Hasangapon: Siapa yang Layak Dihormati Hari Ini?

Yang diberi Hormat Saat Hidup, Belum Tentu Dikenang dengan Hormat

0
53
Hasangapon: Siapa yang Layak Dihormati Hari Ini?
Hasangapon tak bisa berdiri sendiri. Ia harus menyatu dengan Hagabeon (keberlangsungan hidup) dan Hamoraon (kesejahteraan yang membawa manfaat).
Lama Membaca: 4 menit

Hari ini, masyarakat Batak sering mengukur Hasangapon (kehormatan) dari yang tampak: gelar, jabatan, atau kekayaan. Padahal, dalam nilai sejati Batak, kehormatan lahir dari hidup yang dijalani dengan konsistensi, kejujuran, dan kontribusi. Saat status lebih dulu diberi tempat, pertanyaan ini pun jadi semakin penting: siapa sebenarnya yang layak dihormati?

Pertanyaan itu membawa kita pada kenyataan sehari-hari: simbol kehormatan memang mudah dikenali: dari tempat duduk yang diberikan dalam forum adat, sebutan-sebutan kehormatan yang disematkan, hingga cara orang-orang mendengarkan pendapatnya. Tapi benarkah semua itu mencerminkan nilai hidup yang dijalani seseorang?

Tak jarang, orang yang mendapat tempat terhormat bukan karena ketekunan nilai atau kontribusinya, melainkan karena status atau kekayaannya. Di titik inilah Hasangapon mulai tereduksi: dari sesuatu yang mestinya lahir dari laku hidup, menjadi sesuatu yang dilekatkan pada penampilan luar. Ia jadi identik dengan simbol-simbol lahiriah, padahal dalam pemahaman Batak yang utuh, kehormatan tidak ditentukan oleh apa yang tampak, tapi oleh bagaimana seseorang menjalani hidupnya dari hari ke hari.

Fenomena itu terlihat jelas dalam banyak acara adat. Mereka yang dianggap “berhasil” sering diberi tempat di depan: duduk lebih dulu, bicara lebih awal, didengar lebih banyak. Sementara itu, mereka yang memberi kontribusi nyata tapi tak menonjol justru hanya jadi pendengar. Ini bukan sekadar soal tata adat, tapi cerminan cara kita menilai dan memperlakukan sesama.

Lebih dari itu, kehormatan sering diperlakukan seperti hak yang otomatis melekat karena usia, jabatan, atau kontribusi masa lalu. Tak sedikit yang merasa tersinggung saat tak disapa dengan sebutan adat tertentu, atau merasa disepelekan karena tak diberi panggung. Padahal, dalam nilai Batak yang sejati, kehormatan bukan soal titel, tapi tentang bagaimana seseorang hadir dalam hidup orang lain: hari ini, bukan sekadar kemarin.

Ironisnya, makin tinggi simbol kehormatan disematkan, makin besar pula risikonya menjauh dari substansi. Ada yang datang ke forum adat bukan untuk membimbing, tapi untuk menunjukkan kuasa: menggunakan gelar dan kekayaan untuk membungkam suara lain termasuk untuk menentukan jalannya diskusi adat. Di sinilah Hasangapon bergeser arah: dari yang seharusnya merangkul, menjadi alat untuk mengatur dan mengerucutkan.

Namun di sisi lain, banyak orang yang tak pernah tampil mencolok justru menjadi penopang komunitas. Mereka jarang duduk di depan, tapi hampir selalu dimintai pertimbangan saat terjadi konflik. Mereka memberi waktu, mendamaikan pertikaian, menjembatani generasi: hadir, bukan tampil. Tapi karena tak bergelar atau berharta, mereka jarang dianggap “marhasangapon.” Di sinilah letak ironi paling kontras: nilai-nilai Hasangapon justru tersingkir oleh penampilan.

Kita bisa melihatnya dalam kisah seorang natua-tua di kampung, tanpa gelar tinggi, tanpa kekayaan mencolok, tapi selalu hadir dalam urusan adat. Ia menengahi konflik keluarga, menjadi tempat bertanya bagi anak muda, dan tak pernah menuntut disapa dengan sebutan adat. Tapi ia dihormati dengan tulus. Kehormatannya bukan karena pengangkatan, tapi karena hidup yang dijalani dengan integritas.

Dari situ, pantas kita bertanya ulang: siapa sebenarnya yang layak dihormati hari ini? Mereka yang tampil dan terdengar, atau mereka yang hadir dan berdampak?

Dalam nilai Batak (3H), Hasangapon tak berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan dua nilai lainnya: Hagabeon dan Hamoraon. Kehormatan hanya bermakna jika seseorang juga menjaga keberlangsungan hidup (Hagabeon) dan menjalani kesejahteraan (Hamoraon) dengan tanggung jawab. Tanpa itu, Hasangapon hanya jadi formalitas. Ia mungkin dihormati, tapi tak dikenang.

Advertisement

Itulah sebabnya hari ini kita perlu jujur melihat ke dalam: banyak ruang adat perlahan bergeser menjadi forum pencitraan. Kehormatan tampak dari siapa yang datang dengan mobil mewah, siapa yang gelarnya paling panjang, atau siapa yang paling dulu disapa. Tapi nilai-nilai yang seharusnya dijaga justru kerap tertinggal. Anak muda pun mulai kehilangan kepercayaan, melihat adat bukan lagi sebagai ruang pembelajaran, tapi seremoni yang penuh basa-basi.

Padahal, ruang-ruang adat mestinya jadi tempat nilai diwariskan. Tapi saat Hasangapon bergeser menjadi soal status, hanya mereka yang kelihatan besar yang diberi tempat. Sementara mereka yang menjaga nilai dalam kesederhanaan justru dianggap tak layak tampil, padahal di tangan merekalah nilai bertahan.

Karena itu, kita perlu mengingat ulang makna Hasangapon. Ia bukan milik segelintir orang yang paling keras terdengar, tapi milik siapa saja yang hidupnya memberi makna: menjaga relasi, memperbaiki yang rusak, dan membimbing yang muda. Merekalah yang patut dihormati.

Sebab yang layak dihormati bukan mereka yang menuntut gelar, tapi mereka yang tetap dikenang meski tak lagi bicara. Bukan mereka yang menuntut tempat di depan, tapi mereka yang tak pernah berhenti membawa kebaikan: meski tanpa panggung, tanpa suara keras, tanpa nama yang dielu-elukan.

Hasangapon sejati tidak meminta disapa, tapi membuat orang lain merasa perlu menyapa, bukan karena kewajiban, melainkan karena ketulusan. Ia lahir dari konsistensi hidup, bukan dari citra. Dalam pengertian ini, kehormatan sejati lebih dekat pada “dikenang dengan hormat” ketimbang “diberi hormat saat hidup.” Karena orang yang benar-benar marhasangapon tak selalu duduk di depan, tapi tetap berdampak meski tak lagi hadir.

Jika hari ini kita lebih sering memberi hormat karena status, mungkin kita sedang kehilangan arah. Kita memberi panggung pada simbol, bukan pada nilai. Padahal, mereka yang sungguh-sungguh marhasangapon tak butuh sorotan. Ia cukup hadir, dan kehadirannya membawa kebaikan.

Maka siapa yang layak dihormati hari ini? Barangkali bukan yang bergelar paling panjang, tapi yang hidupnya memberi makna. Bukan yang paling dulu dipanggil, tapi yang paling lama dikenang. Karena Hasangapon bukan untuk ditunjukkan, tapi untuk dijalani.

Orang Batak yang marhasangapon bukan yang paling banyak disalami, tapi yang paling dalam dihargai. Bukan mereka yang menuntut untuk dihormati, tapi yang menjalani hidup dengan cara yang membuat orang lain ingin menghormati mereka, tanpa diminta.

(Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

 

Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

Hasangapon dalam Hita Batak Jilid 1

Dalam Hita Batak Jilid 1, Drs. Ch. Robin Simanullang menegaskan bahwa Hasangapon bukan sekadar gelar kehormatan, tapi kualitas hidup yang terpancar dari nilai dan keteladanan. Ia tidak diwariskan, tidak pula dibeli. Hasangapon dibentuk dari cara seseorang menjalani hidupnya, dengan kejujuran, konsistensi, dan tanggung jawab, baik dalam keluarga maupun komunitas.

Buku ini juga mengingatkan bahwa Hasangapon tak bisa berdiri sendiri. Ia harus menyatu dengan Hagabeon (keberlangsungan hidup) dan Hamoraon (kesejahteraan yang membawa manfaat). Tanpa keduanya, kehormatan bisa kosong makna: sekadar tampilan, bukan cerminan. Maka orang Batak yang sungguh marhasangapon adalah mereka yang tak hanya dihormati saat hidup, tapi juga dikenang setelah tiada karena nilai-nilainya tetap hidup.

Sebagaimana ditulis di bagian akhir buku itu, Hasangapon adalah cermin. Cermin dari siapa kita sesungguhnya. Apakah kita hidup sekadar menuntut penghormatan, atau sungguh menjalani hidup yang pantas dihormati? Panggilannya pun jelas: menjadi orang yang tak sekadar disalami, tapi yang memberi hormat lewat hidup yang dijalani.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments