
[WAWANCARA] – Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, dibantu Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Sekjen Dephan dan segenap jajaran Dephan berhasil menata kembali masalah pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista). Dari kondisi BOBO, Boros dan Bocor, selama 30 tahun lebih pada masa orde baru menjadi lebih akuntable, efisian dan efektif.
Di bawah kepemimpinannya, Dephan telah bertekad melakukan reformasi layanan publik di bidang pertahanan negara, untuk membuat Dephan dan TNI betul-betul menjadi layanan publik di bidang pertahanan dan keamanan. Hal itu dikemukakan Menhan Juwono Sudarsono dalam wawancara eksklusif dengan Tokoh Indonesia.Com, Rabu 12 Agustus 2009, selama dua jam lebih, mulai pukul 10:00 sampai 12:04 WIB di ruang kerjanya, Kantor Dephan, Jalan Medan Merdeka Barat No.13-14. Berikut bagian kedua petikan dari wawancara tersebut.
TI: Sekarang, kita masuk ke apa yang Anda lakukan selama Menteri Pertahanan masa Kabinet Indonesia Bersatu. Kemarin presiden menganugerahkan penghargaan Bintang Yudha Dharma Utama kepada Anda sebagai Menteri Pertahanan karena dinilai mampu menjalankan pengabdian yang sebaik-baiknya sebagai pembina lembaga pertahanan TNI. Memangnya apa yang Anda lakukan sehingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan penghargaan ini saat Anda masih bertugas aktif sebagai Menhan?
JS: Saya kira, saya melakukan apa yang beliau pesankan pada 2004. Bahwa TNI itu harus dikelola secara akuntabel, transparan, dan demokratis. Dalam arti, melalui Departemen Pertahanan, pembiayaan dan penganggaran TNI tidak lagi didominasi oleh apa yang dulu dimiliki oleh TNI. Termasuk bisnisnya, termasuk serba hadirnya serba kuatnya dimana-mana, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Supaya diukur kembali peran TNI itu sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Demokrasi itu antara lain adalah tunduk kepada penganggaran melalui simpul-simpul Dephan, Depkeu, Bappenas secara transparan. Tapi sebenanya jasa yang paling besar dari beliau sendiri. Karena sebagai mantan TNI malah beliau lebih demokratis dan lebih transparan daripada saya.
TI: Contohnya?
JS: Tentang RUU Kamnas, tentang peran pelibatan TNI atau Polri. Beliau mengatakan, Polri menjadi penjuru utama dari keamanan dalam negeri. Saya justru lebih menekankan perlunya peranan TNI yang lebih besar dimana Polri tidak sanggup.
TI: Presiden masih lebih menonjolkan Polrinya daripada Anda?
JS: Iya, kalau beliau masih lebih mengutamakan aparat sipil. Aparat sipil itu, polisi, jaksa dan pengadilan sebagai penjuru utama dari keamanan dalam negeri. Saya sendiri terus terang agak berbeda dengan beliau di situ. Saya katakan bagus, polisi, jaksa, dan pengadilan, tapi tiga aparat ini juga masih banyak persoalan, antara lain infrastruktur. Masing-masing aparat yang tiga ini juga masih rentan terhadap masalah-masalah korupsi dan sebagainya. Sehingga tidak boleh serta merta percaya terus pada institusi yang belum mantap. Karena itu, harus ada peran TNI di belakangnya.
TI: Salah satu fungsi dan tugas adalah perumusan kebijakan umum, kebijaksanaan pelaksanaan, kebijaksanaan sipil dan pertahanan. Lalu tergaris dari penghargaan tadi, tampaknya ada satu hal yang Anda lakukan tentang bagaimana peranan TNI dalam sistem politik dan ekonomi sesuai prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Sebenarnya apa yang Anda laksanakan atau programkan?
JS: Salah satu yang kita kerjakan sejak Januari 2004 adalah transparansi tentang bisnis TNI. Jadi ada tiga jalur, jalur bisnis, jalur koperasi, dan jalur yayasan. Tiga hal ini selama Orde Baru, berperan begitu kuat di dalam sistem politik dan ekonomi sehingga saling mengisi. Semua bisnis, koperasi dan yayasan memperkuat dominasi TNI dalam kehidupan politik. Nah sekarang, dengan transparansi akuntabilitas, masing-masing unsur kita kurangi, walaupun dalam jalur koperasi dan yayasan masih diperjuangkan dan dibenarkan adanya koperasi dan yayasan sepanjang malayani lingkungan terbatas. Tidak lagi menciptakan satuan-satuan pencipta laba seperti zaman dulu.
TI: Itu dalam sistim ekonomi, kalau dalam sistem politiknya?
JS: Dalam sistem politiknya, yang saya sebutkan tadi. Sekarang tergantung apakah tadinya peran berat dari TNI itu bisa diisi oleh pemberdayaan sipil. Polisi, jaksa, hakim tapi juga LSM, pers termasuk parpol. Di sini saya yang paling kecewa adalah parpol. Parpol tidak ada membangun kelembagaan yang kuat selam 18 tahun terakhir ini.
TI: Pengamatan kami, tampaknya Anda berhasil meletakkan dasar dalam sistem yang tadi itu?
JS: Berhasil sebagianlah. Tidak seluruhnya.
TI: Yang sebagian itu kira-kira apa?
JS: Yang sebagian itu, tidak berhasil meyakinkan teman-teman sipil untuk membangun kaderisasi, baik partai maupun LSM. LSM masih terlalu banyak dapat duit dari luar negeri, belum bisa mandiri.
TI: Panglima TNI mengatakan bahwa Anda sangat memahami aspirasi TNI dan bisa memberikan motivasi, dorongan serta arahan agar TNI bisa menjalankan tugas pokoknya dengan sebaik-baiknya. Ini adalah pernyataan panglima TNI. Apa hal yang Anda lakukan sehingga beliau sampai pada apresiasi atau kesimpulan itu. Tentu ada hubungan kerja atau program Menteri Pertahanan yang dirasakan oleh Panglima TNI dan jajarannya semua?
JS: Saya kira apresiasi itu dalam hal anggaran. Saya termasuk orang yang memperjuangkan adanya pertambahan anggaran. Walaupun saya selalu mengatakan pada teman-teman TNI selama lima tahun terakhir dan mungkin lima tahun mendatang, kemungkinan juga akan tetap mengalah pada perekonomian dan kesra. Karena begitu banyak masalah-masalah perekonomian yang besar yang harus diutamakan oleh pemerintah. Dan itu digariskan oleh Pak SBY sendiri.
Jadi sebagian besar dari keberhasilan saya di situ adalah karena ada pesan dari Pak SBY sendiri. Sebagai mantan tentara, untuk sementara mengalah kepada kepentingan ekonomi dan kesra. Tapi Alhamdulillah berkat perkembangan terakhir, ada tambahan Rp 7 triliun untuk tahun depan.
TI: Selama menjabat Menteri Pertahanan, mengenai anggaran, sejauh mana hal anggaran ini menjadi hambatan dalam program Anda sebagai menteri?
JS: Anggaran tidak pernah akan cukup untuk lima sampai sepuluh tahun mendatang. Karena masalah-masalah ekonomi dan kesra, tetap harus menjadi perhatian utama dari pemerintah manapun lima sampai sepuluh tahun mendatang. Jadi buat saya, masalah ini bukan dapat berapa. Tapi yang kita dapat itu kita manfaatkan bagaimana seefisien mungkin.
TI: Salah satu, kalau tidak salah, dalam pengadaan alutsista, tidak melalui rekanan?
JS: Kita coba mengurangi. Tapi saya harus mengakui di lapisan bawah, termasuk di Dephan, Mabes angkatan, masih terjadi. Tapi skalanya tidak sebesar pra 2004.
TI: Kebijakan itu tentu ada latar bekangnya? Kenapa kira-kira sampai tidak memerlukan rekanan lagi?
JS: Rekanan masih ada, tapi kadar pengambilan itu tidak sebesar dululah. Kita usahakan di bawah 15-10 persen. Kalau dulu barang di atas 50-60 persen dibagi-bagi di atas, sekarang kita utamakan pemerataan di bawah dan tidak terlalu mencolok. Kalau memberantas sama sekali tidak mungkin. Tapi yang kita ajarkan minimum yang saya titipkan dalam Rapim TNI adalah bahwa para perwira tinggi juga harus sepaham, bahwa lemarinya tidak sebanyak dulu gitu. Isinya agak ada kosong, gitu. Sama dengan waktu saya di Depdiknas, proyek-proyeknya tidak sebanyak zaman Pak Harto.
TI: Ada pernyataan Anda, bahwa kalau dulu departemen ini termasuk boros. Gitu ya?
JS: Boros dan bocor. Bocor itu adalah membeli alutsista yang sudah di programkan, tetapi banyak bocornya, gitu. Kalau boros itu membeli yang tidak perlu-perlu. Termasuk yang rapid order.
TI: Jadi sekarang itu, menurut apa yang Anda lakukan, keborosan ini bisa dikurangi sampai berapa persen?
JS: Menurut saya mudah-mudahan dalam kurun waktu empat setengah tahun terakhir, sudah cukup menurun. Saya tidak tahu percis, tergantung di bidang apa. Kalau di bidang pengadaan alutsista yang mahal, saya kira signifikan. Barang kali turun 50-60 persen berkurang.
TI: Kalau Anda dipercaya lagi jadi Menteri Pertahanan pada 2009-2014, bisa turun berapa kira-kira?
JS: Yang jelas tidak mungkin titik nol. Nggak mungkin itu. Ndak ada pemerintahan di dunia yang begitu.
TI: Dan itu berarti tidak perlu pemerintah lagi, kalau sudah nol? Selama memerlukan pemerintah, selalu memerlukan menteri pertahanan.
JS: Selama ada pemerintahan dimana-mana termasuk di Amerika, apalagi Rusia, China sekalipun. Barangkali yang tingkat kebocorannya sedikit, itu di Singapura. Singapura itu hanya toleransi dua persen.
TI: Kami kutip dari pernyataan Anda, yang kami anggap berani juga ini, bahwa Anda berharap, jajaran Dephan ini bisa berperan bersama TNI sebagai motor dan pelopor dalam melaksanakan tata pemerintahan yang baik dan benar. Kenapa Anda begitu yakin?
JS: Karena sudah dimulai oleh reformasi internal TNI sejak 1997/1998. Justru di lembaga yang paling dominan secara politik yang paling kaya ekonomi pada zaman dulu, dimulai itu, untuk menempatkan kembali tentara nasional betul-betul sebagai tentara rakyat, tentara perjuangan, tentara nasional, tentara profesional. Jadi, jauh sebelum ada gagasan Menpan maupun Menkeu, kita sudah mulai di Mabes TNI dan Dephan, reformasi perbaikan tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Karena kita adalah alat negara yang paling utama.
TI: Jadi berarti semua tim pemeriksa sudah bisa masuk ke Dephan?
JS: Sudah. Kita masih belum full, wajar tanpa syarat. Apa namanya? Tanpa opini.
TI: Dengan demikian sudah bisa menjadi motor dan pelopor?
JS: Kita harapkan demikian, karena saya lihat, paling tidak sistem penjenjangan dari TNI termasuk sistem rotasi sudah mulai ditiru oleh teman-teman departemen lain. Manfaat dari rotasi untuk tour of duty dan tour of area itu sudah lama dilihat sebagai pola yang baik untuk jajaran lain termasuk di kalangan swasta. Apakah dealer mobil, apakah cabang bank swasta sudah mulai merotasi orang.
TI: Dari sistem ini, Anda sebagai seorang sosiolog, tapi ini ‘kan memerlukan tenaga-tenaga yang ahli di bidang itu?
JS: Ahli di bidang administrasi dan manajemen juga tergantung dari suksesnya dalam konteks sosiokultural tertentu.
TI: Dan tentu ini, Anda tidak salah memilih orang-orang di jajaran Dephan untuk melaksanakan?
JS: Ada kombinasi sipil dan militer yang bagus di sini. Dimana ada jabatan dan jenjang yang masih memerlukan pengetahuan teknis militer. Beberapa dirjen harus dari militer. Tapi beberapa eselon satu yang tidak memerlukan pengetahuan teknis militer menurut cabangan dan matra masing-masing, saya masih bisa menempatkan orang-orang sipil.
TI: Gerakan sudah datang dari lembaga Departemen Pertahanan dan TNI, sementara sipil tadi Anda keluhkan belum bergerak. Dan kalau tidak salah, ini ada juga kehendak dari Anda pada era reformasi ini supaya Dephan dan TNI bisa menjadi daya pendukung yang pokok dalam rangka pemberdayaan kemampuan pemerintahan. Apa yang Anda lakukan rupanya dalam kaitan itu?
JS: Saya serahkan kepada teman-teman di Dephan dan Mabes TNI untuk menjadi teladan saja. Bahwa dari lembaga TNI yang paling dominan, paling disorot dengan korupsi dan KKN. Sekarang menjadi pelopor untuk menjadi lembaga dan poros yang penting dalam Indonesia baru. Dan ini, insyaallah menjadi teladan bagi teman-teman di sipil, termasuk di BUMN, termasuk LSM, bahwa kalau mau memberdayakan kemampuan sipil harus ada kaderisasi, persiapan kaderisasi. Itu kuncinya. Karena kunci dari keberhasilan TNI dengan segala kekurangannya adalah penjenjangan kader melalui sistem sesko, sistem evaluasi buffer jacket.
TI: Menurut Anda apa penjenjangan yang dan pengkaderan yang dilakukan dalam lingkungan TNI ini bisa ditransformasi ke lembaga-lembaga partai politik dan sipil lain?
JS: Sudah menjadi pola sekarang di program Menpan dan sebagian program Menkeu. Di Menkeu itu berkaitan dengan jumlah kategori remunerasi. Ada 27 kategori, mulai dari menteri sampai dengan kategori terbawah. Tapi dulu sudah kita laksanakan. TNI sudah melaksanakan jenjang itu, sesuai dengan kepangkatan, tingkat kesulitan kerja. Bedanya, kita tidak punya uang lembur, adanya uang tempur.
TI: Tadi Anda bilang, sebagai Menteri Pertahanan, menyampaikan ke kalangan TNI, panglima dan sebagainya. Memang Anda di dengar Panglima TNI?
JS: Mudah-mudahan. Barangkali, pengalaman saya di Lemhanas membuat mereka sudah mengenal secara pribadi bahwa orang ini betul-betul masih memperhatikan TNI.
TI: Jadi Anda tidak pernah dicurigai TNI?
JS: Saya kira ndak. Mudah-mudahan ndak.
TI: Jadi hubungan antara kepemimpinan Dephan dengan TNI, pengalaman Anda, ada kerikilnya nggak?
JS: Saya rasa ndak ada.
TI: Kenapa nggak ada?
JS: Hanya, saya merasa mungkin kadang-kadang. Perjuangan saya untuk mendapatkan anggaran yang lebih banyak itu, lebih baik diharapkan oleh teman-teman TNI. Tapi sebaliknya saya mengatakan, bahwa kita hidup dalam iklim dimana kecurigaan, kalau TNI itu terlalu banyak mendapat anggaran itu, akan menimbulkan gambaran tentang masa lampau lagi. Serba dominan, serba boros, serba bocor, dan citra itu kita usahakan supaya dikurangi. Tapi hanya bisa dilakukan kalau defacto di lapangan dilakukan oleh para perwira yang lebih mengarah pada profesionalisme.
TI: Bisa Anda kemukakan satu atau dua contoh, baiknya hubungan antara pimpinan di Dephan dengan di TNI dalam kerangka tugas untuk pertahanan dan keamanan?
JS: Ya. Yang paling baik adalah, dari awal dengan Pak Jenderal Endriartono Sutarto, panglima yang pertama, Marsekal Djoko Suyanto, sampai yang sekarang, Jenderal Djoko Santoso, ada keserasian antara Dephan dengan Mabes TNI. Sebelumnya, hubungan antara Dephan dengan Mabes TNI kurang baik.
TI: Keserasian itu dalam bentuk apa kira-kira. Ada suatu hal yang bisa digambarkan atau diberikan contoh?
JS: Dimulai dari sikap panglima Endriartono Sutarto 2004 sampai 2006 awal. Karena beliau sendiri punya paham yang sama dengan presiden dan saya sendiri bahwa peran TNI itu harus berangsur-angsur di bawah suatu sistem pertanggungjawaban sipil terhadap pemerintah yang terpilih oleh rakyat termasuk oleh presiden. Apalagi presidennya terpilih langsung, apalagi presidennya mantan tentara. Jadi ini suatu keberuntungan buat saya juga. Bukan kepintaran saya, keberuntungan saya.
TI: Tapi ‘kan, seperti Anda akui juga, sebelumnya itu, hubungan antara Dephan dengan panglima atau jajaran TNI nggak selalu mulus, gitu ya? Padahal sekarang, sejak 2004 itu malah lebih baik. Selain hal itu tadi, mungkin masih ada yang lain yang bisa menggambarkan dimana keserasian hubungan itu. Contohnya kira-kira seperti apa gitu?
JS: Mungkin sebagian besar karena saya tidak lagi mewakili parpol. Nah, tentara itu perasaan saya, tidak ingin lembaga Dephan-Mabes itu dipimpin oleh seorang parpol. Karena ini menceritakan masalah-masalah yang terjadi waktu 2001/2004. Kalau departemen dan Mabes itu dipimpin secara politik oleh pimpinan parpol, maka interest parpol itu termasuk masalah keuangan akan dipakai untuk hal-hal yang tidak semestinya menurut peran baru dari TNI sebagai kekuatan netral.
TI: Tapi, ini menyangkut pribadi Anda yang sangat profesional. Selain dipercaya lima presiden, juga berkaitan sampai panglima, kepala-kepala stafnya juga bisa sangat meyakini profesionalitas dan netralitas Anda. Menurut Anda, profesional itu seperti apa? Menurut Anda, profesional sebagai Menteri Pertahanan itu seperti apa kira-kira?
JS: Yang paling penting adalah kepercayaan presiden. Itu saja. Kalau presidennya percaya bahwa Menteri Pertahanan itu betul-betul mengikuti garis tentang netralitas, tentang anggaran, tentang mengurangi penggelembungan, tentang TNI yang lebih berwawasan regional dan global. Itu saya kira tugas inti yang dipesankan waktu Oktober 2004. Kebetulan saya dipilih untuk melakukan pekerjaan itu. Itu saja.
TI: Tetap saja tidak mau memuji dirinya sendiri ya?
JS: Ya
TI: Kita sebagai warga bangsa, hari-hari terakhir ini, sangat prihatin melihat kelengkapan alat-alat persenjataan kita. Sampai-sampai sudah dilecehkan oleh bangsa lain. Yang terakhir di Ambalat misalnya. Apa kegelisahan Anda tentang kelengkapan alutsista TNI?
JS: Menurut saya, tidak usah merisaukan. Karena dari segi perimbangan kekuatan konvensional di negara-negara Asean, kita memang tidak terlalu banyak memiliki alutsista yang canggih dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand. Tapi saya yakin bahwa hidup di era global ini, negara-negara tetangga kita juga tidak perlu terlalu takut pada kita memiliki senjata-senjata yang canggih. Karena kemanan global itu terwarnakan dari adanya hubungan yang demikian intens antara sesama negara, ekonomi, politik, kebudayaan, sehingga praktis negara-negara Asean ini sudah menyatu sebagai satu komunitas politik, ekonomi, dan keamanan. Oleh karena itu, kita manfaatkan apa yang dimiliki oleh Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina, untuk ikut menjaga keamanan kita di perbatasan.
TI: Itu keamanan regional ya. Tapi sekarang justru antara Malaysia- Indonesia. Justru mereka merasa lebih kuat daripada kita? Bagaimana kita menghadapi?
JS: Ndak. Itu saya kira tidak benar karena yang terjadi adalah masalah sengketa tentang kedaulatan, daulat atas Ambalat sebagai wilayah potensi sumber daya alam. Bukan masalah kedaulatan negara. Sengketa itu, sengketa tentang hak daulat atas wilayah yang di perairan yang di luar perairan teritorial masing-masing. Hanya, karena jarak antara laut teritorial dengan hak daulat itu cukup panjang. Karena nilainya sangat tinggi dan energi merupakan penting. Diperlukan kehadiran alutsista yang memadai.
TI: Dengan cara pandang seperti itu bisa diterima oleh Panglima TNI?
JS: Diterima, karena Panglima sendiri mengatakan, “Sebagai tentara rakyat, bersedia untuk sementara mengorbankan anggaran yang lebih banyak untuk perekonomian dan kesra. Karena rakyat yang adil dan sejahtera itu juga bentuk pertahanan yang tidak bisa diukur dengan senjata.
TI: Kalau begitu, kami menangkap, sebenarnya kita sabar dalam keprihatinan alutsista. Menurut pendapat Anda, yang idealnya seperti apa mengenai alusista itu?
JS: Yang sekarang kita kembangkan adalah masalah perimbangan itu tidak dilihat dari jumlah alutsista yang dimiliki, tetapi yang disebut sebagai varitas teknologi. Harus ada kesetaraan. Kalau mereka punya sekian F-16, F-18, kita harus punya Sukhoi. Tidak banyak tetapi varitas tekonologinya sama. Karena itulah yang kita bisa mampu membayar. Karena anggaran lebih banyak untuk perekonomian, untuk pelabuhan, untuk bandara, untuk kesra, dan kesempatan bekerja, begitu.
TI: Mengenai policy pengadaan alutsista diadakan secara kemampuan sendiri di dalam negeri, bagaimana itu dalam kebijaksanaan departemen pertahanan?
JS: Relatif. Karena alutsista yang terlalu canggih, tidak bisa dikembangkan di dalam negeri ataupun di negara-negara Asean. Kalau alat pukul seperti kapal selam dan pesawat tempur tetap harus import dari luar negeri. Tapi yang kita pentingkan adalah alutsista teknologi madya, pesawat angkut, patroli. Itu pun komponennya masih banyak komponen asing.
TI: Ada roket yang dikembangkan oleh Lapan?
JS: Masih bisa diolah agar supaya rudal itu dipadukan dengan kemampuan kendali. Jadi harus ada keterpaduan antara industri kimia dan mesin dan pesawat dengan masalah komando dan kendali. Cuma di situ belum ada keterpaduan antara peroketan dengan masalah kendali telkom itu.
TI: Kembali ke soal kuantitas alutsista, walaupun itu akan bersangkut paut dengan daya mampunya. Menurut Anda, tadi sudah saya tanya, berapa sih jumlah pesawat, misalnya Sukhoi idealnya kita miliki untuk kawasan Indonesia yang begitu luas?
JS: Kalau pesawat tempur, saya kira minimumnya harus ada tiga skuadron. Kalau satu skuadron itu antara 12 dan 16 berarti 36 pesawat tempur. Tapi sekarang kita paling-paling enam atau delapan. Masih jauh. Tapi kalau dilihat dari varitasnya, masih okelah, buat saya. Cukup menjadi daya tangkal untuk membuat negara tetangga berpikir dua kali, sebelum mencoba-coba lagi menguji kekuatan kita.
TI: Kemudian tentang HAM. Ini masalah lama. TNI masih dipersoalkan mengenai HAM. Ada pandangan yang khusus tentang itu dari Anda?
JS: Ya. Singkatnya begini, seringkali indentifikasi HAM adalah TNI sebagai pelanggar HAM. Termasuk HAM berat. Tapi mari kita lihat sisi lain yang sering tidak diakui oleh teman-teman dari LSM. Seringkali TNI berperan untuk mencegah pelanggaran HAM berat yaitu terjadinya perang suku di Papua. Terjadinya keonaran-keonaran di daerah-daerah rawan, termasuk di Poso, di Ambon. Kalau tidak masuk TNI, akan terjadi lagi pelanggaran HAM berat antara sesama warga, karena keterbukaan yang berlebih-lebihan.
TI: Terakhir. Apa mimpi Anda tentang Indonesia. Mimpi dalam tanda kutip. Visi Anda kira-kira?
JS: Bangsa yang percaya diri, itu saja. Jangan terlalu banyak mengeluh.
TI: Supaya menjadi bangsa yang percaya diri?
JS: Ya. Supaya menjadi bangsa yang percaya diri, pemerataan di bawah harus ditingkatkan, terutama kebutuhan dasar manusia. Sandang, pangan, papan, listrik yang murah, hunian yang layak untuk khalayak banyak. Listrik yang cukup sampai ke desa-desa. Tidak perlu PDB perkapitanya 30.000 dolar, tapi timpang. Cukup 6.000 dolar asal merata ke seluruh banyak orang. Jangan mengikuti gaya hidup orang-orang negara maju. Cukup saja sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup.
TI: Berarti Anda tidak setuju neoliberal ya?
JS: Neoliberal itu sudah berkuasa berpuluh-puluh tahun. Dari zaman saya mahasiswa. mti | marjuka – hotsan
***TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)