
[WAWANCARA] – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di bawah kepemimpinan Freddy Numberi, seorang purnawirawan TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Madya, giat melakukan perbaikan demi perbaikan yang, didasarkan atas tekad bulat untuk mengembalikan kejayaan kebaharian kita. Tekad baja ini mulai menunjukkan berbagai keberhasilan, sekaligus mencuatkan aneka harapan lain yang lebih baru.
Perkembangan ekspor produk perikanan Indonesia, yang sepanjang tahun 1997-2001 hanya bergerak pada kisaran angka 1,64 miliar hingga 2 miliar dolar AS, pada tahun 2005 langsung meroket ke angka 2,399 miliar dolar AS. Tidaklah berlebihan apabila Freddy dengan sangat optimis menyebut ekspor hasil perikanan kita pada tahun 2006 ini akan lebih meningkat lagi, bisa mencapai 3,2 miliar dolar AS atau naik 33,3%. “Untuk mencapai tujuan itu, kualitas produk harus ditingkatkan karena persyaratan yang diajukan negara-negara importir juga semakin ketat,” pesan Freddy.
DKP, ujar Freddy, saat berbicara memaparkan peluang investasi sektor kelautan dan perikanan Indonesia di hadapan para pengusaha nasional, pada awal tahun 2006 lalu, akan menggenjot peningkatan produksi perikanan menjadi 7,7 juta ton, atau meningkat 13% dari tahun 2005. Bila dirinci, produksi perikanan tangkap memberikan kontribusi 5,1 juta ton, dan perikanan budidaya 2,6 juta ton.
Perbaikan demi perbaikan yang dilakukan DKP tidak hanya memberikan perubahan positif di bidang peningkatan produksi perikanan dan kenaikan penerimaan devisa. Tetapi, turut pula menyediakan peluang kerja yang lebih luas kepada masyarakat.
Kata Freddy, seorang putra terbaik bangsa asal Papua, dengan asumsi konsumsi ikan perkapita dari tahun 2005 lalu sebesar 26 kg, naik menjadi 28 kg pertahun/kapita di tahun 2006, maka secara kumulatif pada tahun 2006 ini sektor perikanan akan menyediakan kesempatan kerja bagi 7,7 juta orang. Mereka, bergerak di perikanan tangkap 3,8 juta orang, dan di budidaya 3,9 juta orang. Dengan demikian, kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tak akan bergeser dari angka fantastis 3,1%. Tiga komoditas utama yang hendak dijadikan sebagai trigger dalam perencanaan pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia adalah ikan tuna, udang, dan rumput laut.
“Dampak yang langsung bisa dirasakan masyarakat dari upaya peningkatan produksi perikanan, adalah terbukanya kesempatan kerja bagi 7,7 juta orang. Sebanyak 3,8 juta orang akan terserap sektor perikanan tangkap, dan sisanya dibutuhkan di perikanan budidaya,” jelas Menteri Freddy.
Angka-angka statistik ini sesungguhnya masih bisa menjadi jauh lebih tinggi dari kondisi yang sebenarnya, mengingat masih banyak kegiatan ekspor perikanan yang tidak tercatat. Misalnya, akibat IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) Fishing, transhipment di tengah laut, ekspor masuk dalam kategori barang jinjingan atau cangkingan, atau karena kegiatan ekspor ilegal.
Sebab lain, masih banyak produk ekspor dalam bentuk “gelondongan”, atau semi proses, atau dalam bentuk blok. Persoalan ini sempat menimbulkanÓimage lama di masyarakat perikanan internasional, Indonesia boleh berhasil memenangkan persaingan dalam volume ekspor, tetapi tertinggal jauh dalam nilai harga.
Masih ada sebab lain, dan justru ini yang seharusnya menjadi pusat perhatian terbesar untuk dibenahi, karena biasanya selalu luput dari pandangan kasatmata. Yaitu, ketersediaan bahan baku sumberdaya ikan yang mencukupi, dan yang memenuhi mutu sebagai produk ekspor.
Karena itulah, persoalan perbaikan mutu menjadi salah satu kata kunci utama apabila Indonesia serius ingin sukses memenangkan persaingan di era perdagangan global masa depan. Sampai-sampai Menteri Freddy Numberi menggarisbawahi, meningkatnya tuntutan standar mutu dari semua negara importir adalah tantangan terberat yang harus dijawab oleh industri perikanan nasional ke depan ini.
Freddy menekankan, untuk mampu menembus kompetisi produk-produk perikanan di pasar internasional tiga kriteria harus bisa dipenuhi. Yaitu, harus memiliki kualitas produk perikanan yang baik dan seragam, harus tersedia secara teratur dan berkesinambungan, serta harus dapat disediakan secara massal.
Untuk memberi nilai tambah pada setiap produk ekspor perikanan, peningkatan mutu haruslah mengacu kepada Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Sistem ini, awalnya, merupakan sebuah program pemerintah bernama Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT), yang didasarkan atas Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).
Peluang peningkatan ekspor juga dapat diraih dengan melakukan pengembangan jaringan pemasaran, termasuk di dalamnya diversifikasi pasar serta pengembangan dan perkuatan sistem informasi.
Untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan, DKP melakukan revitalisasi perikanan sebagai prioritas hingga tahun 2009. Revitalisasi difokuskan pada sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, berupa kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan dan budi daya perikanan, serta mengoptimalkan operasional unit usaha pengolahan ikan nasional.
Bagaimana konkritnya memenangkan pasar global, yang menempatkan mutu sebagai kata kunci utama perikanan Indonesia market leader di duna internasional, berikut petikan wawancara Haposan Tampubolon, wartawan Majalah Tokoh Indonesia, dengan Drs. Setia Mangunsong, MM Direktur Standarisasi dan Akreditasi, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil-Hasil Perikanan (P2HP), DKP.
Bisa dijelaskan, bagaimana Anda bisa merancang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan ini?
Jadi, memang, sistemnya sama. Pada waktu itu Kanada menyebut namanya Quality Management Programme, Denmark menyebutnya Quality Management, Uni Eropa menyebutnya Own Check System, dan Amerika menyebutnya Hazard Analysis Critical Control Point atau HACCP.
Kita adalah negara produsen yang mengekspor produk perikanannya ke Amerika, Eropa, Kanada, dan Jepang. Pada akhirnya semua sistem kembali ke nama aslinya, Hazard Analysis Critical Control Point. Itulah yang saya coba formulasikan, baik dari side business dan aplikasi, lalu saya buatlah desainnya.
Saya membuatnya dalam empat modul. Kalau dilihat sistemnya, pada dasarnya adalah, hanya dari bahan baku yang bermutu baik, diolah di pabrik yang baik, ditangani oleh orang-orang yang profesional, diyakinkan melalui suatu pengujian di laboratorium, barulah dapat dipastikan mutu perikanannya baik.
Sistem yang saya formulasikan juga mengandung tujuh prinsip. Di tiap proses, sejak dari awal kita sudah harus melihat kemungkinan bahaya. Bahaya di sini terkait dengan mikrobiologi, kimia, dan fisika. Semua kemungkinan-kemungkinannya kita analisa. Dari semua proses kita lihat dimana titik yang kritikal, critical controlpoint-nya dimana. Untuk efisiensi tidak harus semua, memang, hanya dimana yang kritis saja yang perlu dimonitor.
Dalam hal makanan, yang membahayakan kan mikroba. Mikroba harus kita kenali sumbernya ada dua, dari dalam dan dari luar. Dari dalam, kalau ikan dibiarkan tanpa ada penanganan akan busuk. Bagaimana supaya tidak busuk, itulah yang terpenting. Kemudian dari luar, kalau penanganannya tidak saniter, akan terjadi kontaminasi. Ini inti sistemnya.
Dalam penerapan semuanya oleh setiap perusahaan terkandung tiga kata kunci. Kata kunci itu pertama, harus menuliskan apa yang akan dilakukan. Setelah menuliskan apa yang akan dilakukan, kata kunci kedua adalah lakukanlah sesuai seperti apa yang dituliskan. Dan kata kunci ketiga adalah tuliskan kembali apa-apa yang telah dilakukan. Di semua tulisan harus ada record keeping-nya, sehingga dari situ apapun kejadiannya, kapanpun itu terjadi, akan bisa kita telusuri.
Yang dituliskan ini dalam bahasa sehari-hari sebenarnya adalah apa yang disebut dengan quality manual.
Kalau masing-masing perusahaan sudah mempunyai quality manual dan dilaksanakan seperti itu, kemudian direkap semua apa-apa yang dilakukan, maka itu pasti akan bisa menjamin mutu produk.
Tentunya, setiap apa yang ditulis terkait dengan jaminan mutu dan keamanan pangan. Bagaimana mendapatkan, misalnya mutu yang baik, seperti apa syarat-syarat mutu yang baik, itu dituliskan. Kemudian kalau bahan baku datang, sesuai tidak dengan syarat yang Anda tuliskan dalam buku. Kalau sesuai boleh masuk, kalau tidak, jangan.
Seperti apa syarat-syarat pabrik yang bagus, tuliskan. Ketika Anda mau mengoperasikan pabrik sudah sesuai tidak dengan syarat itu. Kalau ada yang belum sesuai, terhadap itu apa yang akan Anda lakukan. Misalnya melakukan correction action, upaya perbaikan, semua punya target oke.
Kalau sudah dilakukan semua baru operasikan. Misalnya, sudah terpenuhi syarat bahan baku yang baik, pabrik yang baik. Tetapi pabrik harus pula dioperasikan oleh orang-orang yang baik. Orang yang baik paham, karena ini makanan, orang yang mengerjakan pabrik harus juga sehat. Tuliskan syarat-syarat kesehatan karyawan Anda seperti apa. Kalau sudah dituliskan, ketika mau dipekerjakan, periksa kesehatannya sebelum masuk. Misalnya harus ada surat dari dokter, oke, kalau sehat Anda boleh kerja, tidak sehat, jangan.
Begitu, kira-kira. Semua sangat teknis tetapi ada juga kaitannya dengan manajemen.
Lalu, bagaimana Anda menyosialisasikannya hingga berhasil meyakinkan berbagai kalangan sejak Menteri Pertanian hingga perusahaan-perusahaan swasta?
Sudah menjadi kebiasaan saya, sehabis mengikuti training membuat laporan. Laporan itu biasanya dibaca, ditindaklanjuti, lalu saya kumpulin kawan-kawan “Oh, ini harus saya laksanakan,” misalnya. Lalu kita train itu ke perusahaan-perusahaan, kita sosialisasikan, perkenalkan.
Perusahaan kan tidak tinggal diam. Dia juga berkomunikasi dengan dunia luar, benar tidak sih pakai yang gini-gini sekarang, misalnya. Buat dia, akhirnya, melaksanakan Sistem bukan menjadi suatu tuntutan, tetapi menjadi kebutuhan. Karena kita sebagai eksportir mensyaratkan itu.
Malah perusahaan-perusahaan menjadi beruntung. Seperti, ketika tahun 1997 keluar peraturan Amerika Serikat, bahwa hanya perusahaan yang menerapkan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan-lah yang boleh melakukan ekspor ke sana.
Di Indonesia SK Menteri Pertanian No. 41/Kpts/IK 210/2/1998 Tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan terbit pertamakali pada tahun 1998. Jauh sebelum itu, pada tahun 1992/1993 kita sesungguhnya sudah mulai memperkenalkan dan menerapkan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) Hasil Perikanan, secara sukarela atau voulantary.
Ketika Uni Eropa bergabung menjadi satu pasar tunggal di tahun 1992/1993, negara yang boleh melakukan ekspor ke sana hanyalah negara yang mempunyai kesamaan sistem pengawasan mutu dengan mereka. Kalau tidak mempunyai kesamaan sistem tidak boleh masuk.
Kita sudah mempunyai sistem itu walau masih sukarela. Itulah yang kita berikan ke sana sebagai laporan. Tetapi ternyata tidak cukup hanya melaporkan. Mereka ingin tahu, benarkah kita sudah menerapkannya. Maka datanglah Tim Inspeksi, mereka mengunjungi Indonesia tahun 1993.
Jadi, ketika itu yang mereka inspeksi bukan hanya kita. Meliputi pula Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Departemen Pertanian. Demikian pula inspeksi terhadap provinsinya, kabupaten sampai ke nelayannya. Diinspeksi juga laboratorium milik Departemen Perindustrian, Sucofindo, terus siapa saja orang-orang yang sudah certified di sistem ini.
Saya sudah punya orangnya pada waktu itu, sebab kita sudah melakukan sejumlah training sebelumnya. Sebab begitu pulang dari pelatihan di luar negeri biasanya saya langsung mengemas suatu training di bidang itu.
Itu sebab Uni Eropa dalam membuat aturannya menempatkan competent authority di Indonesia sampai sekarang adalah Ditjen Perikanan, bukan Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Badan POM, bukan pula Departemen Perindustrian.
Waktu itu Uni Eropa mintakan juga kepada saya, kalau melakukan training, apa saja materi yang kau berikan, bagaimana caranya, saya mau saksikan. Lalu saya beritahukanlah, ini materinya, ini sistemnya, ini metodenya. Sehingga baik FDA dari AS maupun Kanada menjadi ikutan mengakui pula Sistem itu.
Waktu mau menerapkan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, sesunguhnya bukan sedikit tantangan yang saya hadapi. Karena, ketika itu yang dikenal di bidang sistem pengawasan mutu untuk semua produk barang dan jasa adalah ISO. Saya bilang berkali-kali, bukan ISO yang berlaku untuk produk makanan perikanan, tetapi ini, Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.
Jadi kemana-mana banyak yang belum sepakat dengan saya, tetapi saya tetap saja yakini, ini!
Saya mulai mengikuti training ke luar negeri pada tahun 1991/1992, dan berlangsung terus sampai 1994. Periodenya memang tidak terlalu lama dengan keluarnya peraturan Uni Eropa di tahun 1993. Akhirnya orang lalu melihat, “Oh, ini”. Kanada juga, “Nah, ini sistemnya.” Biasanya, orang melihatnya, kalau tidak ke Uni Eropa, ya, Amerika. Amerika resmi mengeluarkan peraturan pada tahun 1995, tapi untuk negara-negara lain baru mulai diberlakukan pada tahun 1997 harus dengan sistem ini.
Setelah ada regulasinya barulah orang mencari-cari Sistem ini. Sehingga pada saat-saat seperti itu hampir setiap minggu saya terbang ke daerah-daerah, diminta memberikan in house training dimana-mana. Kita langsung melakukan training ke pabriknya. Jadi kita berkunjung dari satu pabrik ke pabrik lain untuk melakukan training. Kalangan pabrik pengolahan perikanan rata-rata tahulah, di bidang pengawasan mutu yang ahli itu ya kita.
Khusus kepada Pemerintah, Anda berhasil pula melakukan pendekatan hingga keluar SK Mentan tahun 1998 terbit sebagai landasan hukum mewajibkan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Bisa dijelaskan?
Betul sekali. Pada waktu itu, memang, kalau boleh saya katakan, hampir setiap departemen yang terkait merasa dia yang paling kompeten.
Perdagangan bilang, saya ini Departemen Perdagangan. Waktu itu Departemen Perdagangan mempunyai sistem, ekspor dulu nanti sertifikasinya. Perindustrian juga begitu.
Tapi saya bilang, ini makanan. Kalau sudah diekspor, sementara ini baru diuji, kalau hasil ujinya menyatakan tidak memenuhi standar apa tidak hancur kita nanti.
Jadi waktu itu lama sekali kita melakukan rapat-rapat interdep. Saya masih Kepala Seksi, tapi kadangkala kalau keluar oleh Dirjen sudah disuruh berbicara mengenai hal itu. Saya tunjukkanlah, “Ini lo, materi-materi yang saya peroleh dari luar negeri. Ini lo, tuntutan ke depan, mungkin sekarang belum begitu dikenal. Tapi ini ke depan negara-negara maju Amerika, Eropa, Kanada, ini lo.”
Saya, usai training ke luar negeri, kan selalu bikin laporan dan kasih masukan. Saya tunjukkan dimana kelemahan sistem kita selama ini, kenapa selama ini kita tidak bisa langsung melakukan ekspor ke negara tujuan. Setiap materiÕtraining tidak pernah saya simpan saja, tetapi, setelah ditambah dengan analisis, materi itu kemudian saya presentasikan lagi, beritahu ke kawan-kawan, kemudian saya terjun ke pabrik-pabrik.
Kebetulan pula waktu itu saya masih Kepala Seksi. Jadi saya suka sekali melakukan itu dengan berani. Karena memang saya yakini betul itu. Jadi, sejak tahun 1992 saya sudah kenalkan Sistem ini sehingga atasan saya pun turut mendukung.
Saya sendirilah yang merancang konsep Sistem ini dari awal, tentu dengan bantuan kawan-kawan juga. Momentum itu sangat bertepatan sekali dengan kedatangan Tim Inspeksi dari Uni Eropa di tahun 1993, sehingga semakin yakinlah kita tentang apa yang saya sampaikan. “Ini lo, peraturan kita, ini lo sistemnya.” Kemudian Amerika juga memperkenalkan, “Ini lo, kalau mau train.” Setelah semua makin yakin oke, perusahaan-perusahaan kemudian melaksanakan secara sukarela.
Barulah setelah resmi keluar peraturan Uni Eropa mengenai kewajiban melaksanakan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan, di tahun 1997, pada tahun 1998 terbit SK Menteri Pertanian sehingga Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan mempunyai landasan hukum yang kuat dan resmi untuk diberlakukan secara wajib. Oleh Menteri Kelautan dan Perikanan SK tersebut disempurnakan lagi pada tahun 2001, karena nama departemennya sudah berbeda.
Pasca pemberlakuan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Perikanan, bagaimana trend ekspor produk perikanan Indonesia?
Yang jelas kalau tidak menerapkan Sistem itu ekspor perikanan kita tidak boleh masuk ke Uni Eropa, Amerika, Kanada dan Jepang. Jadi bisa dibayangkan kalau tidak menerapkan itu.
Tapi setelah melaksanakan Sistem itu ekspor kita ke sana meningkat, baik dalam volume maupun nilai.
Masihkah bisa ditemukan reject?
Reject ada saja, tapi tidak seperti yang dulu lagi. Karena bukan berarti dengan Sistem ini menjadi zero risk, dan bukan berarti lalu tidak ada masalah.
Persoalannya sekarang belum semua negara menerapkan Sistem itu. Umpama negara-negara Asean, untuk keperluan bahan baku mereka masih tidak terlalu ketat syaratnya, meskipun negara-negara tujuan ekspor sudah menyatakan itu harus diterapkan.
Bukankah Sistem itu semestinya bisa diberlakukan seragam di lingkungan Asean?
Memang, iya. Tapi dalam pelaksanaan, misalnya Singapura, dia tidak terlalu mensyaratkan itu. Dia masukkan saja dulu bahan bakunya. Demikian juga Thailand dan Filipina.
Tapi negara-negara potensial tujuan ekspor sudah mensyaratkan itu. Dalam working group Asean, karena negara Asean eksportir semua, kita mau minta syarat itu diberlakukan secara ketat.
Tapi sebelum itu betul-betul dilaksanakan mereka sudah was-was juga rupanya. Sebab, dari manalah dia nanti mendapatkan bahan baku. Seperti sudah terbiasa kita dengar, kadang kala produk-produk perikanan kita keluar begitu saja ke Filipina, Singapura, atau Thailand sebagai illegal fishing. Mereka melakukan transaksi di tengah laut. Itulah yang bikin dia was-was. Sebab kalau betul-betul konsisten syarat itu diterapkan, mana mungkin dia mempunyai bahan baku.
Ke depan sudah ada ketentuan ikan yang berasal dari illegal fishing (IIU) tidak akan diterima di pasar internasional, atau ikan yang dikenal sebagai unreported dan unregulated. Persyaratan ketertelusuran atau traceasibility juga akan diberlakukan sehingga setiap ikan harus jelas dari mana asal-usulnya.
Mengapa negara tujuan ekspor masih mau menerima ikan dari negara yang, sesungguhnya bersumber dari illegal fishing?
Iya. Karena mereka (Thailand) kalau ekspor sudah betul-betul menerapkan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan itu.
Demikian pula dengan Filipina, yang pertamakali dimintakan adalah apakah sudah menerapkan Sistem itu apa belum. Sesama negara Asean saja yang tidak terlalu ketat mensyaratkan ketentuan itu. Tapi kalau ke Uni Eropa, Kanada, Amerika, dan Jepang, iya.
Anda cukup lama 14 tahun menjabat Kepala Seksi. Adakah hambatan tertentu yang membuat demikian?
Kalau soal jabatan bukan kita yang menentukan. Alasannya apa, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, walau saya berputar-putar sebagai Kepala Seksi, semua masih terkait dengan pengawasan mutu.
Hanya sebentar, setahun saja saya di Seksi Perijinan pada tahun 1996-1997, sebagai Kepala Seksi Data Perijinan Usaha Perikanan. Setelah itu saya balik lagi ke Pengawasan Mutu. Karena waktu itu, walau saya di Seksi lain orang tetap saja selalu datang ke saya, minimal untuk bertanya.
Akhirnya saya dipindahkan lagi ke situ. Sesudahnya menjadi Kasubdit sejak 1998-Maret 2001, yaitu Kepala Sub Direktorat Pengolahan Hasil, pada Direktorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil, Ditjen Perikanan. Tugasnya juga mencakup Sertifikasi dan Standarisasi Bidang Perikanan.
Apa saja peran Direktorat Standarisasi dan Sertifikasi yang Anda pimpin saat ini, dalam hal pengawasan mutu
Dulu, direktorat yang saya pegang adalah Direktorat Mutu dan Pengolahan. Sekarang Direktorat itu dikembangkan menjadi dua. Direktorat Pengolahan dibuat tersendiri, sementara Mutu dibuat menjadi Direktorat Standarisasi dan Akreditasi.
Jadi Direktorat ini membuat standar-standar yang menyangkut bahan baku, standar teknik pengolahan, standar pabrik, standar sanitasi di budidaya dan di kapal, standar pengujian, atau metode pengujian. Standar-standar ini dipakai oleh semua pihak sebagai acuan.
Nantinya, dengan cara itulah Direktorat Pengolahan melakukan pembinaan. Apakah standar-standar ini sudah diterapkan, kita kemudian melakukan pengawasan. Pengawasan diwujudkan dalam bentuk sertifikasi. Jadi, ada Sertifikasi untuk Mutu, Sertifikasi Pengolahan, Sertifikasi Kesehatan Produk, dan Sertifikasi Personil.
Operasionalnya tidak mungkin dari sini ke semua daerah. Seperti Sertifikasi Kesehatan, bisa kita delegasikan ke masing-masing laboratorium yang ada di daerah, kita hanya mengawasi saja. Para pengawas mutu yang ada di daerah, merekalah yang sehari-hari melakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik. Struktur mereka berada di bawah Pemda, tapi soal teknis kita yang membina dan mengawasi.
Negara-negara lain, kalau ada apa-apa tahunya datang ke sini. Misalnya Amerika, atau Eropa, kalau mau melakukan inspeksi, setelah melalui Departemen dan Ditjen, ujung-ujungnya datangnya ke sini. Terutama bila sudah menyangkut substansi. Dan selama meninjau ke lapangan, kita pula yang mendampingi mereka.
Jadi, Uni Eropa tahu betul siapa competent authority mereka di Indonesia. Sehingga kalau ada apa-apa datangnya ke sini, termasuk mereka yang datang dari Kedutaan.
Kalau bisa disederhanakan, titik berat tugas Direktorat Anda ini membuat piranti lunak berupa kebijakan pengawasan mutu sekaligus penyiapan SDM-nya?
Ya, dan pembuatan regulasinya sebagai pedoman baik bagi pengawas mutu di daerah-daerah maupun bagi para pelaku usaha.
Periodicly kita juga melakukan pengawasan kepada mereka, tidak melepas mereka begitu saja. Kita sering melakukan inspeksi, dan jika ada masalah kita turun langsung melakukan investigasi.
Jadi, kawan-kawan dari Departemen lain seperti Depkes, Badan POM, Perdagangan, Perindustrian, dan BPEN itu tahu kalau bicara masalah perikanan Indonesia ya ke sini dapurnya.
Jadi, sangat begitu strategis fungsi Direktorat ini?
Seharusnya, ya, begitu. Sebab, saya melihat potensi sumberdaya perikanan kita besar. Peluang juga begitu banyak, tetapi mengapa sampai sekarang kita masih belum bisa menjadi market leader di bidang perikanan, malah berada di bawah Thailand dan nanti jangan-jangan malah bisa disusul Vietnam. Karena mereka melihat sistemnya.
Mengelola perikanan, kalau kita lihat sumbernya berasal dari hasil penangkapan di laut, dan pembudidayaan, lalu diolah dan dipasarkan. Hasil tangkapan, hasil budidaya, hasil olahan, kalau mutunya tidak bagus jangankan untuk ekspor, untuk konsumsi dalam negeri pun jadi repot. Jadi, bicara mengenai marketing di era perdagangan bebas fokusnya adalah quality management system dan food safety.
Kalau produk tidak aman dikonsumsi, mutu tidak bagus, promosi seperti apapun orang tidak akan tertarik untuk membeli. Tapi kalau kita melihat kecenderungan dunia, yang beralih dari red meat atau daging merah seperti daging sapi, kambing, domba dan sebagainya, dan white meat seperti daging ayam, itik, kalkun dan lain-lain, ke ikan apalagi setelah ditemukan banyak kasus yang merebak seperti flu burung, antrax, penyakit mulut dan kaki, sapi gila dan lain sebagainya, maka ikan di era global hampir dapat dipastikan akan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat suku agama. Ikan ini halal.
Itu, fakta yang saya lihat, makanya saya katakan, mengapa kita belum bisa merajai pasar. Saya melihat aspek mutu tidak saja berguna untuk pengembangan ekspor, tetapi juga untuk kelestarian sumber. Sampai saat ini, karena handling, penanganan yang terkait dengan mutu waktu ikan ditangkap, dan selama di kapal tidak ditangani sebagaimana mestinya, sehingga ikan losses-nya rata-rata mendekati 30 persen.
Kalau mutu dijaga dengan baik ikan bisa kita manfaatkan benar tanpa harus menguras banyak-banyak. Dan untuk ini kita tidak perlu fasilitas. Saya akui orientasi kita memang masih lebih banyak ke produksi, padahal losses-nya tinggi. Padahal kalau mutu dijaga ekspor bisa berkembang, demikian pula konsumsi dalam negeri.
Tapi maaf-maaf saja kalau saya boleh katakan, mutu belum menjadi prioritas saat ini. Karena di pengawasan mutu ini tidak ada pembangunan fisik. Di sini yang penting adalah bagaimana penerapan Sistem sesuai cara standar. Kita lihat pelaku perikanan adalah pengusaha. Dialah yang membangun pabrik, sehingga kita tidak perlu keluar uang untuk membangun. Jadi, kita tinggal mengawasi saja supaya mereka memenuhi standar.
Berapa besar sesungguhnya, potensi perikanan kita yang sudah bisa dimanfaatkan?
Angka pastinya saya tidak hafal, tapi rata-rata mendekati 60 persen. Di daerah tertentu belum seberapa yang digarap, tetapi di daerah lain malah sudah menunjukkan gejala over fishing.
Apa saja kegiatan lain Anda, selain menggeluti dunia Perikanan?
Boleh dikatakan waktu saya habis di sini sejak hari Senin sampai Jumat. Kadang-kadang hari Sabtu kita masih berada di sini.
Di luar itu saya tidak pernah meninggalkan kumpul-kumpul keluarga. Secara pribadi saya punya keluarga dengan tiga anak, dua laki-laki dan sudah berumahtangga semua, dan satu lagi perempuan. Semua baik-baik, ya sudah, tenang saya, bisa kumpul-kumpul bersama keluarga, tidak ada masalah. Hidup ini apa sih, yang utama kan keluarga, tempat kita bisa bersosialisasi.
Sampai sekarang kumpulan keluarga Mangunsong Bekasi masih memercayai saya sebagai Penasehat. Di Jakarta demikian pula, baik dari pihak keluarga istri Tambunan maupun pihak saya Mangunsong, serta kumpulan kawan-kawan satu alumni Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta. Di sini saya adalah Sekretaris Jenderal Korps Alumni (Koral) STP Jakarta. Ada juga sejumlah lembaga atau institusi sosial kemasyaratan dan kelompok-kelompok profesi yang meminta saya untuk bersedia duduk sebagai anggota dewan pakarnya.
Sehari-hari saya juga masih berkesempatan memberikan kuliah di almamater STP Jakarta. Kemudian setiap akhir tahun perkuliahan, atau menjelang wisuda, saya biasanya diundang memberikan pembekalan kepada mahasiswa yang hendak lulus dari Jurusan Teknologi Pengolahan Pangan di kampus IPB Bogor maupun Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, berupa kuliah umum.
Demikian pula di sejumlah politeknik, seperti di Malang, Bogor, Makassar, serta di Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian milik Departemen Pertanian di Bogor. Di sana setiap akhir semester atau mau wisuda saya biasanya diminta memberikan kuliah. Saya juga masih sempatkan waktu untuk mengikuti kuliah program S-3 di IPB Bogor.
Anda rupanya cukup terbuka dan rajin membagi-bagi ilmu ke banyak kalangan?
Oh, iya. Setiap ada ilmu yang baru langsung saya masukkan ke komputer program PowerPoint. Lalu setiap ada kesempatan kunjungan ke daerah-daerah, saya kumpul-kumpul untuk bagi-bagikan ilmu-ilmu baru itu. Dari situ mereka menjadi tahu ini ilmu baru.
Selain rajin, saya juga senang membagi ilmu. Tergantung pesertanya, saya tahan saja berbicara berjam-jam memberikan presentasi. Seperti kemarin, dalam sebuah kesempatan di Puncak, Bogor, berkumpul para pengawas mutu dari seluruh Indonesia, saya memberikan materi presentasi sejak pukul sembilan pagi hingga pukul satu siang. Saya sering dan suka memberikan ilmu-ilmu.
Dengan mengambil kuliah Program Pasca Sarjana S-3 di IPB Bogor, kajian apa yang hendak Anda lakukan?
Tidak terlepas kaitannya dari apa yang saya geluti selama ini, yaitu bagaimana bangsa ini ke depan dari aspek mutu.
Saya mencoba mengkaji kebijakan-kebijakan yang ada di bidang pengawasan mutu, kaitannya dengan pemasaran internasional. Saya mencoba melakukan analisis di bidang kebijakan pengawasan mutu di era perdagangan bebas.
Dari situ saya nanti akan membuat suatu rekomendasi, “Ini lo sistem yang nanti bisa diterima oleh semua negara”. Saya ingin di bidang itu jangan sampai kita lengah.
Terus terang saja dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, semua ketentuan berupa pasal-pasal dan ayat-ayat yang terkait dengan standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi, itu berasal dari saya. Kalau di UU No. 9 Tahun 1985 sebelumnya, yang digantikan, hanya terdapat satu ayat yang menyentuh mutu. Tetapi pada UU No. 31/2004 banyak pasal dan ayat tentang mutu di situ.
Bisakah disimpulkan, dengan menerapkan Sistem Manajemen Mutu industri perikanan akan berjalan running well?
Kalau kita bicara sistemik tidak boleh hanya satu sistem manajemen mutu saja. Sebab semua saling terkait.
Tapi manajemen mutu termasuk yang strategis, yang juga boleh bertindak sebagai pengungkit dan penguat.
Jika saya bicara penangkapan, pengolahan, dan pemasaran, di semua lini itu manajemen mutu masuk. Kalau lemah mutu di pembudidaya maka akan lemahlah di semua lini. Demikian pula, kalau lemah mutu dari penangkapan maka lemahlah mutu di pengolahan. Sebagai suatu sistem ada sub sistem yang saling terkait dan saling mempengaruhi.
Jadi, bukan berarti kalau manajemen mutu bagus dengan sendirinya yang lain akan bagus. Tidak, ini sistemik.
Mengapa Anda sangat tertarik secara khusus menangani Manajemen Mutu, adakah yang mempengaruhi?
Sebagai PNS bukan kita yang mengatur kita. Melainkan, aturanlah yang mengatur kita. Kalau saya dimana saja tidak masalah. Satu tahun saya di perijinan sempat ciptakan inspection system terhadap kapal. Sebuah sistem tentang bagaimana menginspeksi kapal.
Dalam artian, kalau dulu kapal-kapal penangkap ikan diberi ijin tanpa pernah dilihat betul ada atau tidak wujudnya, betul tidak alat tangkapnya memang seperti itu, dan sebagainya. Jadi saya ciptakan sistem, sebelum memberikan ijin harus terlebih dahulu diinspeksi kapal-kapal itu, terutama untuk kapal-kapal dari luar negeri.
Sistem itu masih diberlakukan sampai sekarang. Sehingga kalau ada kapal yang masuk harus diinspeksi. Itu adalah sistem yang saya bawa dari sistem pengawasan mutu.
Waktu itu banyak yang kelabakan dibuatnya. Sebab soal dokumen saja, misalnya, itu kan bisa dibuat kapan saja, dimana saja dicap segala macam on site. Saya, waktu itu selaku Kepala Seksi Data Perizinan Usaha Perikanan, ketemu Direktur, lalu ajukan, Pak, boleh nggak saya bikin kajian. “Oh, boleh”, katanya. Lalu saya sampaikan, saya gumuli semua jadilah naskahnya. mti/ht