Merambah Dunia
Edwin
[WIKI-TOKOH] Masyarakat perfilman Indonesia boleh berbangga karena ada sutradara muda bernama Edwin (31) yang kini mulai diperhitungkan di tingkat dunia. Tak kurang dari sutradara Garin Nugroho memuji Edwin sebagai harapan Indonesia di tengah sepinya kreativitas dan kurangnya keberanian para pencipta film lain dalam bereksperimen karena larut pada tuntutan pasar.
Tengoklah situs web www.allmovie.com dan carilah judul film Blind Pig Who Wants to Fly, maka akan muncul nama Edwin sebagai sutradara, rating tiga setengah bintang (dari maksimum 5 bintang) serta telah rilis secara terbatas di Amerika Serikat pada 11 September 2009. Film Babi Buta yang Ingin Terbang yang berdurasi 77 menit itu memang pada 11 September hingga 17 September ini diputar di Roy and Niuta Titus Theaters, Museum of Modern Art (MoMA), New York.
“Dua film saya juga pernah diputar di MoMA tahun lalu, tetapi film feature perdana Edwin ini tentu jadi kebanggaan bagi kita semua,” demikian tutur Garin ketika dihubungi Kompas. Saat dihubungi Garin berada di Venesia setelah awal pekan ini menjadi juri festival film di sana.
Mike Hale, kritikus film, membuat ulasan di The New York Times (11/9) yang memuji Edwin karena berani mengangkat tema sensitif tentang orang-orang Tionghoa peranakan di Indonesia. Di Festival Film Rotterdam, Belanda, awal tahun ini, film Edwin itu juga disambut amat positif oleh para kritikus film dan memenangi penghargaan Fipresci. Panitia Festival Film Rotterdam pekan ini mengirim Edwin ke Kenya untuk membuat sebuah film pendek tentang kehidupan masyarakat di negara kelahiran ayah Presiden Obama tersebut.
“Saya sudah menyiapkan tema film pendek saya, tentang orang-orang kebanyakan di pasar Kenya,” kata Edwin.
Babi Buta merupakan film cerita pertama karya Edwin. Sebelumnya dia menciptakan enam film pendek yang artistik, surealistik, dan berani menyerempet masalah-masalah seksualitas, seperti Trip to the Wound dan Hulahoop Soundings. Di film Babi Buta juga ada adegan homoseksualitas—mirip adegan di film Brokeback Mountain arahan Ang Lee—yang ketika diputar di bioskop Indonesia dipotong Lembaga Sensor Film. Nasib serupa mungkin bakal dialami film Edwin itu jika diputar di bioskop-bioskop kita.
Entah bagaimana nanti jika Undang-Undang Perfilman yang baru disahkan DPR mulai berlaku. Kreativitas dan keberanian sutradara seperti Edwin tidak mustahil akan terpasung. “Repot juga nanti bikin film di Indonesia kalau semua harus minta izin pemerintah dan punya sertifikat pekerja film profesional. Saya tak mau bikin film dengan tema yang manis-manis saja seperti hampir semua karya Teguh Karya,” ujar Edwin.
Studi desain grafis
Mirip sutradara kenamaan Wong Kar-Wai—yang terkenal di dunia berkat film-film seperti Chungking Express dan In the Mood for Love—yang sebelum menjadi sutradara film belajar desain grafis, Edwin juga studi desain grafis hingga lulus D-3 di Universitas Petra, Surabaya, tahun 1999. Ia lalu langsung melanjutkan studi perfilman di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) hingga tahun 2005. “Saya tidak lulus, tetapi saya tidak menyesal,” kata penerima beasiswa dari IKJ sejak tahun pertama itu, datar.
Walaupun tidak menyandang gelar sarjana film, Edwin terbukti setia berkarya. Dia meniti karier mulai dari asisten sutradara sejak tahun 2000 hingga ia mulai membuat film-film pendek sendiri. Sepeninggal dari IKJ, ia memperoleh kesempatan menimba pengalaman dalam lokakarya film di Berlinale Talent Campus dan Akademi Film Asia di Busan, Korea Selatan, tempat ia berinteraksi dengan sutradara dan sinematografer terkemuka, seperti Wim Wenders, Walter Salles, Christopher Doyle, Lee Chan Dong, dan Hou Hsiao Hsien.
Tahun 2005 Edwin menulis dan menyutradarai film pendek Kara, Anak Sebatang Pohon yang memperoleh pujian kritikus dalam dan luar negeri. Film ini merupakan film pendek Indonesia pertama yang ditayangkan di Director’s Fortnight, Festival Film Cannes 2005. Dua film pendeknya yang lain, Dajang Soembi: Perempoean Jang Dikawini Andjing dan A Very Boring Conversation memperoleh nominasi sebagai film pendek terbaik di Festival Film Rotterdam tahun 2005 dan 2006. Adapun Hulahoop Soundings memperoleh penghargaan kedua dari penonton di Asian Hot Shot Film Festival, Berlin, 2009.
Selain film-film pendek dan panjang, Edwin juga membuat sebuah film dokumenter Songs from Sunny Homeland berdurasi 63 menit (2006), yang merupakan lokakarya video bagi anak-anak koran tsunami Aceh, produksi MILES Films (pimpinan Mira Lesmana) dan Unicef Indonesia. Selain itu, ia juga membuat video-video musik.
Menurut Garin Nugroho, Edwin adalah harapan Indonesia untuk bisa berbicara di kancah festival film bergengsi internasional, seperti Berlin, Cannes, dan Venezia. “Kita sudah mulai tertinggal dibandingkan Malaysia dan Filipina karena banyak sutradara kita yang sebenarnya potensial, tetapi asyik membuat film-film yang hanya laku di pasaran. Mereka kurang berani mengambil risiko dan berspirit sebebas Edwin, yang berani jahil dan terus berkarya dengan film-film artistiknya tanpa peduli filmnya bakal laku atau tidak,” demikian Garin.
Edwin mengaku tertarik ke film sejak ia masih SD. “Saya sudah bisa menebak film Silence of the Lamb bakal jadi film terbaik,” tuturnya. Ia menyebut sejumlah nama sutradara Asia dan Barat yang digemarinya, umumnya urakan dan filmnya tidak biasa-biasa, seperti Kim Ki-duk, Takeshi Kitano, Krzysztof Kieslowski, Lars von Trier, Wim Wenders, Tim Burton, kakak-adik Coen, Jim Jarmusch, hingga Miranda July.
Ia bersyukur, ayahnya yang seorang dokter ahli patologi klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD dr Soetomo, Surabaya, dan ibunya yang arsitek tidak menghalangi kiprahnya di perfilman. Istrinya, Adinda, yang baru dinikahinya 9 Agustus lalu, juga amat mendukungnya. Mereka berdua mengaku adalah anak-anak zaman yang tak peduli lagi dengan identitas kesukuan.
Tak urung film Babi Buta lewat tokoh Cahyono, yang terobsesi menjadi pemuda Jepang, menyampaikan pesan betapa masih ada diskriminasi rasial di masyarakat Indonesia.
“Saya tak tahu nama marga ayah saya. Mungkir sebagai orang keturunan Tionghoa? Sama sekali tidak! Saya orang Indonesia, tetapi juga warga dunia,” ujar Edwin. e-ti
Sumber: Kompas, Sabtu, 19 September 2009 “Edwin yang Merambah Dunia” | Penulis: Irwan Julianto