Ikrar Nusa Bhakti di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Ikrar Nusa Bhakti menggarisbawahi peran Al-Zaytun sebagai pusat pendidikan yang berfokus pada pengembangan toleransi, perdamaian, dan pembentukan generasi nasionalis.

Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti dalam Kuliah Umum Nasional di Pondok Pesantren Al-Zaytun menyampaikan apresiasi terhadap visi futuristik Syaykh Panji Gumilang yang melihat Indonesia akan bertahan hingga seribu tahun mendatang, melampaui visi “Indonesia Emas” yang sering digaungkan pemerintah. Ikrar Nusa Bhakti juga menyoroti dinamika politik Indonesia saat ini, mengkritik fenomena “tirani mayoritas” yang berusaha mengendalikan proses demokrasi dan membatasi ruang bagi tokoh-tokoh pilihan rakyat untuk maju di pentas politik.

Penulis: Mangatur L. Paniroy

Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, seorang profesor riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Tunisia, mengunjungi Al-Zaytun untuk pertama kalinya pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Dia diundang sebagai pembicara dalam acara Kuliah Umum Nasional yang digelar dalam rangka perayaan ulang tahun Al-Zaytun ke-25, dengan tema “Gagasan 1.000 Tahun Indonesia Raya ke Depan dengan Semangat Remontada from Within.” Selain Prof. Ikrar Nusa Bhakti, acara tersebut juga menghadirkan pembicara lain seperti Prof. Yudi Latif, Ir. Ilham Aidit, dan Dr. Haryadi Baskoro, M.A., M.Hum.

Daftar Artikel Terkait Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25

Prof. Ikrar Nusa Bhakti memberikan kuliah umum bertema “Politik” di hadapan lebih dari 4.500 peserta di Masjid Rahmatan Lil Alamin. Sebagai pengamat politik yang terkenal, beliau menyampaikan materi selama kurang lebih satu jam, dengan 42 menit dihabiskan untuk berbicara di atas podium dan 22 menit untuk menjawab pertanyaan dari peserta. Hal ini menciptakan suasana diskusi yang interaktif, dengan komunikasi dua arah antara pembicara dan peserta.

Dalam kuliahnya, Ikrar Nusa Bhakti membahas peran kekuasaan dan bagaimana politik mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Ia menyinggung istilah “tirani mayoritas” dalam konteks politik Indonesia saat ini, di mana kekuasaan mayoritas yang berusaha mengontrol proses pemilihan dan membatasi calon yang dapat bersaing dalam kontestasi politik. Ikrar Nusa Bhakti juga mengulas perjalanan demokrasi Indonesia sejak era Orde Baru hingga kini. Ia mengingatkan tentang pentingnya menjaga demokrasi yang sehat dan partisipatif, dengan menekankan bagaimana hukum seharusnya digunakan untuk mendukung keadilan dan kebebasan sipil, bukan sebagai alat penindasan. Selain itu, Ikrar Nusa Bhakti menyoroti kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia yang semakin lebar, serta pentingnya pendidikan yang merata untuk mencapai “Indonesia Emas 2045.” Serta menggarisbawahi peran Al-Zaytun sebagai pusat pendidikan yang berfokus pada pengembangan toleransi, perdamaian, dan pembentukan generasi nasionalis.

Berikut ini uraian lengkap Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti saat memberikan Kuliah Umum Nasional Sempena Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25 pada Sabtu, 24 Agustus 2024.

—–

Dalam penyampaian materinya, Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti memulai dengan mengucapkan rasa terima kasih kepada Syaykh Panji Gumilang. Ia mengaku terkejut dengan pesantren yang sering dianggap sebagai pusat gerakan Negara Islam Indonesia (NII), namun setelah mendengarkan pemaparan Syaykh Panji Gumilang, ia menyadari bahwa pesantren ini memiliki visi yang jauh melampaui asumsi publik. “Saya sangat terkejut,” ujarnya, “karena ternyata apa yang disampaikan oleh Syaykh Panji Gumilang mengenai masa depan Indonesia jauh lebih dalam dan luas dibandingkan dengan visi pemerintah saat ini.”

Prof. Ikrar melanjutkan dengan membahas bahwa sementara pemerintah hanya fokus pada “Indonesia Emas”, yang sering diplesetkan menjadi “Indonesia Cemas”, Syaykh Panji Gumilang justru berbicara tentang visi Indonesia yang akan bertahan hingga seribu tahun ke depan. “Bayangkan,” kata Ikrar, “pandangan Syaykh Panji bahkan melebihi masa kejayaan kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit. Ini menunjukkan keyakinan besar dalam diri Syaykh dan santri-santri di sini bahwa Indonesia akan tetap berdiri bahkan hingga seribu tahun ke depan.” Ungkapan ini menunjukkan betapa besar harapan dan kepercayaan yang dibangun oleh Syaykh Panji Gumilang terhadap masa depan bangsa ini.

Ikrar Nusa Bhakti kemudian berbagi cerita tentang seorang rekan di LIPI yang memiliki anak dengan tinggi badan 180 cm, yang dianggapnya sebagai contoh perkembangan fisik generasi Indonesia. “Ini pertanda baik,” katanya, “namun sayangnya, tidak semua rakyat Indonesia menikmati hal ini.” Ia juga membandingkan hal tersebut dengan generasi tua Jepang yang rata-rata tingginya hanya 150 cm, sedangkan generasi muda mereka sekarang memiliki tinggi rata-rata di atas 170 cm. Hal ini, menurutnya, menunjukkan adanya ketimpangan dalam perkembangan fisik di Indonesia yang perlu diperhatikan.

Advertisement

Masuk ke dalam topik politik, Prof. Ikrar Nusa Bhakti menyampaikan kepada hadirin bahwa politik adalah ilmu yang menarik, menyenangkan, namun kadang juga menyebalkan. “Politic is interesting, politic is amusing, but sometimes, it can be annoying,” ungkapnya. Ia menjelaskan bahwa politik bukan hanya soal negara, tetapi juga masuk ke dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, termasuk di rumah tangga dan perusahaan. Misalnya, ketika orang tua memutuskan sekolah terbaik untuk anak-anaknya, atau memilih tempat tinggal, mereka secara tidak sadar sedang berpolitik.

Ikrar Nusa Bhakti di Kuliah Umum Nasional 25 Tahun Al-Zaytun
Ikrar Nusa Bhakti mengatakan bahwa sementara pemerintah hanya fokus pada “Indonesia Emas”, yang sering diplesetkan menjadi “Indonesia Cemas”, Syaykh Panji Gumilang justru berbicara tentang visi Indonesia yang akan bertahan hingga seribu tahun ke depan.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa ilmu politik tidak berdiri sendiri, melainkan meminjam banyak teori dari ilmu-ilmu lain, seperti antropologi dan sosiologi, untuk memahami konsep-konsep seperti bangsa, kekuasaan, dan masyarakat. “Kalau kita bicara kekuasaan atau masyarakat, maka kita harus mempelajari sosiologi,” tambahnya. Ia juga menyoroti bagaimana ilmu politik seringkali meminjam pendekatan ilmu eksakta, seperti dalam hubungan internasional, di mana analisis tentang kekuatan ekonomi suatu negara sangat bergantung pada sumber daya manusia dan kekayaan alam yang dimilikinya.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti kemudian menyampaikan pengamatannya tentang kondisi politik di Indonesia saat ini. Ia menyinggung istilah “kartel”, yang merupakan istilah ekonomi, namun kini sering digunakan dalam konteks politik untuk menggambarkan kekuasaan segelintir elit yang menentukan arah pemerintahan. Prof. Ikrar Nusa Bhakti menggunakan istilah “tirani minoritas” dan “tirani mayoritas”. Pada era Orde Baru, “tirani minoritas” merujuk pada sekelompok elit politik yang menentukan kebijakan dan arah politik negara. Namun, saat ini Indonesia menghadapi “tirani mayoritas”. Ia menjelaskan bahwa para elit mayoritas berusaha mengendalikan proses politik dan mencegah tokoh-tokoh politik yang didukung rakyat untuk maju dalam pemilihan umum. “Sekarang kita berada di bawah kekuasaan mayoritas yang seakan-akan mengontrol segala aspek politik,” tegasnya.

Ia mengkritik bagaimana para elit politik berusaha menentukan siapa yang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, presiden, atau wakil presiden. Ada istilah KIM Plus yang populer sekarang,” katanya, merujuk pada Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berusaha menguasai panggung politik dengan mencegah calon independen atau dari partai kecil untuk bersaing di pemilihan kepala daerah. Ia melihat ini sebagai bentuk penjajahan politik yang dilakukan oleh kekuatan mayoritas, menghalangi pilihan rakyat untuk masuk ke dalam kompetisi politik yang lebih sehat.

Ia juga mengingatkan bahwa politik Indonesia saat ini masih kerap diwarnai oleh pendekatan paksaan, di mana hukum sering kali digunakan untuk menekan lawan politik. Padahal, menurutnya, demokrasi seharusnya mengutamakan kebebasan sipil dan kebijakan berdasarkan musyawarah, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti kemudian menjelaskan bahwa Indonesia telah melewati berbagai fase demokrasi, mulai dari demokrasi parlementer hingga demokrasi terpimpin, yang semuanya mengalami tantangan dan kegagalan di beberapa aspek. Misalnya demokrasi parlementer yang berlangsung dari tahun 1950 hingga 1957. Ia menekankan bahwa pada 17 Agustus 1950, Indonesia secara resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah berakhirnya Republik Indonesia Serikat (RIS). Kabinet Natsir yang dipimpin oleh tokoh Masyumi terbentuk setelah itu, dan Ikrar Nusa Bhakti menyoroti bagaimana Bung Karno sebagai presiden tidak mempersoalkan perbedaan ideologi dalam memilih Natsir sebagai perdana menteri. “Bung Karno itu seorang negarawan yang bijak,” kata Ikrar Nusa Bhakti, “ia tidak mempermasalahkan apakah seseorang berasal dari ideologi yang berbeda atau partai lain.” Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh bangsa pada masa itu, termasuk Bung Karno, Natsir, dan Syahrir, mampu bekerja sama meskipun memiliki pandangan politik yang berbeda. Ini adalah pelajaran penting yang seharusnya dipegang teguh oleh generasi saat ini.

Dalam diskusinya, Ikrar Nusa Bhakti menyoroti bagaimana UUD 1945 yang asli pernah digantikan dengan UUD Sementara pada era Republik Indonesia Serikat (RIS) hingga akhirnya kembali digunakan pada masa Orde Baru. Namun, bahkan di masa Orde Baru, sistem yang dijalankan mengalami berbagai penyimpangan, terutama terkait kekuasaan yang semakin terpusat pada individu. Menurut Ikrar Nusa Bhakti, demokrasi konstitusional seharusnya menempatkan sipil sebagai pemegang kendali, dengan partai politik sebagai penjaga konstitusi. Sayangnya, di era modern, praktik-praktik demokrasi tersebut masih jauh dari ideal, terutama dengan adanya tekanan dari elit politik terhadap calon pemimpin daerah.

Ikrar Nusa Bhakti juga menyoroti partai-partai Islam yang cenderung lebih memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan kebersamaan dalam mencapai tujuan politik bersama. Ia menyebutkan bahwa sejak Pemilu 1955, partai-partai Islam sering terpecah karena perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri. “Contohnya, Nahdlatul Ulama (NU) mengirimkan Banser NU untuk mengganggu muktamar nasional PKS, meskipun keduanya sama-sama memiliki ideologi Islam. Atau pertikaian antara NU dengan PKB. Untungnya terselesaikan,” ujarnya, menunjukkan bagaimana perpecahan itu terjadi bahkan di antara kelompok yang seharusnya memiliki visi yang sama.

Prof. Ikrar Nusa Bhakti juga berbicara mengenai konstitusi dan perjalanan panjang Indonesia dalam mempertahankan demokrasi. Ia menjelaskan bahwa Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, mulai dari UUD 1945 yang asli, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), hingga UUD Sementara 1950, sebelum kembali lagi ke UUD 1945. Ia juga menyinggung upaya untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi lebih dari dua kali, yang mulai didiskusikan sejak 2015. Ini memicu ketegangan antara Presiden Jokowi dan Megawati,” katanya, mengingatkan bahwa perubahan seperti ini bisa berdampak buruk bagi sistem demokrasi.

Di akhir paparannya, Ikrar Nusa Bhakti menyampaikan harapannya agar Indonesia tetap menjaga NKRI dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Ia juga menyoroti masalah ketimpangan sosial yang semakin menganga di Indonesia, di mana antara yang kaya dan miskin semakin jauh jurangnya. “Kemanusiaan yang adil dan beradab tampaknya belum sepenuhnya terwujud, terlebih dengan semakin banyaknya perusahaan yang tutup dan jumlah pengangguran yang terus bertambah,” katanya. Ia juga prihatin dengan anggaran pendidikan yang dipotong hingga 25% untuk wilayah pedesaan, yang tentunya bisa menghambat Indonesia dalam mencapai SDM yang berkualitas untuk “Indonesia Emas 2045”.

Sebagai penutup, Ikrar Nusa Bhakti mengutip pesan Bung Karno bahwa “Indonesia ini satu untuk semua, semua untuk anak-anak Indonesia.” Pesan ini, menurutnya, sangat relevan dengan upaya Syaykh Panji Gumilang yang bercita-cita membangun sistem pendidikan yang komprehensif, dari playgroup hingga universitas, di Pondok Pesantren Al-Zaytun. “Insyaallah, cita-cita ini akan terwujud, dan pesantren ini akan melahirkan generasi Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, dan berkualitas,” pungkasnya. (atur, nita/TokohIndonesia.com)

Tim Reportase TokohIndonesia.com: Mangatur L. Paniroy (Koordinator), Yenita Tangdialla, Rigson Herianto, Rukmana, Wiratno

Video Tiktok (VT) @tokoh.id

Berikut daftar Video Tiktok (VT) di akun @tokoh.id seputar Perayaan Ulang Tahun Al-Zaytun ke-25:

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini