Bila Try Sutrisno Muncul, Ada Yang Tidak Beres

Tanda Bahaya dari Sang Penjaga Bangsa

0
158
Try Sutrisno Penjaga Bangsa
Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengingatkan Presiden Prabowo agar tidak tersandera oleh beban psikologis utang budi
Lama Membaca: 5 menit

Try Sutrisno tak sering bicara. Tapi sekali ia bersuara, itu adalah alarm, bukan bisikan. Di tengah kebisuan kolektif, ia muncul membawa peringatan keras: bahwa arah bangsa ini telah melenceng, hanyut dalam politik utang budi dan ambisi dinasti. Diam tidak lagi berarti bijak — diam kini berarti berkhianat.

Dalam sejarah perjalanan bangsa, tidak banyak tokoh yang memilih diam lebih sering daripada berbicara, kecuali ketika situasi benar-benar menuntut suara moral. Try Sutrisno adalah salah satunya. Sebagai mantan Panglima ABRI dan Wakil Presiden Republik Indonesia, ia terbiasa menimbang kata-katanya dengan beban tanggung jawab sejarah di pundaknya. Karena itu, kehadirannya sebagai salah satu penanda tangan — bahkan sebagai pihak yang “mengetahui” —dalam pernyataan Forum Purnawirawan Prajurit TNI bukan sekadar berita. Ia adalah sinyal keras bahwa sesuatu yang sangat mendasar sedang retak dalam tubuh republik ini.

Bila Try Sutrisno Sampai Bersuara, Menurut Anda, Apa Artinya?
VoteResults

Try Sutrisno bukan figur politik yang sering tampil di layar kaca. Ia bukan orang yang mencari sorotan, apalagi sekadar membangun citra. Ia adalah bagian dari generasi pejuang yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanat, bukan hak milik. Sebagai Panglima ABRI di masa-masa sulit menjelang Reformasi, dan kemudian sebagai Wakil Presiden RI ke-6, Try Sutrisno berdiri di jantung kekuasaan tetapi selalu menjaga jarak dari godaan kekuasaan itu sendiri. Ia berpegang pada prinsip bahwa loyalitas pertama dan terakhirnya adalah kepada negara, bukan kepada individu.

Karakter Try Sutrisno dibentuk dari tempaan zaman yang keras, dari disiplin militer yang ketat, dan dari kesadaran bahwa negara ini lebih besar daripada siapa pun yang kebetulan sedang berkuasa. Ia dikenal sederhana, teguh dalam prinsip, dan rendah hati — sosok yang lebih memilih diam dalam hiruk pikuk, dan hanya angkat suara ketika keadaan benar-benar memanggil nurani.

Pada usianya yang telah menginjak 89 tahun, Try Sutrisno tetap menunjukkan bahwa menjaga kedaulatan bangsa adalah tugas yang tidak mengenal pensiun. Di saat banyak yang memilih diam, ia sekali lagi berdiri — bukan untuk mencari perhatian, tetapi untuk membunyikan alarm nurani nasional. Karena itu, keterlibatannya dalam barisan Forum Purnawirawan Prajurit TNI tidak bisa dianggap enteng, melainkan harus dibaca sebagai pertanda serius tentang arah perjalanan bangsa.

Forum Purnawirawan Prajurit TNI, yang menghimpun lebih dari dua ratus perwira tinggi dari berbagai matra, bukanlah gerakan emosional sesaat. Ia lahir dari kegelisahan mendalam: bahwa prinsip-prinsip dasar negara — supremasi konstitusi, netralitas kekuasaan, dan kemurnian mandat rakyat — telah dinodai oleh tarikan pragmatisme politik dan ambisi kekuasaan keluarga. Di antara semua nama besar yang menandatangani, kehadiran Try Sutrisno berdiri paling tegak, membawa bobot sejarah dan keikhlasan yang langka.

Ketika seorang penjaga bangsa yang telah membuktikan pengabdiannya seumur hidup memilih turun gunung, bangsa ini tidak lagi berhak untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Suara Try Sutrisno memaksa kita bertanya lebih dalam: di mana sebenarnya kita berdiri hari ini — dan ke mana arah bangsa ini akan dibawa esok?

Sebagai bentuk keprihatinan dan panggilan koreksi, Forum Purnawirawan Prajurit TNI telah merumuskan delapan tuntutan besar yang ditandatangani oleh 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Di antara nama-nama itu, tercatat tokoh-tokoh militer senior seperti Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi (mantan Wakil Panglima ABRI dan mantan Menteri Agama), Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto (mantan KSAD), Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto (mantan KSAL), dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan (mantan KSAU).

Berikut daftarnya:

Advertisement
No. Tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI
1 Kembali ke UUD 1945 asli sebagai tata hukum politik dan tata tertib pemerintahan.
2 Mendukung program kerja Kabinet Merah Putih yang dikenal sebagai (ASTA CITA), kecuali untuk kelanjutan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
3 Menghentikan proyek strategis nasional (PSN) PIK 2, PSN Rempang dan kasus yang serupa dikarenakan sangat merugikan dan menindas masyarakat serta berdampak pada kerusakan lingkungan.
4 Menghentikan tenaga kerja asing China yang masuk ke wilayah NKRI dan mengembalikan tenaga kerja China ke negara asalnya.
5 Pemerintah wajib melakukan penertiban pengelolaan pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan Ayat 3.
6 Melakukan reshuffle kepada para menteri, yang sangat diduga telah melakukan kejahatan korupsi dan mengambil tindakan tegas kepada para Pejabat dan Aparat Negara yang masih terikat dengan kepentingan mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
7 Mengembalikan Polri pada fungsi Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di bawah Kemendagri.
8 Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Tuntutan-tuntutan ini bukan sekadar daftar keluhan. Ia adalah cermin dari kekecewaan atas rusaknya tatanan demokrasi, ketidaknetralan aparat negara, keberlanjutan proyek-proyek kontroversial, dan pembelokan mandat rakyat demi kepentingan dinasti politik. Semua itu, jika dibiarkan, adalah jalan menuju keruntuhan moral bangsa.

Curahan hati dari Jenderal (Purn) Fachrul Razi, salah satu tokoh purnawirawan yang hadir, mempertegas suasana batin para patriot bangsa ini. Ia mengungkapkan bahwa sejak 11 Februari 2025, pihak Forum Purnawirawan Prajurit TNI sudah berupaya mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo, bahkan meminta audiensi langsung. Namun surat itu tak kunjung mendapat tanggapan. Fachrul Razi, dalam pidatonya, bertanya: apakah surat itu betul-betul sampai ke tangan Presiden, atau ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menghalanginya?

Lebih jauh, Fachrul Razi menyinggung soal psikologi politik yang lebih dalam: mengapa Prabowo seolah merasa berutang budi terlalu besar kepada Presiden ke-7, Joko Widodo? Menurut Fachrul Razi, justru Jokowi-lah yang berkepentingan memenangkan Prabowo demi memastikan keberlangsungan politik keluarganya, bukan sebaliknya. Fachrul menyampaikan itu dengan ungkapan yang penuh keprihatinan, “Bukan Bapak yang berutang budi, Pak. Bapak jangan terlalu hormat. Yang betul, Jokowi harusnya berterima kasih kepada Bapak.”

Ucapan itu mencerminkan kekecewaan psikologis yang mendalam. Para purnawirawan tidak sekadar berbicara soal politik praktis. Mereka berbicara soal martabat kenegaraan, tentang bagaimana seorang pemimpin baru seharusnya berdiri tegak atas mandat rakyat, bukan menjadi bayang-bayang masa lalu.

Presiden Prabowo, melalui Penasihat Khusus Bidang Politik dan Keamanan Wiranto, akhirnya memberikan respons. Wiranto menyampaikan bahwa Presiden menghormati dan memahami usulan para purnawirawan, mengingat latar belakang perjuangan yang sama. Namun, Prabowo tidak bisa serta-merta menjawab tuntutan itu karena berbagai alasan: perlunya mempelajari isi tuntutan secara mendalam, keterbatasan kewenangan dalam kerangka trias politika, dan kewajiban untuk mempertimbangkan banyak sumber sebelum mengambil keputusan.

Sikap itu, pada satu sisi, menunjukkan kehati-hatian yang memang layak diapresiasi. Negara tidak boleh mengambil keputusan penting dalam suasana terburu-buru atau sekadar merespons tekanan. Tetapi di sisi lain, dari perspektif para purnawirawan dan sebagian publik, respons ini terasa terlalu prosedural, kurang menangkap urgensi moral dari seruan tersebut. Ini bukan sekadar soal prosedur tata negara. Ini tentang membaca tanda-tanda zaman — bahwa ada kegelisahan mendalam di tengah masyarakat tentang arah perjalanan bangsa. Mereka ingin memastikan bahwa Presiden yang baru ini tidak tersandera oleh beban psikologis utang budi, tidak terjebak dalam kompromi nilai-nilai luhur, dan berani mengembalikan arah perjalanan bangsa ke jalur yang benar.

Dalam konteks itu, permintaan agar tidak berpolemik, yang disampaikan Prabowo melalui Wiranto, justru terasa ambigu. Karena dalam demokrasi, membicarakan masa depan bangsa adalah bagian dari hak dan kewajiban rakyat. Mencegah kegaduhan memang penting. Tapi membungkam kegelisahan kolektif atas nama ketenangan semu adalah resep pelupaan nasional yang berbahaya.

Try Sutrisno memahami semua itu. Ia tahu betul, dari pengalamannya sebagai prajurit dan negarawan, bahwa membangun bangsa bukan hanya soal administrasi pemerintahan, tetapi soal menjaga nurani nasional tetap hidup. Ketika ia menandatangani pernyataan sikap itu, ia bukan sekadar menulis nama di selembar kertas. Ia sedang membunyikan lonceng kecil di tengah hiruk pikuk kekuasaan: lonceng peringatan bahwa bangsa ini harus lebih berani berpihak kepada kebenaran, bukan kepada kenyamanan sesaat, bukan pada drama ‘utang budi’ tak berkesudahan.

Dan suara seperti itu, dalam sejarah bangsa manapun, selalu layak untuk didengarkan — sebelum terlambat. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments