Politisi Negarawan dari Kalsel
Syamsul Mu’arif
[ENSIKLOPEDI] Hidup bersahaja dan mengalir laksana air. Baginya pedoman hidup adalah nurani dan amal. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Kabinet Gotong-Royong, Sekjen DPP Nasional Demokrat (2010-2012) dan Ketua Umum Depinas Soksi (2005-2010), ini politisi yang tidak mau mengkhianati hati nurani hanya untuk mendapatkan sesuatu. Dia tidak ambisius! Kader Golkar ini berobsesi jadi seorang politisi negarawan. Putra bangsa asal Kalimantan Selatan ini selalu mengutamakan panggilan tugas dan tanggung jawab sesuai posisinya.
Lelaki bernama Syamsul Mu’arif, kelahiran Kandangan, 135 km dari Ibukota Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 8 Desember 1948, ini berprinsip tidak mengejar jabatan. Dia sendiri tidak tahu persis mengapa dibentuk seperti itu. Berkeinginan (ambisius) itu tidak boleh. Itu prinsip hidupnya. Tetapi kalau diberi tugas, dia selalu melaksanakan dengan baik, bahkan dengan mengorbankan kepentingan diri dan kelompoknya sendiri.
Dia seorang politisi profesional, negarawan, yang selalu berusaha melepaskan diri dari kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam mengemban tugas pemerintahan dan kenegaraan.Tatkala diangkat jadi menteri, dia mengutamakan pelaksanaan tugas kementeriannya daripada kepentingan keluarga, kepentingan daerah asalnya dan kepentingan politik partainya. Dia seorang politisi profesional, negarawan, yang selalu berusaha melepaskan diri dari kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam mengemban tugas pemerintahan dan kenegaraan.
Di depan anak dan isteri, dia sedih ketika diangkat menjadi menteri. Menjadi anggota DPR saja sudah jarang makan bersama di rumah, apalagi jadi menteri! Dia meminta pengertian anak-isterinya. “Itu kesedihan saya yang pertama,” katanya menggambarkan.
Begitu pula kepada sahabat dan konstituennya di Kalimantan Selatan, sebagai putra daerah dan kader Golkar yang diangkat menjadi menteri, dia mengatakan tidak bisa lagi berpikir memprioritaskan Kalimantan saja, tetapi harus berpikir untuk Indonesia. Hal itu berbeda ketika ia duduk di legislatif, DPR, sebagai wakil rakyat dari Kalimantan Selatan. Dia benar-benar berorientasi dan berkomunikasi pada konstituennya di Kalimantan Selatan. Maka dia menyebut hal ini sebagai kesedihan yang kedua.
Hal ini bukanlah sekadar retorika. Melainkan, itulah kenyataan hidupnya yang sesungguhnya. Bukan dibuat-buat atau dipaksakan, tapi benar-benar gaya hidup dan jalan hidupnya. Jalan hidup yang berpedoman pada nurani dan akal sehat serta mengalir bagaikan air. Dia mengikuti filosofi air mengalir. “Saya ada di dalamnya, yang penting saya tidak tenggelam dalam arus, tapi mengikuti arus. Bersahaja, apa adanya,” katanya menjelaskan.
Di situ pula dia menemukan jati diri dan kebahagiaannya. Baginya, kebahagiaan itu bukanlah kepuasan menerima atau karena mendapatkan sesuatu yang dicita-citakan atau diinginkan. Tetapi kebahagiaan itu adalah kemampuan untuk menahan dan menghadapi penderitaan terpahit yang kita alami tanpa menggoncang dan merusak stabilitas diri. Jadi apa pun problem yang dihadapi, yang terpenting adalah tetap teguh berdiri pada prinsip yang dipegang.
Salah satu contoh ujian moral yang dihadapi oleh Syamsul adalah ketika ia menjadi wakil rakyat di DPR dalam kurun waktu 1987-2001. Dalam tahun-tahun ini terjadi peperangan batin yang sangat berat dihadapinya antara memilih mengkhianati hati nurani untuk mendapatkan sesuatu atau mengikuti hati nurani tetapi tidak mendapat apa-apa. Dia pun teguh mengikuti kata hatinya.
Keputusannya untuk mengikuti hati nurani itu jualah yang akhirnya membukakan jalan baginya menjadi seorang menteri. Baginya pedoman hidup itu adalah nurani dan akal sehat. Bila hidup dengan nurani dan akal sehat, ia yakin akan menemukan arti dan jalan hidup yang sebenarnya.
Meskipun ada beberapa yuniornya yang jauh lebih kaya darinya, Syamsul tidak menjadi iri dan tetap bersyukur, “Enak tidur saja sudah berkah yang luar biasa bagi saya,” katanya. Untuk menggambarkan perjuangan politiknya, Syamsul memberikan ilustrasi seperti seorang miskin yang tidak mempunyai apa-apa melihat mahasiswa cantik dan ingin mendapatkan wanita itu. Si miskin ini diperhadapkan pada dua pilihan, frustrasi atau semakin termotivasi untuk berusaha lebih baik.
Ia sendiri memilih termotivasi berusaha lebih baik. Tekadnya itulah yang membawanya menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa (Dema), yaitu memiliki si wanita cantik itu. Bahkan era roformasi akhirnya membuka jalan baginya. Ia diangkat menjadi Menteri Komunikasi dan Informasi.
Ketika menerima tanggung jawab sebagai Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, mengira ruang lingkup tugasnya adalah berhubungan dengan media. Baginya berhubungan dengan media termasuk bidang pekerjaan yang biasa ditanganinya.
Sebab, ia mempunyai pengalaman di dunia jurnalistik dengan menjadi anggota Ikatan Pers Mahasiswa dan mulai aktif menulis ketika di Banjarmasin. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di bagian editorial sebuah surat kabar. Saat itu, ia menjadi redaktur sore part time sembari berguru dari Ketua PWI Kalsel Anang Adenansi, yang pernah memimpin koran itu selama beberapa periode.
Tapi ternyata yang juga menjadi bagian tugasnya adalah telematika: telekomunikasi, media, dan informatika. Ia pun prihatin melihat ketertinggalan Indonesia di bidang telematika. Dengan cepat dan cerdas dia mendalami bidang ini. Sehingga dalam tiga tahun, dia bersama timnya berpacu meletakkan grand strategy telematika di Indonesia. Maka, ia mempersiapkan kementerian ini menjadi departemen pada kebinet 2004. (Bersambung) Ch. Robin Simanullang (Juga diterbitkan di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 16)
02 | Moral dan Profesionalisme Politisi
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR-RI yang sempat terpilih dua kali menjadi Ketua Pansus perubahan tata tertib dan menjadi anggota DPR terbaik pilihan wartawan, ini sering mengatakan bahwa seorang politisi harus memiliki moral dan etika di samping profesionalisme dalam melakukan tugasnya.
Keteguhan dalam mempertahankan prinsip diperolehnya dari pengalaman berorganisasi dan menjadi guru agama. Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian ia dipercaya untuk menduduki jabatan Ketua Fraksi dan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi.
Ia menjelaskan bahwa keputusannya untuk bergabung dengan Partai Golkar di tahun 70-an membutuhkan kesabaran dan kekuatan mental yang dilandasi keyakinan bahwa visi politik yang diembannya harus terus dipertanggungjawabkan, baik kepada Tuhan maupun kepada rakyat.
Kala itu, sebelum reformasi, sering kali dia dihadapkan antara memilih mengkhianati hati nurani untuk mendapatkan sesuatu atau mengikuti hati nurani tetapi tidak mendapat apa-apa. Dan, dia memilih hati nurani, moral dan etika.Keputusan itu sempat ditentang oleh rekan-rekannya di HMI. Walaupun begitu, ia tetap teguh pada keputusannya sembari berjanji bahwa ia akan berfungsi paling tidak sebagai rem seandainya kendaraan Golkar berjalan di luar jalur yang dapat merugikan umat. Dia pun mengimplementasikannya dengan teguh, walaupun sarat dengan peperangan batin yang sangat berat. Kala itu, sebelum reformasi, sering kali dia dihadapkan antara memilih mengkhianati hati nurani untuk mendapatkan sesuatu atau mengikuti hati nurani tetapi tidak mendapat apa-apa. Dan, dia memilih hati nurani, moral dan etika.
Guru Agama
Keteguhan moral telah terasah dari masa kecil dalam pengasuhan orang tuanya. Dia diasuh untuk menjadi seorang yang taat beragama. Semasa di kampung, ia bersama keluarganya terpaksa pindah ke kota Kandangan karena terjadi pemberontakan Ibnu Hajar. Ayahnya yang berprofesi sebagai guru terpaksa pulang-balik dari Kandangan ke desa Batang Kulur. Setelah keadaan aman, orang tuanya akhirnya tinggal di desa itu.
Semenjak kelas 3 SD, Syamsul bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah, sering disebut Sekolah Arab, yang khusus mengajarkan agama. Dengan bekal inilah, Syamsul memilih masuk pendidikan guru agama setelah lulus dari sekolah dasar. Ia tinggal di Rantau bersama kakaknya sambil bolak-balik ke kampung. Biasanya setiap seminggu sekali ia pulang ke kampung, namun sesudah kelas 4 PGAN, hampir setiap hari dia pulang dengan bersepeda yang menempuh jarak sekitar 15-16 Km.
Ia kemudian memutuskan untuk mengikuti sekolah berikatan dinas lalu dilanjutkan di Banjarmasin selama dua tahun. Selanjutnya ia kembali ke desa dan mengajar di sana. Sebagai guru, Syamsul mulai mengukir beberapa prestasi yang kurang lazim di jamannya. Saat menjadi guru agama di Madrasah Ibtidaiyah yang mengikuti PGA 6 tahun, ia sudah mendapat pangkat golongan IIa sedangkan rekan-rekannya sesama pegawai negeri yang mengikuti UGA masih berpangkat golongan I. Jadi paling tidak secara administratif, Syamsul sudah lebih unggul daripada yang lain.
Satu tahun kemudian, ia ikut mendirikan Madrasah Tsanawiyah yang langsung dinegerikan. Pekerjaannya sebagai guru selama 5 tahun di desa itu ditekuninya sembari kuliah. Kalau pagi ia mengajar, sorenya ia kuliah di Kandangan. (Bersambung) Ch. Robin Simanullang (Juga diterbitkan di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 16)
03 | Dewan Mahasiswa dan Masuk Golkar
Tahun 1967, ia melanjutkan studi di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kandangan, mendapatkan gelar Sarjana Mudanya (BA) di IAIN Antasari. Semasa kuliah waktunya banyak disisihkan untuk kegiatan keorganisasian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Di kalangan mahasiswa ia dipercaya menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin pada tahun 1975-1977. Di tahun-tahun ini pulalah, Dema sedang mengalami masa keemasan di mana peranan Ketua Umum Dewan Mahasiswa (Dema) bisa populer menandingi rektor.
Namun, kenyataan lain yang harus diterimanya adalah ia tidak menyelesaikan skripsinya walaupun semua mata kuliah sudah diambilnya. Meskipun demikian, ia sempat membantu beberapa temannya membuat skripsi di mana waktu itu ia sedang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa yang selalu mendapat ranking sepuluh besar selama mengikuti berbagai jenjang pendidikan dan latihan.
Sukses memimpin Dema, kemampuan kepemimpinannya kembali diasah saat menjadi Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Kalimantan pada tahun 1977-1979. Di tahun-tahun inilah, ia sempat diajak Golkar untuk bergabung namun ditolak karena ia belum berkehendak untuk terjun di dunia politik praktis.
Masuk Golkar
Baru pada awal tahun 80-an, Syamsul tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak ikut dalam politik praktis. tidak ada sesuatu yang jahat permanen dan tidak ada sesuatu yang baik permanenDia memilih masuk Golkar. Ia berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang jahat permanen dan tidak ada sesuatu yang baik permanen. Di Golkar ia merasa bisa mengambil pelajaran yang bermanfaat dengan masuk di Biro Pemuda Mahasiswa dan Cendekiawan.
Pada Pemilu tahun 1982, ia terpilih menjadi wakil rakyat di DPRD Tingkat I Kalimantan Selatan pada usia 33 tahun, bersamaan dengan aktivitasnya sebagai Ketua KNPI Kalsel (1982-1985), dan Ketua AMPI Kalimantan Selatan (1985-1989). Hingga tahun 1987, Syamsul tetap menjadi anggota DPRD yang termuda. (Bersambung) Ch. Robin Simanullang (Juga diterbitkan di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 16)
04 | Anggota DPR dan Jadi Menteri
Karir politiknya terus menanjak, ia ditarik ke DPR Pusat, padahal waktu itu, ia merasa harus lebih lama mengabdi di daerah. Nasib baik itu muncul ketika tahun 1987, Ketua Umum Golkar H. Soedharmono mengeluarkan kebijakan yang menghendaki kader Golkar di legislatif pusat 20% di antaranya diisi oleh generasi muda. Beruntung baginya karena di DPRD tempatnya berada hanya ia satu-satunya yang berusia di bawah 40 tahun.
Semasa menjabat sebagai anggota DPR tahun 1987-2001, Syamsul merasa tidak bisa menjadi orang Jakarta baik di rumah maupun di pergaulan politik. Ia melihat kenyataan bahwa bila ingin menjadi orang Jakarta di jaman Orde Baru harus bisa mendekati orang-orang yang dekat dengan kekuasaan entah itu lewat koneksi atau uang.
Syamsul tidak memiliki semuanya itu. Modal politik yang ia miliki adalah kemampuan berorganisasi, kemampuan menulis dan kemampuan berbicara. Itulah sebabnya dalam kurun waktu 12 tahun, kedudukan paling tinggi yang pernah diraihnya adalah sebagai Sekretaris Fraksi.
Selama dalam tatanan Orde Baru, ia termasuk kelompok minoritas kritis yang sering tidak dihargai pendapatnya.Dia juga mengenang bagaimana beberapa rekannya setelah membaca naskah pidato buatannya diangkat menjadi menteri. Selama masih berada dalam tatanan Orde Baru, boleh dikatakan ia termasuk kelompok minoritas kritis yang sering tidak dihargai pendapatnya.
Namun, hal ini tidak berlangsung lama, karena Golkar mereformasi diri dan menamakan diri Partai Golkar pada tahun 1998. Pada tahun 1999, Syamsul mendapat suara terbanyak dari 3 nama yang dipilih untuk menduduki jabatan sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar DPR-RI.
Namanya makin mencuat di pentas perpolitikan nasional tatkala sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, ia ikut menggagas ide pembentukan lintas fraksi DPR untuk memperingatkan Presiden KH Abdurrahman Wahid agar mau segera memperbaiki manajemen pemerintahan. Awalnya, tidak ada sama sekali niat menurunkan Presiden Gus Dur.
Namun Gus Dur yang pernah diduga terkait dengan kasus Bulog, ketika itu tetap saja mengabaikan peringatan (Memorandum I dan II) DPR itu. Bahkan Gus Dur membubarkan MPR/DPR lewat pemberlakuan dekrit. Kegoncangan politik berakhir dengan kejatuhan Gus Dur dan digantikan wakilnya, Megawati Soekarnoputri, Juli 2001. Syamsul Mu’arif pun dipercaya memimpin Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam Kabinet Gotong-Royong. (Bersambung) Ch. Robin Simanullang (Juga diterbitkan di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 16)
05 | Kebersahajaan dan Teladan Keluarga
Jejak kariernya tak terlepas dari dukungan isteri dan anak-anaknya. Keluarganya sangat memahami prinsipnya sebagai seorang politisi dan menteri. Kesederhanaan hidup yang diasuhkan dalam keseharian keluarganya melalui keteladanan telah membuatnya tidak pernah dibebani oleh kepentingan keluarga dalam menjalankan tugas pengabdian, baik di legislatif maupun eksekutif.
Ketika pertama kali memboyong anak-isteri ke Jakarta tahun 1987, ia mengalami pengalaman, yang menurutnya, sangat menyedihkan dan berdampak kurang baik pada anak-anaknya. “Bayangkan saya sampai menyuruh istri saya berhenti dari pegawai negeri,” katanya. Waktu itu, istrinya, Siti Zubaidah, yang berprofesi sebagai guru hendak pindah mengajar di Jakarta.
Surat permohonan pindah istrinya sudah dilengkapi. Istrinya mengurus lngsung kepindahan itu ke Dinas Pendidikan DKI. Setelah berkasnya masuk, besoknya orang Dinas Pendidikan DKI itu datang ke rumah, sore-sore: ‘Ibu, kalau ingin beres ini, gampang saja, uang doank’. Petugas itu datang ke rumah meminta sejumlah uang. Dari kejadian inilah, anak-anaknya mengenal bahasa gaul Jakarta, “uang doank”.
“Itulah kata-kata pertama yang dikenal anak saya tentang ‘jahat’-nya Jakarta. Anak saya mendengar uang doang itu. Jadi saya bilang ke istri, ‘kalau begitu sudahlah, nggak usah, ngurus anak-anak sajalah, daripada anak-anak kita nanti rusak’. Jadi istri saya cuti di luar tanggungan negara dan kemudian pensiun dipercepat. Dia ngurus anak, karena saya anak banyak, enam orang. Kalau saya lepas, siapa yang mengontrol anak-anak. Itulah, saya membangun rumah tangga,” katanya.
Menurutnya, filosofi-filosofi seperti itu memang agak sulit kita kembangkan dalam dunia yang katakanlah zaman edan kalau kita pakai Ronggowarsito. Ia melihat kehidupan ini memang sudah begitu adanya, namun bila ia menggunakan cara itu (suap) agar istrinya bisa mengajar di Jakarta, Syamsul khawatir anak-anaknya bisa terkontaminasi nantinya.
Saat itu, anak-anaknya mulai berpikir bahwa di Jakarta untuk memperoleh sesuatu harus dengan uang. Karena Syamsul melihat hal ini kurang baik dan merasa anak-anaknya perlu dididik lebih baik lagi maka ia meminta istrinya agar cuti bahkan kemudian pensiun dini.
Syamsul justru bersyukur, karena isterinya malah mengurusi anak-anaknya hingga besar. Anak-anaknya berprestasi dengan tingkat pendidikan yang baik dan tetap menjadi ‘orang kampung’ meskipun tinggal di Jakarta. Prinsipnya, ia harus menjadi pemimpin yang baik dan menjadi teladan di rumah baru kemudian di luar rumah.Tiga orang anaknya sudah meraih gelar S2. Keadaan keluarga seperti ini membuat dia sangat bahagia. Prinsipnya, ia harus menjadi pemimpin yang baik dan menjadi teladan di rumah baru kemudian di luar rumah. Ia dan keluarga juga selalu berusaha untuk hidup yang lurus-lurus saja. Prinsip inilah yang selalu dipegangnya.
Dia pun tak pernah mencarikan pekerjaan buat anak-anaknya. Demikian pula jika ada keluarga atau kerabat dan kenalan dari Kalimantan Selatan, yang meminta mencarikan pekerjaan, sulit ia layani. Sebab anak-anaknya sudah pasti akan merasa cemburu. Bahkan, untuk urusan sekolah anak-anak pun ia tak pernah meminta dan memberi selembar surat agar bisa diterima di perguruan tinggi tertentu. Namun nyatanya anak-anaknya yang dibimbing keras berdisiplin berotak encer dapat diterima kuliah di ITB Bandung dan UI Jakarta.
Bukan itu saja. Ia mengakui bahwa saat ini tidak memiliki bisnis atau perusahaan. Suatu kali ia pernah diajak berbisnis lalu diberi saham kosong. Namun, perusahaan itu akhirnya rugi dan ia harus turut membantu agar bisa menyelesaikan kewajiban-kewajiban perusahaan itu. Ia merasa tidak memiliki bakat untuk berusaha. “Setiap kali saya dimasukkan ke dalam perusahaan, perusahaan itu jadi nggak bagus,” katanya sambil tersenyum. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur karena tidak menjadi orang bisnis dan tidak mempunyai perusahaan. Ia hidup semata-mata dari politik (profesional) dan posisinya sebagai menteri membuatnya semakin bersyukur.
Sebelum menjadi menteri, Syamsul masih menyetir mobil sendiri. Ia dan isteri juga sepakat untuk tidak mengambil pembantu di rumah. Keenam anaknya diajarkan untuk membantu membereskan rumah, entah itu mengepel lantai dan mencuci mobil secara berganti-gantian. Bila sholat Maghrib, ia menjadi Imam, dan bila ia tidak ada di rumah, anaknya yang menggantikan. Syamsul selalu berusaha agar budaya ini terus terpelihara di rumah.
Bahkan dalam kebersahajaan hidup, posisinya sebagai menteri justru membuatnya merasa menderita. Ia tidak lagi menyetir sendiri, tidak bebas jalan-jalan setelah jam kerja, dan harus melalui prosedur protokoler yang berbelit-belit. Dalam kaitan kebebasan pribadi ini, bila disuruh memilih antara menjadi anggota DPR atau menteri, Syamsul mengatakan lebih enak menjadi anggota DPR karena lebih bebas dalam berkreasi.
Maka tak heran bila ia pun tidak selalu patuh pada aturan protokoler. Kadang kala dia jalan tanpa ajudan, dalam kota maupun ke luar kota. Di bandara, dia juga jarang duduk di ruang VIP (very important person) tapi tempat biasa. Sering kali di airport, orang Garuda heran karena dia tak didampingi ajudan. Dia paling dua-tiga kali pakai VIP di Bandara Soekarno Hatta. Dia memang terbiasa hidup yang biasa saja. Saat menumpang pesawat Garuda, misalnya, ia berbaur dengan penumpang biasa. Sering orang tanya, “Koq Bapak tidak di VIP?” (Bersambung) Ch. Robin Simanullang (Juga diterbitkan di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 16)
06 | Tak Kejar Jabatan
Dia pun berprinsip dalam hidup tidak mengejar jabatan. “Saya tidak tahu mengapa saya dibentuk seperti itu. Berkeinginan itu tidak boleh. Itu prinsip hidup saya. Tetapi kalau saya diberi tugas, saya harus laksanakan dengan baik. Semampu saya,” katanya.
Itulah yang dilakoninya sejak masih berkiprah di daerah hingga menjadi menteri. Saat akhir jabatan sebagai Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Kabinet Gotong-Royong pun, dia tak berupaya mendekati calon presiden terpilih, sebagaimana lazimnya dilakukan banyak orang. Dia mengikuti seperti air mengalir.dia tak berupaya mendekati calon presiden terpilih, sebagaimana lazimnya dilakukan banyak orang. Dia mengikuti seperti air mengalir. “Saya dibawa ke mana, di mana nyangkutnya, saya akan terima semua kenyataan itu. Termasuk pulang kampung atau tidak jadi apa-apa pun, itu sudah saya siapkan,” ujarnya.
Kendati sesungguhnya saat ini, dia mempunyai tiga kemungkinan. Pertama, jadi menteri lagi, tapi partainya cenderung jadi oposisi. Kalau umpamanya betul-betul diminta, harus bersedia dipecat dari partai. Ini terjadi bulan Oktober.
Kedua, bulan Desember, Munas partai Golkar. Mungkin saja Partai Golkar membutuhkannya, walau bukan menjadi ketua umum. Ketiga, pulang ke Kalimantan Selatan, untuk pemilihan gubernur 2005.
Sebagai pemegang share dan portopolio terbesar dalam penyiapan cetak biru Departemen Telematika atau Departemen Telekomunikasi dan Informasi, sesuai orientasi kinerja, adalah layak jika nama Syamsul Mu’arif berada di urutan teratas calon menteri pertama di departemen itu. Namun karena peran oposisi permanen yang digariskan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, ia harus tunduk pada kebijakan partai. Kalaupun ia bersikeras bersedia masuk dalam kabinet, jika diminta SBY-MJK misalnya, ia harus menghadapi konsekuensi paling buruk yakni keluar dari Partai Golkar.
Sebaliknya, kalau kerja kerasnya selama ini memimpin Kominfo ternyata kurang diapresiasi, memang akan memberikan keleluasaan dan ruang besar baginya untuk mengembangkan Partai Golkar agar dalam lima tahun ke depan tidak kehilangan kepercayaan dari rakyat pemilih. Momentum Munas Partai Golkar Desember 2004 adalah kesempatan besar bagi Syamsul Mu’arif untuk “balik kandang”.
Bukan hanya itu dilema yang sedang dihadapinya. Partai Golkar Kalimantan Selatan memintanya pulang kampung untuk menjadi calon Gubernur Kalimantan Selatan. Walau sudah dan sedang menjabat menteri, dan tak pernah memiliki ambisi politik apa pun, Syamsul menyebutkan akan mau memenuhi panggilan pulang kampung asal disampaikan dengan tulus oleh masyarakat, dan karena memang ada mission besar yang harus dijawabnya.
Mission besar itu akhirnya terungkap sendiri. Dan adalah Syamsul Mu’arif sendiri yang menyaksikan langsung tayangan di sebuah stasiun televisi swasta, jam sebelas malam, tentang sebuah kabupaten baru bernama Tanah Bambu di Kalimantan Selatan yang illegal minning atau pertambangan liar batubara telah luar biasa merusak lingkungan paru-paru dunia di Kalimantan Selatan itu. Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menyebutkan, dibutuhkan tak kurang Rp 3-4 triliun biaya reklamasi untuk mengembalikan lokasi penambangan liar batubara ke kondisi alamiahnya.
Saban malam hari truk-truk angkutan batubara berseliweran merusak separuh badan jalan, sedangkan sebelahnya tidak apa-apa sebab dilintasi truk bermuatan kosong. Saat ini pun, di Kalimantan Selatan ratusan sungai mulai mengering sebab tidak ada lagi air mengalir. “Kira-kira itu alasannya, pulang dong Pak, untuk memperbaiki keadaan ini. Kita perlu menyadarkan masyarakat bagaimana memperbaiki sungai itu tanpa merusak perekonomian rakyat,” kata Syamsul Mu’arif, mengungkapkan kegundahan isi hatinya akan kampung halaman, menjelang pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan pertengahan 2005.
Maka dia bilang, kalau itu tujuannya, dia siap kalau memang masyarakat menghendaki. Tapi, katanya, minta ijin dulu dong melalui mekanisme partai. Dia secara pribadi, tidak menjadi soal apakah menjadi menteri, menjadi gubernur, atau tidak jadi apa-apa.
Kebetulan, pilihan-pilihan itu satu antara lain tidak bisa saling berhubungan. Umpamanya, kalau dia masuk ke kabinet, harus berhenti dari partai. Kalau jadi gubernur, tak bisa ikut DPP dan menteri. Ini yang harus dia pikirkan. “Tidak berarti saya harus menteri, tidak berarti saya harus jadi gubernur atau pengurus partai. Saya bisa saja ada di partai, tidak menjadi ketua umum partai tapi untuk menjaga supaya partai saya ini lima tahun ke depan dihormati oleh rakyat karena menyelamatkan perjalanan republik. Saya ingin seperti itu,” kata mantan guru agama ini. (Bersambung) Ch. Robin Simanullang (Juga diterbitkan di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 16)
07 | Reformasi Leadership Belum Terjadi
Berkaitan dengan kinerja pejabat pemerintah, ia berpendapat bahwa di masa depan diperlukan orang-orang yang memiliki profesionalisme, background akademis, dan leadership. Sayangnya, ketiga hal ini sekarang masih terpisah.
Hal ini antara lain disebabkan kebijakan pendidikan. “Tahun 1977 ketika Dema dibekukan, mahasiswa dipersiapkan untuk masuk ke dalam tekno structure berbekal akademis dan itu menghasilkan akademisi, melahirkan ilmuwan-ilmuwan tetapi steril terhadap leadership,” katanya dengan suara nyaring.
Syamsul menjelaskan bahwa Korea Selatan sama dengan Indonesia dalam hal tentara pernah berkuasa penuh (Orde Baru), namun berbeda dalam hal perlakuan terhadap aktivis kampus. Di Korea, para aktivis yang vokal dikirim belajar ke luar negeri seperti Amerika, Jepang dan Eropa. Di sana mereka magang kemudian kembali ke tanah air menjadi ahli yang mempunyai leadership dan idealisme, mempunyai rasa kebangsaan dan kehormatan diri.
Setelah Dema dibekukan, profesionalisme dan leadership menjadi terpisahSementara, Indonesia hanya satu jurusan, keilmuan saja. Hanya sedikit aktivis Indonesia yang dikirim ke luar negeri seperti Syahrir, Hariman, dan sebagainya. Setelah Dema dibekukan, profesionalisme dan leadership menjadi terpisah. “Beginilah kondisi pemimpin Indonesia saat ini,” katanya menjelaskan.
Di samping itu, ia melihat bahwa faktor politik yang kondusif juga merupakan hal yang sangat menentukan. Menurutnya reformasi adalah transparansi, demokratisasi, akuntabilitas, supremasi hukum, penegakan HAM, lingkungan hidup dan reposisi TNI. Ia mempertanyakan apakah konsep tatanan politik jelas kesepakatannya.
“Kita melakukan deconstruction tetapi kita tidak memiliki konsep untuk reconstruction. Akibatnya yang terjadi adalah kita melakukan trial and error dalam penetapan UUD yang dalam empat tahun baru kita buat tetapi kita tidak puas kemudian kita buat dan susun lagi. Sejauh ini mengapa tidak ada perubahan. Mengapa korupsi yang kita perangi habis-habisan masih terus merajalela dibandingkan yang lain?” tanyanya lagi.
Syamsul mengatakan bahwa Indonesia melakukan reformasi di berbagai sektor kehidupan namun belum mempunyai konsep secara tuntas sehingga rekonstruksi dan reformasi mental – reformasi leadership belum terjadi. Kedua hal inilah yang membuat Indonesia belum bergerak.
Baginya, keputusan Korea untuk keluar dari program IMF lalu membayar semua utangnya, merupakan contoh yang perlu ditiru oleh Indonesia. Keberhasilan Korea dalam mengatasi kelesuan ekonomi didukung oleh agresivitas, leadership dan profesionalisme yang tinggi. Sedangkan Indonesia mungkin memiliki orang-orang yang profesional namun belum masuk ke kancah kepemimpinan yang bermoral.
Menanggapi tentang tidak adanya titik temu antara hidup religius dengan kehidupan sehari-hari yang menggerogoti bangsa ini, ia menjelaskan bahwa manusia Indonesia harus dididik dengan benar semenjak usia dini. Ia yakin bahwa kondisi psikologis pada masa pembuahan menentukan watak dan karakter anak di kemudian hari. Pembentukan karakter dan prinsip harus dimulai dari rumah tangga baru kemudian masyarakat dan pendidikan.
Ia mengatakan bahwa di Indonesia, pendidikan dan agama dibuat terpisah. “Bila orang mau beragama masuk sekolah agama, bila mau ahli masuk sekolah ilmu. Keadaan ini membangun manusia Indonesia yang tidak integrated. Padahal membangun manusia itu harus ada keseimbangan.” kata Syamsul Mu’arif dalam wawancara dengan Wartawan TokohIndonesia.com.
Untuk penulisan biografi singkat ini, dua kali wartawan TokohIndonesia.Com mewawancarai Menteri Negara Komunikasi dan Informasi ini. Pertama pada Kamis, 8 Mei 2003 dan kedua pada Jumat 24 September 2004. Keduanya berlangsung di ruang tamu kantor Menkominfo Jalan Medan Merdeka Barat (8/9/2004). Dia didampingi stafnya Aizirman Djusan, MSc. Econ, Kepala Biro Data, Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri. Ch. Robin Simanullang (Juga diterbitkan di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 16)
08 | Meninggal Dunia di Singapura
Syamsul Mu’arif meninggal dunia dalam usia 63 tahun di Singapore General Hospital, Selasa, 3 April 2012 sekitar pukul 8.25 Wib, setelah sebelumnya dirawat karena kanker paru-paru. Jenazahnya dijemput dengan pesawat khusus mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dari Singapura sekitar pukul 16.30 waktu setempat, dan tiba di Lapangan Terbang Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pukul 18.00 WIB.
Selanjutnya, jenazahnya disemayamkan di Lapangan Terbang Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur selama dua jam untuk memberi kesempatan kepada para kerabat dan sahabatnya memberi ucapan belasungkawa. Setelah itu, jenazah diterbangkan ke Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, Banjarmasin, Kalsel, untuk disemayamkan dan dimakamkan di kampung halamannya di Desa Batang Kulur, Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan pada 4 April 2012. Ch. Robin Simanullang