TNI Mungkin Kembali ke Politik Praktis
Indria Samego
[DIREKTORI] Berbicara dalam “Paparan Akhir Tahun Ekonomi Politik CIDES 2006” di Jakarta, Rabu (20/12), Anggota Dewan Direktur CIDES Indria Samego mengatakan, memasuki tahun ketiga kepemimpinan SBJ-JK Indonesia masih akan diwarnai oleh dinamika persoalan hubungan sipil dan militer.
“Lebih tegasnya adalah, spekulasi tentang kemungkinan kembalinya TNI ke dalam politik melewati cara-cara militer dan tentu saja tidak konstitusional,” kata Indria. Menurutnya, setelah untuk sekian lama tentara tidak lagi menjalankan politik praktis, sebagaimana dilakukannya di masa Orde Baru, belakangan muncul kecurigaan bahwa naluri berkuasa TNI akan muncul kembali ketika politisi sipil dianggap tidak mampu mengemban peran sebagai penyelenggara Negara.
Indria Samego memaparkan hal itu hanyalah salah poin dari sejumlah poin-poin yang berhasil diamatinya selama berlangsung tahun 2006, dan memasuki tahun 2007. Indria juga menyebut, publik ternyata masih bisa memberi kesempatan kepada Presiden SBY untuk lebih banyak jalan-jalan ke luar negeri dibandingkan Presiden Indonesia terdahulu, apalagi Presiden Soeharto. Dalam dua tahun usia kepresidenannya, sudah hampir semua wilayah dan Negara penting di dunia dikunjunginya SBY. Bisa dihitung berapa anggaran perjalanan internasional Presiden SBY, yang hasil konkritnya belum terasa, kecuali citra positifnya itu,” kata Indria. “Tidak mengherankan bila sudah dua doktor honoris causa dari universitas Negara lain yang diberikan kepadanya. Namun, reaksi publik masih cukup positif terhadap acara keliling dunianya Presiden SBY dibandingkan dengan jalan-jalannya Presiden Gus Dur di masa lalu.
Indria yang mantan Penasehat Presiden BJ Habibie ketika berkuasa menyebut, Habibie selama menjabat sama sekali tak pernah melakukan satu kalipun kunjungan ke luar negeri. Indira mengatakan kunjungan Presiden SBY ke luar negeri tidak banyak mengundang reaksi negatif dari masyaraikat, karena turut diajak sejumlah tokoh yang diduga mewakili berbagai kelompok kepentingan di Indonesia, tidak seperti kunjungan studi banding para anggota DPR ke Negara-negara lain.
Berikut paparan akhir tahun politik CIDES 2006 secara lengkap, yang diberi judul:
“How Low Can You Go?”:
Upaya Pemerintah Dalam Mempertahankan Dukungan Publik
Oleh: Indria Samego
Apa jadinya kalau dukungan publik terhadap penyelenggaraan Negara ini hilang? Bisa jadi yang muncul adalah suasana kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintah menipis, pembusukan politik (political decay) lahir baik dari dalam maupun dari luar pemerintah, ketidakstabilan politik muncul sebagai penggantinya, akhimya adalah pergantian pemerintahan.
Berakhirkah setelah itu? Rasa-rasanya juga tidak ada jaminan yang pasti. Selama politik -dalam arti kekuasaan- masih tetap menjadi “panglimanya”, rangkaian permasalahan ini ibarat garis yang tak berujung. “Hilang satu tumbuh seribu”. Kegagalan akan diikuti oleh kegagalan selanjutnya. Karena kekuasaan dianggap segala-galanya, maka dukungan publik dikesampingkan, dan pada akhirnya pemerintahan baru pun akan mengalami nasib yang sama dengan yang digulingkan.
Nampaknya dinamika politik Indonesia mutakhir tidak sampai terjebak pada “lingkaran setan” tersebut. Atau mungkin belum. Tapi yang pasti dalam setahun terakhir ini, gonjang-ganjing politik belum mengkristal. Kendati berbagai wacana yang ditujukan untuk mendelegitimasi pemerintah muncul di sana-sini, toh pada akhirnya tetap tinggal wacana. Ibarat ide tanpa kaki, semuanya bergulir secara bebas, tanpa hambatan, namun tidak berubah bentuk menjadi sebuah gerakan kuat yang mampu membangunkan “people power”. Walaupun bermacam kritik dan parodi penyelenggaraan Negara ditampilkan oleh “Republik Mimpi”, tapi masyarakat masih lebih percaya kepada Republik Indonesia. Sebagian besar dari kita masih menganggap acara “Republik Mimpi” tidak lebih dari sekedar hiburan, atau kritik social yang menghibur.
Bisa jadi, di sana pula kekuatan Pemerintah SBY-JK sekarang, yakni dalam hal merespons berbagai kritik dan memperlakukan iklim kemajemukan social politik (socio-political cleavages). Semuanya dibiarkan, tanpa ada larangan berarti. Seolah menyadari bahwa kritik sosial adalah bagian dari cita rasa bangsa yang sedang mengalami masa transisi ini, maka akan counter-productive saja apabila ditanggapi secara negatif dan keras oleh Pemerintah. Selama belum berubah menjadi collective mind dari seluruh stake holder Negara ini, semuanya dibiarkan berkembang, dan mengalami mati suri. Apalagi jika yang dikemukakan semata-mata hanya persoalan tanpa jalan keluar, Pemerintah akan membiarkan begitu saja, atau terkadang direspon dengan wacana pula. Oleh karena begitu banyaknya persoalan sosial, sulit untuk menyimpulkan bahwa suara dan gerakan yang muncul pada suatu saat sungguh-sungguh merefleksikan keperihatinan masyarakat secara luas.
Ambil suatu contoh kasus adalah demonstrasi buruh di sekitar Hari Buruh 1 Mei 2006. Melihat sesaat begitu anarkisnya massa di depan DPR sampai mampu merobohkan gerbang dan pagar pembatas yang baru dibangun, dampaknya sama sekali tidak terasa pada hari-hari selanjutnya. Pesan-pesan yang dikumandangkan dalam aksi para demonstran pembela buruh, tidak berhasil dikonversi menjadi gerakan berkelanjutan yang mengubah nasib buruh Indonesia. Sampai hari ini, posisi buruh tetap lemah di hadapan penguasa dan majikan, tanpa ditemukan solusi baru yang meyakinkan. Jadi apa sebenarnya makna pengerahan massa dari kalangan buruh saat itu? Apakah sungguh- sungguh social pressure kepada penyelenggara Negara atau peningkatan posisi tawar dari para tokoh buruh dalam proses politik?
Hal yang tidak jauh berbeda adalah demonstrasi para Kepala Desa seluruh Indonesia di Jakarta. Mungkin, baru kali inilah dalam sejarah politik Indonesia, aparatur desa melakukan protes massal kepada Pemerintah Pusat. Tokoh yang seharusnya memimpin dan menjadi teladan masyarakat di desanya, ternyata harus dimobilisasi dan turun ke jalan di Ibukota Republik ini. Sebuah pemandangan yang memilukan dan mengundang berbagai spekulasi. Apa pesan yang hendak disampaikan oleh para pemimpin formal desa itu murni dan mencerminkan aspirasi rakyatnya, ataukah hanya semacam teater politik sesaat, yang dampaknya tidak akan berlangsung lama.
Reaksi sebagian publik politik terhadap proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pomografi dan Pornoaksi (RUU APP). Untuk beberapa waktu, kita disajikan dengan suara pro dan kontra atas masalah yang memang sulit untuk dicarikan definisinya secara memuaskan. Masing-masing pihak, baik pendukung maupun penentangnya memiliki argumentasi yang sama-sama kuat dan rasional. Akibatnya, masing-masing pihak pun mampu memobilisasi perbedaan dan penggalangan massa. Seluruh perhatian media massa diarahkan untuk menjadikannya hot news dalam liputan mereka. Namun, apa yang terjadi kemudian, sampai sekarang tetap menjadi wacana. Enak didiskusikan, tapi sulit untuk merealisasikannya. Atas nama demokrasi dan HAM, perbedaan itu harus tetap dihargai dan dilindungi. Akhirnya, solusi pun kembali tidak ditemui, dan enerji untuk menolak issu tersebut digantikan oleh masalah sosial yang lain.
Protes massa di ujung timur Indonesia terhadap perpanjangan kontrak karya PT Freeport, menjadi salah satu persoalan sosial dan politik berikutnya. Simpati dan dukung publik politik terhadap pikiran-pikiran yang ingin mengkoreksi penyelenggara pemerintah atas pengelolaan sumberdaya alam kita, memang memiliki dasar-dasar etis dan yuridis konstitusional. Pasal-pasal mengenai Kesejahteraan Sosial yang tercantum dalam UUD 1945 secara tegas menyatakan “kewajiban Negara untuk menyelengarakan persoalan yang satu ini”. Artinya, Negara harus melakukan pemihakan terhadap rakyat, pemilik kedaulatan, bukan justru membela pikiran-pikiran Neo-Liberal, dengan memberi kemudahan kepada para pemilik modal. Namun, melihat dari tayangan media televisi atas resistensi masyarakat sebagaimana disuarakan para demonstran, reaksi publik menjadi terbelah. Ada yang mendukung kritik tersebut, namun tidak sedikit pula yang mempersoa1kan cara-caranya yang anarkis itu. Betapapun kesalnya kita terhadap Negara, tapi perlakuan yang sadistis dari sejumlah demonstran terhadap anggota polisi yang bertugas, menjadi persoalan tersendiri. Sampai sekarang, persoalan dasar yang dituntut para demonstran juga tidak pernah selesai. Yang tersisa adalah hilangnya nyawa beberapa anggota Polri dengan cara-cara yang jauh dari makna demokrasi.
Belakangan, publik politik disuguhkan dengan gonjang-ganjing politik di seputar hubungan antara Presiden SBY dan Wakil Presiden JK. Bisa dibayangkan, untuk sebuah Negara yang masih diwarnai oleh budaya politik patrimonial, peran pemimpin menjadi teramat penting. Apa jadinya bila kedua pemimpin itu berseteru. Wakil Presiden Bung Hatta, memilih mundur dari kekuasaan, ketimbang harus bersama-sama dalam pemerintahan bersama Bung Karno yang memiliki ambisi kekuasaan. Pada mulanya, kombinasi kedua pemimpin bangsa kita di masa lalu itu sebagai sebuah Dwitunggal.
Mereka adalah Bapak bangsa dan Pemimpin Negara yang masing-masing memiliki sifat yang saling mendukung, yakni Bung Kamo sebagai “solidarity maker” dan Bung Hatta yang berwatak “Administrator”. Namun, karena perjalanan sejarah, perpaduan keduanya tak bisa dipertahankan. Seorang Hatta hanya memilih mundur, ketimbang membangun kekuatan dan memobilisasinya untuk mendelegitimasi Presiden Sukamo. Sejajarkah konflik SBY-JK dengan pertikaian Bung Kamo-Bung Hatta di masa la1u? Nampaknya uncomparable. Yang pasti, akhirnya gonjang-ganjing antara kedua pemimpin yang dipilih lewat pemilu itu mereda dengan sendirinya, setelah Presiden SBY mau “mengalah”. Rapimnas Golkar, hanya melahirkan sejumlah pemyataan politik standar, jauh berbeda dengan hangar-bingar yang mengawalinya. Golkar tetap mendukung JK dan Presiden SBY, dan UKP3R tetap dibentuk, meski sampai sekarang belum terdengar kiprahnya.
Jagad politik Indonesia baru-baru ini diwarnai oleh pro dan kontra terhadap keinginan Presiden SBY untuk merevisi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bermula dari berita mengenai perkawinan kedua da’i kondang Abdullah Gymnastiar , yang lebih popular dengan Aa Gym itu. Pada saat yang hampir bersamaan, beredar video mesum yang mempertontonkan perilaku salah seorang anggota DPR RI dan Anggota Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar dengan seorang wanita yang juga aktif dalam kegiatan partai berlambang pohon beringin tersebut.
Karena kedekatan hubungan pribadi antara Presiden SBY dengan Da’i dari Geger Kalong tersebut, serta besarnya arti Golkar dalam kehidupan politik formal di Indonesia, perhatian Presiden terhadap masalah pribadi tersebut membawa pada inisiatifnya untuk mengusulkan perluasan pengaruh pembatasan perkawinan, bukan hanya pada pegawai negeri saja, melainkan juga kepada pejabat tinggi Negara, anggota legislatif dan tokoh masyarakat. Yang muncul kemudian, reaksi publik, terutama sejumlah tokoh organisasi massa dan ulama pesantren terkemuka yang menentang maksud Presiden SBY tersebut. Akhirnya, pro dan kontra mengenai persoalan ini, menyurut dengan sendirinya, setelah Presiden SBY menghimbau untuk lebih memikirkan persoalan bangsa yangjauh lebih penting.
Publik politik pun pernah dibuat terkejut oleh perilaku Cabang Legislatif RI yang cukup menyinggung rasa keadilan. Betapa tidak, dalam situasi perekonomian Negara yang belum juga pulih, para wakil rakyat kita tetap mempertontonkan kegiatan yang kontroversial. Alasan studi banding ke luar negeri, dan peningkatan anggaran reses yang cukup fantastis, telah mengundang reaksi publik beragam. Belum lagi kinerja dewan sesuai dengan harapan rakyat, permintaan para wakil rakyat kepada pemerintah sulit untuk tidak dipenuhi. Mereka beralasan, tidak efektifnya masa reses untuk menjumpai konstituen, disebabkan oleh minimnya dukungan anggaran untuk itu. Oleh karenanya, perlu ada anggaran tersendiri bagi para angota DPR ketika mengunjungi konstituennya. Dan Pemerintah mengabulkan. Tapi, apakah dana reses, dan voucher pendidikan yang mereka terima cukup memiliki dampak terhadap proses pendidikan dan komunikasi politik, masih perlu ditunggu hasilnya. Jika partai politik sadar dengan masalah ini, tentu saja, mereka akan memanfaatkan dana publik tersebut untuk memperbaiki kinerja dewan pada khususnya, dan partai politik pada umumnya.
Tahun ketiga kepemimpinan SBJ-JK juga masih diwarnai oleh dinamika persoalan hubungan sipil dan militer. Lebih tegasnya adalah, spekulasi tentang kemungkinan kembalinya TNI ke dalam politik melewati cara-cara militer dan tentu saja tidak konstitusional. Setelah untuk sekian lama tentara tidak lagi menjalankan politik praktis, sebagaimana dilakukannya di masa Orde Baru, belakangan muncul kecurigaan bahwa naluri berkuasa TNI itu akan muncul kembali ketika politisi sipil dianggap tidak mampu mengemban peran sebagai penyelenggara Negara.
Meninggalnya Brigjen Kusmayadi, ini merupakan peristiwa sosial biasa dan alamiah sifatnya. Namun, ditemukannya 170-an pucuk senjata dari berbagai tipe di rumahnya yang lain, menjadi sumber pembenar bagi spekulasi politik tentara di atas. Apalagi disertai dengan reportase terbuka mengenai proses temuan tersebut serta tanggapan pimpinan TNI terhadap kasus ini, telah menggeser persoalan dari semata-mata Brigjen Kusmayadi pribadi menjadi TNI, khususnya Angkatan Darat secara kelembagaan. Namun, sampai detik ini, persitiwa tersebut hampir dilupakan orang, dan digantikan dengan kasus-kasus baru yang lebih kontekstual.
Kasus politik lokal juga tidak sedikit yang mengundang dan mempengaruhi dinamika politik nasional, bahkan ada pula dampak internasionalnya. Pertama, peristiwa pemilihan kepala daerah secara langsung. Meski sebagian besar proses pilkada ini dapat diselenggarakan secara damai dan demokratis, namun ada pula yang melahirkan gerakan massa yang anarkis. Pilkada di Gresik, yang memperpanjang kekuasaan bupati lama, diwarnai oleh perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah dan milik pribadi bupati terpilih. Hanya karena soal menang dan kalah saja, yang menjadi sumber penyebabnya. Akhirnya, peristiwa itu juga hilang tanpa bekas. Kedua, reaksi pro dan kontra terhadap sikap Pemerintah Australia yang memberikan perlakuan khusus terhadap 42 pengungsi asal Papua. Sesaat menjadi headline berita di surat-surat kabar, kemudian digantikan oleh berita-berita yang lain. Ketiga, emosi publik juga pernah muncul ketika berita-berita mengenai konflik Indonesia dan Malaysia dalam kasus Pulau Ambalat. Suasana saat itu hampir mirip dengan peristiwa sekitar “Ganyang Malaysia” era Bung Karno pada masa lalu. Seolah tidak ada pilihan lain, kecuali perang melawan salah satu Negara penampung tenaga kerja Indonesia di luar negeri itu.
Belajar dari kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya menjadi milik Malaysia, publik diajarkan untuk tidak seperti keledai, yang terantuk pada “batu yang sama” untuk kedua kalinya. Histeria massa saat itu mewarnai dinamika politik di tanah air.Tapi, belakangan, tanpa jelas solusinya, kita seolah lelah dengan protes, dan digantikan oleh masalah lain. Keempat, kedatangan Presiden Bush yang hanya 6 jam di Jakarta dan Bogor, juga telah mengundang emosi publik. Kritik terhadap Pemerintah SBJ-JK yang seolah terlalu tunduk kepada AS, menjelang kedatangan Presiden Bush, belakangan berlalu begitu saja, setelah Pemimpin Negara adikuasa tersebut meninggalkan Indonesia.
Apa yang ingin diambil saripatinya dari semua peristiwa politik di atas. Pertama, negeri ini memiliki begitu banyak persoalan, ada diantaranya merupakan persoalan lama, namun tidak sedikit muncul masalah baru. Datang silih berganti, dan tidak ada yang diselesaikan secara tuntas. Karena begitu banyaknya masalah, sulit untuk dicari solusinya secara berjangka panjang. Yang terjadi tidak lebih dari penyelesaian jangka pendek, asal tidak mengganggu stabilitas nasional. Solusi permanen masih membutuhkan waktu, yang ada menyingkirkannya, untuk memberi kesempatan pada persoalan lain yang lebih aktual. Kedua, secara subyektif dan mikro skalanya, solusi yang diambil adalah “menang-menang” (win-win solution).
Asal pihak terkait sudah mendapat “jatah”, direkayasa masalah baru, maka seolah-olah kita telah mampu mengatasi persoalan terdahulu. Dalam hal ini, tidak terlalu keliru bila dikatakan bahwa politik itu tidak lebih dari “struggle for power” atau “the authoritative value of allocation of resources”. Tatkala kekuasaan atau “jatah” sudah terbagi rata, maka, hingar-bingar politik akan dengan sendirinya menyurut. Ketiga, rakyat masih memberi dukungan politik kepada para pemimpin. Toleransi ini disebabkan oleh karena begitu banyaknya persoalan yang dihadapi pemimpin. Budaya politik semacam ini (patrimonial) bisa dijadikan modal politik para tokoh untuk mendapatkan simpati publik. Apalagi bila dikemas oleh media secara pas, sikap masyarakat ini akan memperkuat dikembangkannya politik pencitraan (the politics of images) sebagaimana berlaku selama ini.
Keempat, rakyat menyadari betapa sulit dan mahalnya proses mencari pemimpin. Pemilihan presiden itu mahal harganya. Juga tidak ada jaminan kalau itu dilakukal1 maka penggal1tinya akan lebih baik.
Boleh jadi karena keempat faktor di atas maka publik masih memberi kesempatan kepada Presiden SBJ untuk lebih banyak jalan-jalan ke luar negeri dibandingkan Presiden Indonesia terdahulu, apalagi Presiden Soeharto. Dalam dua tahun usia kepresidennannya, sudah hampir semua wilayah dan Negara penting di dunia dikunjunginya. Bisa dihitung berapa anggaran perjalanan internasional Presiden SBY, yang hasil konkritnya belum terasa, kecuali citra positifnya itu. Tidak mengherankan bila sudah dua doktor honoris causa dari universitas Negara lain yang diberikan kepadanya. Namun, reaksi publik masih cukup positif terhadap acara keliling dunianya Presiden SBY dibandingkan dengan jalan-jalannya Presiden Gus Dur di masa lalu. Dengan mengajak sejumlah tokoh yang diduga mewakili berbagai kelompok kepentingan di Indonesia, acara lawatan resmi Presiden RI yang selama ini dilakukan, tidak banyak mengundang reaksi negatif dari masyarakat, tidak seperti kunjungan studi banding para anggota DPR ke Negara-negara lain.
Politik pencitraan Presiden SBY juga dibangun dengan mengunjungi rakyat yang secara langsung terkena musibah. Kesan untuk dianggap sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya, dibuktikan lewat berbagai penampilan yang populis dan terlibat dengan masalah yang dihadapi rakyatnya. Sebagai contoh, Presiden SBY membuat keputusan untuk memindahkan kantornya dari Jakarta ke Yogyakarta, ketika gempa bumi terjadi di DJY dan Jawa Tengah. Maksudnya, mungkin biar lebih dekat dan merasakan penderitaan rakyatnya di daerah bencana. Kemudian, Presiden juga bermain gitar sambil “bergadang” di lereng Merapi, untuk dapat merasakan penderitaan penduduk di sekitar gul1ung yang masih sangat aktif tersebut. Dari Jawa, Presiden terbang ke salah satu kabupaten baru di puncak Jayawijaya, untuk memanen ubi. Sebuah kunjungam yang tak pemah dilakukan oleh para pendahulunya. Kemudian, pada saat yang lain Presiden SBY terlihat bersama petani di Pulau Buru untuk memanen raya tanaman padi milik masyarakat di pulau bekas pembuangan tahanan PKI di masa lalu.
Yang terakhir adalah reaksi Peresiden SBY yang mendukung proses pilkada di Nanggroe Aceh Daussalam. Meski hasilnya berbeda dengan skenario Pemerintah Pusat, namun Presiden berusaha menyembunyikan kekecewaaru1ya dengan meminta publik untuk tidak terlalu mempersoalkan siapa pun yang muncul sebagai pemenangnya. Kendati sudah terbukti bahwa Irwandi-Moh. Nazar, yang berbasis GAM akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur pertama pilihan rakyat di provinsi yang kerap bergolak itu, Presiden SBY mencoba mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menghargai proses demokrasi di sana. Yang perlu diperhatikan kemudian adalah seberapa jauh pemimpin hasil pilihan rakyat ini mampu merealisasikan amanat rakyat dan menjadikan dukungan publik sebagai sumberdaya po1itiknya.
Mungkin ada persamaan antara terpilihnya Presiden SBY-Wapres JK dengan Calon Gubernur Irwandi dan calon Wakil Gubemur NAD Moh Nazar, yakni sama-sama memiliki dukungan publik yang luas, tanpa melewati partai politik. Berbeda dengan konvensi yang ada, lahimya kedua pasangan pemimpin tersebut, sungguh-sungguh dari hasil pemilihan umum secara jujur dan adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Peran partai tidak lebih dari sekedar kendaraan politik sesaat saja. Selebihnya ditentukan o]eh kepiawaian masing-masing tokoh di dalam mengembangkan political marketing masing-masing, yakni dengan membangun citra. Tak ada suara yang cukup kuat untuk menyangkal fenomena ini. Dari sanalah sumberdaya politik dimulai, dan boleh jadi ini merupakan modal awa] yang perlu dikapitalisasikan untuk kemudian menciptakan pemerintahan yang efektif, relatif otonom, demokratis, dan bersih. Masalahnya, how low can you go? Tanpa didukung oleh kesadaran untuk membangun sebuah pemerintahan yang kredibel dan mendapat dukungan luas, maka agak sulit untuk melihat kebijakannya berjalan (deliver). e-ti | ht