Dr. Haryadi Baskoro di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Dr. Haryadi Baskoro saat memberikan kuliah umum pada perayaan ulang tahun ke-25 Ma'had Al-Zaytun

Dalam Kuliah Umum Nasional di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Dr. Haryadi Baskoro menekankan pentingnya kolaborasi antara pemimpin visioner dan pujangga. Sinergi antara Syaykh Panji Gumilang, dengan gagasan “1.000 Tahun Indonesia Raya,” dan Robin Simanullang, yang selama ini mencatat visi besar Al-Zaytun, menjadi contoh nyata. Dengan demikian, gagasan besar pemimpin tidak hanya hidup dalam wacana, tetapi juga tertanam kuat dalam sejarah sebagai panduan bagi generasi mendatang.

Penulis: Mangatur L. Paniroy

Dr. Haryadi Baskoro, M.A., M.Hum., seorang akademisi, peneliti dan penulis buku tentang kebudayaan serta sejarah lokal Yogyakarta, tampil sebagai pembicara dalam Kuliah Umum Nasional di Pondok Pesantren Al-Zaytun pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Acara ini diselenggarakan untuk memperingati 25 tahun berdirinya pondok pesantren Al-Zaytun, dengan mengusung tema besar “Gagasan 1.000 Tahun Indonesia Raya ke Depan dengan Semangat Remontada from Within.” Dengan lebih dari 4.500 peserta yang hadir, termasuk santri, pengajar, wali santri, eksponen Al-Zaytun, serta tamu dari berbagai latar belakang, acara ini berhasil menciptakan ruang diskusi yang mendalam mengenai masa depan bangsa Indonesia.

Daftar Artikel Terkait Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25

Dr. Haryadi Baskoro menyampaikan beberapa poin menarik dalam pidatonya di Kuliah Umum Nasional di Pondok Pesantren Al-Zaytun. Pertama, ia membahas tentang pentingnya visi jangka panjang untuk masa depan bangsa, mengutip tema “1.000 Tahun Indonesia Raya.” Dr. Haryadi Baskoro menekankan bahwa visi yang kokoh harus berakar pada nilai-nilai spiritual dan ilahi, bukan hanya ambisi politis semata. Menurutnya, visi ini memiliki fondasi yang mendalam dan bisa memberi arah yang jelas bagi perjalanan Indonesia ke depan, serupa dengan bagaimana Kesultanan Mataram Islam bertahan lebih dari 400 tahun berkat visi yang kokoh.

Kedua, Dr. Haryadi Baskoro menyoroti pentingnya peran pemimpin dan pujangga dalam mewujudkan visi ini. Ia memberikan contoh kolaborasi antara Syaykh Panji Gumilang, sebagai pemimpin visioner, dan Robin Simanullang, seorang penulis yang berperan sebagai pujangga. Dr. Haryadi Baskoro menjelaskan bahwa pemimpin dengan visi yang jauh ke depan perlu didukung oleh pujangga yang mencatat dan mendokumentasikan pemikiran serta gagasannya. Hal ini penting agar ide-ide tersebut tidak hanya menjadi wacana lisan, tetapi tertulis sebagai bagian dari sejarah yang bisa menjadi panduan bagi generasi mendatang.

Terakhir, Dr. Haryadi Baskoro menggarisbawahi pentingnya dokumentasi dan tulisan dalam setiap perjalanan besar. Ia menyebut bahwa sejarah banyak kerajaan di Nusantara dapat bertahan dan dipelajari hingga kini berkat adanya catatan prasasti dan dokumen yang ditinggalkan oleh para pujangga. Dalam konteks ini, Robin Simanullang dianggap memainkan peran penting dalam mencatat dan menyebarluaskan visi besar Panji Gumilang. Dengan mengabadikan gagasan tersebut dalam tulisan, visi seribu tahun ini tidak hanya akan menjadi mimpi, tetapi dapat diwujudkan melalui perencanaan yang matang dan terus diwariskan kepada generasi berikutnya.

Dr. Haryadi Baskoro memulai pidatonya dengan rasa terima kasih kepada Syaykh Panji Gumilang, pemimpin Pondok Pesantren Al-Zaytun, atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan gagasannya. Pidatonya bertujuan untuk merespons materi yang disampaikan oleh pembicara sebelumnya: Prof. Yudi Latif, Ph.D., Prof. Ikrar Nusa Bhakti, dan Ir. Ilham Aidit. Dr. Haryadi Baskoro mengawali dengan ungkapan penuh semangat, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Merdeka!” dan melanjutkan, “Terima kasih kepada Syaykh Panji Gumilang. Oleh karenanya, saya boleh hadir sowan di sini.”

Dr. Haryadi Baskoro kemudian memperkenalkan dirinya sebagai peneliti yang fokus pada antropologi kerajaan-kerajaan di Jawa, khususnya Yogyakarta dan Surakarta. “Saya adalah peneliti dan penulis buku-buku tentang antropologi, bukan histori ya, tapi antropologi kerajaan-kerajaan, dengan konsentrasi di Jogja dan Surakarta di Jawa Tengah, Kesultanan Mataram,” ujarnya.

Menurut Dr. Haryadi Baskoro, kerajaan-kerajaan ini memiliki karakteristik “monarki otentik” yang berbeda dengan “monarki jadi-jadian” yang hanya meniru tanpa dasar yang kuat. Monarki otentik, menurutnya, memiliki dasar kepemimpinan yang autentik dan bersandar pada visi yang kuat. “Monarki otentik itu mengantarkan kita kepada visi yang sebenarnya, kepada ciri kepemimpinan yang lebih otentik. Oleh karena itu, tadi sudah disinggung oleh Pak Ilham, kerajaan-kerajaan yang visioner, yang murni, bertahan lama. Mataram itu, kalau dihitung dari Mataram Islam di daerah Jogja, di Jawa Tengah, sejak Sultan Agung hingga hari ini, tetap eksis,” ujarnya.

Mengaitkan dengan tema acara, Dr. Haryadi Baskoro mengungkapkan bahwa gagasan “1.000 Tahun Indonesia Raya” yang dibawa oleh Syaykh Panji Gumilang bukanlah angan kosong. Melalui analogi dengan Mataram yang telah berdiri lebih dari 400 tahun, ia menunjukkan bahwa visi jangka panjang dapat diwujudkan. “Jadi, dari visi ini, sebenarnya logis apabila Syaykh kita punya visi yang jauh lebih panjang – seribu tahun Indonesia.” Dengan membandingkan pada pengalaman sejarah yang panjang ini, Dr. Haryadi Baskoro ingin menunjukkan bahwa visi jangka panjang memang bisa dicapai jika didasari oleh tekad dan dasar yang kuat.

Advertisement

Dr. Haryadi Baskoro menyitir konsep dari buku The Power of Vision karya George Barna untuk menjelaskan lebih jauh bahwa visi bukan hanya sekadar mimpi, tetapi merupakan wahyu dari Tuhan yang memiliki gambaran mental jelas tentang masa depan. “Visi itu cirinya yang pertama adalah ada gambaran mental yang jelas tentang masa depan yang jelas. Jadi, ada konsep, ada gambaran mentalnya. Itu memang imajinasi, tetapi visi, yang membedakannya dengan cita-cita atau obsesi, menurut George Barna, adalah bahwa visi itu diimpartasikan atau ditanamkan atau diwangsitkan oleh Tuhan,” tuturnya.

Dr. Haryadi Baskoro di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Bapak Robin Simanullang bersama dengan Syaykh bertahun-tahun, dan itu bagus sekali karena pemimpin dan pujangga, pemimpin dan penulis, jurnalis, itu memang harus ada. Harus ada konvergensi, ada sinergitas,” ujar Dr. Haryadi Baskoro.

Dr. Haryadi Baskoro menegaskan bahwa visi ilahi berbeda dengan visi politis yang berdasarkan ambisi pribadi. Ia mencontohkan bagaimana Syaykh Panji Gumilang menjalani topo broto, atau meditasi, sebagai bagian dari proses spiritual untuk mendapatkan inspirasi ilahi. “Visi yang ilahi selalu ada proses ilahi. Misalnya, yang kemarin, waktu acara selamatan, Syaykh menjelaskan dengan topo broto bahwa ada meditasi, ada doa, ada proses. Jadi, dalam proses ilahi itu, minimalnya ada jalan Tuhan, God’s Way,” jelasnya.

Namun, Dr. Haryadi Baskoro juga menjelaskan bahwa visi saja tidak cukup. Untuk mewujudkannya, diperlukan tahapan yang ia sebut sebagai “visi 25%.” Ia membagi proses ini menjadi empat bagian, masing-masing sebesar 25%, yang mencakup berbagai langkah penting dalam mewujudkan visi besar.

25% Pertama: Penerimaan Wahyu atau Inspirasi Visi

Di bagian pertama ini, Dr. Haryadi Baskoro menjelaskan bahwa pemimpin menerima visi tersebut sebagai wahyu atau ilham dari Tuhan. Menurutnya, pemimpin hanya bertanggung jawab atas seperempat dari seluruh proses penerjemahan visi. “Jadi, 100% dari proses penerjemahan visi ini, 25%-nya itu adalah wahyu, itu adalah bagian pemimpin. Hanya 25% saja,” katanya. Dalam tradisi Jawa, dikenal istilah “seprapat tamat,” yang berarti bahwa pemimpin tidak harus menguasai seluruh proses, tetapi cukup dengan menerima visi dan mengarahkannya.

25% Kedua: Penerjemahan Visi Secara Akademis

Bagian ini melibatkan kontribusi dari akademisi dan intelektual yang menerjemahkan visi tersebut ke dalam analisis dan konsep yang dapat dimengerti. “Nah, 25% yang kedua, hari ini, adalah tentang menterjemahkan visi itu secara akademis. Ini yang kadang-kadang tidak terjadi. Pemimpin-pemimpin kita okelah punya intuisi, punya ambisi, sampai-sampai tidak bisa membedakan ini ambisi atau dari Tuhan, tapi itu tidak dianalisis, tidak diterjemahkan,” ujarnya. Menurut Dr. Haryadi Baskoro, penerjemahan akademis ini penting untuk membuat visi dapat diuraikan menjadi langkah konkret. Namun, ia mengingatkan bahwa terlalu banyak analisis juga dapat menyebabkan stagnasi.

25% Ketiga: Operasionalisasi Visi

Tahapan ketiga melibatkan proses operasionalisasi atau penerjemahan visi akademis menjadi rencana aksi yang bisa diimplementasikan. Menurut Dr. Haryadi Baskoro, rencana tersebut harus jelas dan detail, sehingga dapat diwujudkan secara efektif. Di sini, visi tidak hanya lagi sekadar gagasan, tetapi mulai ditransformasi menjadi rencana aksi. Ia menyebutkan, “Proses hari ini (kuliah umum nasional, red) sebetulnya adalah proses menerjemahkan visi yang ilahi itu.”

25% Keempat: Pelaksanaan Rencana

Bagian terakhir ini adalah tahapan implementasi rencana aksi yang telah dibuat. Dr. Haryadi Baskoro menjelaskan bahwa visi yang besar hanya dapat diwujudkan jika semua orang terlibat dan bekerja sama. Ia menyatakan bahwa 25% terakhir dari proses ini adalah aksi kolektif yang mencakup seluruh komponen masyarakat. Rencana tersebut, menurutnya, harus dilaksanakan secara disiplin dan konsisten agar visi yang diinginkan dapat tercapai.

Dengan menguraikan setiap tahap tersebut, Dr. Haryadi Baskoro menunjukkan bahwa visi besar bukan hanya sekadar inspirasi, tetapi membutuhkan penerjemahan yang konkret dan langkah-langkah yang terukur untuk mencapainya. Menurutnya, proses ini akan membantu mengubah visi yang terlihat utopis menjadi sesuatu yang realistis dan dapat diwujudkan.

Dr. Haryadi Baskoro kemudian menggarisbawahi pentingnya mendokumentasikan visi besar dalam bentuk tulisan. Menurutnya, bangsa ini sering terjebak dalam wacana lisan dan lupa untuk menuliskannya, yang menyebabkan tidak adanya landasan kuat untuk mewujudkan visi tersebut. “Kelemahan negeri ini adalah kita terjebak dalam wacana lisan. Kita lupa menuliskannya. Tapi, kenapa kerajaan-kerajaan itu bertahun-tahun bisa bertahan? Karena mereka punya prasasti, mereka punya pujangga-pujangga, mereka punya tulisan,” ujar Dr. Haryadi sekaligus menekankan bahwa dokumentasi tertulis bukan hanya untuk mengabadikan visi, tetapi juga sebagai sarana untuk mengkomunikasikan visi tersebut ke generasi mendatang.

Haryadi Baskoro - Ch. Robin Simanullang
Drs. Ch. Robin Simanullang, penulis buku Hita Batak The Cultural Strategy, memberikan satu set buku Hita Batak kepada Dr. Haryadi Baskoro di Restoran Wisma Tamu Al-Ishlah, Ma’had Al-Zaytun, Sabtu, 24 Agustus 2024

Dalam konteks inilah, Dr. Haryadi Baskoro membahas peran Robin Simanullang, seorang jurnalis sekaligus penulis kawakan yang telah berkolaborasi dengan Syaykh Panji Gumilang untuk mendokumentasikan pemikiran dan gagasan besar Syaykh. Robin Simanullang, yang ia temui dalam acara tersebut, dianggap sebagai mitra yang sangat penting dalam upaya mendokumentasikan dan menyebarluaskan visi besar ini. “Saya tadi, saya terkaget-kaget ketemu dengan Bapak kita, namanya Pak Robin Simanullang, dia adalah penulis. Saya juga dapat buku-buku dari dia, tentang budaya Batak. Beliau ini bersama dengan Syaykh bertahun-tahun, dan itu bagus sekali karena pemimpin dan pujangga, pemimpin dan penulis, jurnalis, itu memang harus ada. Harus ada konvergensi, ada sinergitas,” ujar Dr. Haryadi Baskoro.

Menjelaskan lebih lanjut mengenai pentingnya peran penulis, Dr. Haryadi Baskoro berkaca pada pengalaman pribadinya bersama ayahnya yang merupakan penulis pidato Sri Sultan Hamengkubuwono IX. “Ayah saya itu, penulis pidato Raja Jogja, buku pertama dia, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-9. Jadi, saya tahu,” ucapnya.

Pada akhir pidatonya, Dr. Haryadi Baskoro mengajak seluruh peserta untuk berkolaborasi dalam mewujudkan visi besar ini dan memastikan bahwa apa yang dibahas hari itu tidak hanya menjadi wacana, tetapi menjadi langkah nyata bagi masa depan Indonesia. “Setelah ini, apa-apa yang bisa kita dapatkan, kita kolaborasi lagi, kita tuliskan, sehingga menjadi pesan yang tertulis. Yang terakhir, bisa segera diwujudkan dalam perencanaan, sehingga kita tidak terjebak menjadi sekadar wacana, tetapi menjadi wacana yang ilahi, yang konseptual, yang bersifat kewahyuan,” tuturnya dengan penuh semangat.

Dr. Haryadi Baskoro juga melontarkan sebuah seruan untuk menjadikan momen ini sebagai awal lahirnya karya-karya monumental yang sesuai dengan visi seribu tahun ke depan. “Jadi, di Al-Zaytun itu mesti muncul. Kalau seribu tahun, ya karya-karyanya mesti monumental dan momentumnya tepat. Dan itu akan menjadi keyakinan bagi kita bahwa memang, sungguh, seribu tahun itu sangat mungkin dilakukan bersama-sama di Indonesia,” tegasnya dengan optimisme tinggi.

Ia kemudian menutup pidatonya dengan salam, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Merdeka!” (atur/TokohIndonesia.com)

Tim Reportase TokohIndonesia.com: Mangatur L. Paniroy (Koordinator), Yenita Tangdialla, Rigson Herianto, Rukmana, Wiratno

Video Tiktok (VT) @tokoh.id

Berikut daftar Video Tiktok (VT) di akun @tokoh.id seputar Perayaan Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini