Sutradara Handal Pekerja Keras
Sjumandjaja
[ENSIKLOPEDI] Selama kurang lebih 30 tahun karirnya di dunia perfilman Indonesia, ia berhasil meraih dua Piala Citra untuk skenario film dan tiga Piala Citra sebagai Sutradara Terbaik. Sebagian besar film yang lahir dari lulusan Institut Sinematografi Moskow, Rusia ini lekat dengan realitas sosial seperti Si Doel Anak Betawi (1973), Kabut Sutra Ungu (1979) dan Kerikil-Kerikil Tajam (1984).
Sjumandjaja, putra kelima dari delapan bersaudara ini lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 5 Agustus 1933. Ayahnya yang bekerja sebagai juru gambar di zaman Belanda terpanggil ikut mendirikan Taman Siswa. Di perguruan yang terdapat di Jakarta inilah, Si Manjoy, panggilan akrab Sjuman kala itu, menempuh seluruh masa pendidikan dasar hingga menengahnya. Di sekolah dan tempat tinggalnya di Kemayoran, Sjuman yang sudah menjadi yatim pada usia 10 tahun ini dikenal jago berkelahi, pandai bergaul, dan pacaran.
Setamat SMA, Sjuman yang awalnya bercita-cita ingin menjadi seorang penerbang, mulai berkecimpung sebagai pemain sandiwara, penulis sajak, cerita pendek, hingga kritik sastra. Ia juga iseng-iseng tampil di berbagai judul film meski hanya kebagian peran sebagai figuran. Untuk menyalurkan bakat seninya, ia pernah bergabung menjadi anggota komunitas ”Seniman Senen”.
Perjalanan hidupnya mulai berubah di tahun 1956 tatkala salah satu cerpen karyanya yang berjudul Keroncong Kemayoran diangkat ke dalam film layar lebar oleh PT. Persari dengan judul Saodah. Pria yang akrab disapa rekan-rekannya dengan panggilan Bung Syuman ini, kemudian mulai serius dengan profesinya sebagai penulis dengan bekerja di studio tersebut, persisnya di bagian penulisan yang dipimpin sutradara ternama, Asrul Sani.
Pada tahun 1957, ia diangkat menjadi Asisten Sutradara dalam pembuatan film Anakku Sajang. Setahun berselang, Sjuman mendapat beasiswa untuk belajar di Institut Sinematografi Moskow, Rusia, hingga akhirnya dinyatakan lulus pada 1965. Film berjudul Bayangan, yang diangkat dari karya penulis novel Amerika Erskin Caldwell merupakan film karya akhir yang berhasil membuatnya lulus kuliah dengan predikat sangat memuaskan. Prestasi itu mengantarkan Sjumandjaja sebagai orang ke-7 yang lulus dengan predikat tersebut sekaligus orang non-Rusia pertama.
Ketika menimba ilmu di Moskow, sutradara yang dikenal necis dan romantis ini berkenalan lalu menikahi, Farida Oetojo, balerina asal Indonesia yang waktu itu juga sedang belajar di sana. Tahun 1973, keduanya memutuskan untuk berpisah setelah dikaruniai dua anak, salah satunya adalah mantan drummer grup musik Dewa 19 yaitu Aksan Sjuman atau lebih dikenal dengan nama Wong Aksan. Tahun berikutnya, ia memperistri Tuti Kirana, rekan kerjanya dalam produksi film Flamboyan. Pernikahan keduanya ini juga membuahkan dua anak, yakni Hyza dan Djenar Maesa Ayu. Djenar kini dikenal sebagai salah seorang penulis wanita di Indonesia.
Sekembalinya ke Indonesia, Sjuman tak langsung mengaplikasikan ilmu sinematografi yang telah dipelajarinya selama hampir tujuh tahun itu. Ia terlebih dahulu bergelut sebagai birokrat dengan jabatan Direktur Film di Departemen Penerangan sejak tahun 1967 hingga 1968. Di masa kepemimpinannya, Direktorat Film cukup banyak melahirkan tindakan yang penting bagi pengembangan perfilman. Antara lain diadakannya seminar penyiapan UU Perfilman (UU itu sendiri baru lahir tahun 1992) dan Dewan Produksi Film Nasional di tahun 1968 yang membuat film percontohan guna mengubah orientasi para pembuat di lapangan, yang waktu itu sedang dilanda film kodian dan “kotor”.
Di tangan tangan Sjuman telah lahir sekitar 30 skenario, dua diantaranya berhasil meraih Piala Citra, yakni untuk skenario film Laila Majenun (FFI 1976) dan Kerikil-Kerikil Tajam (FFI 1985). Sementara untuk kiprahnya sebagai sutradara juga kerap mencatat prestasi gemilang yakni dengan terpilihnya ia sebagai Sutradara Terbaik di ajang bergengsi Festival Film Indonesia sebanyak tiga kali, masing-masing untuk film berjudul Budak Nafsu Fatima (FFI 1984), Si Doel Anak Modern (FFI 1977), serta Si Mamad (FFI 1973)
Setelah setahun menjabat, Sjuman kembali aktif menulis sambil sesekali berakting. Karirnya sebagai sutradara dirintis di awal tahun 70-an saat membesut film Lewat Tengah Malam (1971). Pada 1973, ia mendirikan perusahaan PT. Matari Film dengan film pertama yang diproduksi sekaligus disutradarainya berjudul Si Doel Anak Betawi. Film inilah yang mengorbitkan nama aktor (cilik) Rano Karno, serta unsur budaya Betawi di dunia film dan sinetron. Kecuali film pertamanya, semua film Sjuman dibuat oleh perusahaannya sendiri, Sjuman juga menulis semua skenario film yang disutradarainya.
Dari tangannya telah lahir sekitar 30 skenario, dua diantaranya berhasil meraih Piala Citra, yakni untuk skenario film Laila Majenun (FFI 1976) dan Kerikil-Kerikil Tajam (FFI 1985). Sementara untuk kiprahnya sebagai sutradara juga kerap mencatat prestasi gemilang yakni dengan terpilihnya ia sebagai Sutradara Terbaik di ajang bergengsi Festival Film Indonesia sebanyak tiga kali, masing-masing untuk film berjudul Budak Nafsu Fatima (FFI 1984), Si Doel Anak Modern (FFI 1977), serta Si Mamad (FFI 1973).
Selain bekerja di balik layar sebagai penulis skenario dan sutradara, Sjuman yang sejak usia muda sering tampil sebagai figuran mulai berperan sebagai aktor pembantu dalam sejumlah film antara lain Garis-Garis Cakrawala, Ombaknya Laut Mabuknya Cinta, Si Bongkok, Anjing-Anjing Gladak, Perawan Buta, Lewat Tengah Malam, Jang Djatuh Dikaki Lelaki, dan Hati Selembut Salju.
Sepanjang karirnya, Sjuman dikenal sebagai seorang di antara segelintir sutradara Indonesia yang tidak dapat ‘didikte’ oleh produser film. Sikap mandiri itu tampaknya mutlak bagi seorang Sjumandjaja, yang senantiasa ingin secara jelas menghubungkan film sebagai alat ekspresi pribadi dengan realitas sosial. ”Sayangnya, yang mengikuti dia tidak banyak,” ujar D. Djajakusuma, budayawan dan sutradara film kawakan Indonesia seperti dikutip dari situs pdat Tempo.
Di awal tahun 80-an, kondisi kesehatan Sjumandjaja mulai merosot. Pada 1984, setelah hampir sepuluh tahun menduda, Sjuman menyunting mantan perenang yang belakangan beralih profesi menjadi aktris, Zoraya Perucha. Waktu itu, pria yang mulai rajin mendalami agama ini mengaku telah putus asa dalam kesendiriannya. ”Tetapi, Tuhan rupanya berbaik kepada umatnya. Ia mengirimkan bidadari kepada saya,” ujar mendiang mertua aktris Titi Sjuman itu. Ia bahkan pernah berada dalam kondisi kritis namun masih dapat bertahan dan mencoba membuat film lagi berjudul Opera Jakarta yang dibintangi sang istri. Di penghujung pembuatan film tersebut, tepatnya pada 19 Juli 1985, Sjumandjaja menghembuskan nafas terakhir akibat menderita penyakit liver yang berkomplikasi dengan kadar gula yang tinggi. eti | muli, red