Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025: Dari Al-Zaytun Menuju Indonesia Emas

0
170
Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Al-Zaytun
Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025: Dari Al-Zaytun Menuju Indonesia Emas
Lama Membaca: 8 menit

Selama tiga hari di Kampus Al-Zaytun, Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 menjadi ruang perjumpaan yang hangat dan bermakna — tempat para pendidik, pemikir, dan alumni dari berbagai penjuru negeri menggali kembali makna sejati pendidikan. Bukan sekadar forum diskusi atau respons atas perubahan zaman, tetapi upaya bersama untuk menegaskan kembali bahwa pendidikan yang utuh, berkelanjutan, dan berakar pada nilai-nilai bangsa adalah bekal utama menuju Indonesia Emas 2045.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

Bertempat di Masjid Rahmatan lil ‘Alamin, Indramayu, Jawa Barat, simposium ini berlangsung pada 30 April hingga 2 Mei 2025 dengan tema “Membangun Ekosistem Pendidikan yang Tidak Terputus Menyongsong Indonesia Emas 2045.” Lebih dari 2.000 peserta hadir, menciptakan suasana reflektif sekaligus penuh semangat kebangsaan. Para tokoh pendidikan dari berbagai disiplin ilmu diundang untuk menyampaikan pandangan dan pengalamannya.

Hari pertama menekankan pentingnya pendidikan sebagai arah dan fondasi bangsa. Syaykh Panji Gumilang membuka dengan refleksi historis dan ajakan untuk membangun sistem pendidikan yang tidak tercerai-berai. Prof. Yohanes Surya menegaskan bahwa semua anak Indonesia bisa unggul di sains jika diberi cara belajar yang tepat. Sementara Prof. Dr. Imam Suprayogo mengingatkan bahwa nilai dan karakter harus menjadi inti pendidikan, bukan sekadar pelengkap.

Hari kedua berfokus pada tantangan zaman dan kebutuhan akan pendidikan yang terintegrasi. Prof. Dr. Imron Arifin memaparkan tantangan era digital dan pentingnya membangun kepemimpinan religio-humanistik di ruang kelas. Prof. Dr. Ciek Julyati Hisyam menyuarakan bahwa karakter bukan aksesori, tapi jantung pendidikan, dan harus dibentuk melalui keteladanan sejak dini.

Hari ketiga menjadi ruang kontemplasi atas dasar pendidikan bangsa. Prof. Dr. Ki Supriyoko menghidupkan kembali ajaran Ki Hajar Dewantara dan menunjukkan bahwa pendidikan harus membina dasar dan ajar anak. Di sesi penutup, Syaykh Panji Gumilang menyampaikan refleksi mendalam bahwa pendidikan sejati bukan soal siapa mengajar apa, tetapi siapa membentuk siapa.

Para pengajar IAI AL-AZIS)
Para pengajar di Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia (IAI AL-AZIS), senantiasa menyimak dengan seksama pemaparan para pembicara dari hari pertama hingga hari terakhir

Simposium ini menunjukkan bahwa Al-Zaytun bukan sekadar tempat berlangsungnya acara, tetapi telah menjadi titik temu gagasan, tekad, dan cinta Tanah Air. Dari forum ini, terbit harapan bahwa pendidikan Indonesia bisa kembali menemukan ruh dan jalannya. Dan jika bangsa ini ingin berdiri sejajar dengan kekuatan dunia di tahun 2045, maka pendidikanlah yang harus dibenahi dari sekarang. Di Al-Zaytun, langkah itu sudah dimulai — dengan jernih, bernilai, dan pasti.

 

Hari Pertama: Menemukan Arah dan Hakikat Pendidikan

Datuk Sir Imam Prawoto
Datuk Sir Imam Prawoto

Simposium dibuka pada Rabu, 30 April 2025, dengan suasana yang penuh antusiasme. Lebih dari 3.000 peserta memenuhi aula utama Masjid Rahmatan lil ‘Alamin. Acara dibuka secara resmi dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam tiga stanza lengkap. Sambutan disampaikan oleh Ketua Yayasan Pesantren Indonesia (YPI), Datuk Sir Imam Prawoto, KRSS., M.B.A., C.R.B.C., yang memperkenalkan konsep “PINTAR” sebagai fondasi menuju Indonesia Emas: Profesional, Integritas, Networking, Trust, Achievement, dan Realistis.

Syaykh Panji Gumilang: Finishing Sprint Menuju Indonesia Emas

Syaykh Panji Gumilang
Syaykh Panji Gumilang

Sebagai tuan rumah dan penggagas utama, Syaykh Abdussalam Panji Gumilang, S.Sos., M.P., membuka simposium dengan pidato kebangsaan. Ia menggambarkan bahwa bangsa Indonesia kini tengah menjalani finishing sprint menuju 100 tahun kemerdekaan. Dalam fase ini, pendidikan bukan lagi sekadar instrumen pembangunan, tetapi inti dari peradaban itu sendiri.

Advertisement

Ia mengkritik kondisi pendidikan nasional yang tercerai-berai dan kehilangan arah. “Pendidikan kita belum menjadi satu sistem yang berkelanjutan,” ujarnya. Ia mengajak seluruh komponen bangsa untuk kembali menyusun pendidikan nasional yang berpijak pada nilai ilahi dan berorientasi pada masa depan bangsa.

Prof. Yohanes Surya: Sains untuk Semua Anak Indonesia

Prof. Yohanes Surya
Prof. Yohanes Surya

Dalam sesi utama berikutnya, Prof. Yohanes Surya,  tokoh yang telah berkontribusi besar dalam memajukan pendidikan sains dan matematika di Indonesia, memaparkan pengalaman panjangnya dalam membimbing anak-anak Indonesia, bahkan dari pelosok, menjadi juara dunia di bidang sains. Ia menjelaskan bahwa metode GASING (Gampang, Asyik, Menyenangkan) mampu membuat anak-anak dari Papua, NTT, dan daerah tertinggal memahami konsep matematika dan fisika secara mendalam dalam waktu singkat.

“Sains itu tidak sulit. Yang sulit adalah cara kita mengajarkannya,” tegasnya. Prof. Yohanes Surya menunjukkan bahwa dengan metode yang tepat dan kepercayaan kepada anak, siapa pun bisa unggul di tingkat global. Ia juga menekankan bahwa SDM unggul bukan hanya soal akademik, tapi juga tentang membangun kepercayaan diri dan semangat belajar.

Prof. Dr. Imam Suprayogo: Pendidikan dengan Nilai dan Keteladanan

Prof. Dr. Imam Suprayogo
Prof. Dr. Imam Suprayogo

Sesi berikutnya diisi oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo, tokoh pendidikan Islam Indonesia yang dikenal sebagai Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selama empat periode (1997-2013), yang mengajak peserta merenungkan ulang hakikat pendidikan. Ia menyampaikan bahwa masalah utama pendidikan di Indonesia bukan hanya pada aspek akademik, melainkan pada degradasi nilai dan karakter. “Semakin tinggi pendidikan seseorang, kadang kejujurannya justru semakin rendah. Ini ironi,” katanya.

Ia mengungkapkan pentingnya pendidikan yang menumbuhkan integritas dan keteladanan, serta menjadikan guru sebagai contoh, bukan sekadar pengajar. Ia menyebut Al-Zaytun sebagai salah satu contoh lembaga yang telah membuktikan bahwa pendidikan bisa dibangun dengan nilai, semangat kebangsaan, dan ketekunan.

Prof. Imam Suprayogo juga menyesalkan adanya stigma negatif terhadap Al-Zaytun yang menurutnya tidak adil dan tidak berdasar. “Saya sudah melihat sendiri. Ini tempat pendidikan yang sejuk, penuh toleransi, dan membangun peradaban,” ujarnya.

Hari pertama juga diwarnai dengan wawancara dan testimoni dari peserta. Seorang mahasiswa, Mbak Winda dari IAI Al-Azis, menyatakan bahwa simposium ini memberinya wawasan dan semangat baru sebagai bagian dari generasi 2045. Di sisi lain, Pak Wandi, dari tim pengamanan, mengungkapkan bahwa acara ini telah dipersiapkan lebih dari satu pekan sebelumnya, dengan dukungan penuh dari panitia dan pengelola Al-Zaytun.

Mas Eji Anugrah Romadhon, ketua panitia, menyebutkan bahwa acara ini diikuti lebih dari 3.000 peserta dan dikelola oleh panitia tetap yang telah berpengalaman menyelenggarakan berbagai event berskala besar. “Ini bukan sekadar acara seremonial. Ini adalah langkah nyata menuju arah pendidikan yang lebih baik,” ujarnya.

 

Hari Kedua: Menyusun Ekosistem Pendidikan Masa Depan

Kamis, 1 Mei 2025, hari kedua Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 dilangsungkan dengan semangat yang tetap tinggi. Masjid Rahmatan lil ‘Alamin kembali dipadati oleh peserta yang antusias mengikuti sesi-sesi penting yang membahas arah pendidikan Indonesia di tengah tantangan zaman.

Prof. Dr. Imron Arifin: Menggandeng Perkembangan Teknologi

Prof. Dr. Imron Arifin, M.Pd.
Prof. Dr. Imron Arifin, M.Pd.

Fokus utama hari kedua adalah menyusun sistem pendidikan yang adaptif terhadap perubahan global — dari era Revolusi Industri 4.0 hingga Web 5.0. Prof. Dr. Imron Arifin, M.Pd., guru besar Universitas Negeri Malang, menjadi pembicara utama. Ia membuka paparannya dengan menggambarkan akselerasi transformasi dunia dan dampaknya terhadap pola pikir pendidikan. “Pendidikan abad 21 tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Kita memerlukan literasi digital, literasi data, hingga pemahaman tentang kecerdasan buatan,” ujarnya.

Lebih jauh, Prof. Imron Arifin menekankan pentingnya ekosistem pendidikan yang bersifat terbuka, kolaboratif, dan menyatu dengan dinamika sosial. Ia memperkenalkan gagasan tentang kepemimpinan religio-humanistik — yakni para pendidik yang tidak hanya mengajar, tapi juga memimpin, membimbing, dan memberi teladan. “Kita tidak butuh sekadar guru, kita butuh pemimpin-pemimpin pembelajar,” tegasnya.

Prof. Ciek Julyati Hisyam: Karakter sebagai Fondasi Pendidikan

Prof. Dr. Ciek Julyati Hisyam, M.M., M.Si.,
Prof. Dr. Ciek Julyati Hisyam, M.M., M.Si.,

Setelah Prof. Imron, sesi dilanjutkan oleh Prof. Dr. Ciek Julyati Hisyam, M.M., M.Si., yang menyampaikan pemikiran mendalam tentang pentingnya pendidikan karakter dalam kerangka pembangunan bangsa. Ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologi dan kecanggihan sistem tidak akan berarti tanpa penguatan karakter.

“Karakter bukan aksesori dalam pendidikan, melainkan jantungnya. Bangsa besar harus punya generasi yang kuat secara moral dan mental,” tegasnya. Ia juga menyinggung bahwa pendidikan yang menumbuhkan karakter harus hadir sejak usia dini dan berkelanjutan hingga tingkat tinggi.

Dalam presentasinya, Prof. Juli — demikian ia akrab disapa — menyampaikan bahwa pendidikan karakter tidak bisa dibentuk secara instan atau dengan pendekatan indoktrinatif. Ia mendorong model pendidikan yang berbasis teladan, pengalaman langsung, dan lingkungan belajar yang sehat secara sosial dan emosional.

Simposium hari kedua juga menjadi ruang pengakuan dan peneguhan peran alumni Al-Zaytun. Di sela sesi utama, sejumlah alumni diwawancarai dan menyampaikan komitmen mereka untuk berkontribusi nyata terhadap masa depan pendidikan. Salah satu alumni angkatan ke-4 yang kini menjabat sebagai direktur properti dan komisioner IKAM Jakarta menyatakan, “Kami para alumni tidak hanya ingin sukses sendiri. Kami ingin terlibat dalam pembangunan. Kami siap membangun 500 titik pendidikan Indonesia Emas.”

Alumni lainnya mengungkapkan bahwa kolaborasi antaralumni telah dimulai, baik dalam bentuk seminar, proyek pendidikan lokal, hingga pendirian lembaga pendidikan mandiri di berbagai daerah. “Kami yakin, pendidikan bisa dibangun tanpa harus selalu bergantung pada negara. Jika pemerintah mendukung, Alhamdulillah. Jika tidak, kami tetap bergerak,” ungkap salah satu alumni.

Para Peserta Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Al-Zaytun
SAAT REHAT: Para Peserta Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Al-Zaytun

Pesan khusus juga disampaikan untuk Presiden RI, Jenderal Prabowo Subianto. Salah satu alumni dengan tegas mengatakan, “Kami percaya Presiden mampu dan sanggup mendukung gagasan ini. Tapi kami juga tidak menunggu. Kami mulai saja dulu. Ini tanggung jawab generasi kami.”

Selain itu, peserta dan pembicara juga menyinggung pentingnya melibatkan sektor swasta, tokoh masyarakat, dan para dermawan dalam pembangunan pendidikan. “Ajak orang-orang kaya untuk turut membangun,” ujar seorang peserta, mengutip seruan Syaykh Panji Gumilang dalam diskusi sebelumnya.

Hari kedua ditutup dengan doa bersama dan menyanyikan Hymne Masyarakat Indonesia Membangun, lagu penuh semangat yang menggambarkan kolaborasi seluruh elemen bangsa dalam menciptakan perubahan yang hakiki melalui pendidikan.

 

Hari Ketiga: Memahami Hakikat Pendidikan dan Menutup dengan Nilai

Jumat, 2 Mei 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, menjadi penutup dari rangkaian Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025. Hari itu terasa khusus. Bukan hanya karena momentum nasional yang dirayakan, tapi juga karena materi dan refleksi yang disampaikan berfokus pada hal-hal paling mendasar dari pendidikan: nilai, karakter, dan peran manusia dalam membentuk arah bangsa. Masjid Rahmatan lil ‘Alamin kembali dipenuhi oleh para peserta yang sudah tiga hari mengikuti simposium. Suasana terasa lebih reflektif.

Prof. Dr. Ki Supriyoko: Pendidikan Berbasis Nilai, Budaya, dan Keteladanan

Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd..
Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd..

Pembicara utama hari itu, Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd., tokoh pendidikan Indonesia yang menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, tampil membawakan materi yang menghidupkan kembali pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.

Dalam presentasinya, Prof. Ki Supriyoko menekankan bahwa pendidikan harus menyentuh dua dimensi utama: dasar (fitrah dan potensi anak) dan ajar (lingkungan dan bimbingan).

“Pendidikan itu menyentuh kehidupan. Ia bukan hanya tentang transfer ilmu, tapi juga pembentukan watak dan karakter,” ujarnya. Ia mengapresiasi Al-Zaytun sebagai ekosistem pendidikan yang konsisten membangun ruang belajar berbasis nilai, budaya, dan keteladanan.

Prof. Ki Supriyoko juga menegaskan bahwa arah pendidikan harus berpijak pada kebudayaan lokal dan kebijaksanaan sejarah. “Kita tidak bisa membangun manusia Indonesia hanya dengan perangkat global. Kita harus membangun pendidikan yang bersandar pada nilai sendiri,” tegasnya.

Sama seperti dua hari sebelumnya, dalam sesi wawancara di sela sesi utama, beberapa alumni Ma’had Al-Zaytun berbagi pengalaman. Muhammad Isa, kini dosen ilmu politik, menyampaikan bahwa gagasan-gagasan besar tentang pendidikan harus masuk ke ruang-ruang kebijakan. “Kalau hanya berhenti di ruang kelas, ide tidak akan berdampak. Kita butuh kebijakan publik yang lahir dari kesadaran akan pentingnya pendidikan berkelanjutan,” jelasnya.

Rifai, salah satu wakil presiden santri, menyoroti pentingnya ketahanan pangan sebagai bagian dari sistem pendidikan karakter. “Kami diajarkan menanam, memanen, mengelola hasil bumi. Itu bukan hanya pelajaran praktis, tapi pelajaran hidup,” ujarnya.

Jumi, alumni angkatan pertama, menutup sesi alumni dengan ungkapan haru. “Simposium ini membuat saya kembali tersadar, bahwa pendidikan yang saya terima bukan hanya membentuk saya secara akademik, tapi juga membentuk cara berpikir, bersikap, dan berbakti.”

Syaykh Panji Gumilang: Pendidikan Bukan tentang Siapa Mengajar Apa, tetapi Siapa Membentuk Siapa

Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang
Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang

Sebagai penutup Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang kembali naik ke podium. Dalam pidato reflektifnya, ia merangkum seluruh jalannya simposium selama tiga hari dengan ketenangan dan ketegasan khasnya.

Ia mengkritisi bagaimana nilai-nilai Ki Hajar Dewantara telah bergeser dari ajaran menjadi slogan. “Ing ngarsa sung tulada berubah jadi simbol kekuasaan, bukan keteladanan,” ujarnya.

Ia mengajak peserta kembali pada pendidikan sebagai sarana membentuk kepribadian bangsa, bukan sekadar mencetak lulusan. Ia menekankan pentingnya mendidik dengan pendekatan deduktif dan induktif, dengan keteladanan dan kasih sayang, bukan dengan kekuasaan dan ketakutan.

“Pendidikan bukan soal siapa mengajar apa, tapi siapa membentuk siapa,” ujar Syaykh Panji Gumilang. Ia menutup dengan seruan bahwa hanya pendidikan yang sungguh-sungguh berpijak pada nilai ilahi yang akan membawa bangsa ini meraih cita-cita Indonesia Emas 2045.

(Atur/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments