Maestro Lukis Kelas Dunia

Raden Saleh
 
0
2404
Raden Saleh
Raden Saleh | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Pelopor seni lukis Indonesia modern yang puluhan tahun malang melintang merintis karirnya di Eropa ini merupakan seniman pribumi pertama yang melukis dengan gaya Barat. Ia piawai melukis objek alam dan kehidupan hewan, khususnya kuda dan binatang buas. Ia juga dianggap mumpuni dalam mencoretkan garis wajah dalam lukisan potret.

Raden Saleh lahir dengan nama lengkap Raden Saleh Sjarif Bestaman di tahun 1807, tanpa diketahui tanggal dan bulannya. Ibundanya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen dan tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang, Jawa Tengah. Saat baru berusia 10 tahun, Raden Saleh diserahkan pamannya yang juga menjabat sebagai Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia.

Bakatnya di bidang menggambar mulai menonjol saat Saleh kecil bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School). Anak sopan itu menonjol dengan talentanya di salah satu bidang seni rupa tersebut. Tak jarang saat gurunya mengajar, ia malah asyik menggambar. Meski begitu, sang guru tak marah, karena ia kagum melihat karya muridnya.

Selain memiliki kepekaan terhadap seni yang tinggi, Saleh juga dikenal sebagai sosok yang ramah dan mudah bergaul. Karena sifatnya yang hangat itulah, Saleh tak menemui kesulitan saat harus menyesuaikan diri dalam lingkungan orang Belanda atau lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda.

Saking supelnya, seorang kenalannya, yang merupakan pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, Prof. Caspar Reinwardt, menilai Raden Saleh pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Awalnya Saleh memang dipersiapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda menjadi calon pegawai di lembaga tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, Raden Saleh justru tumbuh sebagai seorang seniman besar.

Kebetulan di instansi tersebut ada seorang pelukis keturunan Belgia bernama A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen kemudian tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.

Meski reputasi Payen sebenarnya tidak terlalu menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, peran mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini nyatanya cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen pula yang mengajak Saleh muda dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun pernah menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.

Semakin hari, Payen semakin kagum dengan bakat luar biasa yang dimiliki Raden Saleh. Payen kemudian mengusulkan agar anak didiknya itu bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Belanda. Usulan ini kemudian turut mendapat dukungan dari G.A.G.Ph. van der Capellen, setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa sejak tahun 1819 hingga 1826 itu melihat karya Raden Saleh.

Pada tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Raden Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu bukan semata untuk belajar seni lukis melainkan juga untuk mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Hal ini tertulis dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen.

Di Belanda, Raden Saleh mulai belajar di bawah bimbingan Cornelius Kruseman dan Andries Schelfhout. Semasa menimba ilmu di sana, kemampuan melukisnya kian berkembang pesat. Tak heran jika di kalangan sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar, ia kerap dianggap sebagai saingan berat. Suatu ketika, para pelukis muda itu melukis bunga yang sangat mirip dengan aslinya. Lukisan itu kemudian diperlihatkan ke Raden Saleh. Saking miripnya, beberapa kumbang serta kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seakan merasa lebih hebat dan merasa jumawa, mereka kemudian mengejek dan mencemooh Raden Saleh. Meski merasa terhina, Saleh tak mau secara langsung membalas hinaan tersebut, ia lebih memilih untuk menyingkir.

Advertisement

Selama berhari-hari lamanya, Saleh ‘menghilang’. Hal itu membuat teman-temannya cemas, mereka menduga, pelukis Indonesia itu putus asa kemudian berbuat nekad. Para pelukis muda itu lalu mendatangi Saleh ke rumahnya. Pintu rumah Raden Saleh terkunci dari dalam, karena penasaran, pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Namun begitu pintu dibuka, mereka mendapati pemandangan yang mengerikan, “Mayat Raden Saleh” terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik tiba-tiba Raden Saleh muncul dari balik pintu lain seraya berkata, “Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia,” ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun kemudian pergi sambil menanggung malu.

Kesempatan untuk belajar di luar negeri benar-benar dimanfaatkan Raden Saleh. Dua tahun pertama ia gunakan untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan di bidang lukis melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.

Setelah bertahun-tahun menetap di Negeri Kincir Angin, Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidupnya. Perlahan tapi pasti, namanya mulai dikenal, ia bahkan sempat menggelar pameran di Den Haag dan Amsterdam. Masyarakat Belanda yang menyaksikan hasil karyanya sering dibuat terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda pribumi dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat dengan begitu sempurna.

Begitu studinya di Belanda rampung, Raden Saleh tak langsung pulang ke Tanah Air melainkan mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk mempelajari ilmu lain di luar melukis, yakni wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat). Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia Belanda, Raden Saleh diperbolehkan menangguhkan kepulangannya ke Indonesia. Namun ia tak lagi mendapat beasiswa dari kas pemerintah Belanda.

Walau menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Kendati mendapat didikan ala Barat, Raden Saleh merupakan sosok yang menjunjung tinggi idealisme kebebasan dan kemerdekaan sehingga ia amat menentang penindasan. Pemikirannya itu digambarkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh pemerintah kolonial Belanda.

Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849), Raden Saleh mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke Dresden, Jerman untuk menambah wawasannya. Di sana ia tinggal selama lima tahun dengan statusnya sebagai tamu kehormatan Kerajaan Jerman. Tahun 1843, Raden Saleh meneruskan petualangannya menuntut ilmu ke Weimar. Setahun kemudian ia kembali ke Belanda dan menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.

Walau menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Kendati mendapat didikan ala Barat, Raden Saleh merupakan sosok yang menjunjung tinggi idealisme kebebasan dan kemerdekaan sehingga ia amat menentang penindasan. Pemikirannya itu digambarkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada saat penangkapan yang terjadi tahun 1830 itu, Raden Saleh tengah berada di Belanda. Puluhan tahun kemudian ia kembali ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat Pangeran Diponegoro.

Meski serupa dengan karya J.W. Pieneman, Raden Saleh memberi interpretasi yang berbeda pada lukisannya. Pada karya Pieneman lebih menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda kalah perang. Di latar belakang, Jenderal De Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.

Sedangkan pada lukisan Pangeran Diponegoro yang selesai dibuat Raden Saleh tahun 1857 itu, pengikutnya tak membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini menunjukkan, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik namun perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah karena jenderal De Kock tahu musuhnya tak siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu, Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya mengepal menggenggam tasbih.

Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap empati menyaksikan suasana tragis tersebut bersama-sama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Jenderal De Kock pun kelihatan sangat segan dan menaruh hormat saat mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa beliau ke tempat pembuangan.

Meski telah banyak melahirkan banyak lukisan bernilai seni tinggi, dahaga dan rasa keingintahuannya pada seni belum juga terpuaskan. Oleh karena itu, ia terus menggali kemampuannya dengan mempelajari seni lukis dari daerah lain di luar Belanda. Tercatat selama kurun waktu tahun 1844-1851, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Prancis. Saat itu aliran romantisme tengah berkembang di Eropa sejak awal abad 19. Wawasan seninya pun kian bertambah seiring kekagumannya pada karya pelukis Perancis legendaris yang juga dikenal sebagai tokoh romantisme bernama Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863).

Sejak itu, ciri romantisme juga muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Dari situ, ia lalu memutuskan untuk terjun ke dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Konon, melalui karyanya, ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dan sebagainya. Agar dapat menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari, Saleh tak segan-segan mengembara ke berbagai tempat.

Ketika berada di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau mempengaruhi dirinya. Tahun 1846, dari Perancis, ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, pergi ke Aljazair dan tinggal selama beberapa bulan. Di tempat inilah, Raden Saleh mendapat inspirasi untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu kemudian membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar.

Selain Belanda dan Perancis, negara Eropa lain yang pernah ia singgahi adalah Austria dan Italia. Petualangannya di benua Eropa berakhir pada tahun 1851 ketika ia pulang ke Indonesia bersama istrinya, seorang wanita Belanda yang kaya raya.

Begitu kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, Raden Saleh pernah ditunjuk menjadi konservator pada “Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni”. Di sela-sela kesibukannya menjalani profesi tersebut, ia masih giat menelurkan karya berupa beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan.

Di saat kiprahnya sebagai pelukis di Tanah Air semakin diperhitungkan, Raden Saleh harus menghadapi kenyataan pahit setelah pernikahan pertamanya berakhir dengan perceraian. Setelah menduda, ia kembali membangun rumah tangga dengan seorang gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.

Setelah menikah, Raden Saleh tinggal di Jakarta di kawasan Cikini. Rumahnya dibangun sendiri menurut teknik sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sedangkan rumahnya dialihfungsikan menjadi Rumah Sakit Cikini, Jakarta.

Pada tahun 1875, bersama istri tercinta, Raden Saleh berangkat lagi ke Eropa dan baru kembali ke Jawa tiga tahun kemudian. Setelah itu, ia menetap di Bogor sampai akhir hayatnya pada 23 April 1880. Sempat beredar cerita, kematian pelukis legendaris itu akibat diracun sang pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dugaan tersebut dipatahkan dengan hasil pemeriksaan dokter yang menyebutkan Raden Saleh meninggal karena trombosis atau pembekuan darah.

Jenazahnya kemudian dikebumikan di TPU Bondongan, Bogor, Jawa Barat. Di nisan makamnya tertulis “Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda”, kalimat itulah yang sering melahirkan banyak tafsir yang memancing perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh. Terlepas dari hal tersebut, sosok Raden Saleh mampu memberikan warna tersendiri di dunia seni lukis Indonesia. Meski lebih banyak berkiprah di luar negeri, Raden Saleh sebenarnya tidak menanggalkan identitasnya sebagai seorang pribumi, hal itu setidaknya bisa dilihat dari gaya berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon yang menjadi ciri khasnya.

Pada tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun kepergiannya, lukisan-lukisannya dipamerkan di Amsterdam, di antaranya berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Radja Willem III dan Pangeran Van Saksen Coburg-Gotha.

Perjalanan hidupnya pun pernah diangkat oleh penulis Lev Dyomin, Zagadocny Princ, dalam sebuah buku yang dicetak oleh penerbit Rusia berjudul Raden Saleh I Ego Wremya (Pangeran Ajaib, Raden Saleh dan Zamannya). Di masa itu, pertengahan abad 19, dunia seni lukis atau seni gambar para bumiputera masih mengacu pada gaya tradisional yang berkembang di daerah-daerah dimana sebagian terbesar menyimpan potensi dekoratif. Misalnya lukisan Bali, Jawa, ornamen di Toraja atau Kalimantan. Namun, Raden Saleh berkibar sendiri dengan gaya lukis fotografis, yang oleh masyarakat Barat dinilai berunsur “religius-kontemplatif-abstrak”, bersifat keagamaan, bersamadi, lepas dari kebendaan. Raden Saleh memang piawai melukis objek alam dan kehidupan hewan, khususnya kuda dan binatang buas. Ia juga dianggap mumpuni dalam mencoretkan garis wajah dalam lukisan potret.

Kehebatan Raden Saleh sebagai pelukis banyak dikagumi para bangsawan dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman, antara lain Saksen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti van den Bosch, Baud, dan Daendels. Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dan masih banyak lagi.

Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia sendiri baru diberikan pada tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud penghormatan lain untuk sang maestro lukis ini adalah pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno. Sejumlah lukisannya pun pernah dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT (Pos Telepon dan Telegram) mengeluarkan prangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.

Lebih dari 50 tahun setelah kematiannya, sejumlah karyanya musnah dilalap api dalam kebakaran di Paviliun Kolonial Belanda di Paris pada tahun 1931. Dari beberapa yang masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa hingga kini masih tersimpan dengan baik di Istana Mangkunegaran, Solo. Kabarnya, lukisan ini dulu dibeli seharga 1.500 gulden. Berapa nilainya sekarang mungkin susah-susah gampang menghitungnya. Sekadar perbandingan, salah satu lukisannya yang berukuran besar, Berburu Rusa, tahun 1996 terjual di Balai Lelang Christie’s Singapura seharga Rp 5,5 miliar. eti | muli, red

Data Singkat
Raden Saleh, Pelukis / Maestro Lukis Kelas Dunia | Ensiklopedi | pelukis, belanda, lukisan, eropa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini