Pelatihan Pelaku Didik Jilid 2: Integrasi Seni, Teknologi, dan Hukum

Al-Zaytun, Indramayu – Pelatihan pelaku didik jilid kedua yang digelar di Masjid Rahmatan Lil Alamin pada Ahad, 8 Juni 2025, menghadirkan Prof. Drs. Triyono Bramantyo, M.Mus.Ed., Ph.D. sebagai narasumber utama. Ia menekankan pentingnya seni sebagai fondasi karakter, kreativitas, dan daya saing global, serta mendorong integrasinya ke dalam kurikulum inti yang berpadu dengan nilai hukum dan kemajuan teknologi—selaras dengan visi Al-Zaytun membangun sistem pendidikan berasrama yang berkelanjutan.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Dalam simposium bertema “Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama demi Terwujudnya Indonesia Modern di Abad XXI dan Usia 100 Tahun Kemerdekaan.” Prof. Triyono Bramantyo, guru besar Institut Seni Indonesia Yogyakarta, membuka pidato dengan berkata, “Seni menjadi sangat penting bagi kita dan terutama bagi spirit L-STEAM… salah satunya tentang ‘Arts’, itu bagaimana begitu pentingnya bagi pendidikan di Indonesia,” Ia menyampaikan pengalaman ketika belajar di Jepang, bagaimana musik sudah menjadi bagian inti kurikulum dari SD hingga SMA, dan bagaimana siswa membawa biola ke sekolah seperti halnya buku pelajaran.
“Saya membayangkan ketika belajar memainkan alat musik sejak SD, lalu sudah SMA itu pasti sudah sangat skillful banget ya, sangat terampil sekali. Kalau kita menunggu proses ini lama, jadi latihan aja di Jogja… kita konser dengan nama Al-Zaytun Symphony Orchestra. Itu capaian yang cepat sambil ini berproses pendidikannya.”
Dalam presentasinya yang bertajuk Pendidikan Seni Holistik di Era Digital: Strategi Kurikulum untuk Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Prof. Triyono Bramantyo menekankan integrasi seni dalam sistem pendidikan yang adaptif terhadap kemajuan teknologi. Ia menyoroti pentingnya literasi digital yang tidak sekadar teknis, tetapi membentuk kesadaran kritis dan karakter. “Pendidikan seni sebagai elemen penting dalam pengembangan karakter dan kreativitas… pendidikan hanya akan bisa dan mencapai periode emas 2045 itu dengan pendidikan berasrama,” tegas profesor yang punya pengalaman internasional di Jepang, Malaysia, Portugal, hingga Amerika Serikat.
Prof. Triyono Bramantyo juga menyampaikan pentingnya pendekatan pedagogi partisipatif, project-based learning, serta sinergi antara teknologi digital dan nilai budaya lokal. Ia mencontohkan konsep-konsep seperti Forum Theater, Image Theater, dan Invisible Theater sebagai metode interaktif untuk mengasah empati dan daya refleksi peserta didik.
Dalam sesi arahannya, Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang memperkuat dan memperluas gagasan Prof. Triyono Bramantyo dengan menyampaikan kerangka kurikulum L-STEAM (Law, Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics). “Kita harus berani merombak sistem pendidikan kita secara total. Dengan L-STEAM, peserta didik tidak hanya cerdas secara sains dan teknologi, tetapi juga kokoh dalam kesadaran hukum dan karakter,” ujar Syaykh dengan nada tegas.
Syaykh menambahkan, “Indonesia kurikulumnya harus seperti ini. Bangsa-bangsa yang lain sudah sadar hukum. Apakah kita juga memerlukan L? Sangat memerlukan. Karena L itu menyangkut disiplin. Disiplin itu ada dalam L. Tanpa disiplin tidak bisa tercapai simfoni musik yang besar itu.”
Beliau menggagas penyelenggaraan pendidikan berasrama berbasis L-STEAM di 500 titik kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang akan dibiayai oleh negara. Menurutnya, “tidak ada alasan lagi bagi orang tua murid untuk tidak menyekolahkan putra-putrinya… sehingga tidak ada satu orang putra-putri bangsa Indonesia menjelang tahun 2045 ke depan yang tidak mengenyam pendidikan.”
Pelatihan ini juga menghadirkan partisipasi aktif dari peserta. Dalam sesi tanya jawab, tutor PKBM dan penanggung jawab cabang seni karawitan Hartono menyampaikan, “Seni mampu menembus langit, seni memiliki kekuatan luar biasa yang dapat melampaui batasan fisik dan indrawi.” Ia bertanya mengenai kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, industri kreatif, dan masyarakat dalam mewujudkan strategi kurikulum seni holistik.
Menanggapi hal itu, Prof. Triyono Bramantyo menjawab, “Dari sisi pemerintah, tentu saja harus memfasilitasi. Tidak seperti sekarang ini… pelajaran seni budaya itu porsinya sangat sedikit dan tidak bersifat apresiatif. Pihak swasta dalam hal ini hampir dikatakan tidak berperan sampai sekarang… Bandingkan kalau 1% saja dari profit multinasional corporation di Indonesia itu diberikan untuk pendidikan seni, hasilnya pasti luar biasa.”
Guru tari tradisional Fitriani dari IAI Al-Zaytun juga menyampaikan pengalamannya, “Kami diberi keleluasaan untuk berekspresi dan mengembangkan kreativitas seni. Keseimbangan antara kesenian kontemporer dan tradisional tetap terjaga.” Ia bertanya bagaimana seni tari dapat berkontribusi dalam pendidikan multikultural dan menjaga nilai budaya di era digital.
Prof. Triyono Bramantyo menjawab, “Seni tari tradisional sangat penuh makna dan simbol. Itu yang tidak dimiliki oleh gerakan TikTok yang hanya verbal belaka. Seni tari membentuk kepribadian yang utuh dan kuat. Bahasa tubuh itu ekspresif dan menyentuh nilai adiluhung… seperti ‘nyawiji’, ‘greget’, ‘sengguh’, dan ‘ora mingkuh’. Ini nilai-nilai karakter yang tidak bisa diajarkan dengan PowerPoint.”
Pertanyaan terakhir disampaikan oleh alumni hukum tata negara, Muhammad Abdul Jabar, yang menyinggung maraknya konten seni dangkal di media sosial yang menggerus karakter bangsa. Ia bertanya bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi pelaku seni yang menjauh dari nilai kebangsaan.
“Pendangkalan selera seni artinya pendangkalan pemahaman estetika dan akhirnya mempengaruhi cara berpikir kita. Gerakan tarian TikTok dan semacamnya adalah verbalisme belaka. Pendidikan jangan sampai terjebak pada verbalisme. Harus ada pembelajaran untuk berpikir ke dalam , self introspection. Itulah kekuatan pendidikan seni yang holistik,” jawab Prof. Triyono Bramantyo dengan serius.
Pelatihan pelaku didik jilid kedua ini ditutup dengan harapan agar seluruh gagasan, baik dari narasumber maupun peserta, dapat dihimpun sebagai bahan rekomendasi pendidikan nasional. Syaykh Panji Gumilang mengingatkan, “Tujuan kita berlatih satu di antaranya memahamkan cita-cita kita… Inilah cita-cita , membangun Indonesia tanpa pamrih, dengan pendidikan yang berakar, terintegrasi, dan visioner.”
Dengan sistem terpadu, visi besar, dan keberanian menawarkan konsep baru seperti L-STEAM dan Six Point Zero, pelatihan ini kembali menegaskan Al-Zaytun sebagai laboratorium pendidikan masa depan yang menawarkan solusi konkret dan teruji untuk Indonesia yang lebih bermartabat. (Atur/TokohIndonesia.com)