Siap Mengantarkan Karet ke Pasar Global
Rahmaniar
[WIKI-TOKOH] Meski Indonesia kaya akan pohon karet, nilai olahan produk karet negeri ini masih sangat rendah. Teknologi nano bisa jadi cara meningkatkan nilai karet lokal di tingkat dunia.
Miris rasanya melihat produksi karet di Indonesia masih saja berkutat pada karet remah {crumb rubber). Padahal, luas kebun karet Indonesia Iebih dari cukup untuk membuat karet menjadi industri unggulan, baik dari hulu maupun hilir.
Di Palembang, Rahmaniar resah. Perempuan peneliti berusia 43 tahun tersebut mengaku khawatir dengan kondisi petani karet di Palembang yang semakin miskin. Padahal, lahan perkebunan karet di Palembang ialah yang terbesar di Indonesia. Jika dikelola dengan baik, karet bisa menjadi penopang ekonomi tak hanya di Sumatra Selatan, tetapi juga ekonomi nasional.
“Saya ingin ada peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama petard karet. Di samping itu, saya juga yakin industri karet dapat meningkatkan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional,” tuturnya kepada Media Indonesia, kemarin.
Karena itulah, Niar, panggilan akrabnya, mulai mengutak-atik karet agar nilai ekonomisnya meningkat. Kegunaan karet beragam dan dapat diaplikasikan untuk banyak hal. Misalnya untuk perlengkapan kendaraan, seperti ban, engine mouting dan pirodo. Karet juga bisa digunakan untuk peralatan kesehatan, misalnya slang ste-toskop dan karet pipet, peralatan olahraga mulai bola sampai pakaian selam, kebutuhan industri antara lain oil seal dan conveyor, serta barang kebutuhan sehari-hari semisal karpet karet dan sandal.
Namun, Niar memfokuskan diri pada penelitian karet, terutama untuk aplikasi dunia otomotif. Karya Niar dipamerkan pada RD Ritech Expo 2010,pameran yang menggelar berbagai hasil riset teknologi, di Jakarta Convention Center OCC), Jakarta, 20-22 Agustus 2010.
Ibu tiga anak tersebut memanfaatkan teknologi nano untuk mempercepat proses pemasakan (vulkanisasi) karet menjadi pirodo (cakram ban mobil). Sebelum karet yang telah diproses secara kimiawi tersebut dicetak, Niar mencampurkan sulfur yang telah diproses menjadi nanoparrikel untuk proses vulkanisasi.
“Dengan suhu vulkanisasi 140 derajat celsius, menggunakan nanosulfur akan mempercepat waktu pemasakan, yaitu 12 menit 19 detik. Bandingkan dengan menggunakan sulfur yang ada di pasaran (tanpaukuran nano), waktu pema-sakannya sampai 13 menit 40 detik,” ucapnya.
Selain lebih cepat, imbuhnya, karet olahan dengan menggunakan sulfur yang dinanokan juga menghasilkan uji fisika yang Iebih baik. “Begitu juga untuk parameter uji fisika, sulfur yang berukuran nano lebih baik dibandingkan dengan sulfur yang ada di pasaran,” timpalnya.
Berhenti impor
Peneliti muda bidang teknik industri pada Balai Riset dan Standardisasi Industri Kementerian Perindustrian itu mengaku meski penelitiannya masih jauh dari aplikasi dalam industri, ia bermimpi hasil temuannya tersebut dapat membuat Indonesia, terutama Palembang, tak lagi mengimpor produk olahan karet dari luar.
“Kan lucu, kita punya area perkebunan karet yang luas, banyak hasilkan karet alam mentah, lalu kita jual ke luar negeri, nanti karet mentah itu kita beli lagi dalam bentuk produk jadi. Yang ada, di sini dibanjiri produk-produk karetdari China, Jepang,” ucapnya kelu.
Sebagai area perkebunan karet terbesar di Indonesia, Sumatra Selatan diakuinya masih sangat rendah dalam menghasilkan produk olahan dari karet alam. Sebabnya, menurut Niar, sangatlah klise, teknologi yang rendah dan infrastruktur yang tak memadai.
“Makanya saya bermimpi penelitian-penelitian saya ke depan nanti dapat diaplikasikan di dunia industri. Saya berharap ke depan kita menyiapkan dan mempunyai fasilitas serta infrastruktur industri berbasis teknologi skala nano yang memadai, tentunya di Sumatra Selatan,” timpalnya.
Pengembangan dari penerapan teknologi nano yang sedang dikerjakannya diharapkan Niar akan mendorong Palembang tak lagi hanya memproduksi karet alam mentah. Apalagi, nilai ekspor karet alam mentah sangatlah kecil. “Ada dua jenis karet yang biasa digunakan dalam industri, yaitu karet alam dan karet sintesis. Karet dalam keadaan mentah tidak dapat dibentuk menjadi barang jadi olahan karet yang layak
Idigunakan. Karet mentah tidak elastis dan mempunyai banyak kelemahan, antara lain tidak kuat dan tidak tahan cuaca,” jelasnya.
Dokter nano
Perjalanan Niar sebagai peneliti teknologinano tidaklah mulus. Setelah cita-citanya menjadi dokter kandas, perjalanan hidup justru membawanya menjadi dokter nano.
Setelah lulus kuliah, Niar diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di Baristand (Balai Riset dan Standardisasi) Industri Palembang. Di sinilah ia meniti karier sebagai dokter nano.
“Sejak kecil saya memang tertarik dengan ilmu sains dan saya mempunyai cita-cita ingin sekali jadi dokter. Sam- pai tiga kali saya ikut tes, tapi masih belum berhasil. Kalau di ilmu kedokteran meneliti, mengamati tentang penyakit, nah ternyata sekarang saya seorang peneliti yang mengamati partikel-partikel yang berukuran nano. Menurut saya, kedua hal tersebut tak jauh berbeda,” ungkapnya.
Selain itu, tugas pokok sertalingkungan kerjanya ternyata sangat mendukung dirinya menjadi peneliti. Dia menyebut peneliti yang juga atasannya, Hari Adi Prasetya, sebagai salah satu guru penuh inspiFasi. “Beliau sering memberi motivasi kepada saya, ke depannya peneliti itu harus bagaimana, ruang lingkup kerjanya, tanggung jawab dan prospek seorang peneliti. Saya menjadi yakin dengan jalan sebagai peneliti atas dukungan dari dia,” sahutnya.
Niar menegaskan pengembangan nanoteknologi dalam industri Indonesia, terutama karet, sangatlah krusial. Dengan nanoteknologi, produk-produk olahan karet Indonesia diyakininya mampu bersaing dengan produk luar negeri. “Menurut saya, teknologi nano mempunyai banyak keuntungan, di antaranya efisien, efektif, dan memberikan banyak ruang untuk berinovasi. Apalagi untuk menghadapi persaingan pasar bebas, dengan adanya teknologi nano, dunia industri akan semakin kompetitif,” tandasnya. (M-4)
****
Efisien berkat Teknologi Nano
Bukan cuma produktivitas yang rendah, karet alam mentah asal Indonesia juga tidak terlalu menguntungkan sebagai produk ekspor. Kebanyakan para petani karet kesulitan dalam memasak karet mentah itu menjadi karet yang siap dibuat sebagai produk jadi.
Rahmaniar, peneliti di Baristand Industri Palembang, mengatakan selama ini lamanya proses memasak karet tergantung pada proses pencampuran sulfur dengan karet. Ukuran sulfur yang masih berbentuk butiran tersebut memperlama proses vulkanisasi.
“Oleh karena itu, saya jadi berpikir proses memasaknya akan lebih efisien jika ukuran partikel sulfur yang diguna-kan diperkecil. Sulfurnya saya buat menjadi ukuran nano,” paparnya.
Proses pembuatan sulfur ukuran nano dimulai dengan menghaluskan sulfur. Penggilingan sulfur tersebut menggunakan metode HEM (high energy milling) untuk membuat partikel nano.
“Setelah itu, partikel nano sulfur yang sudah jadi diuji kembali ukuran partikel kristalin nanonya, dengan menggunakan XRD {X-ray difraction). Partikel Nano tersebut diteliti kembali, apakah sudah menghasilkan nano sulfur sesuai dengan rancangan percobaan dengan melihat morfologi atau struktur partikel melalui SEM {scanning electron microscope).”
Niar mengakui riset yang dilakukannya masihlah sangat dasar. Ia bermimpi akan mengembangkannya suatu saat jika persoalan dana tidak lagi membayanginya. Klise, tapi itulah yang terjadi.
“Selain sulfur, saya sebenarnya juga ingin menggunakan teknologi nano pada komponen filler atau pengisi dari karetnya. Saya berhipotesis, kalau zat filler ini bisa dinanokan, akan berpengaruh pada elastisitas sifat fisik dari karet itu sendiri,” ujarnya.
Rasa pesimistis sempat tebersit, mengingat pengalamannya dalam meriset teknologi nano dalam sulfur. “Membuat nano sulfurnya saja bisa 3-4 bulan. Apalagi teknologi nano baruada di Jakarta, ya makan waktu dan ongkos. Karena proses itu bisa berjam-jam, dan tidak mungkin saya nongkrong di Jakarta, padahal pekerjaan di Palembang juga banyak,” jelasnya.
Meski pihak tempat Niar bekerja pernah menyebutkan rencana pembangunan laboratorium di Palembang, Niar berharap pemerintah juga akan memperhatikan kualitas yang sama baik dengan yang ada di Jakarta. “Kalau infrastruktur, fasilitas serta alat-alat analisisnya memadai, kami sebagai peneliti pun akan dengan fokus meneliti. Wah, seperti di surga kalau itu semua terpenuhi,” tandasnya penuh harap. (VM-4) e-ti
Sumber: Media Indonesia, 24 Agustus 2010 | Penulis: Vini Mariyane Rosya