E-KTP, Korupsi Sistemik

[OPINI] – CATATAN KILAS – Kali ini, KPK secara parsial1] mulai mengungkap korupsi sistemik. Membongkar kasus mega korupsi e-KTP yang cukup ‘sempurna’ sebagai model korupsi sistemik yang telah lama menggurita di negeri ini. Catatan: Ch. Robin Simanullang
Kendati masih parsial dan sporadis, KPK patut diacungi jempol. Sebab tanpa adanya KPK, korupsi e-KTP yang sudah menjadi ’rahasia umum’2] tersebut mungkin tidak akan dibongkar. Maka, mari dukung dan kawal KPK untuk menuntaskan mega korupsi sistemik ini sampai ke akar-akarnya.
Harus diakui, KPK tampaknya sangat serius membongkar kasus ini. Hal ini terlihat dari dakwaan JPU KPK setebal 24 ribuan halaman yang diringkas menjadi 121 halaman yang dibacakan di depan hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/3/2017). Lebih 200 saksi juga sudah dimintai KPK keterangannya. Dalam kasus ini, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman; dan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto, ditetapkan sebagai terdakwa.
Sejak awal, memang sudah tercium adanya bau korupsi dalam proses penganggarannya oleh Kemendagri dan DPR. Proses telah dimulai Kementerian Dalam Negeri sejak November 2009. Saat itu Mendagri Gamawan Fauzi menyurati Menkeu dan Kepala Bappenas (surat nomor 471.13/4210.A/SJ) perihal usulan pembiayaan KTP berbasis NIK secara nasional. Dalam surat tersebut, Gamawan Fauzi meminta kepada Menkeu dan Kepala Bappenas untuk merubah sumber pembiayaan proyek yang semula dibiayai dengan menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari anggaran rupiah murni.
Setelah itu, pada awal Februari 2010, Komisi II DPR menggelar rapat pembahasan anggaran Kemdagri. Kemudian, sebagaimana disebut dalam dakwaan JPU KPK, pada periode Februari-April 2010, Irman selaku Dirjen Dukcapil dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong mengadakan pertemuan dengan anggota DPR Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar), Anas Urbaningrum (Ketua Fraksi Demokrat), dan M Nazaruddin (Bendahara Demokrat) untuk memastikan penganggaran proyek tersebut.
Setelah beberapa kali pertemuan,disepakati anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Dari anggaran itu, hanya 51 persen (Rp.2,6 triliun) untuk pembiayaan proyek. Selebihnya (digelembungkan), sebesar 49 persen (Rp2,3 triliun) untuk dibagi-bagikan ke pejabat Kemendagri, anggota DPR, dan keuntungan pelaksana proyek atau rekanan.
Kemudian dalam proses lelang (tender), sebagaimana lazimnya sudah tercium adanya pengaturan (dengan ikutnya pengusaha dalam proses penganggaran) namun secara administratif terkesan sangat rapi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada September 2012, sudah mencurigai adanya kejanggalan dalam proses tender tersebut.
Kala itu tender pengadaan e-KTP dimenangkan konsorsium Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) yang terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo, PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri, dan PT Quadra Solution sebagai penyedia perangkat keras dan perangkat lunak. (Bayangkan pejabat perusahaan milik negara ikut bersekongkol menggarong uang negara).
KPK dalam dakwaannya menduga ada aliran dana dari pemenang tender tersebut (sebesar 49 persen) ke sejumlah pihak, sebagaimana telah disepakati para pihak sebelumnya. Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, 877.700 dollar AS, dan 6.000 dollar Singapura. Terdakwa lainnya, Sugiharto mendapat bagian sejumlah 3.473.830 dollar AS. Selain memperkaya diri sendiri, para terdakwa juga diduga memperkaya orang lain.3]
(Kita tidak meragukan KPK sudah mempunyai bukti yang cukup tentang penyebutan nama-nama penerima uang korupsi tersebut. Tidak hanya sekadar menyalin dari sebuah catatan. Sehingga orang yang sesungguhnya tidak menerima, tidak akan menjadi korban. KPK pasti juga, mesti, mengedepankan praduga tak bersalah).
Korupsi Sistemik
Dakwaan jaksa KPK di atas cukup menggambarkan bagaimana korupsi itu dilakukan secara sistematis (melembaga). Mulai dari sejak perencanaan, penganggaran, pelelangan sampai pelaksanaan. Tidak hanya melibatkan eksekutif (Kemendagri) tetapi juga legislatif (DPR) bahkan pengusaha.
Secara khusus, keterlibatan pengusaha (yang kemudian akan menjadi pemenang tender) adalah pertanda kuat bahwa proyek ini sudah dirancang sejak awal secara sistematis untuk dikorupsi. Anggaran sengaja digelembungkan. Pelelangan diatur sedemikian rupa (sistematis) seolah-olah berlangsung fair dan terbuka. Padahal pemenang tender sudah ditentukan (diatur) sejak awal penganggaran.
Pertanyaan, apakah hanya proyek e-KTP yang dirancang sedemikian rupa untuk dikorupsi? Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua proyek pemerintah, terutama yang pendanaannya murni APBN dan APBD, bahkan mungkin proyek yang didanai pinjaman atau hibah luar negeri pun, masih bergelimang korupsi yang berlangsung secara sistemik.
Korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan ini merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya. Sebab dilakukan secara sistematis dengan sistem administrasi korupsi yang amat lihai dan rapih sehingga seolah-olah tidak ada KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Mereka (koruptor) yang tertangkap tangan, umumnya belum tergolong dalam jaringan korupsi sistemik ini.
Mereka yang sudah lihai dalam ’lembaga dan administrasi korupsi sistemik’ ini tidak bakalan mudah tertangkap tangan. Maka, kemungkinan inilah penyebabnya sehinggga nyaris tidak ada efek jera dari penindakan korupsi yang sedemikian gencar dilakukan oleh KPK dan penegak hukum lainnya. Sebab mereka yang tertangkap tangan itu bukan (belum) pelaku korupsi sistemik. Dan, kalau pun ya, mereka hanya kebetulan sial saja. Disebut sial, karena banyak yang melakukan tindak korupsi yang sama, tapi tidak tertangkap tangan, masih bebas melakukan korupsi.
Sementara, kalau korupsi yang telah menjadi rahasia umum itu dilaporkan kepada KPK, akan sia-sia. Sebab KPK selalu minta bukti-bukti dari pelapor. KPK tampaknya lebih asyik melakukan operasi tangkap tangan atas adanya laporan dari rakyat daripada bersusah-payah memberantas korupsi secara sistematis.
Bukan berarti pemberantasan korupsi dengan operasi tangkap tangan itu tidak penting. Tetap penting sebagai tindakan shock teraphy. Tetapi semestinya jauh lebih penting melakukan tindakan secara sistemik dan komprehensif. Systemic approach sebagai tindakan komprehensif (mulai dari pencegahan sampai penindakan) yang merupakan bagian dari legal solution sesuai kewenangan luar biasa KPK.
Memang, indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia sudah membaik dibanding tahun 2014. Lembaga Transparency International (TI) menyebut skor CPI Indonesia 2015 mencapai 36, meningkat dua poin dibanding skor CPI 2014 yaitu 34. Peringkat korupsi Indonesia turun dari peringkat 107 ke peringkat 88, dari 168 negara (2015). Meningkat lagi satu poin 2016 menjadi 37 dari rentang O-100, urutan ke-90 dari 176 negara.
Tapi peningkatan CPI Indonesia ini masih tergolong lamban dibanding beberapa negara Asean lainnya yakni Malaysia (49 poin), Brunei (58 poin) dan Singapura (85 poin), walau sudah berada di atas Filipina (35 poin) Thailand (35 poin), Vietnam (33 poin), Myanmar (28 poin) dan Kamboja (21 poin).
Inilah tantangan bagi bangsa ini, terutama bagi KPK. Bagaimana mencegah agar korupsi sistemik tersebut jangan tetap menggurita. Sebagai contoh, alangkah lebih baik KPK bertindak sejak dini sehingga korupsi e-KTP tersebut tidak sampai terjadi. Bukankah sudah tercium adanya bau korupsi sejak proses penganggaran e-KTP tersebut? Bukankah kejahatan bisa terjadi karena adanya kesempatan? Maka, terbukanya kesempatan untuk korupsi itulah yang perlu dicegah sejak dini.
Terlalu banyak pejabat bangsa ini menjadi koruptor karena kesempatan untuk menjadi maling uang rakyat itu terbuka secara sistemik (kelembagaan). Tanpa ada usaha sistemik, komprehensif dan terintegrasi untuk mencegahnya. Seorang Anas, politisi muda petensial, misalnya, harus meringkuk sebagai koruptor, karena kesempataan sistemik yang demikian terbuka. Sebaliknya, seorang Ahok (Gubernur DKI Jakarta), misalnya, harus berjuang sendiri dan dimusuhi hanya karena keberaniannya mencegah korupsi sistemik tersebut. Bahkan auditor BPK pun harus mencari-cari kelemahannya, karena Ahok menentang arus administrasi korupsi sistemik (kelembagaan) tersebut.
Itulah dilema pemberantasan korupsi di negeri ini. Banyak pejabat dan pengusaha menjadi koruptor karena sistem. Sebab tidak banyak pejabat yang tegar seperti Ahok. Apalagi pengusaha, banyak yang terpaksa harus mengikuti sistem, jika tidak, dia akan tersingkir (tidak mendapat pekerjaan proyek).
Maka, KPK tidak hanya membutuhkan penyidik andal yang lebih banyak, melainkan lebih memerlukan lagi banyak petugas (intelijen dan penyuluh) untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Pencegahan tersebut akan jauh lebih solutif untuk menyelamatkan bangsa ini dari korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa itu.
Semula publik berharap, KPK Jilid 4 ini akan lebih intensif memberantas korupsi sistemik tersebut, mengingat latar belakang lima komisionernya yang beragam. Terutama latar belakang Ketua KPK Agus Rahardjo yang berlatar pendiri sekaligus Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sejak 2010. Tetapi sejauh ini, KPK Jilid 4 tidak jauh beda dari KPK Jilid 3. Hanya, syukurlah, Komisioner KPK Jilid 4 tampaknya masih bersih dari interes dan ambisi politik.
Footnotes:
1] Disebut secara parsial karena belum dillakukan secara sistemik, atau melalui pendekatan system (systemic approach) yang bermuara pada legal solution (mulai dari pencegahan sampai penindakan) sesuai kewenangan luar biasa KPK. Penindakan korupsi e-KTP masih parsial dan bersifat sporadis yang tampaknya bermula dari ’teriakan’ Nazaruddin. Untunglah Nazaruddin ’berteriak’. Jika tidak, bagaimana? Ah, masih gelap.
2] Bukankah bau busuk korupsi dalam pengadaan proyek e-KTP tersebut sudah lama tercium publik sejak proses penganggaran, pelelangan hingga pelaksanaannya? Tapi pencegahannya tampaknya tidak dilakukan secara komprehensif (sistemik).
3] Daftar Penerima Dana Korupsi E-KTP, yakni:
1. Gamawan Fauzi (saat itu Menteri Dalam Negeri) sebesar 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta; 2. Diah Anggraini (saat itu Sekretaris Jenderal Kemendagri) 2,7 juta dollar AS dan Rp 22,5 juta; 3. Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP) 615.000 dollar AS dan Rp 25 juta; 4. Enam anggota panitia lelang, masing-masing 50.000dollar AS; 5. Husni Fahmi 150.000 dollar AS dan Rp 30 juta; 6. Anas Urbaningrum 5,5 juta dollar AS; 7. Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR) 1,4 juta dollar AS; 8. Olly Dondokambey 1,2 juta dollar AS; 9. Tamsil Lindrung 700.000 dollar AS; 10. Mirwan Amir 1,2 juta dollar AS; 11. Arief Wibowo 108.000 dollar AS; 12. Chaeruman Harahap 584.000 dollar AS dan Rp 26 miliar; 13. Ganjar Pranowo 520.000 dollar AS; 14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI 1,047 juta dollar AS; 15. Mustoko Weni 408.000 dollar AS; 16. Ignatius Mulyono 258.000 dolla AS; 17. Taufik Effendi 103.000 dollar AS; 18. Teguh Djuwarno 167.000 dollar AS; 19. Miryam S. Haryani 23.000 dollar AS; 20. Rindoko, NU’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI masing-masing 37.000 dollar AS; 21. Markus Nari Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS; 22. Yasona Laoly 84.000 dollar AS; 23. Khatibul Umam Wiranu 400.000 dollar AS; 24. M Jafar Hapsah 100.000 doar AS; 25. Ade Komarudin 100.000 doar AS; 26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan Rp 1 miliar; 27. Wahyudin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri Rp 2 miliar; 28. Marzuki Ali Rp 20 miliar; 29. Johanes Marliem 14.880.000 dollar AS dan Rp 25.242.546.892; 30. Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS. Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS; 31. Beberapa anggota tim Fatmawati, yakni Jimmy IskandarTedjasusila Als Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing Rp 60 juta; 32. Manajemen bersama konsorsium PNRI Rp 137.989.835.260; 33. Perum PNRI Rp 107.710.849.102; 34. PT Sandipala Artha Putra Rp 145.851.156.022; 35. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra Rp148.863.947.122; 36. PT LEN Industri Rp 20.925.163.862; 37. PT Sucofindo Rp 8.231.289.362; 38. PT Quadra Solution Rp 127.320.213.798,36.
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA