
[ENSIKLOPEDI] Bosowa sebuah nama yang amat menarik, unik, mudah diucapkan, enak dan akrab didengar dan karenanya mudah melekat dalam ingatan. Siapa dan bagaimana nama ini ditemukan? Penemunya adalah HM Aksa Mahmud sendiri, selaku pendiri perusahaan Bosowa, yang kini telah berkembang menjadi salah satu perusahaan raksasa dengan lebih 30 anak perusahaan dengan asset lebih Rp 3,5 triliun.
Nama Bosowa, menurut penemunya Aksa Mahmud, adalah singkatan dari tiga Kerajaan Bugis, yakni Bone, Sopeng dan Wajo. Kenapa Aksa memilih nama tiga Kerajaan Bugis itu. Dalam historis perjalanan raja-raja selalu ada perang antara raja. Tapi di tiga kerajaan Bone, Sopeng dan Wajo sangat damai. Tidak pernah terjadi perang sesama ketiga kerajaan bertetangga. Antara raja Bone dengan Gowa pernah perang, tapi antara Bone, Sopeng dan Wajo tidak pernah berperang.
Berlatar sejarah damai itu, Aksa menganggap tiga kerajaan ini cukup kompak dan masing-masing punya keunggulan. Raja Bone unggul dalam pemerintahan, Raja Soppeng unggul sebagai produsen dan Raja Wajo unggul sebagai pengusaha. Perpaduan dari ketiganya menghasilkan kekuatan local yang berjaya di bidang pemerintahan, produksi barang dan jasa, yang kemudian diperdagangkan menembus pasar internasional.
Jadi, menutu Aksa, kalau Pak Jusuf Kalla jadi wakil presiden karena dia dari Bone yang dalam historisnya memang keunggulannya pemerintah. “Jadi kalau dia jadi pengusaha, ya nasibnya aja itu sebenarnya. Sesungguhnya potensi dia adalah pejabat, penguasa. Potensi budayanya penguasa,” ungkap Aksa Mahmud, ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Aksa meyakini dalam bisnis, nama itu penting. Karena nama itu memberikan brand image. Kalau nama kita bagus lebih mudah membangun brand image. Bosowa, sebuah nama yang bagus, selain berkaitan dengan nama tiga kerajaan (Bone, Sopeng dan Wajo) juga enak diucapkan, bukan hanya oleh orang Indonesia, bahkan juga orang asing, terutama Jepang.
Aksa sendiri berasal dari Sopeng. Namun belakangan setelah dibagi jadi kabupaten, telah lepas dari wilayah itu tapi dari segi darah dia dari Sopeng. Nama kampungnya Sopeng Riaja, Sopeng sebelah barat. “Itu historisnya sehingga perusahaan itu saya namai Bosowa,” jelas Aksa.
Sebenarnya, pada awalnya dia membuka perusahaan dengan nama CV Moneter. Dia bikin perusahaan CV Moneter, karena pemerintah waktu Wijoyo sebagai Ketua Bappenas dan Ali Wardana sebagai Menteri Keuangan mengumumkan kebijaksanaan moneter perubahaan nilai tukar rupiah dari Rp 372 menjadi Rp 410 per satu dolar. “Karena dia sebut malamnya ada kebijaksanaan moneter, besoknya aku bikin perusahaan moneter. Namanya CV Moneter,” kenang Aksa Mahmud, yang sejak 2004 aktif sebagai Anggota Badan Pertimbangan KADIN Indonesia.
Lalu kenapa jadi Bosowa? Nama Bosowa baru muncul setelah Aksa menjadi dealer Mitsubisi. Pihak Mitshubisi, Jepang mengatakan harus ada berliannya. Seperti PT Krama Yudha Tiga Berlian. Harus ada tiga berlian. Aksa pun bilang kalau cuma berlian, di Sulawesi Selatan ada tiga kerajaan berlian juga. Yaitu Kerajaan Bone, Sopeng dan Wajo. Tiga juga. Akhirnya Jepangnya setuju dan disepakati namanya PT Bosowa Berlian Motor.
Aksa meyakini dalam bisnis, nama itu penting. Karena nama itu memberikan brand image. Kalau nama kita bagus lebih mudah membangun brand image. Bosowa, sebuah nama yang bagus, selain berkaitan dengan nama tiga kerajaan (Bone, Sopeng dan Wajo) juga enak diucapkan, bukan hanya oleh orang Indonesia, bahkan juga orang asing, terutama Jepang. Bahkan Jepangnya sering mengatakan kenapa seperti nama orang Jepang ya? Bosowa, Bosowa! Jadi itulah historisnya Bosowa menjadi dealer Sulawesi Selatan, kemudian Jepangnya percaya dan mengakui menjadi dealer Indonesia Timur sampai Timor Timor dulu sebelum memisahkan diri dari NKRI.
Kemudian berkembanglah berbagai bisnis, dan sudah bisa mendapat legitimasi dari masyarakat kawasan timur Indonesia. Walau cita-citanya hanya Makasar, kemudian Sulawesi Selatan, kemudian Indonesia Timur, kemudian Indonesia. Aksa berharap secound generation akan bisa mengantar Bosowa Group menjadi perusahaan multinasional.
Karena Aksa berprinsip, bagaimanapun pengusaha Indonesia juga harus ikut dalam pertarungan multinasional. “Jangan hanya orang asing masuk berusaha di negeri kita, tapi kita tidak berusaha di negara orang. Jadi oleh karena itu pemikiran saya, anak-anak saya itu harus saya siapkan. Alhamdulilah setelah lulus di Amerika empat-empatnya lulus di Amerika, yang bungsu sekarang masih di Inggris, jadi merekalah yang menjalankan sekarang ini,” ungkap Aksa Mahmud bahagia. mti/crs-dap
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Kiat Bisnis Bosowa
Berdoa, Jujur, Kerja Keras, Belajar, Berani Ambil Risiko dan Hargai Profesional
Apa kiat utama HM Aksa Mahmud hingga berhasil membangun imperium bisnis Bosowa Group? Pertama, dia selalu berusaha menjadi seorang manusia yang baik, yang dilandaskan di atas filosofi hidup bekerja keras, belajar terus menerus dan berdoa. Kedua, selalu berusaha menjadi seorang pebisnis yang baik, yang dilandaskan pada kejujuran, kerja keras, punya keberanian dan percaya diri, serta menghargai tenaga profesional.
Jadi, menurut Aksa Mahmud, kalau tidak jujur jangan masuk dunia bisnis. Kalau tidak mau kerja keras dan tidak punya keberanian juga jangan masuk dunia bisnis. Kenapa? Bisnis itu bagaikan perang yang tiada habis-habisnya. Menurutnya, jadi pebisnis itu lebih keras kehidupannya daripada seorang tentara. Karena kalau tentara, selesai perang kembali ke asrama, tenang. Tapi, seorang pebisnis, mulai dari bangun harus berpikir peperangan bagaimana memenangkan hari itu, setelah tidur juga bagaimana harus bermimpi memenangkan peperangan itu.
Jadi seluruh kehidupan dan perjuangannya peperangan terus. Maka dia menyebut bisnis itu perang yang tidak ada habisnya. Oleh karena itu, Ketua Dewan Bisnis Sulawesi (2003-sekarang) itu mengatakan landasan utama seorang pebisnis seperti itu, secara total. Sebab kalau modalnya hanya kerja keras dan berani tanpa landasan kejujuran, itu juga sulit. Pebisnis itu landasan utamanya kejujuran, kerja keras dan berani.
Dengan memiliki ketiga unsur itulah seseorang layak disebut pebisnis, wirausaha, wiraswasta atau pengusaha. Kalau kita menjadi seorang pebisnis karena di situ ada barang dan pembeli, kita hanya disebut penjual dan pembeli disebut istilahnya pebisnis jual beli atau pedagang.
“Tapi kalau kita menjadi pengusaha, tidak ada barang tapi ada pembeli, kemudian kita bisa bikin transaksi, nah itu sudah bisa dikategorikan sebagai seorang pengusaha. Jadi kalau tidak ada pembeli, tidak ada barang atau ada barang tidak ada pembeli tapi bisa membuat transaksi, itu bolehlah,” Aksa Mahmud menjelaskan.
Seseorang tidak akan pintar berenang tanpa pernah turun ke air. Siapa pun tidak akan cekatan berbisnis jika tak pernah menggeluti dan memahami seluk-beluknya. Seperti dalam profesi apa pun, potensi dan semangat enterpreneurship pun harus terus diasah dan dilatih. Laksana mengasah batu intan menjadi perhiasan kristal berlian yang indah berkualitas. Untuk itu memang dibutuhkan perjuangan, kejujuran, ketekunan, keberanian mengambil risiko dan semangat pantang menyerah. Serta penghargaan kepada tenaga profesional.
Di samping itu, demikian Aksa Mahmud, seorang enterpreneur harus jeli melihat dan memanfaatkan peluang bisnis. Serta berani menempuh risiko, walau langkah bisnisnya ini dinilai sebagai tidak masuk akal. Sepanjang dia yakin, dia harus berani mewujudkannya menjadi sebuah ladang usaha, usaha bisnis.
Tapi, menurut Ketua Umum KADIN Sulawesi Selatan (1999-Sekarang) dan Ketua Dewan Penasehat GAPENSI Pusat (1994-Sekarang), itu yang paling nikmat di dunia bisnis, kenikmatan yang tertinggi dalam dunia bisnis, apabila tidak ada pembeli tidak ada barang tapi kita bisa buat transaksi. Itu yang paling nikmat. “Artinya, saya tidak punya uang, tidak punya barang yang saya mau beli, tapi saya bisa bikin transaksi. Nah itu nikmat paling besar, dan itulah kehidupan paling nikmat bahwa saya punya modal cita-cita tapi tidak ada barangnya, tidak ada uangnya, tapi saya bisa bikin transaksi,” jelas Anggota Badan Pertimbangan KADIN Indonesia (2004-Sekarang) itu.
Dan ingat, transaksi itu jujur! Jujur dan menghasilkan, sukses. Seperti ketika dia berpesan kepada anaknya waktu mau beli jalan tol Bintaro yang dilelang oleh BNI. Dia pesan kepada anaknya supaya ikut lelang, ikut tender lelang negara. Anaknya bilang: “Uangnya dari mana? Mana uangnya?”
Aksa balik bilang: “Heh kalau kau bicara mana uangnya semua orang bisa membeli.” Kalau ada uang, tidak perlu sekolah tinggi. Kalau orang ada uang, semua orang bisa belanja. Maka kalau hebat, ikut saja. “Kalau kita nanti menang uangnya dari mana,” kata anaknya. “Ikut saja, pokoknya menangkan dulu baru cari uang,” tandas Aksa.
Nah begitu teorinya, jadi itu namanya ada barang tidak ada uang kan? Kita dapatkan dulu, ada pembeli belum ada penjual, sesudah menang cari uang. Ya, tapi waktunya singkat sekali cuma 7 hari. “Saya bilang, bagaimana caramu meyakinkan orang, itulah pentingnya kejujuran. Jadi ya sudah, setelah menang coba tender terus ke bank, ini saya menang bagaimana kasih biaya,” Aksa menjelaskan. Itulah transaksi dengan mengandalkan kejujuran dan keberanian. Ada barang tapi tidak ada uang.
Tak sedikit orang yang menilai Aksa Mahmud sebagai “rada miring” ketika merintis usaha jasa taksi di Makasar. Ketika itu, sebagian besar penduduk Kota Makassar masih pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang relatif terbatas. Jadi menurut berbagai kalangan, porsinya memang baru angkot. Taksi dinilai masih terlalu mewah. Sampai-sampai seorang guru besar ekonomi menilai langkah Aksa membuka perusahaan taksi itu keliru berat.
Tapi, Aksa Mahmud menegaskan bahwa dia membuat perusahaan taksi bukan untuk kelompok masyarakat yang hanya mampu membayar angkot. Dia berpikir untuk masyarakat menengah dan atas. Kemudian memang terbukti bahwa prediksi bisnisnya itu sangat tepat. Usaha taksi Aksa Mahmud terus berkembang sampai sekarang ini.
Jadi, untuk menjadi pengusaha seseorang harus memiliki keberanian dan rasa percaya diri yang tebal. Kalau tidak, jangan memasuki dunia enterpreneur, pesan Aksa mengingatkan. Profesi ini bagaikan “perang” yang tidak habis-habisnya, baru berhenti setelah yang bersangkutan dipanggil ke liang lahat. Kalau perang konvensional telah usai, biasanya tentara pulang ke barak, atau ke markas. Tapi pengusaha tidak. Sejak bangun tidur, pengusaha terus berpikir bagaimana memenangkan “peperangan” hari ini. Begitu juga malam harinya, saat tidur pun yang ada di dalam mimpi adalah bisnis.
Aksa juga berpesan agar setiap pengusaha selalu kreatif dan aktif mencermati arah kebijakan pemerintah. Bagaimana sebuah kebijakan yang baru diluncurkan bisa “diuangkan”, dimanfaatkan menjadi peluang bisnis.
Hargai Tenaga Profesional
Kiat itu selalu dia motivasi bahwa nikmat tertinggi dari seorang pebisnis adalah apabila ada cita cita, ingin sesuatu, tapi tidak ada barang, tidak ada pembeli, harus bisa bikin. Aksa memberi contoh bagaimana dia waktu mau bangun pabrik semen Bosowa. Sementara dia tidak punya ilmu, tidak punya uang. Tidak ada juga barangnya tapi dia bisa bangun. Lalu dia memenej idenya untuk menciptakan ada barang kemudian menciptakan dari uangnya orang. Kemudian dia bikin transaksi, dan jadi miliknya.
Padahal kala itu, hanya dua pengusaha nasional yang bisa membangun industri semen. Tapi Aksa Mahmud terus berpikir, kalau si A bisa, kenapa dia tidak? Aksa bertekad bulat untuk masuk ke bisnis ini. Ia pun rajin menyambangi berbagai seminar industri semen, bahkan sampai ke luar negeri.
Akhirnya, dalam satu seminar di Singapura, ia berkenalan dengan seorang pakar semen dari Swiss. Dia lalu mengajaknya ke Indonesia. Kenapa dia mau ikut? Rupanya pakar tersebut ‘kasihan’ setelah melihat pengetahuan Aksa Mahmud yang amat minim dalam soal industri ini. Sementara semangatnya untuk membangun industri semen begitu menggebu. Aksa pun memakai ahli semen asal Swiss tersebut. Tapi Aksa bertekad satu saat akan lebih pintar dari dia.
Bukan hanya dalam pembangunan fisik pabrik, ahli tersebut juga dimanfaatkan untuk menggaet kreditor. Pakar tersebut ia “jual” ke kalangan perbankan. Para direksi bank pun percaya akan kelayakan usaha tersebut karena melibatkan seorang ahli, profesional dari LN.
Aksa mengungkapkan, dia sempat beda pendapat dengan ahli itu tentang sistem pengerjaan proyek. Ahli itu menginginkan agar Aksa Mahmud sebagai pemilik cukup terima beres, terima kunci saja. Pembangunan pabrik seluruhnya ditangani oleh perusahaan asing. Aksa sempat keberatan dengan sistem ini. Bangsa kita kan punya kemampuan juga. Kita sudah bisa bangun pabrik Semen Gresik, Indocement, tapi koq tidak dilibatkan? Begitu Aksa berpikir, didorong rasa nasionalismenya.
Tapi ahli tersebut tetap bertahan dengan prinsipnya. Nah, itu yang dilukiskan Aksa Mahmud bahwa adakalanya seorang enterpreneur ‘ketakutan’ menghadapi professional, dalam artian menghargai tenaga profesional. Kalau Aksa tetap ngotot, kemungkinan sang profesional tersebut akan meninggalkannya, sehingga seluruh rencana yang telah tersusun akan berantakan. Akhirnya, ia mengalah dan dipakailah kontraktor asing: ada Korea, Jepang, dan sebagainya.
Setelah delapan bulan kontrak ditandatangani, resesi hebat menghajar ekonomi Indonesia tahun 1997/1998. Sebagai pemilik, Aksa Mahmud sangat kuatir. Tapi, pakar semen dari Swiss tersebut berjanji dan meyakinkan dia bahwa proyek ini hanya bisa gagal kalau dunia sudah kiamat. Akhirnya, saat puncak resesi tahun 1999, pabrik Semen Bosowa sudah mulai beroperasi. Begitu yakinnya dia dengan konsep profesionalnya. Itulah yang membuat Aksa salut.
Tapi biar bagaimana pun, pengusaha harus lebih cerdas dari orang yang pintar profesional. Berkat kecerdasannya, pengusaha mampu memakai orang profesional, demikian Aksa Mahmud. Namun, pengusaha juga perlu memahami posisi profesional. Banyak pengusaha Melayu tempo dulu seperti pengusaha kain sarung, rokok dan sebagainya mengalami kehancuran total karena tidak melibatkan profesional. Di dalam manajemen perusahaan modern seperti sekarang ini, posisi enterpreneur itu ibaratnya cukup sebagai penemu, perintis usaha. Setelah itu, perusahaan harus ditangani para ahlinya, manajer, orang-orang profesional.
Enterpreneur tidak akan berdaya tanpa mereka. Kalau segalanya ditangani sendiri, nasibnya akan seperti pengusaha batik, kain sarung dan pengusaha rokok yang telah gulung tikar tersebut, Aksa Mahmud menegaskan.
Dalam konteks inilah, konglomerat dari Kawasan Timur Indonesia ini menekankan agar generasi muda perlu segera membuat pilihannya. Kalau bukan menjadi pengusaha, ya harus jadi profesional. Kalau dulu, profesional memang ditindas dan ditekan oleh entrepreneur. Pengusaha sering memosisikan profesional sekedar orang gajian. Tapi di era sekarang, profesional, para manajer, sangat dihargai. Sebagai contoh, Aksa menyebut angka l5 ribu dolar AS untuk gaji profesionalnya yang asal Swiss tersebut.
Aksa juga mengingatkan pentingnya kecerdasan dan kejelian untuk dimiliki seorang pengusaha. Pengusaha yang cerdas akan mampu menciptakan transaksi walau tidak ada barang, tidak ada pembeli. Ini misalnya diterapkannya saat membeli perusahaan pengelola jalan tol Bintaro-Pondok Aren.
Saudagar artinya orang yang panjang akal. Aksa muda, dulunya adalah aktivis mahasiswa. Dia dijuluki teman-temannya sebagai aktivis yang panjang akal. Karena itulah di koran kampus saat itu, dia ditugasi untuk menagih piutang yang macet. Di tangannya tagihan macet itu jadi uang. Dia cuma memutar otak saja, uang pun keluar.
Suatu kali di Bandara Hassanuddin Makasar, Aksa melihat dua orang Jepang sedang celingukan tak tahu mau ke mana. Orang Jepang itu disapanya. Ternyata mereka sedang kebingungan cari penginapan. Aksa yang punya naluri bisnis, bukan cuma menunjukkan hotel, melainkan mengantarkannya dan menemani mereka makan malam. Tak disangka ternyata mereka berasal dari Mitshubishi dan sedang mencari dealer. Aksa yang pernah menangani Nissan segera menangkap peluang ini. Aksa pun menguasai dealership Mitshubishi untuk Indonesia Timur. Dari usaha ini pulalah ia berhasil membangun Bosowa Grup.
Ia mengaku sebagian besar bisnisnya (di luar semen dan dealership) diambil alih dari orang lain yang mengalami kredit macet. Di tangannya usaha-usaha macet itu justru bisa berkembang. Kelihaian seperti ini juga diterapkannya saat ingin membangun pembangkit listrik di Cirebon yang melibatkan pengusaha dari China. Syarat pertama yang harus dipenuhi, ia harus menggunakan mesin pembangkit buatan China.
Aksa setuju tetapi dengan syarat bahwa ia harus memiliki 49 persen saham. Tapi, setelah proyek rampung dan mulai beroperasi, dengan kecerdikan dan kiat yang jitu, komposisi pemilikan saham berubah dan Aksa memiliki 60 persen. Lalu tujuh tahun kemudian, seluruh utang pabrik ini lunas dan 100 persen saham kini dimiliki oleh Aksa Mahmud.
Trik yang relatif sama juga dilakukan saat Bosowa Group mengambil alih kepemilikan Bank Kesawan. “Bank itu saya beli tanpa uang,” katanya. Karena itulah, Aksa Mahmud mengingatkan pentingnya calon pengusaha memahami seluk beluk masalah pasar modal, bursa efek, perbankan dan keuangan. Perbankan hanyalah salah satu alternatif sumber modal di samping bursa efek. mti | tum
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Pengusaha yang Ingin Berbagi
Sebagai seorang pengusaha sukses membangun imperium bisnis Grup Bosowa yang kini menduduki jabatan dan peran kenegaraan sebagai Wakil Ketua MPR periode tahun 2004-2009 memiliki keinginan sederhana saja. Ia sangat ingin mengisi masa-masa pengabdiannya sebagai negarawan dan tokoh bisnis dengan berbagi pengalaman kepada siapa saja. Itulah yang dilakukannya tatkala memberi kuliah umum di Universitas Al-Zaytun Indonesia, di Desa Sandrem, Indramayu.
Aksa Mahmud, yang pada Pemilu 2004 lalu terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD), sebuah lembaga tinggi kenegaraan sesuai hasil amandemen UUD 1945, memang tergolong negarawan yang amat peduli pada upaya pencerdasan bangsa, baik itu melalui pembangunan pendidikan maupun pembangunan ekonomi.
Karena itu setiap kali diundang untuk berkunjung ke lembaga pendidikan, seperti ke Kampus Universitas Al-Zaytun (UAZ) Indonesia, ia bersedia saja untuk menyambangi bahkan tak henti-hentiya menyatakan kekaguman kepada lembaga yang berhasil mensenyawakan unsur pendidikan dan unsur ekonomi dalam sebuah sistem yang simbiosis mutualis.
Berkunjung ke Al-Zaytun bagi Aksa sepertinya bercermin kepada diri sendiri, betapa dia menemukan seorang figur guru enterpreneur sejati di sini yaitu Syaykh AS Panji Gumilang.
Disebut guru, sebab segala sepak-terjang Aksa dalam memulakan, menjalankan, mengembangkan, hingga mewariskan Grup Bosowa yang kini tercatat sebagai konglomerat papan atas milik pribumi asal kawasan timur Indonesia, kepada generasi anak-anaknya, itu ternyata sudah dimeteraikan oleh Syaykh sebagai sebuah peta perjalanan yang akan ditempuh oleh Al-Zaytun kini dan seterusnya.
Peta perjalanan tersebut, lebih tepatnya lagi disebut sebagai visi, misi, cita-cita, motto dan masa depan Al-Zaytun sebagai pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan pusat pengembangan budaya perdamaian, membuat Aksa berkenan menyumbangkan segala daya dan upaya serta sumberdaya yang dimiliki untuk mewujudkan berdirinya Universitas Al-Zaytun (UAZ) Indonesia.
Maka tatkala Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo hadir ke Kampus untuk meresmikan berdirinya UAZ pada 25 Agustus 2006, Aksa Mahmud yang juga Wali Amanat Universitas Gajahmada (WA-UGM) Yogyakarata turut hadir untuk menunjukkan sekaligus memberikan dukungan atas rencana UAZ Indonesia menjadi universitas berkelas dunia.
Bertemu “Sang Guru Entrepeneur”
Ketika itu Aksa hadir ke Al-Zaytun sebentar saja mengikuti jadwal perjalanan rombongan Menteri dengan pesawat helikopter. Tetapi tatkala berkesempatan bertemu kembali dengan Syaykh Panji Gumilang di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, saat berlangsung Munas-III Ikatan Alumni UIN Jakarta pada 18 November 2006, keinginan menggebu-gebu untuk melihat langsung keseluruhan Kampus Al-Zaytun dimatangkan.
Syaykh Panji Gumilang adalah Ketua IKALUIN, yang berhasil melaksanaan pembukaan Munas di Istana Wakil Presiden dan dibuka langsung oleh Wapres Jusuf Kalla. Syaykh yang kemudian terpilih kembali secara aklamasi sebagai Ketua Umum IKALUIN untuk periode tahun 2006-2010, saat itu memberikan kesempatan khusus kepada Aksa Mahmud untuk bersedia membagi-bagikan pengalamannya sebagai pengusaha tangguh kepada civitas akademika UIN yang mengadakan seminar, sebagai bagian dari perayaan 50 tahun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1957-2007). Aksapun dengan senang hati menyanggupi dan menyampaikan makalah.
Setelah dimatangkan akhirnya Aksa Mahmud datang ke Al-Zaytun pada hari Sabtu 25 November 2006, dengan tema kunjungan memberikan kuliah umum (stadium general) kepada mahasiswa UAZ Indonesia. Tetapi kali ini ia memiliki banyak waktu, berkunjung selama dua hari di Al-Zaytun hingga Minggu 26 November 2006. Maka itu untuk kedatangannya yang kedua kali ini Aksa Mahmud terlihat ingin berpuas diri bertemu dan berbincang-bincang dengan “Sang Guru Enterpreneur” Syaykh Panji Gumilang.
Iapun dengan terus terang menyatakan perasaan kebanggaannya berada di sebuah perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa berani menyebutkan UAZ Indonesia sebagai perguruan tinggi yang terbaik di Indonesia. Sebab Sofian Effendi, Rektor UGM, sebuah perguruan tinggi terbaik peringkat ke-42 di seluruh dunia pada beberapa mata pelajaran unggulan itu justru mengagumi Universitas Al-Zaytun sebagai perguruan tinggi yang memiliki manajemen lebih hebat dari UGM.
“Pada malam ini kita berada di salah satu kampus pendidikan modern, sebuah pondok pesantren yang harus kita teladani, dan harus kita contoh di bawah kepemimpinan Syaykh DR. AS Panji Gumilang. Ini adalah kebanggaan bagi santri kita di Indonesia,” tegas Aksa Mahmud, mengawali sambutan saat memberikan kuliah umum tentang “Membangun Jiwa dan Perilaku Kewirausahaan (Enterpreneurship) di Kalangan Mahasiswa Universitas Al-Zaytun Indonesia”.
HM Aksa Mahmud yang sudah puluhan tahun malang melintang sebagai enterpreneur sukses, sangat mengerti betul bahwa Al-Zaytun adalah sebuah pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan pusat pengembangan budaya perdamaian yang pengelolaannya dilakukan murni seperti layaknya sebuah institusi wirausaha. Semua biaya pengelolaan pendidikan dihitung rinci untuk tak menyisakan sedikitpun material terbuang percuma.
Sementara dari sisi keseimbangan lain tak ada sejengkal tanah pun yang dibiarkan percuma tak berproduksi. Di Al-Zaytun setiap mahasiswa bukan hanya dididik menjadi guru sandaran, melainkan, bersama santri, ustad, serta seluruh eksponen mereka bahu-membahu membangun kewirausahaan khas ala lembaga pendidikan terpadu.
Menjadi “Virus”
Di Al-Zaytun inilah Aksa Mahmud menyaksikan sendiri bagaimana ilmu dan penerapan aplikatifnya berjalan seiring sejalan. Karena sasaran yang hendak dicapai di tahun 2020 yakni menciptakan Indonesia yang kuat harus sudah merupakan sebuah cita-cita yang wujudnya seolah sudah berada di hadapan mata. Aksa Mahmud mengagumi betul bagaimana pola pendidikan terpadu dengan sistem satu pipa sangat mendukung realisasi mencapai cita-cita menciptakan Indonesia yang kuat.
Karena itulah jurus-jurus bagaimana menjadi enterpreneur yang sejati, yang ditebarkan oleh H.M. Aksa Mahmud seorang “Saudagar Bugis Yang Cerdas” seolah menjadi “virus” baru yang menghinggapi seluruh civitas akademika Universitas Al-Zaytun (UAZ) Indonesia. Maklum, penyajinya sudah terbukti jitu menyiasati peta perjalanan pasang-surut sebuah dunia usaha.
“Virus” itu kini mulai membuat seluruh civitas akademika UAZ Indonesia “demam” akan semangat membangun kewirausahaan secara mandiri, untuk mengembalikan kejayaan jiwa enterpreneur di lingkungan pondok pesantren.
“Saya melihat, saya keliling, dan saya mendengar dari Syaykh tadi, guru enterprenur itu ada di sini yaitu Syaykh. Saya membayangkan lahan yang ada di sini, tanah yang kering, dari tidak ada air menjadi ada air, dari yang tidak bisa hujan bisa dibikin menjadi hijau, dan semuanya menjadi bisa berproduksi,” kata Aksa.
Aksa menyebutkan problem semua pondok pesantren di seluruh Indonesia sama saja. Yakni, kendati memiliki aset yang besar tetapi manajemennya tidak dikelola secara profesional. Banyak sekali pondok pesantren di Indonesia tidak dikelola oleh enterpreneur tetapi secara lillahi taala (semua terserah Tuhan).
Aksa Mahmud berharap bangsa ini dapat menciptakan banyak pengusaha. Mahasiswa UAZ Indonesia diharapkannya kalau sudah tamat menjadi pengusaha untuk menggantikan pengusaha dari pondok pesantren yang sempat menghilang.
Aksa berkisah dahulu era awal kemerdekaan di Indonesia banyak tersebar enterpreneur. Mereka ada di setiap desa dan di setiap pelosok. Tetapi semua mati karena di era pemerintahan lalu terjadi kerusakan enterpreneur. Para enterpreneur hilang dari permukaan dan tidak berkembang. Semua pengusaha baru yang lahir saat itu adalah produk penguasa.
Aksa memastikan era pemerintahan saat ini sudah berbeda. Pemerintah membuka kesempatan lebar kepada siapa saja yang mau maju dan berkembang untuk menjadi pengusaha.
“Inilah harapan kita, mudah-mudahan menjadi konsistensi pemerintah, bahwa para alumni yang masih mahasiswa sekarang ini, setiap tahunnya agar diberi kesempatan untuk berusaha. Untuk diberi berusaha ini harus ada persiapan. Tidak ada negara yang maju tanpa keberpihakan kepada perusahaan dan pengusaha pribuminya. Harus diantar keberpihakan dulu, setelah siap bersaing baru dilepas,” kata Aksa Mahmud.
Kesamaan Sudut Pandang
Selama Aksa Mahmud berada di Al-Zaytun 25-26 November 2006 menit demi menit waktu yang tersedia tak diluputkannya untuk berdiskusi dengan Syaykh.
Ia merasakan betul manfaat kehadirannya kali ini. “Orang terdekat” Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla ini bisa bercengkerama mengenai banyak hal dengan Syaykh Panji Gumilang. Keduanya bertukar-pikiran mengenai berbagai perkembangan sosial politik dan kenegaraan terbaru di tanah air, membicarakan situasi global yang semakin menunjukkan gejala kuatnya interdependensi antar umat manusia dan antar bangsa, serta mencari peluang-peluang usaha baru yang memungkinkan untuk bisa memberikan lebih banyak lagi kesejahteraan dan lapangan kerja kepada masyarakat di berbagai daerah secara merata.
Kedua tokoh terlihat mempunyai kesamaan pandangan dalam banyak hal. Secara fisik keduanya pun rupanya memiliki kesamaan pula dalam darahnya sama-sama mengalir darah Bugis. Aksa Mahmud adalah orang Bugis tulen hingga ia digelari sebagai “Saudagar Bugis Yang Cerdas”. Sementara Syaykh AS Panji Gumilang, dari garis keturunan ayah yang orang Madura bila silsilahnya diurut ke atas ternyata masih ada pula titisan darah Bugisnya.
Khusus mengenai cita-cita Indonesia masa depan yakni menciptakan Indonesia yang kuat, antara Aksa Mahmud dan Syaykh juga sangat setuju sekali apabila setiap pemimpin Indonesia berkesempatan menaikkan pendapatan perkapita Indonesia hingga paling tidak mencapai 5.000 dollar AS perkapita. Bila kondisi minimal itu sudah tercapai keduanya tak lagi mempermasalahkan apabila pemimpin negerinya berganti-ganti.
Karena itu untuk menciptakan kepemimpinan yang kuat keduanya setuju agar setiap pemimpin, seperti presiden, diberi kesempatan untuk membangun perekonomian yang kokoh selama dua periode. Demikian pula kepada wakil presiden diberi berkesempatan untuk menjabat selama dua periode.
Bulatkan Tekad Mengabdi
Aksa Mahmud yang dipercaya duduk sebagai Wakil Ketua MPR RI bersyukur sekali berada pada posisinya saat ini semakin membulatkan tekadnya untuk sepenuhnya mengabdi kepada bangsa dan negara sebagai negarawan. Aksa tak lagi hanya memperhatikan perbaikan kesejahteraan belasan ribu karyawan yang tergabung dalam Grup Bosowa, beserta keluarganya, atau delapan juta warga Sulawesi Selatan, melainkan ingin memberikan sumbangsih utuh kepada seluruh 220 juta warga Indonesia.
Sebagai negarawan ia tak lagi memikirkan bagaimana kelanjutan karir dan jabatan politiknya pada Pemilu yang akan datang. Melainkan, ia ingin bergerak untuk mempersiapkan dan memikirkan masa depan bangsa dan generasi mudanya secara lebih luas.
“Saya duduk di sini betul-betul bukan lagi untuk berpikir demi kepentingan diri saya sendiri. Tetapi, saya selalu berdoa memohon mudah-mudahan di posisi ini saya selalu berpikir untuk kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia serta demi kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimanapun tugas saya adalah menjaga keutuhan negara kesatuan dan rakyat Indonesia,” kata Aksa menjawab pertanyaan Tokoh Indonesia di Gedung Nusantara III DPR/MPR RI Senayan, Jakarta, tempatnya sehari-hari berkantor.
Dalam kapasitas kenegarawanannya itu pulalah Aksa Mahmud berkali-kali berkenan mengunjungi sebuah pusat pendidikan terpadu sistem satu pipa yang sedang bergerak maju menjadi pusat pendidikan berskala internasional yakni Kampus Universitas Al-Zaytun yang terletak di Kampung Sandrem, Desa Mekar Jaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pada Agustus 2006, 25-26 November 2006, dan diulanginya lagi untuk ketiga kali pada 20 Januari 2007 bertepatan dengan peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1428 Hijriyah.
Secara khusus Aksa ingin menunjukkan dukungannya bahwa sebagai pimpinan nasional sekaliber dirinya masih sangat peduli akan keberadaan Universitas Al-Zaytun (UAZ) Indonesia, yang dengan sistem pendidikan satu pipanya kelak akan mencetak kader-kader pemimpin bangsa setelah tamat pendidikan S-3 dalam usia yang masih relatif sangat muda sekali 25 tahun.
Terasa sekali ada ikatan emosional yang sangat dalam antara Aksa Mahmud dengan UAZ Indonesia, sebuah lembaga pendidikan tinggi berstandar internasional yang pendiriannya turut dibidaninya. Bahkan, Aksa masih menyatakan tingginya komitmennya untuk terus mengawal cita-cita UAZ Indonesia hingga paripurna mencapai pengakuan berstandar internasional.
Tatkala mengadakan dialog langsung dengan para santri yang masih menempuh pendidikan di Al-Zaytun, baik di ruang-ruang kelas belajar, maupun di ruang komputer ICT Training Center milik Al-Zaytun yang didesain berstandar internasional, dan terhubung langsung ke seantero dunia lewat internet, Aksa Mahmud di situ aktif memompakan semangat agar para santri bersiap-siap menerima tongkat estafet sebagai calon pemimpin nasional di masa datang. Baik itu sebagai pemimpin di bidang bisnis, seni budaya, olahraga, pemerintahan, dan politik nasional dan internasional.
Pemompaan semangat yang dia lakukan sama persis dengan bagaimana dia berbicara kepada anak-anaknya di rumah agar mereka berlima bersedia meneruskan cita-cita dan roda bisnis Grup Bosowa sebagai aset nasional. mti | ht