Sang Politisi Pelayan
Jakob Tobing
[ENSIKLOPEDI] Presiden Institut Leimena, Jakob Tobing, bernama lengkap Drs. Jakob Samuel Halomoan Lumban Tobing, MPA. Pria berdarah Batak, kelahiran Reteh-Kotabaru, Riau, 13 Juli 1943, ini seorang politisi pelayan. Dia telah mendedikasikan diri sebagai pelayan dalam dunia politik (DPR/MPR) selama 34 tahun (Golkar dan PDI-P). Mantan Duta Besar RI untuk Korea Selatan (2004-2008), ini berperan penting dalam meletakkan dasar modernisasi politik Indonesia.
Penerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama (1999), ini berperan penting dalam meletakkan dasar reformasi dan modernisasi politik (demokratisasi) Indonesia, terutama melalui kepemimpinannya dalam Panitia Ad Hoc I BP-MPR yang melakukan Amandemen UUD 1945 pada tahun 1999 – 2004 dan Ketua Komisi A Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000, 2001, 2002, dan 2003. Dia patut dihargai sebagai salah seorang putera bangsa peletak dasar modernisasi politik (demokratisasi) Indonesia.Pengalamannya selama 34 tahun dalam badan legislatif dimulai sejak 1968 ketika diangkat menjadi anggota DPR termuda saat itu. Dialah mahasiswa pertama yang diangkat menjadi anggota parlemen (DPR-GR). Harapan dan idealismenya untuk ikut berperan melakukan modernisasi politik dan demokratisasi, mendorongnya ikut bergabung mendirikan Golongan Karya (Golkar) untuk membawa perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Tapi harapan dan idealisme melalui Golkar itu semakin lama semakin pupus.
Maka sejak 1994, dia kembali bekerjasama dengan gerakan reformasi saat itu. Lalu tahun 1997 bergabung dengan PDI Megawati Soekarnoputri dan menjadi Wakil Ketua Balitbang PDI Mega. Kemudian dalam Pemilu 1999, dipercaya sebagai Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI). Dia memimpin pelaksanaan Pemilu 1999 yang merupakan pemilu paling demokratis pertama sejak 1955. Lalu, dia terpilih menjadi anggota MPR/DPR Fraksi PDI-P.
Setelah mengabdi selama 34 tahun di MPR/DPR, dia ditugaskan sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan (dari 2004 s/d awal 2008). Atas pengabdiannya, alumnus John F. Kennedy School of Government – Harvard University, ini dianugerahi beberapa bintang penghargaan.
Dalam setiap jabatan politik dan kenegaraan yang diembannya, Jakob Tobing selalu memaknainya sebagai tugas (kewajiban) untuk turut melayani. Sebab, penerima penghargaan Bintang Ganghwa Medal, First Class, Order of Diplomatic Services, Republic of Korea, 2008, ini menyadari bahwa setiap tugas yang pernah dipercayakan kepadanya itu seperti datang sendiri menghampirinya, bukan sesuatu yang dia kejar dengan segala daya upaya dan cara. Maka dia selalu berusaha memahami pasti ada campur tangan Tuhan dalam setiap perjalanan hidupnya.
Politisi yang hoby mendengar musik, menyanyi, dan koor (gerejawi), ini yakin pasti ada kuasa Ilahi yang menggerakkan teman-teman dan banyak orang untuk mendukungnya. Oleh karena itu pula, dia yakin pasti ada maksud Tuhan atas berbagai kepercayaan yang diberikan kepadanya, yakni untuk turut melayani sesama, menggarami dan menerangi. Hal ini pulalah yang mendasari dia memberi judul buku memoar politiknya (semi-otobiografi): Berusaha Turut Melayani (Konstitusi Press 2008).
Dia memang seorang politisi pelayan. Gaya hidupnya bersahaja, tutur katanya terukur, menjunjung tinggi etika politik, dan selalu berupaya melayani. Dia politisi yang memiliki integritas dan dedikasi serta teguh pada prinsip (demokrasi) sesuai dengan nilai-nilai dasar (azas) bernegara, Pancasila dan UUD 1945. Dalam takaran ini, tak berlebihan bila disebut dia seorang politisi pelayan yang berjiwa negarawan.
Kualitas pelayanan politiknya sangat teruji, terutama tatkala dia memimpin Badan Pekerja MPR selaku Ketua Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR, Amandemen UUD 45, 1999-2004 dan Ketua Komisi A Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000, 2001, 2002, dan 2003 yang membahas Amendemen UUD 1945.
Khususnya tentang beberapa masalah krusial dan dianggap sensitif, seperti Pasal 29 UUD 1945, yaitu mengenai adanya usulan dimasukkan atau tidak, tujuh kata dari Piagam Jakarta ke pasal 29 tersebut. Pasal ini sudah dianggap krusial dan sensitif sejak awal penetapan UUD 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kala itu, para founding fathers tersebut, akhirnya sepakat, ketujuh kata dari Piagam Jakarta itu tidak dimasukkan.
Lalu ketika Badan Konstituante, sejak 1956 sampai 1958 berusaha menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950, juga menghadapi beberapa masalah krusial dan sensitif itu, antara lain menyangkut isi Pasal 29 tersebut. Badan Konstituante akhirnya gagal melaksanakan tugas konstitusionalnya. Sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 [1] yang antara lain menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 (yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945).
Setelah reformasi bergulir 1998, mengalir deras keinginan dari berbagai pihak untuk mengamandemen UUD 1945, termasuk kembali adanya keinginan sebagian pihak untuk memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta itu ke dalam Pasal 29. Dalam situasi inilah Jakob Tobing, anggota DPR/MPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, terpilih menjadi Ketua Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR, Amandemen UUD 45, 1999 – 2004 dan Ketua Komisi A Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000, 2001, 2002, dan 2003 yang membahas Amendemen UUD 1945.
Jacob Tobing merasakan betul bagaimana tajamnya perdebatan sesama anggota MPR ketika gagasan amandemen UUD 1945 dibahas. Pada rapat-rapat Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR acapkali perdebatan meruncing, sejak amandemen pertama tahun 1999 hingga amandemen keempat pada 2002, khususnya bila menyangkut pasal-pasal krusial dan sensitif yang selama ini juga menyulut perdebatan.
Namun, pada kesempatan inilah Jakob Tobing menunjukkan kualitas pelayanan politiknya: Bersahaja, beretika, memiliki integritas, dedikasi dan teguh pada prinsip keberagaman dan kebersamaan serta prinsip kenegaraan. Kendati mendapat banyak tantangan, akhirnya para anggota MPR dengan terbuka dan dalam rasa persaudaraan yang tinggi menyepakati masalah yang sempat dianggap krusial itu sudah dianggap selesai sejak tanggal 18 Agustus 1945, sehingga Pasal 29 UUD 1945 tidak mengalami perubahan.
Perubahan (amandemen) UUD 1945 banyak mengalami perubahan dan telah menjadi dasar modernisasi politik (demokratisasi) Indonesia. Terutama telah mengenai mengurangi kekuasaan Presiden yang tadinya begitu luas sehingga berpotensi otoriter sekaligus memperkuat kewenangan DPR sehingga tercipta checks and balances. Sehingga tidak executive heavy dan juga tidak parliamentry heavy. Sebab kekuasaan tak terbatas MPR (lembaga tertinggi negara) pun diubah statusnya menjadi cukup lembaga tinggi negara. Kewenangan MPR sebagai pengadilan politik diserahkan melalui proses ke MK.
Proses Pengasuhan
Gaya hidup pelayan, bersahaja, beretika, memiliki integritas, dedikasi dan teguh pada prinsip itu diwarisi dari kedua orang tuanya, Heinrich Lumbantobing dan Riasaur boru Hutagalung. Orang tuanya mengasuhkan bahwa seseorang itu harus berani mengatakan ya atau tidak, yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Dan, apabila menerima suatu tugas haruslah melaksanakannya dengan penuh bertanggung jawab sebaik mungkin. Nasihat inilah yang selalu menuntunnya setiap kali mengemban tugas, baik dalam karir politik kenegaraan maupun pergerakan organisasi dan pelayanan sosial.
Jakob sejak kecil diasuh dalam keluarga yang taat beragama dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan berbagai kearifan lokal. Pria berdarah Batak, kelahiran Reteh-Kotabaru, Riau, 13 Juli 1943, ini semasa kecil mengecap pendidikan Sekolah Rakyat dan SMP di Bukittinggi (SRL IX /SGB, Bukittinggi, 1955 dan SMP Negeri II, Bukittinggi, 1958).
Sejak kecil Jakob memang sudah gemar membaca. Saat kecil di Bukittinggi dia sudah terdaftar sebagai anggota perpustakaan rakyat, yang kebetulan berada dekat rumah. Kala itu, berbagai macam buku telah dibacanya, mulai dari buku-buku karya pengarang luar negeri Karl May, seperti Winnetou Gugur, cerita tentang Old Shattehand, Suku Mohawk Tumpas, juga buku bendera Hitam dari Quarazan. Tentu juga buku-buku karya pengarang Indonesia. Seperti, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, Di bawah Lindungan Ka’bah, dan sebagainya. Dia juga gemar membaca komik-komik karya RA Kosasih seperti Sri Asih, serial Ramayana, atau Flash Gordon karya Dan Barry dan masih banyak lagi.
Lalu, selepas pemberontakan PRRI-Pemesta, keluarganya pindah dari Bukittinggi ke Tanjung Pinang. Beberapa bulan kemudian, pada Febuari 1960 pindah lagi ke Bandung. Di kota kembang inilah dia melanjut ke SMA 2B, Jl. Belitung, Bandung. Sebuah sekolah (SMA) favorit (unggulan) kala itu. Maka, dia sangat merasa bersyukur bisa diterima di SMA 2B Jalan Belitung itu. Dia masih ingat, pada Februari 1960, bersama ayahnya menghadap Kepala Sekolah, Mohamad Entum, memohon agar Jakob diterima menjadi murid di sekolah itu. Beruntung, rupanya ada satu kursi kosong, maka dia langsung diterima hari itu juga. Padahal biasanya sangat sulit untuk diterima di SMA tersebut.
Namun, setelah masuk, Jakob sempat merasa kesulitan mengikuti pelajaran. Karena masa perang PRRI, mata pelajaran yang dia pelajari di sekolah sebelumnya, jauh tertinggal dibandingkan mata pelajaran di SMA Belitung. Sementara tidak cukup waktu baginya untuk mengejar ketertinggalan menjelang ujian kenaikan kelas pada pertengahan Februari itu juga. Sehingga, Jakob tinggal kelas. Rapornya banyak angka merah. Namun untuk mata pelajaran eksakta, dia tetap memperoleh angka sembilan.
Selepas tamat SMA (1962), Jakob melanjut kuliah di Jurusan Arsitektur ITB Bandung, 1962 – 1968, hingga meraih Sarjana Muda. Gelar sarjana (S-1) diraih dari STIA – LAN, Jakarta, 1976 dan Fakultas Ekonomi (extension) Universitas Indonesia, 1976 – 1977 serta School of Economics, Colorado University, USA, 1979. Kemudian memperoleh gelar MPA (S-2) dari Harvard University, John F Kennedy School of Government, Cambridge, Massachusetts, USA, 1980. Sempat menempuh Program Doktor (S-3) Universitas Indonesia, 1982, namun tidak selesai. Kemudian, dia menempuh Program on Investment Appraisal and Project Management, Harvard University, 1985 dan Visiting scholar Harvard University, 1993.
Hidupnya Adalah Politik (Pelayanan)
Jakob Tobing sudah aktif sebagai aktivis mahasiswa sejak kuliah di ITB. Dia telah aktif di Dewan Mahasiswa ITB (1963-1964). Menjabat Sekretaris Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Bandung (1964-1965). Kemudian sebagai Ketua DPD Mahasiswa Pancasila Jawa Barat (1965-1966) dan Ketua DPP Mahasiswa Pancasila (1966-1968).
Lalu ikut aktif sebagai Pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Konsulat ITB (1966) dan Pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Cabang Bandung (1966) bersama Sarwono Kusumaatmadja, Sutan Siregar, Djoko Sudiyatmiko, Rachmat Witoelat dan lain-lain. Serta di Jakarta bersama Cosmas Batubara, Nono Anwar Makarim, David Napitupulu dan lain-lain. Bahkan Jakob aktif sebagai Ketua (pengganti) KAMI Pusat, Jakarta (1967-1968). Peran aktif dalam pergerakan menumbangkan Orde Lama inilah yang mengantarkannya menjadi anggota parlemen.
Suami Dra. Adriana Sitohang, Apt dan ayah dari 4 orang anak, ini telah menjadi anggota parlemen sejak 1968. Dialah mahasiswa pertama yang masuk parlemen sebagai anggota DPR/GR termuda 1968-1971, pada usia 24 tahun. Alumni Sarjana Muda Aristektur Institut Teknologi Bandung (ITB, 1962-1968), ini aktif selama 34 tahun sebagai anggota parlemen. Yakni 29 tahun sebagai Anggota DPR-GR/MPR-S, Fraksi Karya Pembangunan C (1968-1971) dan Anggota DPR-RI/MPR-RI, Fraksi Karya Pembangunan (1971-1997), serta lima tahun sebagai Anggota DPR-RI/MPR-RI Fraksi PDI-Perjuangan (1999-2004).
Sebagai seorang politisi, Jakob juga aktif di kepengurusan organisasi politik (partai politik). Dia aktif di kepengurusan DPP-GOLKAR, 1973– 1978; Ketua Departemen Pemuda, Mahasiswa dan Cendekiawan DPP GOLKAR, 1978 – 1983; Ketua Departemen Organisasi, Keanggotan dan Kaderisasi (OKK) DPP GOLKAR, 1983 – 1988; dan Ketua DPP GOLKAR bidang OKK dan Pemenangan Pemilu, 1988 – 1993. Kemudian, Jakob melepas baju kuning Golkar dan menggantikannya dengan baju merah PDI-Perjuangan. Dia pun menjabat Wakil Ketua Litbang DPP-PDI Perjuangan, 1997 – 1999 mendampingi Kwik Kian Gie.
Selama di parlemen (Senayan), pria yang gemar berolahraga golf, fitness, dan berenang, ini telah mendedikasikan diri sebagai politisi pelayan dalam berbagai jabatan dan kegiatan. Antara lain sebagai Ketua Komisi VI DPR-RI, Pertambangan-Perindustrian dan Penanaman Modal, 1971 – 1979; Pengusul usul inisiatif “Jakob Tobing dan kawan-kawan”, DPR-GR, 1972; Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI untuk penyusunan Repelita II, 1972; Anggota delegasi Parlemen se-dunia (IPO), Geneva, 1972; Anggota delegasi OPEC Conference, Bali, 1976; Anggota delegasi OPEC Conference, Caracas, Venezuela, 1977; Anggota delegasi Republik Indonesia Sidang Umum PBB, New York, 1977; Anggota delegasi Parlemen ASEAN (AIPO), Kuantan, Malaysia, 1988; dan Wakil Ketua FKP-DPR-RI bidang Ekonomi dan Keuangan 1980 – 1983.
Penerima Satya Lencana 25 tahun DPR-RI (1997) ini juga aktif melayani sebagai Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Pusat, 1987 dan Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat 1992. Pada era reformasi dia terpilih menjadi Anggota DPR-RI/MPR-RI Fraksi PDI-Perjuangan, 1999 – 2004. Dia pun berkiprah sebagai Anggota KPU Pusat, 1999 – 2002; Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), 1999 dan Anggota delegasi Parlemen Asia-Pacific, Canberra, Australia, 2001.
Pelayanannya yang amat strategis adalah ketika dia menjabat Ketua Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR, Amandemen UUD 45, 1999 – 2004 dan Ketua Komisi A Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000, 2001, 2002, dan 2003. Dalam jabatan ini, tampaknya dia menemukan kembali harapan dan idealismenya untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia.
Kemudian pada tahun 2004, dia dipercayakan menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Korea, Seoul, 2004 – 2008. Jabatan diplomatic yang diembannya dengan baik hingga awal tahun 2008. Pada saat menjabat Dubes itu, dia pun berperan sebagai Anggota delegasi RI pada Asia Pacific Economic Conference (APEC), Pusan, South Korea, 2005.
Selepas menjabat Dubes, penerima penghargaan Ganghwa Medal, First Class, Order of Diplomatic Services, Republic of Korea (2008), ini pun didaulat menjabat Presiden Institut Leimena,[2] Jakarta, dan Penasehat Forum Konstitusi,[3] sejak 2008 sampai sekarang (saat bio singkat ini ditulis November 2010).
Selain itu, Jakob juga pernah aktif sebagai dosen luar-biasa FISIPOL – Universitas Indonesia, 1982 – 1991. Pendiri dan Wakil Ketua Yayasan Kerukunan dan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK), 1994 – 1998. Juga sebagai Ketua Majelis Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah, 1997 – 1999; Anggota Yayasan Universitas Kristen Indonesia, 1995 – 2001; dan Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia, 2001 – 2004.
Atas berbagai pengabdian dan palayanannya, Jakob Tobing telah dianugerahi beberapa tanda penghargaan. Di antaranya, Satya Lencana Penegak, 1966; Satya Lencana Wirakarya, 1997; Satya Lencana 25 tahun DPR-RI, 1997; Bintang Mahaputera Utama, 1999; dan Ganghwa Medal, First Class, Order of Diplomatic Services, Republic of Korea, 2008.
Berbagai pengalaman (kisah hidup) dan pandangannya telah dia tulis dalam buku berjudul: Berusaha Turut Melayani, Memoar Politik (semi otobiografi) Jakob Tobing dan Membangun Jalan Demokrasi, Kumpulan Pikiran Jakob Tobing tentang Perubahan UUD 1945. Kedua buku itu diterbitkan Konstitusi Press, Mahkamah Konstitusi (2008) dan diluncurkan di aula Mahkamah Konstitusi, Kamis malam (17/7/2008), sekaligus merayakan hari ulang tahun Jakob yang ke-65.
Perjalanan karirnya, tentu tidak terlepas dari dukungan keluarga. Terutama isterinya yang sejak awal rela mengambil keputusan untuk berhenti kerja dari perusahaan farmasi dan beralih profesi menjadi ibu rumah tangga. Dengan demikian, Jakob bisa lebih fokus dalam pelayanan politiknya, karena dorongan isteri sebagai ibu rumah tangga, terutama dalam mengasuh keempat anaknya.
Di tengah kesibukannya sebagai seorang politisi, isterinya sangat mengerti. Karena sebelum menikah pun, Jakob sudah berkecimpung dalam dunia politik. Dia juga bersyukur, anak-anaknya pun mengerti. Apalagi anak-anaknya tidak ada yang terkena dampak negatif perubahan zaman.
Jakob memang selalu berupaya mengembangkan sikap bersahabat pada anak-anaknya. Di tengah kesibukannya, dia selalu memberi kesempatan berharga sekecil apa pun untuk keluarga. Misalnya, sekadar makan baso atau tamasya ke Ancol. Sehingga interaksi dengan anak-anaknya cukup terjaga.(Ch. Robin Simanullang, TokohIndonesia.com)
Footnote:
{[1] 30 Tahun Indonesia Merdeka, Seri 1950-1964, Sekretariat Negara, Cetakan Keenam, 1985, hlm.142-143
[2] Institut Leimena adalah sebuah lembaga non-profit yang didirikan tahun 2005 yang anatara lain bertujuan mengkaji berbagai kebijakan dan permasalahan publik yang berkembang untuk ikut mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, serta memfasilitasi implementasi program-program strategis yang relevan di tengah masyarakat. Dinamai Institut Leimena untuk mengenang Dr. Johannes Leimena (1905-1977), seorang negarawan dan gerejawan Indonesia, serta berupaya meneladani kepemimpinannya yang mengedepankan kasih dan melayani semua kalangan.
[3] Forum Konstitusi adalah sebuah lembaga yang didirikan pada 15 Maret 2005 oleh para Anggota MPR yang terlibat dalam pembahasan Perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR (1999-2004). Bertujuan untuk mengikuti perkembangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar dapat terlaksana secara konsekuen dalam menghadapi tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta untuk menyumbangkan pemahaman dan pemikiran serta menyebarluaskan pemahaman mengenai Undang-uandang Dasar 1945. Ketuanya yang pertama adalah Harun Kamil. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
***TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Dari Golkar ke PDI-Perjuangan
Selama 29 tahun berkiprah sebagai anggota parlemen dari Golkar (1968-1997) dan 24 tahun sebagai pengurus DPP Golkar (1970-1993), Jakob Tobing akhirnya terbentur tembok, dimana harapan dan idealismenya untuk mengusahakan modernisasi dan demokratisasi melalui Golkar pupus. Dia pun melanjutkan pelayanan politiknya melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dalam buku memoar politiknya ‘Berusaha Turut Melayani’ (hal 91-92), Jakob menguraikan bagaimana harapan dan idealisme politiknya melalui Golkar pupus. “Sejauh itu saya melihat Golkar sebagai sebuah eksperimen yang gagal”, tulis Jakob.
Dia yang ikut mendirikan Golkar dan sudah masuk kepengurusan DPP Golkar sejak 1970, menyatakan keluar pada tahun 1994. Sesungguhnya, hal itu bukan keputusan yang mudah baginya. Sebab, selama 29 tahun, dia sudah dibesarkan Golkar dan sebaliknya dia juga turut membesarkan Golkar.
Banyak hal yang diperankannya dengan baik selama menjadi pengurus DPP Golkar dan anggota parlemen dari Golkar. Antara lain, sebagai Ketua Komisi VI dia mengusulkan perbaikan gaji PNS/TNI-Polri, agar korupsi tidak merajalela. Dia juga pernah mengusulkan agar subsidi BBM ditiadakan, sebab tidak realistis, tetapi usul itu ditolak Presiden Soeharto melalui Prof. Widjojo Nitisastro, Ketua Bappenas.
Dia telah mendedikasikan diri sebagai politisi pelayan dalam berbagai jabatan dan kegiatan. Antara lain sebagai Ketua Komisi VI DPR-RI, Pertambangan-Perindustrian dan Penanaman Modal, 1971 – 1979; Pengusul usul inisiatif “Jakob Tobing dan kawan-kawan”, DPR-GR, 1972; Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR-RI untuk penyusunan Repelita II, 1972; Anggota delegasi Parlemen se-dunia (IPO), Geneva, 1972; Anggota delegasi OPEC Conference, Bali, 1976; Anggota delegasi OPEC Conference, Caracas, Venezuela, 1977; Anggota delegasi Republik Indonesia Sidang Umum PBB, New York, 1977; Anggota delegasi Parlemen ASEAN (AIPO), Kuantan, Malaysia, 1988; dan Wakil Ketua FKP-DPR-RI bidang Ekonomi dan Keuangan 1980 – 1983
Banyak lika-liku yang dia alami selaku politisi Golkar. Dia pernah dicurigai dekat dengan Jenderal M. Jusuf, Menteri Perindustrian, Menhankam/Pangab yang dianggap berambisi jadi Presiden. Kecurigaan ini dirasakannya tatkala ada pertanyaan: “Sebenarnya Pak Jakob, kesetiaannya kepada siapa”.
Melihat berbagai peran positifnya (pelayanan politiknya), banyak orang mengira dia pantas menjadi menteri. Bahkan beberapa kali, dia dinominasi publik menjadi menteri. Dia pun pernah ditawari jadi Wakil Ketua BPK, tetapi ditolaknya.
Dalam lima tahun terakhir di DPP Golkar, tampaknya dia semakin merasakan adanya perobahan atmosfir kekaryaan dan kebangsaan yang makin mendung berjalan beriringan dengan kekuasaan Presiden Soeharto yang makin tak terkontrol. Atmosfir itu sebenarnya agak pradoksal dari sisi kebangsaan dan kemajemukan yang semula dijunjung Presiden Soeharto.
Akhirnya, setelah melihat dan merasakan harapan dan idealismenya untuk mengusahakan modernisasi politik dan demokratisasi melalui Golkar mulai pupus, Jakob pun mengakhiri peran aktifnya dalam Golkar. Tentu dia kecewa. Dia menilai Golkar telah berubah menjadi sekedar mesin politik kepentingan Soeharto dan kelompok tertentu. Sama sekali dia tidak ada sakit hati kepada Pak Harto. Di mata Jakob, Pak Harto banyak kesalahan dan kekurangan, tetapi banyak juga jasanya. Sehingga, secara pribadi Jakob berterima kasih kepada Pak Harto.
“Kesalahan politik Pak Harto, telah kita koreksi total, beliau dipaksa mundur. Begitu juga sistem yang memungkinkan terjadinya kesalahan itu telah kita perbaiki melalui amendemen konstitusi,” kata Jakob, seraya mengingatkan jangan melupakan banyak jasa Pak Harto.
Kemudian bersama beberapa tokoh, Jakob memilih berseberangan dengan Pak Harto dan gerbong Golkar serta kelompok kepentingan di belakangnya. Mereka pun aktif menggalang kekuatan menumbangkannya. Mereka mendirikan Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK) yang bersama kelompok lain termasuk mahasiswa, gencar berdemonstrasi menentang kekuasaan Soeharto dan kelompok kepentingan yang mendompleng di belakangnya.
YKPK menggalang opini dan oposisi terhadap aksi represif terhadap PDI-Mega. Pada awalnya, Soeharto bersikap terbuka terhadap tuntutan YKPK agar mengundurkan diri dan/atau tidak mencalonkan diri lagi jadi Presiden. Tapi, belakangan para aktifis YKPK dicekal.
Menurut informasi yang diterimanya, sebenar Ibu Tien Soeharto telah meminta Pak Harto untuk tidak melanjutkan jabatan presiden lagi. Namun, entah kenapa, Soeharto merespon tuntutan untuk tidak lagi menjabat Presiden, itu dengan meminta agar kepada rakyat ditanyakan apakah masih menginginkan dirinya. Lalu, Ketua Umum Golkar dan Ketua MPR hasil Pemilu 1997, Harmoko, menyatakan rakyat masih menginginkannya. Belakangan, ungkap Jakob, Harmoko mengakui kepadanya bahwa “hal itu adalah atas suruhan Pak Harto.” Entah benar atau tidak, sebab dari sisi Pak Harto, justru Harmoko yang ambil muka lalu menjerumuskannya.[4]
Akhirnya, gerakan reformasi bergulir dan mencapai puncak jatuhnya kekuasaan Soeharto (Orde Baru), 21 Mei 1998. Jakob yang sebelumnya telah bergabung dengan PDI-Mega pada 1997 dan berperan sebagai Wakil Ketua Litbang DPP-PDI Perjuangan, 1997-1999, berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan harapan dan idealismenya memodernisasi politik (demokratisasi) Indonesia, yang sebelumnya di Golkar telah pupus.
Gayung bersambut, dia pun diutus PDI-P menjadi anggota KPU Pusat (1999-2002) dan Ketua Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), 1999. Dia berhasil memimpin penyelenggaraan Pemilu 1999, Pemilu paling demokratis sejak 1955. Pada Pemilu 1999 itu dia pun terpilih menjadi anggota DPR-RI dari PDI Perjuangan mewakili Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Kemudian dia pun semakin menemukan harapan dan idealismenya yang sempat pupus saat dipercaya menjadi Ketua Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR, Amandemen UUD 45 (1999-2004) dan Ketua Komisi A Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000, 2001, 2002, dan 2003. Posisi strategis yang menempatkannya memimpin peletakan dasar reformasi dan mornisasi politik (demokratisasi) Indonesia.
Kemudian, tanggal 29 Juli 2004, Presiden Megawati mengangkat dan melantiknya menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Korea, Seoul, [5] yang diembannya dengan baik hingga awal 2008.
(Ch. Robin Simanullang, TokohIndonesia.com)
Footnote:
[4] Soeharto Dikhianati Pembantu Dekatnya, Majalah Tokoh Indonesia Edisi 24
[5] Jakob Tobing dilantik jadi Dubes tanggal 29 Juli 2004 bersama tujuh Dubes lainnya: Dr. Makarim Wibisono sebagai Wakil Tetap RI/Duta Besar LBBP RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss; Hertomo Reksodiputro, S.H. sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Tunisia; Nurrachman Oerip, S.H. sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Kerajaan Kamboja; Nuni Turnijati Djoko, S.H. sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Rumania merangkap Republik Moldova; Drs. Ahmed Bey Sofwan sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Demokratik Timor Leste; Drs. Warmas Hasan Saputra sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Rakyat Bangladesh; dan Hupudio Supardi, S.H. sebagai Duta Besar LBBP RI untuk Republik Zimbabwe, Mozambique, dan Kerajaan Swaziland. (Pusat Data Tokoh Indonesia)
***TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Presiden Institut Leimena
Setelah melayani sebagai anggota parlemen (politisi) selama 34 tahun dan menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Korea, Seoul, selama empat tahun (2004-2008), Jakob Tobing kemudian mendedikasikan dirinya sebagai Presiden Institut Leimena.
Nama Institut Leimena diambil dari nama Dr. Johannes Leimena (1905-1977), seorang negarawan dan gerejawan Indonesia. Dimaksudkan sebagai penghormatan dan mengenang jasa-jasaanya, serta berupaya meneladani kepemimpinannya yang mengedepankan kasih dan melayani semua kalangan.
Institut Leimena adalah sebuah lembaga non-profit yang mengkaji berbagai kebijakan dan permasalahan publik yang berkembang untuk ikut mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, serta memfasilitasi implementasi program-program strategis yang relevan di tengah masyarakat.
Didirikan tahun 2005, sebagai respons atas perkembangan situasi bangsa dan negara, serta harapan para pimpinan lembaga gereja. Jakob Tobing turut mendirikan Institut Leimena, atas adanya kerinduan bersama untuk mempunyai fasilitator yang bisa membangun dan mengajak warga Kristen Indonesia di segala bidang kehidupan untuk saling berkomunikasi, serta dengan saudara-saudara se-bangsa dari latar belakang agama lain.
Melalui Institut Leimena, dia juga ingin mendorong adanya proyek-proyek yang langsung mengenai peningkatan taraf hidup rakyat, ekonomi, pengetahuan dan kesehatanHal mana Institut Leimena lebih berfungsi sebagai inisiator dan fasilitator permulaan untuk dilanjutkan oleh organisasi yang ada atau yang dibangun untuk itu.
Keterlibatan mantan Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (2001-2004), ini di Institut Leimena didorong panggilan untuk menyumbangkan sesuatu bagi bangsa tanpa terjebak dalam eksklusivisme. Bagi dia, paling tidak, Institut Leimena bisa berfungsi sebagai forum dan jaringan. “Bukan menggalang kekuatan,” kata Jakob Tobing. [6]
Institut Leimenan ingin turut membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama seluruh rakyat Indonesia, melalui sumbangan pemikiran, kajian, dan program-program lainnya yang sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945 untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sumbangan pemikiran dan program-program tersebut terutama ditujukan untuk pejabat pemerintahan terkait (legislatif, eksekutif, yudikatif) baik pusat maupun daerah, media, akademisi, gereja dan lembaga keagamaan lainnya, serta berbagai kalangan yang ikut mempengaruhi permasalahan publik yang dihadapi.
Sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945, Instutut Leimena juga percaya bahwa nilai-nilai keagamaan merupakan bagian integral dari landasan moral, etik, dan spiritual untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, seluruh umat beragama perlu bekerja sama untuk ikut mengisi landasan moral, etik, dan spiritual tersebut.
Hal ini dilakukan dengan senantiasa menghormati dan menjaga keberagaman dan kesetaraan dalam masyarakat. Kesatuan, kesetaraan, dan kerjasama yang saling menghormati dalam bangsa yang amat majemuk ini merupakan prasyarat bagi tercapainya cita-cita proklamasi kemerdekaan. Oleh karena itu, kami juga percaya bahwa nilai-nilai Kristiani dapat ikut memperkaya pembangunan bangsa dan negara Indonesia, bukan untuk kelompok tertentu saja, tapi demi kesejahteraan umum.
Adapun Visi Institu Leimena adalah: Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana masyarakatnya yang majemuk bekerja sama dalam kesetaraan memperjuangkan cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Sedangkan Misinya adalah: Membangun keterlibatan orang Kristen, sebagai garam dan terang di tengah bangsa dan negara, untuk bersama-sama dengan seluruh masyarakat membangun Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, melalui bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya.
Dalam upaya menanggapi perkembangan nasional dan global, Institut Leimena akan mengembangkan berbagai program yang saat ini meliputi: Studi pengembangan demokrasi; Studi kebijakan ekonomi; Program pemberdayaan ekonomi di daerah tertinggal; dan, Publikasi.
Sejarah Istitut Leimena
Berdiri tahun 2005, Institut Leimena dibentuk sebagai respons atas perkembangan situasi bangsa dan negara, serta harapan para pimpinan lembaga gereja aras nasional.
Partisipasi warga gereja dalam membangun bangsa dan negara sebetulnya telah mendapat perhatian umat Kristiani sejak lama. Oleh karena itu, Sidang Raya X DGI/PGI 1984 di Ambon memutuskan agar PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) membentuk lembaga kajian yang dinamai Akademi Leimena dengan Letjen. T.B. Simatupang sebagai ketua yang pertama.
Pada tahun 2004, atas masukan dan harapan dari para pimpinan lembaga gereja aras nasional, beberapa pengurus Akademi Leimena sepakat untuk mendirikan Institut Leimena sebagai lembaga kajian independen yang mencerminkan perkembangan keberagaman gereja dewasa ini.
Para pendiri, sekaligus anggota Board of Trustees yang pertama adalah Jakob Tobing, Mangara Tambunan, Matius Ho, Radja Kami Sembiring Meliala, dan Viveka Nanda Leimena. Beberapa diskusi dalam bidang sosial, politik dan ekonomi mulai dilakukan. Jakob Tobing yang saat itu sedang bertugas sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan diangkat sebagai Executive Director dan Matius Ho sebagai Deputy Director.
Berbagai aktivitas Institut Leimena semakin meningkat setelah Jakob Tobing menyelesaikan tugasnya di Korea Selatan pada Februari 2008. Kemudian pertengahan September 2008 untuk pertama kalinya Institut Leimena menggelar “Konsultasi Nasional” untuk membahas berbagai permasalahan bangsa, yang dihadiri oleh para pakar, akademisi, pengusaha, pembuat kebijakan, serta tokoh agama dan masyarakat.
Sementara itu untuk mengantisipasi pertumbuhan ke depan, pada November 2008 dilakukan penyesuaian struktur organisasi dimana Jakob Tobing menjabat sebagai President Institut Leimena dan Matius Ho sebagai Executive Director. Pontas Nasution, dahulu Executive Director Akademi Leimena, telah diangkat sebagai Senior Program Advisor beberapa bulan sebelumnya. Anggota Board of Trustees Institut Leimena juga bertambah dengan bergabungnya Adrianus Mooy dan Edwin Soeryadjaya di awal 2009.
Melangkah ke depan, Institut Leimena akan terus mengembangkan dirinya untuk turut membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, guna mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan. TokohIndonesia.com (Sumber: Institut Leimena,http://www.leimena.org/(Ch. Robin Simanullang, TokohIndonesia.com)
Footnote:
[6] Politik Jalur Pelayanannya, Prinsip Alkitab Pegangannya, http://www.ebahana.com/warta-2-Prinsip-Alkitab-Pegangannya.html TI