Alfito Deannova: Kerja Serius, Narasi yang Tertinggal
Wawancara Terbuka Presiden Prabowo dengan Tujuh Jurnalis

Alfito Deannova mengangkat dua isu mendasar: ketahanan pangan dan gagalnya komunikasi negara. Prabowo menjawab dengan detail sidak dan dashboard pangan, tapi pengakuan soal lemahnya komunikasi tak cukup meredam kegelisahan rakyat.
Dalam sesi ini, Alfito Deannova, Pemimpin Redaksi Detikcom, membuka percakapan dengan nada penuh apresiasi sekaligus kegelisahan. Ia mengakui bahwa forum ini adalah yang pertama dalam sejarah kepresidenan Indonesia – Presiden membuka ruang tanya jawab langsung tanpa skrip, tanpa penyaringan pertanyaan. Tapi apresiasi itu segera berubah menjadi tantangan yang serius.
Alfito Deannova membawa isu strategis yang menyentuh jantung visi pemerintahan Prabowo: kembali ke dasar. Ia memuji keberanian Presiden menempatkan pangan, gizi, dan efisiensi anggaran sebagai prioritas utama, namun bertanya:
“Kenapa tidak memilih warisan monumental seperti membangun jalan lintas Papua? Bukankah itu lebih terlihat?”
Presiden Prabowo menjawab dengan refleksi panjang. Baginya, monumen terbaik bukan beton atau jalan tol, melainkan sistem yang menjamin pangan, energi, dan air. Ia menyebut itu sebagai fondasi negara, bukan sekadar prestise jangka pendek.
Namun diskusi segera beralih ke isu komunikasi publik. Alfito Deannova, dengan bahasa yang lugas, menyampaikan kekecewaan publik atas lemahnya tim komunikasi Presiden. Ia menyebut kegagalan dalam menyampaikan pesan, respons yang tidak sensitif terhadap media, bahkan menyentil komentar dari Kepala Kantor Komunikasi Presiden yang menyarankan kepala babi “dimasak saja.”
Prabowo tidak defensif. Ia mengakui bahwa komunikasi adalah kelemahannya. Ia terlalu sibuk bekerja dan lupa menjelaskan. Ia berjanji memperbaiki sistem komunikasi negara, memilih juru bicara yang lebih empatik, dan membangun koneksi yang lebih manusiawi antara Presiden dan rakyat.
Sesi ini adalah potret pertemuan antara dua dunia: dunia kerja dan dunia persepsi. Dan keduanya, jika ingin menghasilkan kepercayaan, harus berjalan bersama.
📌 Disclaimer Redaksi
Wawancara ini merupakan bagian dari tayangan berdurasi panjang yang disiarkan di kanal YouTube Narasi Newsroom, berjudul “Presiden Prabowo Menjawab.” Total durasi wawancara mencapai 3 jam 26 menit, sehingga transkrip yang disajikan dalam tulisan ini merupakan versi yang telah ditata ulang agar lebih nyaman dibaca, tanpa mengubah substansi pernyataan.
Dalam proses penyuntingan, kalimat-kalimat panjang disusun ulang, pengulangan yang tidak esensial dihilangkan, serta tanda baca ditambahkan untuk memperjelas maksud. Namun, mengingat panjangnya durasi wawancara, tetap dimungkinkan ada bagian yang belum tertangkap secara utuh. Oleh karena itu, pembaca disarankan untuk menyimak langsung tayangan lengkapnya di kanal YouTube Narasi untuk memahami konteks secara menyeluruh.
Sesi 2 – Alfito Deannova: Dari Akar Pangan hingga Gagalnya Komunikasi Negara
Valerina Daniel (TVRI):
Baik, terima kasih Bapak sudah menggambarkan kepada kita semua tentang pencapaian dari 150 hari masa pemerintahan hingga saat ini. Banyak sekali yang diceritakan tadi. Tapi tentu saja kita akan gali lebih dalam lagi melalui dialog hari ini.
Seperti disampaikan di awal, hari ini akan hadir tujuh jurnalis dari tujuh media. Saya akan perkenalkan satu per satu:
- Alfito Deannova (Pemimpin Redaksi Detikcom)
- Uni Lubis (Pemimpin Redaksi IDN Times)
- Lalu Mara Satriawangsa (Pemimpin Redaksi TV One)
- Najwa Shihab (Founder Narasi)
- Sutta Dharmasaputra (Pemimpin Redaksi Harian Kompas)
- Retno Pinasti (Pemimpin Redaksi SCTV dan Indosiar)
- Saya sendiri, Valerina Daniel (TVRI Nasional)
Langsung saja saya persilakan untuk pertanyaan pertama. Siapa yang akan mengawali?
Alfito Deannova (Pemimpin Redaksi Detikcom):
Pak Presiden, terima kasih atas waktu dan kesempatannya. Sebelumnya karena masih Lebaran, mohon maaf lahir batin, Pak, kalau ada salah-salah mohon dimaafkan.
Yang kedua, saya pribadi mengapresiasi apa yang Bapak lakukan karena ini rasanya yang pertama kali dilakukan oleh Presiden Indonesia. Banyak presiden yang kita minta waktu aja susah, sekarang Bapak mengumpulkan kami dan surprisingly tidak ada daftar pertanyaan yang harus kami ajukan ke Bapak. Jadi kita bisa nanya apa aja nih.
Presiden Prabowo Subianto:
Silakan. Baik. Silakan.
Alfito Deannova:
Terima kasih, Pak. Kalau misalnya kita mau kembali ke visi dan misi Bapak, itu semuanya kembali ke fundamental, Pak. Semuanya kembali ke basic. Kita tumbuh sebagai anak yang kemudian diajari bahwa negara kita adalah negara agraris, dan seterusnya, dan seterusnya. Itu lama hilang di era reformasi. Kita mungkin terlalu sibuk mengurusi demokrasi, setelah itu juga mengurusi infrastruktur, lupa mengingat bahwa ada perut yang harus diisi, dan jumlahnya bertambah terus.
Bapak melakukan itu. Selain swasembada, Bapak juga melakukan intersep buat mereka-mereka yang gizinya tidak baik dengan makan bergizi gratis. Walaupun tentu saja ada banyak pro dan kontra di publik, tapi ini merupakan salah satu pembeda dibandingkan pendahulu-pendahulu Bapak. Bapak juga kemudian meneguhkan kembali bahwa efisiensi merupakan bagian dari integritas. Karena pemotongan itu, waktu kita bertemu pertama kali, Bapak mengatakan bahwa ada kebocoran yang sudah pasti setiap tahun. Dan karena itu, paling tidak karena kita butuh uangnya, kita melakukan efisiensi.
Itu semua, menurut saya, kembali ke basic fundamental. Pertanyaan saya: kenapa enggak lebih memilih yang sifatnya monumen, begitu Pak? Yang kemudian bisa diklaim sebagai “ini hasil kerja Bapak.” Ada fisiknya. Karena ini kan bicaranya soal-soal yang ada di belakang semua. Kalau bicara bikin jalan se-Papua, gitu, sehingga semua Papua misalnya tersambung, itu kan monumennya Prabowo di sana. Kenapa itu yang tidak Bapak lakukan?
Presiden Prabowo Subianto:
Boleh saya jawab ya?
Alfito Deannova:
Silakan.
Presiden Prabowo Subianto:
Jadi begini, suatu pembangunan, suatu bangsa tentunya bertahap dan memiliki dimensi yang banyak. Kalau Anda benar, saya merasa bahwa harus fundamental. Jadi harus dasar dulu. Back to basic. Dasar, basic kan artinya dasar, ya. Sama dengan kita bangun suatu gedung, fondasinya harus kuat.
Saya merasakan dari kecil bahwa masalah pangan itu sangat fundamental. Kalau kita lihat, pemerintah-pemerintah itu jatuh dan bangun, kuncinya itu adalah masalah pangan. Bisa nggak memberi, menjamin pangan untuk rakyatnya? Saya kira demikian sebetulnya.
Dan saya, setelah saya berkembang, jadi dewasa, saya baca-baca dan saya alami, ternyata ideologi apa pun yang kita anut, agama apa pun yang kita anut, saya kira setiap warga, setiap anggota suatu masyarakat yang diberi peran sebagai pemimpin-apa pun agamanya, apa pun sukunya, apa pun ideologinya-yang pertama adalah kebaikan, keselamatan daripada rakyatnya. Itu harus fokus utama. Menurut saya, itu keyakinan saya.
Percuma kita pintar, kita pandai berpidato, pandai bikin buku masalah ideologi, masalah macam-macam, tapi kita hilang fokus. Jadi itu keyakinan saya. Karena itu ya saya berpikir, monumen yang terhebat dalam suatu pemerintahan adalah kalau dia bisa meninggalkan suatu sistem fundamental yang menjamin pangan, menjamin energi, menjamin air. Dan di ujungnya lapangan kerja, pendidikan, kesehatan. Suatu masyarakat, suatu negara yang berfungsi dengan berhasil, itu monumen yang terbaik menurut saya.
Tapi jangan salah, infrastruktur penting. Saya merasa beruntung-I’m lucky-dalam arti, saya jadi Presiden, beberapa hal-hal yang berat telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu saya.
Saya bukan di sini sok minta bahwa saya menyenangin orang-tidak. Saya merasa Bung Karno punya jasa mempersatukan ratusan suku. Jangan kita lihat sekarang, kita lihat tahun 1956. Apakah Bung Karno punya kesalahan? Ya pasti ada kelemahan.
Pak Harto-dia punya jasa. Bagaimanapun, kita swasembada pangan pertama. Dia membangun Bimas, Inmas, membangun Bulog, membangun macam-macam, kredit usaha rakyat yang mikrofinancing yang pertama. Pak Harto itu. BRI. Yunus dari Bangladesh dapat Nobel Prize-Yunus belajar ke Indonesia. Kalau tidak salah, dulu kreditnya namanya Candak Kulak.
Alfito Deannova:
Benar. Sudah lama banget enggak dengar.
Presiden Prabowo Subianto:
Candak Kulak, iya kan. Pak Harto juga canangkan koperasi dan sebagainya. Habibie meletakkan dasar demokrasi dan iptek. Gus Dur bagaimanapun bisa mengumandangkan toleransi, pemimpin agama Islam, tapi yang berani membela kaum minoritas sampai dia taruh anggotanya menjaga gereja, wihara, pura-ini memberi contoh yang luar biasa. Dulu saling curiga, kan, begitu?
Dan ingat, beliau dimaki-maki dulu karena beliau dekat sama Israel, ke Israel. Dimaki-maki. Ternyata sebetulnya beliau jauh di depan kita semua. Beliau tuh mau membuka dialog dengan siapa pun.
Ibu Megawati harus kita akui: penyelesaian kasus-kasus BPPN, ribuan perusahaan yang kolaps-beliau yang selesaikan. Apapun, ya mungkin beliau punya penasihat-penasihat yang hebat, tapi itu kan keputusan beliau. Ini harus diakui.
Pak SBY juga memimpin negara dalam krisis-krisis 2008, krisis ekonomi luar biasa. Kemudian tsunami, kemudian menyelesaikan GAM di Aceh. Saya katakan, ya saya sekarang tinggal landasan yang sudah bagus. Saya tinggal pakai.
Interkonektivitas dengan infrastruktur yang sudah dibangun sekarang mudah. Coba jujur aja, dari Jogja ke Jakarta lewat darat-iya kan? Bandingkan sama sekian puluh tahun yang lalu. Sekarang kita lihat mudik, mudik kenapa lancar? Jalan tol banyak, iya kan?
Alhamdulillah, mudik tahun ini pun saya juga merasa bahagia. Saya dapat laporan: kecelakaan mudik tahun ini berkurang 30 persen daripada tahun lalu. Nah ini juga karena kerja keras banyak orang. Saudara-saudara, ya banyak orang. Libur, THR, menteri-menteri saya enggak libur. Mereka sampai malam monitor: “Wah ada kemacetan di mana, ada jembatan…” ya itulah. Tapi itulah namanya kebanggaan. Kalau kita bisa bermanfaat, bekerja untuk rakyat kita, itu kehormatan. Jadi ada kebahagiaan.
Alfito Deannova:
Saya izin follow up, Pak. Apa yang Bapak sampaikan itu cukup clear. Rasanya sama seperti beberapa waktu lalu ketika Bapak mengumpulkan beberapa pemimpin redaksi dan bercerita masalah-masalah, isu-isu sensitif yang ada di perbincangan publik. Nah ini rasanya kurang tersampaikan ke publik.
Padahal Bapak cukup banyak punya organ yang berurusan dengan komunikasi. Kita ini tumbuh mengikuti jejaknya Pak Prabowo dalam politik. Rasanya kita semua ini mulai dari Bapak ikut konvensi Golkar, kemudian mendirikan Gerindra, kemudian maju Mega-Pro dan seterusnya, dan seterusnya, sampai akhirnya Bapak terpilih.
Perubahan komunikasi seorang Prabowo Subianto sangat jelas. Sayangnya ketika Bapak menjabat, tim Bapak itu tidak cakap melaksanakan kerja komunikasi. Meskipun sebenarnya ada sedikit apresiasi yang harus dicatat juga: Bapak tidak menggunakan terlalu banyak buzzer, gitu ya.
Presiden Prabowo:
Apa itu buzzer?
Alfito Deannova:
Kata buzzer pun-saya juga, apa sih itu buzzer?
Presiden Prabowo:
Pendengung, ya?
Alfito Deannova:
Orang di sosial media, ya Pak. Biasanya kalau misalnya mau menghentikan media arus utama untuk mengkritisi, menggunakan buzzer dulu.
Presiden Prabowo:
Tapi kan ada juga robot?
Alfito Deannova:
Iya Pak. Buzzer itu ada yang robot, ada yang manusia. Intinya itu salah satu apresiasi. Tapi ini jadi catatan kita, bagaimana komunikasi itu buruk dihadirkan, terutama di akhir-akhir ketika media dikirimi bentuk teror.
Dan dijawab oleh salah satu orang yang seharusnya merepresentasi langsung Bapak-Ketua Kantor Komunikasi Presiden. Itu kan representasi langsung Pak Prabowo. Apa yang disampaikannya itu harusnya menjadi persepsi dari seorang Presiden. Saya enggak yakin Pak Presiden bilang, “Ya udah kalau misalnya dapat kepala babi, dimasak aja.”
Ini sesuatu yang serius buat kita. Kita sudah berjalan cukup panjang dalam kebebasan demokrasi, kebebasan pers. Saya sempat men-challenge Bapak di suatu waktu, apakah kemudian Bapak akan menggunakan gaya-gaya lama? Bapak bilang, “Enggak mungkin lagi.” Karena sekarang ada sosial media, dan media sudah berkembang. Semua orang punya hak dan menjadi produsen pesan.
Nah ini: apa yang akan Bapak lakukan terhadap ini-perbaikan komunikasi? Bapak juga sebelumnya sudah mengatakan, “Komunikasi kita jelek” dalam satu acara terbuka.
Presiden Prabowo Subianto:
Ya, itu memang kelemahan saya. Kelemahan saya karena saya terlalu fokus kepada kerja. Saya berpikir: “Ya sudahlah, kita kerja aja.” Tapi ternyata kerja aja tidak cukup. Masyarakat juga perlu mengerti apa yang kita kerjakan.
Nah saya pikir ini sekarang sedang saya evaluasi. Dan saya sudah sadar. Dan memang itu harus saya perbaiki. Saya kira ini penting. Karena tidak semua orang bisa mendengar saya langsung seperti kalian. Tidak semua bisa hadir di tempat ini. Maka media dan komunikasi itu sangat penting.
Nah saya juga agak lambat dalam membangun sistem komunikasi yang kuat. Dan ini bukan karena tidak ada niat, tapi karena saya fokus ke eksekusi. Saya lihat angka, saya lihat laporan, saya melihat grafik harga beras, harga jagung, harga bawang. Saya hubungi menteri, saya sidak. Kadang jam 12 malam saya panggil. Tapi rakyat enggak tahu, karena itu tidak disampaikan. Dan karena saya tidak bicara ke publik, persepsi terbentuk sendiri.
Itulah sebabnya kita akan memperbaiki ini. Dan memang ada beberapa orang yang, mungkin, harus kita evaluasi. Saya enggak bisa benarkan semua. Saya juga enggak bisa jaga semua mulut orang. Tapi akan saya perbaiki.
Alfito Deannova:
Tapi Bapak juga tidak bisa dibiarkan disalahpahami terus. Karena rakyat ingin tahu dan ingin ikut merasa terlibat. Mungkin itu yang Bapak bisa mulai sampaikan. Bahkan kalau bisa, dengan narasi yang mengajak, bukan hanya memberitahu.
Presiden Prabowo Subianto:
Saya setuju. Dan itu sekarang sedang kita bangun. Kita akan cari cara supaya komunikasi ini lebih kuat, lebih menyentuh, dan lebih menjelaskan, ya.
Saya juga ingin supaya juru bicara saya orang yang bisa merangkul, yang bisa bicara dengan empati. Jangan kaku. Jangan hanya menyampaikan data. Harus ada kepekaan. Saya juga minta masukan dari teman-teman media. Kalian punya pengalaman, kalian tahu dinamika publik. Jadi bantu saya juga.
Saya tidak ingin ada jarak antara Presiden dengan rakyat. Tapi saya memang bukan tipe yang suka banyak bicara. Saya lebih suka kerja. Tapi kalau kerja tidak dikomunikasikan, itu juga tidak maksimal. Jadi saya terima kritik ini.
📌 Catatan Redaksi – Sesi 2 (Alfito Deannova)
Sesi ini menyingkap celah antara kerja dan komunikasi dalam pemerintahan Presiden Prabowo. Gagasan besar seperti ketahanan pangan dan efisiensi anggaran tampil kuat, tetapi tidak selalu terhubung dengan persepsi publik. Melalui pertanyaan tajam namun proporsional, Alfito Deannova mengingatkan bahwa dalam demokrasi, kerja keras saja tak cukup tanpa narasi yang membangun kepercayaan. Presiden Prabowo menunjukkan keterbukaan dengan mengakui kelemahan komunikasi sebagai salah satu titik lemah pemerintahannya – sebuah sikap yang patut diapresiasi. Namun, pengakuan perlu diikuti perbaikan struktural agar kepercayaan publik tidak hanya tumbuh dari kinerja, tetapi juga dari kejelasan dan empati dalam menyampaikan arah kebijakan.
(Redaksi TokohIndonesia.com)