang lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tutus dan ikhlas serta berkata apa adanya; Ketiga, Dedikasi (Dedication). Prajurit TNI Angkatan Laut yang mau berkorban tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha atau tujuan organisasi, serta memiliki jiwa pengabdian yang tinggi;
Keempat, Loyalitas (Loyalty). Prajurit TNI Angkatan Laut yang patuh dan setia serta mempunyai komitmen kuat terhadap sesama prajurit, organisasi, bangsa, dan negara; Kelima, Profesionalisme (Professionalism). Prajurit TNI Angkatan Laut yang memahami tugas dan tanggung jawab serta pengetahuan dan keahlian yang mendukung dan melaksanakannya baik secara individu maupun dalam tim dengan sebaik-baiknya;
Keenam, Keberanian (Courage). Prajurit TNI Angkatan Laut yang memiliki kepercayaan diri dan karakter untuk melakukan apa yang benar dalam menghadapi tuntutan tugas, permasalahan, bahaya, dan ancaman. Prajurit yang berani mengambil keputusan yang terbaik untuk organisasi, bangsa, dan negara tanpa mempedulikan kepentingan pribadi.
**
Tahu Ada Peluang Jadi Panglima TNI
TI: Sebagai seorang lulusan Akademi AL dengan penugasan yang sedemikian banyak, tentu punya cita-cita. Sejak kapan Anda bercita-cita jadi Panglima?
AS: Saya hampir tidak pernah bercita-cita jadi panglima. Tetapi saya tahu ada peluang mana kala saya menjadi KSAL. Karena kalau tidak menjadi KSAL tidak ada peluang. Karena panglima itu hanya diangkat dari kepala staf atau yang pernah menjadi kepala staf angkatan. Peluang itu saya baca ada, meskipun saya dari sejak dulu nggak pernah bercita-cita. Saya melihat peluang menjadi panglima waktu jadi KSAL. Jadi semuanya sekali lagi, saya bilang karena kehendak Tuhan. Karena begini, mengapa pas rotasinya ke (giliran) Angkatan Laut. Jadi, kita tidak bisa mengatur. Bukan kita yang mengatur, Tuhan yang mengatur.
TI: Apa yang Anda lalukan setelah mengetahui akan menjadi Panglima TNI?
AS: Jadi begini. Pada saat menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, di situ putarannya menjadi (giliran) Angkatan Laut. Tentunya kita juga harus menyiapkan segala sesuatunya, karena panglima harus melalui fit and proper test di DPR. Maka harus menyiapkan diri untuk mengikuti fit and proper test itu.
Keinginan kita bukan semata untuk menjadi panglimanya, bukan. Pada saat fit and proper test, kita bisa melakukan dengan baik. Kalau melakukan fit and proper test tidak dengan baik, kemudian akhirnya DPR mengembalikan, itu rasanya (kapasitas) sebagai Kepala Staf Angkatan Laut, berkurang. Kita harus berupaya sedemikian rupa, supaya…
TI: Tidak memalukan Angkatan Laut ya?
AS: Saya juga ada pemikiran seperti itu. Oleh karena itu saya menyiapkannya dengan sungguh-sungguh, menghadapi fit and proper test. Padahal sebelumnya saya juga tidak tahu persis dunia fit and proper test seperti apa. Oleh karena itu saya membaca juga, saya ada videonya mantan-matan panglima yang melakukan fit and proper test. Saya memelajari seperti itu dan kita mempersiapkannya. Intinya jangan sampai Kepala Staf Angkatan Laut di fit and proper test, dikembalikan.
TI: Kemudian sebelum fit and proper test. Presiden mengusulkan hanya satu nama, pasti sebelum presiden mengusulkan bertemu dengan Anda lebih dulu. Apa yang dibicarakan?
AS: Pasti. Kapasitas saya waktu itu sebagai Kepala Staf Angkatan Laut. Tapi beliau memberikan arahan, kamu saya usulkan sebagai panglima, siapkan diri untuk fit and proper test. Artinya beliau (presiden) sama pemikirannya, bahwa jangan sampai fit and proper test gagal. Upaya kita perbanyak apa yang harus dilakukan.
TI: Ketika dipanggil itu, agak deg-degan juga atau bagaimana?
AS: Begini! Presiden sering memanggil yang namanya Panglima TNI, Kepala staf Angkatan, itu sering.
TI: Tapi ini suasana kebatinannya beda kali, kalau dalam rangka tugas rutin itu biasa-biasa?
AS: Jadi begini. Dalam konteks rapat biasa seperti ini, beliau memberikan penugasan. Tapi saya berterimakasih kepada Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan ini.
TI: Bisa saja sebenarnya rotasi itu (giliran AL jadi Panglima TNI), Presiden SBY mengubahnya?
AS: Saya memandang Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat konsisten dengan peraturan perundangan, beliau sangat konsisten. Kalau waktunya begini, ya begini, lakukan seperti itu. Jadi beliau sangat konsisten dengan peraturan perundangan. Oleh karena itu, peluang-pelung yang mesti muncul, oh ini putarannya akan ke sini. Yang waktunya harus menyiapkan diri. (Bersambung) Wawancara TokohIndonesia.com | Ch. Robin Simanullang