
[ENSIKLOPEDI] Soegeng Sarjadi seorang pengusaha sukses yang kemudian mengabdikan diri tanpa pamrih pada kegiatan nirlaba. Pendiri beberapa perusahaan, kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 5 Juni 1942, ini mendirikan Yayasan Soegeng Sarjadi (YSS) yang memfokuskan kegiatan pada kajian, penelitian dan edukasi kenegaraan dan kewarganegaraan untuk pemimpin ataupun yang dipimpin. Dia, seorang pembawa lentera kenegaraan. Â
Setelah bergelut dalam hiruk-pikuk dunia bisnis selama hampir 30 tahun, Soegeng Sarjadi berhasil mendirikan dan membesarkan imperium bisnis yang membuatnya kaya raya. Suami dari Sri Soesilastoeti (dokter lulusan Unpad), ini adalah salah seorang pendiri Kongsi Delapan (Kodel) dan pendiri beberapa perusahaan, di antaranya: PT Parama Bina Tani, PT Airess Mega Utama, PT Grahamas Intitirta, PT Airess Sukses Makmur, PT Tri Saga Sarana, dan PT Lumbung Emas Lestari. Dia mengembangkan semua perusahaan itu hingga mapan.
Lalu, pada saat usianya baru mencapai 55 tahun, dia pun surut dari ‘pertarungan’ dunia bisnis. Dia menyerahkan pengelolaan semua perusahaannya kepada anak-anaknya dan para profesional. Kemudian, dia memilih lebih mendedikasikan waktunya untuk kegiatan nirlaba dengan mendirikan Yayasan Soegeng Sarjadi (YSS) pada 1997. Yayasan ini memfokuskan diri pada kajian, penelitian serta edukasi kenegaraan dan kewarganegaraan untuk pemimpin dan ataupun yang dipimpin.
YSS banyak melakukan pendidikan kenegaraan, di antaranya melalui beberapa penelitian.Hasil penelitian itu kemudian dibukukan. Salah satu contoh, YSS melakukan penelitian tentang peta ekonomi Tanah Air. Penelitian dilakukan di seluruh pemda di Indonesia. Hasilnya, dibukukan dengan judul ‘Membangun Daerah, Membangun Republik: Sebuah Peta Ekonomi’ terdiri empat jilid.
Namun, dia sangat prihatin. Sebab belum ada Pemda yang memesan buku tersebut, meskipun dibagikan secara gratis. Baginya, hal ini mengindikasikan rendahnya kualitas pemimpin Indonesia, bahkan mungkin sama sekali tidak ada pemimpin yang berkualitas. Kondisi ini bukan membuatnya surut, melainkan makin terpanggil untuk meningkatkan kegiatan penelitian serta edukasi kenegaraan dan kewarganegaraan tersebut.
Maka, untuk keperluan itu, YSS mendirikan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) pada 2 Januari 2001. Pendirian lembaga ini digagas oleh Soegeng Sarjadi bersama Sukardi Rinakit, sebagai respon atas proses demokratisasi yang sedang membuncah di republik ini. Sebagaimana ditulis dalam blog SSS (www.cps-sss.org), perhatian utama SSS adalah memastikan agar proses demokratisasi tersebut berjalan pada rel yang benar.
Lalu, pada saat usianya baru mencapai 55 tahun, dia pun surut dari ‘pertarungan’ dunia bisnis. Dia menyerahkan pengelolaan semua perusahaannya kepada anak-anaknya dan para profesional. Kemudian, dia memilih lebih mendedikasikan waktunya untuk kegiatan nirlaba dengan mendirikan Yayasan Soegeng Sarjadi (YSS) pada 1997. Yayasan ini memfokuskan diri pada kajian, penelitian serta edukasi kenegaraan dan kewarganegaraan untuk pemimpin dan ataupun yang dipimpin.
Untuk mendukung misinya, SSS berperan sebagai medium intelektual untuk menelurkan gagasan-gagasan bernas dalam upaya membangun kesadaran mewujudkan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Aktivitas utama lembaga adalah melakukan analisis terhadap kebijakan-kebijakan publik (politik, ekonomi, sosial) melalui kegiatan riset dan survei untuk disampaikan kepada siapa pun yang membutuhkan.
Beberapa fokus kajian yang menjadi perhatian SSS antara lain: Politik Militer, Birokrasi, Kekerasan Politik dan Terorisme, Partai Politik, Sistem Pemilihan Umum, Islam Politik, Ekonomi Politik, Demokratisasi dan HAM, Desentralisasi, Otonomi Daerah dan Politik Lokal. Selain itu, Soegeng Sarjadi Syndicate secara khusus juga berkonsentrasi pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung dengan menawarkan survei Pilkada dan jasa konsultasi politik pemenangan Pilkada bagi kandidat yang maju dalam Pilkada di daerah.
Kemudian, pada 9 Maret 2010, dia melengkapi pengabdiannya dengan mendirikan dan meresmikan Soegeng Sarjadi School of Government, sekolah pemerintahan swasta pertama di Indonesia. Sekolah ini bertujuan membentuk kepemimpinan publik demokratis. Pembinaan sekolah dipercayakan kepada M. Fadjroel Rahman bersama para pengajar lainnya, anatara lain, Sukardi Rinakit, Ryaas Rasyid, Jimly Asshidiqie, Komaruddin Hidayat, Effendi Gazali, Sandiaga Uno dan Arswendo Atmowiloto.
Sugeng dengan ikhlas menggerakkan seluruh kegiatan YSS, dengan menyisihkan 20% dari penghasilannya. Selain itu, YSS juga mendapat donasi tambahan dari Indofood dan lain-lain. Dia mengaku sudah tidak lagi menikmati kekayaan. “Tidak lagi berpikir menumpuk kekayaan. Sebab uang tidak akan dibawa mati. Dia juga tidak berniat membuat yayasan untuk sekadar buat balas budi atau mencari popularitas.[1] Dia hanya memikirkan kiranya kekayaannya berguna untuk kemaslahatan orang banyak. Maka kepada anak-anaknya, Sugeng sudah menegaskan tidak ada warisan.
Berbisnis Sejak Kecil
Sugeng sudah berbisnis sejak kecil. Sebagai anak sulung dari sepuluh bersaudara, sejak kecil dia sudah menyertai ayahnya, Sarjadi Mardaan, berdagang tekstil di Pekalongan, Jawa Tengah. Sambil membantu ayahnya berdagang, dia menamatkan sekolah dari SR Muhammadiyah, Pekajangan (1954), SMP Muhammadiyah, Pekajangan (1957) dan SMA Negeri, Pekalongan (1961). Kemudian, dia sempat berkarir sebagai guru di Sekolah Menengah Mualimin Muhammadiyah, Pekajangan, Pekalongan (1961-1962).
Dia pun ingin mewujudkan cita-cita menjadi ahli hukum, untuk bisa membela orang lemah.[2] Tapi, dia tidak masuk fakultas hukum melainkan kuliah di Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sambil kuliah, dia tetap berdagang batik. Dia pun aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Bahkan menjabat Ketua Senat Fakultas Publisistik dan Ketua Dema Unpad serta Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung. Selain itu juga aktif dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).
Keasyikan berorganisasi dan berdagang, dia tidak meneyelesaikan kuliahnya, hanya sampai tingkat lima. Selain itu, dia juga sempat menggeluti dunia jurnalistik sebagai Redaktur Mingguan Mimbar Demokrasi, Bandung (1966-1968). Sempat juga menjadi Anggota DPR/MPR RI (1967-1968), namun dia kemudian di-recall. Dunia politik yang dinilainya kurang sehat, memang tidak cocok baginya.
Lalu, dia menapaki pergulatan bisnis secara profesional dengan menjabat Direktur PT Kwarta Daya Pratama, Jakarta (1970). Kemudian menjabat Manajer Komersial PT Krama Yudha Divisi Welding (1972) sampai menjabat Komisaris PT Kramat Yudha Mojopahit Motor (1976). Tiga tahun kemudian, 1979, dia mendirikan dan menjabat Direktur PT Kodel (singkatan Kongsi Delapan), bersama Fahmi Idris, Aburizal Bakrie, dan Ponco Sutowo.
Selanjutnya, penggemar film kung fu dan musik jazz serta piawai memetik gitar, ini mengembangkan imperium bisnisnya dengan mendirikan dan memimpin sejumlah perusahaan. Dimulai dari PT Parama Bina Tani (1980), perusahaan yang bergerak di bidang kimia pertanian. Perusahaan ini memiliki pabrik pestisida, bekerja sama dengan pengusaha Amerika. Juga sebuah pabrik metanol dibangunnya di Pulau Bunyu, Kalimantan, berpatungan dengan pengusaha Jerman Barat. Kesempatan ini digunakan untuk alih teknologi metanol, dengan mengirim 18 insinyur belajar di Jerman Barat.
Setelah bisnisnya berkembang, dia pun mengalihkan kegiatan pada kegiatan nirlaba dan memberikan kekayaannya demi kemaslahatan orang banyak, dengan fokus pada edukasi kenegaraan dan kewarganegaraan serta kepemimpinan publik. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com
Footnote:
[1] SWA: http://swa.co.id/2011/04/memaknai-sukses-dengan-kepedulian/
[2] PDAT: http://www.pdat.co.id/ads/html/S/ads,20030626-50,S.html