Akuntabilitas Intelijen Selaras Demokrasi
Perlukah Intelijen dalam Demokrasi (3)
Budi Gunawan Budi Gunawan Jejak Polisi Pembaharu Paradigma Think Win/Win: Budi Gunawan Berkhidmat Pusaran Aliran Air
Catatan Ch. Robin Simanullang | Karena Intelijen atau Badan Intelijen Negara bertugas dan harus bermafaat bagi pembuat kebijakan (Presiden, pejabat tinggi politik sipil) selaku pengguna intelijen, maka sangat berbahaya bagi demokrasi jika Intelijen didayagunakan untuk kepentingan politik pragmatis pribadi, kelompok atau rezim. Dalam konteks ini, Intelijen dibutuhkan kompetensi dan akuntabilitasnya menempatkan diri dalam kepentingan politik Negara dengan kemampuan menyampaikan ‘intelijen kebenaran’ untuk tujuan bermanfaat bagi policymaker yang sah dan taat asas, sehingga tidak menjadi ancaman bagi demokrasi serta tidak ancaman bagi supremasi hukum dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia.
Berdasarkan sifatnya, sebagian besar informasi intelijen bersifat rahasia dan banyak prosedur pengumpulan intelijen harus dirahasiakan dari pengetahuan publik. Hal ini juga membuat layanan tersebut berbahaya bagi demokrasi dan sulit dikendalikan. Sementara, pengawasan tidaklah mudah, namun harus dilakukan dengan mekanisme yang tidak mengganggu sifat kerahasiaannya; yang sudah dianut Indonesia.
Bagaimanakah relasi antara intelijen dan demokrasi? Dengan menimbang adanya perbedaan pandangan, kajian peneliti BRIN, Muhamad Haripin, mengambil sudut pandang bahwa intelijen mesti dipahami bukan sekadar sebagai alat maupun metode untuk tujuan tertentu, melainkan bagian dari pranata keamanan yang memiliki nilai serta prinsip seturut praktik politik yang berlaku di suatu negara. Atas dasar itu, fokus pada relasi antara demokrasi dan intelijen pada dnsarnya merupakan upaya untuk memeriksa kualitas demokratis dari praktik intelijen di Idonesia pada berbagai periode pemerintah dari awal kemerdakaan hingga Reformasi (pasca Orde Baru).[1]
Haripin memaparkan, bagi sebagian kalangan, intelijen — yang dipahami sebagai individu, organisasi, produk, dan kegiatan sekaligus — pada hakikatnya adalah sebuah alat atau metode untuk mencapai tujuan tertentu. Personel, lembaga, maupun kegiatan intelijen menggunakan alat dan metode yang serupa dalam mengumpulkan informasi, menghalau infiltrasi musuh ke dalam institusi negara, dan melakukan operasi rahasia. Perbedaannya terletak pada kemampuan tiap negara dalam mempersiapkan sumber daya dan adaptasi lembaga intelijen menghadapi situasi keamanan yang dinamis. Negara demokratis ataupun otoritarianisme sama-sama mengakomodasi dan memerlukan lembaga intelijen yang efektif terlebih dalam situasi khusus, seperti konflik bersenjata dengan negara lain (perang).
Namun di sisi lain, berbeda dengan pandangan fungsional sebelumnya, sebagian kalangan lain menilai bahwa intelijen — yang sama-sama memahaminya sebagai personel, lembaga, dan aktivitas – mesti terikat dengan seperangkat prinsip dan norma tertentu yang melandasi pranata politik suatu negara. Singkatnya, intelijen di negara dengan sistem terbuka dan tertutup memiliki karakter, doktrin, serta posisi politik yang berbeda. Sebagai contoh. pengawasan atas intelijen (intelligence oversight) adalah fitur penting dalam siklus kegiatan intelijen di negara demokratis.
Muhamad Haripin menjelaskan, terdapat komisi pengawas di lembaga eksekutif maupun legislatif yang memantau penggunaan anggaran dan pelaksanaan operasi intelijen agar tidak melanggar hak sosial, politik, serta ekonomi masyarakat. Keberadaan komisi pengawas yang beranggotakan pejabat pemerintah, perwakilan kelompok profesional maupun masyarakat sipil juga penting untuk mencegah terjadinya politisasi atas lembaga intelijen. Dengan demikian, meskipun segala yang berkaitan dengan intelijen memerlukan kerahasiaan dan ketertutupan, intelijen di negara demokratis tetap berpedoman pada prinsip transparansi serta akuntabilitas. Tetapi situasi demikian tidak berlangsung di negara otoriter. Karakter dan doktrin intelijen yang berlaku adalah kerahasiaan dan ketertutupan minus pengawasan oleh pihak eksternal. Badan intelijen menjadi mesin politik untuk meredam gerakan oposisi. Intimidasi dan tindakan koersif tersebut tentu membuka peluang besar bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.[2]
Dalam hal ini, Christian Leuprecht dan Hayley McNorton menyebut, akuntabilitas intelijen menyelaraskan demokrasi dan keamanan melalui standar, pedoman, kerangka hukum, arahan eksekutif, dan hukum internasional yang transparan menjadi sangat penting. Berkembangnya mekanisme eksekutif, legislatif, yudikatif, dan birokrasi dalam pengawasan dan peninjauan intelijen telah menjadi ciri khas rezim demokratis.
Dalam beberapa dekade terakhir secara umum dan sejak pergantian milenium pada khususnya, akuntabilitas telah muncul sebagai mekanisme legitimasi negara demokratis yang paling penting bagi praktik dan institusi keamanan dan intelijen nasional. Fungsi penting dari akuntabilitas adalah untuk meneliti badan-badan, praktik-praktik, dan sistem-sistem intelijen untuk memastikan kepatuhan mereka terhadap peraturan, mandat, undang-undang, dan Konstitusi—yang sebagian besar untuk memberikan jaminan bahwa organisasi-organisasi yang harus beroperasi secara rahasia tidak menyalahgunakan wewenang dan kewenangan khusus mereka. Namun, selain kepatuhan, masih banyak manfaat lain yang diperoleh dari fungsi-fungsi tambahan penting yang dijalankan oleh akuntabilitas intelijen.
Christian Leuprecht dan Hayley McNorton menelusuri nilai dan pentingnya intelijen untuk mendeteksi, mengganggu, dan menghalangi semakin banyaknya pelaku dan vektor ancaman terhadap keamanan, kemakmuran, dan demokrasi, serta perubahan postur intelijen dari mata-mata asing ke serangkaian kontraterorisme, dan kontra-spionase dalam negeri, melawan sabotase, melawan propaganda, melawan informasi, dan melawan operasi siber. Di era disrupsi sosial dan politik yang ditandai dengan perubahan teknologi, perubahan vektor ancaman, perubahan ekspektasi publik dan skandal, pemerintahan demokratis telah menetapkan, mengembangkan, dan memperluas sistem akuntabilitas untuk meninjau dan mengawasi komunitas intelijen. Politisi dan pegawai negeri sipil memanfaatkan pengetahuan ahli komunitas intelijen untuk menjaga negara demokratis, lembaga-lembaganya, dan warga negaranya tetap aman dan terlindungi serta mencegah dan membendung ancaman-ancaman eksistensial. Dalam memenuhi mandat ini, masyarakat demokratis mengharapkan komunitas intelijen untuk mematuhi kerangka hukum dan konstitusi yang relevan.[3]
Sementara itu, dalam kaitan akuntabilitas Intelijen selaras dengan demokrasi, Budi Gunawan menegaskan komitmennya untuk menjaga independensi BIN. “Sesuai dengan undang-undang (UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara) bahwa BIN harus bekerja dengan mengedepankan independensi. Dia menjelaskan, BIN selalu memberikan data terkait fakta yang sebenarnya kepada Presiden. Menurut BG, aspek objektifitas menjadi hal penting dalam laporan yang diberikan BIN, tidak berdasarkan kepentingan ataupun pesanan. “Makanya aspek objektivitas ini penting, tidak berdasarkan kepentingan ataupun juga pesanan-pesanan,” ujarnya.
BG menegaskan bahwa klien tunggal BIN adalah Presiden sehingga semua informasi yang dikumpulkan harus diolah secara cepat, tepat dan akurat. Informasi itu disampaikan kepada Presiden, dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan. “BIN sebagai mata dan telinga Presiden dan pemerintah. Kemudian yang kedua sesuai dengan undang-undangnya memang BIN mempunyai ‘single client’ yaitu presiden,” ujar BG.[4]
Artikel Lengkapnya:
1. Perlukah Intelijen dalam Demokrasi?
2. Paradoks Intelijen dalam Demokrasi
3. Akuntabilitas Intelijen Selaras Demokrasi
Footnotes:
[1] Haripin, Muhamad, 2022. Masalah-Masalah Intelijen dalam Transisi Politik, h. 4.
[2] Haripin, Muhamad, 2022. Masalah-Masalah Intelijen dalam Transisi Politik, h. 3-4.
[3] Leuprecht, Christian, and Hayley McNorton, 2021. Intelligence as Democratic, p. 1-2.
[4] Antaranews.com, 07/09/2016. BG Komitmen Jaga Independen BIN. https://babel.antaranews.com/berita/42865/bg-komitmen-jaga-independen-bin