Prof. Dr. Imam Suprayogo: Mendidik Ruh, Bukan Sekadar Otak

Gagasan Transformatif di Simposium Hardiknas 2025

0
68
Prof. Dr. Imam Suprayogo
Prof. Dr. Imam Suprayogo menyindir keras sekolah dan perguruan tinggi yang terlalu sibuk dengan teori. “Fakultas pertanian tanpa sawah. Fakultas peternakan tanpa kandang. Fakultas ekonomi, tapi lulusannya malah punya banyak utang.”
Lama Membaca: 4 menit

Dalam dunia pendidikan yang semakin riuh dengan jargon digitalisasi dan kecerdasan buatan, Prof. Dr. Imam Suprayogo justru mengarahkan pandangan ke pusat yang kerap dilupakan: ruh manusia. Bukan kurikulum, bukan teknologi, bukan sekadar metode — melainkan kesadaran terdalam yang menggerakkan akal, hati, dan perilaku. Melalui pidatonya di Simposium Hardiknas 2025, ia menggugah bangsa untuk kembali mendidik bukan hanya otak, tetapi jiwa; bukan hanya melahirkan generasi cerdas, tetapi generasi yang benar-benar sadar akan hakikat dirinya sebagai manusia.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

“Yang mendengar itu bukan telinga. Yang melihat bukan mata. Yang berbicara bukan mulut. Itu semua hanya alat. Yang sejati adalah ruh.”

Kalimat itu mengalir tenang namun dalam dari lisan Prof. Dr. Imam Suprayogo, saat menyampaikan pidato dalam Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Masjid Rahmatan lil ‘Alamin, Al-Zaytun, Indramayu. Dalam forum yang dihadiri lebih dari 2.000 peserta dari seluruh penjuru Indonesia, tokoh pendidikan nasional ini tidak hanya mengulas masalah pendidikan dari permukaan, tapi menggali akar terdalamnya: ruh manusia.

Di tengah dunia pendidikan yang kerap sibuk dengan target akademik, akreditasi, kurikulum, dan peringkat, Prof. Imam Suprayogo justru mengingatkan bahwa manusia yang menjadi objek pendidikan sejatinya bukan sekadar tubuh dan otak, melainkan kesadaran spiritual yang disebut ruh. Ia menjelaskan dengan terang dan logis, namun tetap menyentuh sisi terdalam hati para pendengarnya.

Prof. Dr. Imam Suprayogo | Tokoh Pendidikan Nasional | Mendidik Ruh, Bukan Sekadar Otak

Ia mencontohkan: ketika seseorang tidur, telinga, mata, otak masih ada, tapi semua itu tidak berfungsi. Kenapa? Karena yang mengaktifkan semua itu — yaitu ruh — sedang diambil oleh Tuhan. Maka, yang perlu dididik bukanlah alat-alat biologis manusia, tetapi pemilik kesadaran itu sendiri. Di sinilah letak kesalahan banyak sistem pendidikan: terlalu fokus pada otak, melupakan ruh.

Bagi Prof. Imam Suprayogo, pendidikan yang hanya mengisi otak adalah pendidikan yang kalkulatif. Guru akan mengajar hanya demi angka kredit, siswa belajar hanya untuk nilai, dan sistem pun hanya mengejar statistik. Sebaliknya, pendidikan yang menyentuh ruh akan melahirkan relasi batin antara pengajar dan peserta didik. Hubungan dari hati ke hati, bukan sekadar otak ke otak.

Dalam pidatonya, ia juga mengkritik keras model pendidikan yang hanya verbal — yang hanya mengajak anak “berkata-kata” tanpa mengenal realitas yang dibicarakan. Ia bercerita tentang cucunya yang masih berusia tiga tahun. Ketika ia memintanya mengambil “cingkir” (cangkir), sang cucu langsung pergi ke dapur dan kembali membawa cangkir. Anak itu belum bisa mengucapkan atau menuliskan kata “cingkir”, tapi ia tahu benda yang dimaksud. Ini, menurut Prof. Imam Suprayogo, adalah pendidikan yang sejati: memahami makna melalui pengalaman, bukan sekadar hafalan.

Ia kemudian menyindir keras sekolah dan perguruan tinggi yang terlalu sibuk dengan teori. “Fakultas pertanian tanpa sawah. Fakultas peternakan tanpa kandang. Fakultas ekonomi, tapi lulusannya malah punya banyak utang.” Menurutnya, ini adalah cermin dari pendidikan yang jauh dari kenyataan. Anak-anak diajarkan tentang pertanian dari buku, bukan dari tanah. Mereka belajar peternakan dari gambar, bukan dari kambing yang hidup. Maka, mereka lulus dengan banyak kata, tapi miskin makna.

Di sinilah ia mengapresiasi sistem pendidikan berbasis praktik dan ruhani seperti yang ia lihat di Al-Zaytun. Di tempat ini, menurutnya, siswa tidak hanya diajak berbicara tentang nilai dan kejujuran, tapi benar-benar hidup dalam atmosfer nilai tersebut. Masjid menjadi pusat aktivitas. Kitab suci menjadi sahabat harian. Pertanian, peternakan, dan usaha nyata menjadi bagian dari kurikulum. Bagi Prof. Imam Suprayogo, ini bukan sekadar lembaga, tapi model pendidikan masa depan yang patut ditiru.

Advertisement
Prof. Dr. Imam Suprayogo dan Syaykh Panji Gumilang
Prof. Dr. Imam Suprayogo sedang berbincang dengan Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang

Lebih jauh, ia melemparkan satu gagasan besar yang terdengar sederhana, namun berani: menyatukan Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Kebudayaan menjadi satu. Alasannya sederhana tapi mengena: semua kementerian itu mengurus manusia. Agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah tiga sisi dari satu mata uang. Maka, mengapa mereka dipisahkan secara struktural?

“Kalau satu saja kementeriannya, lebih efisien. Lebih tepat sasaran. Saya siap bantu rumuskan modelnya,” katanya setengah berseloroh namun penuh keseriusan. Ia menyadari, selama ini birokrasi terlalu gemuk, tetapi miskin arah. Kurikulum disusun oleh satu lembaga, nilai oleh yang lain, dan pembinaan moral oleh lembaga yang berbeda. Hasilnya, manusia dididik secara terpecah — tak ada kesatuan visi. Ia percaya, hanya dengan menyatukan manajemen pendidikan di bawah satu visi spiritual dan kultural, barulah pendidikan nasional bisa benar-benar menyentuh ruh anak bangsa.

Gagasan-gagasan Prof. Imam Suprayogo bukan sekadar teori. Ia telah membuktikannya saat memimpin Universitas Muhammadiyah Malang selama 20 tahun dan UIN Malang selama 16 tahun. Di sana, ia membangun masjid sebagai pusat kehidupan kampus, menerapkan salat berjamaah sebagai sistem, dan menciptakan ruang-ruang dialog spiritual yang hidup. Ia juga aktif di lembaga-lembaga swasta dan pesantren seperti Tebu Ireng dan Universitas Darussalam Gontor, membawa semangat yang sama: pendidikan sebagai jalan menyempurnakan ruh manusia.

Maka, ketika beliau berbicara tentang pentingnya mendidik ruh, ia tidak sedang berteori. Ia sedang mengajak bangsa ini untuk berhenti berpura-pura. Pendidikan yang baik tidak akan pernah lahir dari sistem yang memisahkan ilmu dari iman, logika dari akhlak, teknologi dari kejujuran. Pendidikan yang baik hanya bisa lahir dari kesatuan kesadaran bahwa yang kita didik bukan sekadar siswa, tapi ruh manusia.

Pidatonya ditutup dengan satu kalimat yang menjadi kunci seluruh pemikirannya: “Dekatkan anak-anak dengan kitab suci. Dekatkan mereka dengan tempat ibadah. Dekatkan mereka dengan para ulama dan cendekiawan agama. Maka bangsa ini akan sehat.”

Sebuah kalimat yang sederhana, namun menyimpan kekuatan transformatif yang dahsyat. Di saat dunia pendidikan berlomba dengan kecerdasan buatan dan teknologi tinggi, Prof. Imam Suprayogo justru mengajak kembali ke yang paling dasar: ruh. Karena dari sanalah segala kesadaran tumbuh, dan hanya dari sana pula sebuah bangsa dapat bangkit dengan utuh. (Atur/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments