Sesepuh Saksofonis Indonesia
Embong Rahardjo
[ENSIKLOPEDI] Kisah hidup musisi jazz yang terkenal piawai memainkan alat musik flute dan saksofon ini masih terus menginspirasi komunitas jazz Indonesia agar terus berkarya. Kemahirannya bermain saksofon belum ada tandingannya.
Pria kelahiran Solo, 23 Januari 1950 ini sudah memperlihatkan bakat bermusiknya dengan mempelajari berbagai alat musik sejak masih belia. R. Sunarno, ayah sekaligus orang yang pertama kali mengajarinya bermusik tergolong orang yang ‘keras’ soal musik. Tidak ada musik ‘ngak-ngik-ngok’ (istilah Bung Karno untuk musik model Koes Plus) dan anaknya harus mendengar musik klasik. Kalau mendengar musik lain dimainkan, siap-siap saja gagang sapu atau kemoceng mendarat di tubuh mungilnya. Bisa dibayangkan ‘siksaan’ Embong waktu masih muda.
Sunarno merupakan pemain flute orkes keroncong RRI Surakarta. Ia dikenal amat fanatik pada alat musik tiup tersebut. Atas dorongan dan sedikit ‘paksaan’ dari sang ayah, Embong mulai mempelajari teknik bermain flute. Di usianya yang baru menginjak 10 tahun, Embong kecil sudah kerap diajak ayahnya tampil di atas pentas.
Didikan keras dan disiplin dari sang ayah pada akhirnya membentuk karakter Embong untuk serius di dunia musik. Malah belakangan ia merasa bersyukur, karena kalau tidak seperti itu, Embong mungkin tidak akan menjadi orang yang berhasil. Menurutnya, setiap musisi harus tahu kedisiplinan. “Bagaimana kita menuntut kedisiplinan orang lain, jika kita sendiri tidak disiplin,” tambah suami dari Maria Guadalupe Mieke Rahardjo ini.
Awal tahun 70-an, Embong hijrah ke Surabaya untuk mencoba peruntungannya di dunia musik. Di Kota Pahlawan itu, ia bergabung dengan Maryono and His Boys. Maryono lah yang kemudian menjadi guru saksofon Embong. “Mas Maryono sudah kenal saya sejak kecil karena dia anak buah ayah saya di RRI,” ujar musisi yang gaya permainannya banyak terinspirasi Charlie Parker dan John Coltrane ini seperti dikutip tembang.com.
Kebersamaannya dengan kelompok musik ini bertahan hingga 13 tahun lamanya. Selama itu, ia bermain secara rutin di klub malam Diamond, milik seorang pengusaha Surabaya bernama Alexander Wenas. Embong masuk dapur rekaman untuk pertama kalinya bersama Maryono dan Bubi Chen pada tahun 1972. Memasuki tahun 80-an, Maryono and His Boys memutuskan untuk membubarkan diri lantaran usaha klub malam di ibukota Jawa Timur itu mulai suram.
Selain bersama Maryono and His Boys, Embong sempat keliling Eropa, Amerika, dan Asia bersama Band Pertamina selama tiga tahun (1973-1976). Embong mengaku, setiap ada kesempatan yang menghampirinya, ia tak segan untuk mencobanya meski harus meninggalkan bangku sekolah. Untuk melebarkan sayapnya di dunia musik, ia pindah ke Jakarta. Di sana ia berkenalan dengan para musisi jazz senior, salah satunya Jack Lesmana.
Embong juga pernah bergabung dalam beberapa grup musik lainnya seperti The Djakarta All Stars bersama Ireng Maulana, Kiboud Maulana, Idang Rasyidi, Cendy Luntungan, Jeffrey Tahalele, Adjie Rao, dan Syaharani. Selain itu, ayah tiga anak ini pernah bergabung dalam grup Bhaskara dan Java Jazz.
Pergaulannya yang semakin luas pada akhirnya membuat Embong dan beberapa rekan sesama musisi membentuk band dengan nama Gold Guys. Kelompok ini biasanya tampil di beberapa klub malam di Jakarta dan menjadi pengisi acara tetap di Green pub Restaurant. Kemudian Gold Guys berganti nama menjadi Wong Emas dan tampil di North Sea jazz Festival pada tahun 1987. Kelompok ini berkibar hingga awal 1990-an. Embong juga pernah menerima kontrak rekaman dari Warner Bross, Amerika, tahun 1988. Rekaman itu ditangani langsung oleh Bob James dan dibantu musisi yang biasa memback-up Al Jarreau.
Pada tahun 1992, ia pernah mendukung konser David Foster di Jakarta bersama Twilite Orchestra yang disiarkan RCTI. Selain sering membantu Addie MS pada Twilite Orchestra, Embong juga aktif memainkan musik klasik dengan bergabung dalam Orkes Simfoni Djakarta. Dua tahun berselang, dengan bantuan promotor Peter F. Gontha, Embong membuat album solo bertajuk Embong Rahardjo Project. Album tersebut diproduseri Michael Collina, produser kaliber dunia yang pernah mengorbitkan Sergio Mendez, George Benson, dan artis-artis ternama lainnya.
Embong juga pernah bergabung dalam beberapa grup musik lainnya seperti The Djakarta All Stars bersama Ireng Maulana, Kiboud Maulana, Idang Rasyidi, Cendy Luntungan, Jeffrey Tahalele, Adjie Rao, dan Syaharani. Selain itu, ayah tiga anak ini pernah bergabung dalam grup Bhaskara dan Java Jazz.
Embong Rahardjo meninggal dunia di Jakarta, 30 November 2001 setelah sempat dirawat beberapa hari karena terkena stroke. Beberapa bulan sebelumnya, ia masih sempat tampil bersama The Djakarta All Stars di Den Haag, Belanda, dalam ajang jazz bertaraf internasional, North Sea Jazz Festival pada 14 Juli 2001. Ada kesan bangga saat Embong bertutur tentang penampilannya di ajang tersebut. “Setiap kami main, penonton selalu minta lagi,” kata kakak kandung Didik SSS (salah satu pemain flute ternama) ini.
Beberapa tahun sebelum kematiannya, pria ramah, pendiam, dan sederhana ini menjadi sosok yang lebih relijius. “Saya percaya bahwa semua yang saya dapat semata-mata karena anugerah Tuhan,” ujar sahabat karib peniup flute kaliber dunia Kenny G atau Dave Koz ini. Bahkan album terakhirnya yang bertitel In Memori of Embong Rahardjo yang diluncurkan beberapa saat setelah kepergiannya merupakan album bernuansa reliji. Sebelumnya penganut Katolik ini sudah menelurkan empat buah album rohani yang masing-masing berjudul Puji Syukur (1998), Gospel Vol I-IV (2000), Christmas (2000), dan Bunda Maria (2000).
Sepanjang karirnya, musisi yang pernah bermain dengan pianis yang sekaligus pentolan supergrup Fourplay, Bob James ini telah meluncurkan belasan album, beberapa diantaranya berjudul Jazz Flute, Nada dan Improvisasi I-III, Java Jazz, Sunday Jazz, Embong Project, Java Jazz, Spirtus Spirans, dan Easy Listening Music. eti | muli, red