Segera Kaji Ulang Amandemen UUD 1945

 
0
235
Segera Kaji Ulang Amandemen UUD 1945
Try Sutrisno | Ensikonesia.com | Ist

[WAWANCARA] Wawancara Try Sutrisno – Mantan Wakil Presiden (1993-1998) dan Panglima ABRI (1988-1993) Jenderal (Purn) Try Sutrisno, menegaskan sikapnya tentang amandemen UUD 1945. Menurutnya, amandemen itu sebaiknya segera dikaji ulang. Sekarang ini kita sudah terlalu liberal. Sudah banyak undang-undang tidak konsekuen dengan Pancasila. Tidak ada lagi GBHN dan fungsi MPR telah dipreteli.

Try Sutrisno berbicara panjang lebar dalam percakapan dengan Wartawan TokohIndonesia.com dan majalah Berindo (Berita Indonesia) Ch. Robin Simanullang dan Bantu Hotsan di rumah kediamannya Jalan Purwakarta, Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu malam (28/11/2012). Tampaknya, beliau sengaja meluangkan waktu pada malam hari selepas magrib.

Dengan amat bersahaja, mantan Pangdam Jaya (1982-1985), Wakasad (1985-1986) dan Kasad (1986-1988) itu membuka percakapan dengan Berindo. Santai dan bebas. Dia terlihat masih segar, kendati usianya sudah lebih 77 tahun (lahir di Surabaya 15 November 1935). Setelah mempersilakan duduk di ruang tamu, Ibu Try (Tuty Sutiawati) yang telah mendampinginya sejak 21 Januari 1961, dengan tampilan yang amat bersahaja datang menghampiri dengan menyuguhkan sendiri teh hangat.

Kemudian, setelah beberapa saat percakapan berlangsung, Ibu Try mengundang untuk makan malam. Tampaknya, kedua orang tua ini sudah sengaja memilih waktu selepas magrib menerima Wartawan Berindo yang juga mengelola Website TokohIndonesia.com tersebut. Tentu saja Wartawan Berindo tanpa basa-basi menyambut senang hati ajakan makan dari Ibu Try tersebut. Bukankah Ibu Try sudah amat terkenal sebagai juru masak yang handal! Beliau adalah suhunya ibu-ibu yang pintar masak. Masakannya amat enak dan sehat. Ada mie kuah spesial, dengan tahu, daging dan sayuran. Entah mie apa namanya. Seumur-umur, itulah mie masak yang paling enak di dunia. Dan beberapa jenis makanan enak dan sehat lainnya.

Kalau dulu, MPR itu tempatnya rakyat bermusyawarah, penjelmaan seluruh rakyat, dari semua golongan. Sebab tidak mungkin rakyat yang berjumlah 250 juta jiwa berkumpul dan bermusyawarah semua di satu tempat, harus ada satu badan, lembaga negara tertinggi, yaitu MPR. Makanya, anggota MPR itu selain dari anggota DPR juga ada utusan daerah dan utusan golongan. Di MPR itu bermusyawarah membuat konsep pembangunan Indonesia itu seperti apa dan dirumuskan dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara).

Percakapan pun berlanjut di meja makan, tentang banyak hal, masa lalu, masa kini dan masa depan. Sampai hal-hal ‘ringan’ tentang kehidupan berumah tangga bagi seorang prajurit hingga berhasil menapaki kariernya ke puncak tertinggi. Pak Try mengakui keberhasilannya sangat terdukung oleh peran isteri. Ibu Try memang terkenal sebagai seorang ibu yang amat bersahaja, bijak dan peduli.

Sebagian isi percakapan di ruang makan tersebut yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara, kami sajikan berikut ini.

Dalam pandangan Pak Try, apa yang tidak nyambung dari pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) dengan era reformasi saat ini?

Menurut saya, yang tidak nyambung itu, sistem politik sudah beda. Dengan adanya amandemen UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah diubah status dan tugasnya. Itu berarti secara struktur kenegaraan sudah beda.

Kalau dulu, MPR itu tempatnya rakyat bermusyawarah, penjelmaan seluruh rakyat, dari semua golongan. Sebab tidak mungkin rakyat yang berjumlah 250 juta jiwa berkumpul dan bermusyawarah semua di satu tempat, harus ada satu badan, lembaga negara tertinggi, yaitu MPR. Makanya, anggota MPR itu selain dari anggota DPR juga ada utusan daerah dan utusan golongan. Di MPR itu bermusyawarah membuat konsep pembangunan Indonesia itu seperti apa dan dirumuskan dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara).

Setelah GBHN ditetapkan, kemudian MPR memilih presiden, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara serta Mandataris MPR. Artinya, MPR selaku penjelmaan seluruh rakyat memberikan mandat kepada presiden. Jadi dulu, Pak Harto bukan ngarang membangun Orde Baru, itu perintah GBHN, agar menjabarkan dalam pelita-pelita. Jadi jangan dikatakan Pak Harto itu, ini jelek-jelek. Mandataris MPR itu menjalankan amanat rakyat yang tertuang dalam GBHN dan dipertanggungjawabkan tiap lima tahun.

Lulus atau tidaknya diketok oleh MPR. Apakah pidato lima tahun (pertanggungjawaban presiden/mandataris MPR), diterima atau tidak. Semua pertanggungjawaban Presiden Soeharto diterima MPR. Sementara pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak MPR, sehubungan dengan dilepaskannya Timor Timur. Begitu demokratis. Kalau diterima boleh dipilih lagi, setiap lima tahun boleh dipilih lagi.

Advertisement

Kini setelah amandemen UUD 1945, tidak ada lagi GBHN dan pertanggungjawaban presiden. Tapi presiden tidak boleh lebih dari dua kali. Kita dulu tidak bilang berapa kalinya, setiap lima tahun bisa dipilih lagi. Kalau baik, dipilih lagi, kan logis kalau begitu. Jadi bukan bicara kalinya.

Apa akibatnya setelah MPR tak punya kewenangan menetapkan GBHN, sehingga haluan negara sudah tidak ada?

GBHN tidak ada lagi. Artinya sekarang eksekutif sendiri yang membuat rencana pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Itu konsep presiden sekarang. Nanti kalau ganti presiden siapa yang jamin bisa melanjutkan konsep tersebut? Pasti ganti. Kalau GBHN tidak bisa. Dua puluh lima tahun, sebagai jangka panjang, kemudian dibagi lima tahun sesuai periode jabatan presiden. Kalaupun presidennya ganti, rencana jangka panjang GBHN-nya terus berlanjut. Sekarang, setiap kali ganti presiden, bukan hanya program jangka pendek dan menengahnya berubah, tetapi juga program jangka panjangnya berubah sesuai kehendak presiden. Dan, itu pun tidak ada sistem pertanggungjawabannya.

Jadi, apakah menurut Pak Try, semestinya fungsi MPR itu dikembalikan lagi?

Saya selalu menyarankan hal itu sejak dilakukannya amandemen. Saya bersama para warga tetua pernah menemui Ketua MPR Amien Rais waktu itu untuk mengingatkan hal itu. Kita tidak tabu amandemen, itu suatu keharusan, makanya ada pasal 37. Artinya, bahwa para deklarator, para founding fathers, itu sangat bijak. Mereka tidak bilang bahwa UUD ini paling suci, maka tidak boleh dirubah. Tidak ada itu. Mereka sadar perkembangan manusia, sehingga dikasih pasal 37, artinya kalau ada perubahan keadaan dan kebutuhan, UUD 1945 itu bisa disesuaikan, diamandemen. Hanya saja, amandemen itu ada tata caranya, ada naskah akademiknya, ada perencanaan yang baik. Bukan seperti kemarin. Reformasi dengan emosi dan melakukan amandemen kayak begitu. Hasilnya begini. Hal itu sudah kita ingatkan.

Makanya sekarang, kita seharusnya mengkaji ulang. Yang keliru dibetulkan, yang baik diteruskan. Kita mengingatkan supaya yang muda jangan sampai lupa pada komitmen bangsa: Pancasila. Pancasila itu dimulai dari filosofi, menjadi ideologi, terus menjadi dasar negara kita yang dijabarkan dalam UUD 45 sebagai landasan konstitusional. Jadi sangat sistematis sekali. Itu landasan kita untuk membangun bangsa yang merdeka, adil dan makmur.

Sekarang ini kita perlu lebih berhati-hati terhadap penjajah. Sebab penjajahan sekarang bukan fisik kayak dulu. Sekarang tiap negara dipengaruhi supaya kayak dia, demokrasinya kayak dia. Disuruh terbuka, human rights. Human rights apa? Kan harus adil dan beradab? Cita-cita kita begitu.

Dengan gampang dia menekankan human rights di sini, tapi Irak di bom, dibunuh. Afganistan dibabat. Vietnam dulu mau disikat, tapi dia lari kalah. Koq berlagak menjadi pelopor dan pendekar human rights. Kalau kita, human rights itu, pakainya Pancasila. Hanya sayang, kita sebagai bangsa Indonesia memiliki Pancasila, belum melaksanakan. Jadi, kita sekarang ditantang untuk melaksanakan Pancasila, bukan malah ditinggalkan.

Kita juga sudah memberi masukan kepada pimpinan MPR. Bukunya kita kasih sama Ketua MPR Taufiq Kiemas. Pesan saya, kaji ulang. Kita bukan menolak amandemen. Tapi amandemen yang kemarin perlu dikaji ulang. Hal ini bukan hanya tanggung jawab MPR dan pemerintah, tetapi tanggung jawab seluruh warga bangsa. Seluruh warga bangsa ini harus terpanggil.

Jadi sekali lagi, kini struktur kenegaraan sudah beda. MPR dipermak, bukan lagi lembaga tertinggi. Sekarang sudah hanya lembaga negara, sama dengan lembaga negara yang lain. Dulu MPR itu lembaga tertinggi, yang lain lembaga tinggi negara.

Kenapa dikasih tertinggi? Karena MPR itu tempatnya rakyat berdaulat. Jadi ada filosofi dan artinya. Kini sudah dibongkar. Katanya, lebih demokratis karena presidennya dipilih langsung. Dulu melalui perwakilan yang musyawarah mufakat memilih presiden dan wakil presiden. Jadi tidak ada istilah partai koalisi dan partai oposisi, karena yang memilih semuanya melalui musyawarah mufakat. Bukan berarti tidak ada dan tidak boleh berbeda pendapat. Beda pendapat boleh. Tetapi setelah kita ketemu, bermusyawarah, sepakat dan akhirnya mendukung bersama. Kemudian DPR diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengoreksi. Namun, tidak ada partai koalisi atau oposisi. Itu liberal. Banyak partai itu liberal, sistem oposisi juga liberal. Lalu, sekarang utusan daerah diganti jadi Dewan Perwakilan Daerah, memangnya kita negara federal?

Bahkan mereka (anggota DPD) tersebut menyebut diri sebagai senator?

Tidak ada istilah senator, nggak ada senat kita, nggak ada negara bagian di sini. Ini Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sudah dipikir matang oleh founding fathers kita. Kenapa memilih negara kesatuan, bukan negara serikat, atau kerajaan. Karena negara kita itu sangat banyak pulau dan sukunya. Jadi kita bukan negara continental, seperti Amerika, satu benua sulit untuk pecah. Tapi kalau kita, terdiri dari puluhan ribu pulau, maka kita harus hati-hati dan menyatu dalam negara kesatuan.

Makanya kita cari satu konsep, bagaimana Indonesia itu tetap utuh, yaitu Pancasila. Menghargai suku, menghargai agama, ras, budaya dan kebijakan lokal yang beda. Tapi punya kerucut yang namanya budaya nasional.

Ini yang harus dipegang. Lepas dari sini, misalnya jadi federal, akan berantakan. Apalagi kalau komunis, tambah berlawanan dengan Pancasila. Makanya sekarang, komunis itu jangan dikasih ruang bebas. Akhir-akhir ini ada dialog di televisi, katanya, itu tipuan dulu Orde Baru, nggak ada itu peristiwa G 30/S PKI. Katanya, itu peristiwa angkatan darat sendiri. Gila itu. Yang ngomong kayak gitu itu anaknya Aidit. Anaknya Aidit, tahu apa dia. Katanya bukan salah PKI, tapi angkatan darat sendiri yang berkelahi.

Tapi untung ada angkatan 66, bereaksi. Untung ada tokoh 66 yang dulu ikut menumpas PKI. Tapi kita harus waspada, sebab sampai kapan pun PKI tidak bisa cocok sama Pancasila. Mengapa? Kalau PKI itu orientasinya komunis, itu adalah komunal, orang itu semua, masyarakat yang diutamakan, bahkan negara. Tidak boleh perusahaan pribadi, swasta, semua negara. Perusahaan negara, tentara negara. Lalu hilangkan pribadi. Sementara liberal, hak individu sangat menonjol, sangat bebas. Sedangkan Pancasila menghargai hak individu tapi mengutamakan kepentingan umum.

Tapi belakangan Pancasila mau dirombak dan dilupakan. Untung masih ada preambule, pembukaan UUD 1945. Ibu Mega ngomong ke saya, “Pak Try, saya mohon maaf, saya sebagai presiden maupun sebagai ketua PDI, tidak bisa melarang orang melakukan amandemen. Tapi 100 persen anggota Fraksi PDIP, berhasil mempertahankan mukadimah.

Saya bilang, bagus bu, itu pokok. Tetapi, kalau kepalanya manusia, dadanya monyet, bagaimana? Preambulenya tetap Pancasila, batang tubuhnya dibongkar. MPR-nya dipreteli. Karena struktur itu yang menentukan bentuk. Kalau rumah begini, rumah Manado begitu, rumah Batak begitu. Itu struktur. Tapi kalau strukturnya berubah, namanya rumah apa ini?

Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang, supaya kondisi ini jangan bertambah buruk?

Yang harus dilakukan, itu tadi, mengkaji ulang amandemen UUD 1945. Sekarang ini kita sudah terlalu liberal. Setelah amandeman tersebut kemudian lahir undang-undang yang bukan organik dan tidak konsekuen dengan Pancasila. Lihat saja ekonomi, kini makin kapitalis. Nah itu harusnya dibetulkan, setelah konsep besarnya dikaji ulang, UU organiknya ditata kembali.

Kita sudah kasih saran, apa lembaganya, dan bagaimana programnya. Kita juga banyak orang pintar. Tinggal menunggu kemauan dari pemerintah dan MPR, untuk membentuk komite nasional. Tapi jangan kayak dulu pada masanya Amien Rais, hanya orang MPR. Tokoh-tokoh masyarakat harus diikutsertakan. Bicara dengan benar, mana yang baik dan tidak baik, itu dikaji ulang.

Tapi harus disadari pula bahwa kita ini semua tidak hidup dalam ruang hampa. Kalau ditanya, apa yang harus kita lakukan? Tidak bisa kita katakan, hei, berhenti dulu nafas, nggak. Jadi dalam hal kaji ulang, kita harus simultan. Konsep diperbaiki, kehidupan terus bergerak. Jadi konsepnya dikaji dan dibetulkan serta dikoreksi sambil terus berjalan.

Kini ada istilah empat pilar. Apa komentar Pak Try?

Ya. Ketika saya ketemu Ketua MPR Taufiq Kiemas, beliau menjelaskan bahwa kini MPR tengah giat memasyarakatkan empat pilar itu. Apa empat pilar itu? Yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Saya bilang bahwa saya senang karena mereka memasyarakatkan hal tersebut.

Tapi kalau kita renungkan, apa cara menempatkannya dengan memakai kata pilar itu betul? Menurut saya, jangan pakai kata pilar. Kalau mau, ada empat pokok yang harus tetap dipegang teguh. Atau istilah lain, tapi jangan kata pilar. Sebab pilar semacam tiang yang berdiri sejajar. Padahal Pancasila itu memiliki fungsi sebagai filosofi, ideologi, dasar negara, dan way of life, pandangan hidup. Jadi bukan sekadar sebagai pilar. Pancasila itu landasan dasar. Diterbitkan di Majalah BERINDO (Berita Indonesia Edisi 86 | Februari 2013 Wawancara TokohIndonesia.com | cross

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Tokoh Terkait: Try Sutrisno, | Kategori: Wawancara | Tags: wawancara, Pancasila, Orde Baru, MPR, DPD, uud 1945, NKRI, GBHN

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini