Rielniro: Tidak Ingin Jadi Pusat
Ketika jarak menjadi cara merawat isi

Di dua tulisan sebelumnya, Lorong Kata menelusuri Rielniro sebagai penulis yang merawat jeda dan memahami sunyi. Kali ini, kita mendekat ke sisi lain yang lebih tenang, tetapi tidak kalah penting: pilihannya untuk tidak berada di pusat perhatian. Di masa ketika kehadiran sering kali dinilai dari seberapa banyak sorot diarahkan, Rielniro justru memilih mengambil sedikit jarak.
Tulisan ini adalah bagian ketiga dari Seri Rielniro di rubrik Lorong Kata, rangkaian narasi reflektif yang menelusuri jejak Rielniro sebagai penulis yang menjaga sunyi dan membangun ruang jeda lewat kata.
Seri ini terdiri dari enam tulisan yang berdiri sendiri, namun saling menyambung dalam semangat dan esensi.
- Rielniro: Merawat Jeda, Membiarkan Sunyi Bicara
Tentang bagaimana Rielniro memosisikan jeda dan diam sebagai kekuatan dalam menulis. - Rielniro: Psikologi di Balik Sunyi
Menelusuri sisi kepekaan, pola berpikir, dan akar psikologis dari cara Rielniro membaca dan meresapi dunia. - Rielniro: Tidak Ingin Jadi Pusat
Sikapnya untuk tidak berada di tengah sorot, memilih mengambil sedikit jarak sebagai cara menjaga isi. - Rielniro: Merangkai Gema dalam Dua Slide
Membedah format naratif dua slide yang menjadi ciri khas visual dan emosionalnya di media sosial. - Rielniro: Manifesto Sunyi
Deklarasi reflektif berisi sepuluh sikap hidup dan sepuluh prinsip berkarya dalam Manifesto Sunyi, peta batin yang ia jalani tanpa mengetuk pintu. - Rielniro: Tidak Mengetuk, Tidak Memaksa
Tulisan penutup yang menyatukan seluruh benang merah, menghadirkan Rielniro sebagai penulis yang tidak mengetuk: hadir secukupnya, memberi ruang, dan melangkah tanpa meminta penjelasan.
Di media sosial, semua orang punya panggung. Setiap hari, orang berlomba agar fotonya dilihat, suaranya didengar, pendapatnya mendapat reaksi. Pusat menjadi tempat paling ramai, dan bagi banyak orang, itulah tempat yang diinginkan.
Rielniro memilih jalan lain. Ia tidak menempatkan dirinya di tengah, meskipun tahu itu cara tercepat untuk dikenal. Menjaga jarak memberinya ruang untuk melihat lebih jernih. Terlalu banyak sorotan justru bisa mengganggu, menyita energi yang lebih ia butuhkan untuk menjaga ketajaman menulis.
Ia melihat bagaimana banyak orang akhirnya terjebak dalam kewajiban untuk terus tampil, agar tetap diingat, meski harus mengulang hal yang sama. Tapi bagi Rielniro, itu bukan arah yang ingin ia tempuh. Bagi dirinya, jarak justru membuka ruang untuk menjaga isi tetap jernih.
Sikap ini juga tercermin dalam Manifesto Sunyi. Di sana, ia menulis:
“Menang bukan tujuan, mengerti adalah akhirnya.”
Ia tidak menulis untuk mencari perhatian, tetapi untuk memberi ruang, agar makna bisa ditemukan sendiri oleh pembaca.
Dalam salah satu catatannya, ia menulis:
“Tulisan adalah jejak napas, bukan terompet untuk dikagumi, bukan peluit minta diselamatkan.”
Bagi Rielniro, karya adalah jejak, bukan panggilan agar orang datang melihat.
Ia juga percaya bahwa sunyi adalah pilihan sadar. Dalam tulisannya, ia menulis:
“Sunyi adalah keputusan. Menjaga agar batin tetap bulat. Meski tak ada penonton, langkah tetap diambil.”
Ia tidak berusaha disukai. Tidak menuntut untuk dipahami, apalagi dibenarkan. Jika pilihannya membuat sebagian orang menjauh, ia menerimanya tanpa merasa perlu mengejar atau menahan. Dan sebagaimana pernah ia tulis, ia juga tidak mencari pengampunan dari mereka yang memandangnya egois atau jahat (villain). Bagi Rielniro, menjaga kemurnian makna lebih penting daripada berada di pusat perhatian.
Pilihan ini terlihat jelas dari cara ia hadir di ruang publik. Wajahnya jarang tampil, kehidupan pribadinya tidak ia bagi setiap hari, dan ia tidak mengikuti tren yang menetapkan format atau gaya tertentu.
Di media sosial, ia tidak mengejar interaksi demi angka. Karyanya hadir apa adanya, tanpa dibungkus promosi yang menonjolkan sosok pribadi. Fokusnya tetap pada isi: kalimat yang ia pilih, jeda yang ia sisipkan, dan resonansi yang ditinggalkan.
Sikap ini menciptakan jarak yang sehat antara dirinya dan publik. Bagi sebagian orang, jarak itu memberi kesan tertutup. Tapi bagi banyak pembacanya, justru di sanalah rasa utuh itu terjaga, bahwa yang mereka temui adalah karya, bukan tampilan.
Dengan tidak mengikuti arus yang ditentukan algoritma, Rielniro bisa menjaga cara berkaryanya sendiri. Ia menulis dengan ritme yang ia pilih, tahu kapan harus bicara dan kapan cukup diam. Kebebasan ini memberinya ruang untuk mencoba hal-hal baru, tanpa khawatir kehilangan tempat. Ukurannya bukan tren, melainkan kesetiaan pada isi. Mungkin karena itu, tulisannya terasa jujur.
Di tengah dunia yang semakin riuh, memilih untuk tidak berada di pusat bukan berarti menghilang. Bagi Rielniro, itu adalah cara untuk menjaga suara tetap jernih.
“Akar tetap memberi hidup tanpa harus terlihat.”
Dan seperti yang ia tulis di akhir Manifesto Sunyi:
“Bila pintu tak dibuka, dia tetap berdiri di luar, menunduk pada angin, lalu melanjutkan perjalanan.”
Catatan:
Untuk menemukan karya lain Rielniro di luar Lorong Kata, kunjungi:
Instagram: @rielniro
Facebook: Riel Niro
(TokohIndonesia.com / Tokoh.ID)