Advokat Pengabdi HAM
Abdul Hakim Garuda Nusantara
[ENSIKLOPEDI] Hampir sepanjang karier dia mengabdi dalam bidang advokasi dan hak asasi manusia. Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terpilih menjadi Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2002-2007). Pria bernama lengkap Abdul Hakim Garuda Nusantara kelahiran Pekalongan, 12 Desember 1954, ini bertekad mewujudkan misi Komnas HAM.
Dalam pemilihan Ketua Komnas HAM pada rapat pleno khusus Komnas HAM di Jakarta, Kamis 12/9/02, dia meraih 12 suara. Ia mengalahkan pesaingnya mantan Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto meraih enam suara, KH Salahuddin Wahid tiga suara, dan ahli hukum Prof Dr Achmad Ali dua suara. Tokoh sipil yang selama ini dikenal sebagai aktivis organisasi nonpemerintah (ornop) itu memimpin Komnas HAM selama lima tahun (2002-2007).
Sementara untuk jabatan wakil ketua, juga terpilih tokoh sipil yakni Zoemrotin K Susilo (Wakil Ketua I), dan KH Salahuddin Wahid (Wakil Ketua II). Rapat pleno khusus yang berlangsung maraton sampai pukul 19.30 juga memilih empat Ketua Sub-Komisi. MM Billah menjadi Ketua Sub-Komisi Pemantauan, Lies Soegondo sebagai Ketua Sub-Komisi Pengkajian dan Penelitian, Mansour Fakih menjadi Ketua Sub-Komisi Pendidikan dan Penyuluhan, serta Amidhan sebagai Ketua Sub-Komisi Mediasi.
Abdul Hakim adalah Ketua Komnas HAM kelima. Sebelumnya adalah Ali Said, Munawir Sjadzali, Marzuki Darusman, dan Djoko Soegianto. Bedanya, terpilihnya Abdul Hakim sebagai anggota dan Ketua Komnas HAM adalah berdasarkan pilihan DPR sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999. Sedang empat ketua sebelumnya, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 50/1993.
Usai terpilih, pengagum Yap Thiam Hien dan Mohammad Hatta, ini mengungkapkan, dirinya akan memperkuat komunikasi antar-anggota serta membangun kepercayaan bersama. Ia juga berniat membangun kepemimpinan kolektif, memperbaiki kesekretariatan, dan berupaya meningkatkan anggaran.
Sedangkan ke luar, Komnas HAM akan mencoba menyelesaikan kasus yang tersisa seperti Pengadilan HAM untuk kasus Papua dan Aceh. Komnas HAM juga akan mendorong pemerintah untuk segera membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“UU (KKR) itu penting karena akan membantu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sehingga mengurangi beban Komnas HAM. Kami juga akan memantau legislasi nasional yang penting, misalnya UU Penyiaran untuk menjamin akomodasi kebebasan informasi. Kami juga akan memantau RUU Anti-Terorisme agar tak melanggar HAM. Kami juga akan melakukan pemantauan legislasi pemilu apakah undang-undangnya memperkuat hak-hak sipil dan politik,” ujar Abdul Hakim.
Abdul Hakim mengatakan, sejak terpilih menjadi Ketua Komnas HAM, dia akan meluangkan waktu lebih banyak untuk mewujudkan visi dan misi Komnas HAM ke depan. Bila di tengah jalan dia tidak berhasil mewujudkan tekad tersebut, ia berjanji akan mundur sebagai ketua.
“Kepemimpinan Komnas HAM adalah kolektif. Kita membangun bersama ibarat naik gunung. Kalau di tengah jalan saya lelah bisa diganti oleh yang lain yang bisa melangkah lebih cepat,” katanya. Menurut Abdul Hakim, yang justru bakal menjadi persoalan serius adalah masalah dana. Bantuan pemerintah yang jumlahnya sekitar Rp 3 milyar setahun dirasakan sangat tidak cukup untuk kegiatan operasional Komnas HAM.
Advokasi dan HAM
Abdul Hakim sudah menjadi aktivis sejak SMA, dalam kegiatan Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Pekalongan. Dia lahir dan dibesarkan dalam keluarga pedagang batik yang taat beragama. Ayahnya anggota Muhammadiyah. Karena ayahnya berlangganan lima sampai tujuh surat kabar, dia sejak muda sudah terbiasa membaca informasi politik dan pemerintahan.
Hal itu memotivasinya untuk giat belajar walaupun kondisi keuangan keluarga besarnya hanya pas-pasan. Saat sekolah dasar (SD Muhammadiyah di Pekalongan), anak ketujuh dari 14 bersaudara ini harus berjalan kaki sejauh delapan kilometer pulang-pergi. Lulus SD tahun 1965, dia melanjut ke SMP Muhammadiyah (lulus 1968) dan SMA Muhammadiyah (lulus 1971) juga di kota kelahirannya Pekalongan, Jawa Tengah.
Kemudian dia sempat menganggur selama satu hanun setelah tamat SMA. Sebelum akhirnya masuk Fakultas Hukum UI (lulus 1978). Ketika kuliah, dia sudah aktif sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Divisi Hak Asasi Manusia.
Setelah meraih S1 dari FHUI, dia melanjutkan studi spesialisasi hukum perdata internasional di University of Washington, AS dengan meraih gelar LLM (1981). Lalu dia pun tetap berkiprah di LBH. Kariernya di LBH terus menanjak sampai menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (1984-1987) dan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1987-1993). Sebelumnya (1986-1992) dia pun menjabat Ketua Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Hampir sepanjang karier dia mengabdi dalam bidang advokasi dan hak asasi manusia. Selain di LBH dia juga menjabat Ketua International NGO Forum in Indonesian Development (INFID) (1989-1994). Dia pun mendirikan Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan menjadi ketua untuk pertama kalinya (1993-1999).
Di tengah kesibukannya sebagai pengacara yang menangani kasus-kasus besar, seperti kasus Tanjungpriok, 1985 dan Peristiwa 27 Juli 1996, dia pun masih menyempatkan diri sebagai dosen luar biasa bidang hukum ekonomi di Fakultas Ekonomi UI.
Selain itu, dia pun mengabdikan diri sebagai Wakil Ketua Tim Penyusunan Rancangan UU Pengadilan HAM, Depkeh dan HAM (1999), Wakil Ketua Tim RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Depkeh dan HAM dan Anggota Tim Revisi RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya, Dephan (2000).
Sampai kemudian (September 2002), suami Isjana Karna Kinasih (adik kandung Nursjahbani Katjasungkana), ini terpilih sebagai Ketua Komnas HAM periode 2002-2006, menggantikan Djoko Soegianto.
Dia terbilang lama menantikan kelahiran anak dalam perkawinannya. Kerinduannya untuk memperoleh keturunan dilakoninya dengan mengikuti program inseminasi dan bayi tabung. Tetapi kedua program itu tidak berhasil. Namun, setelah pasangan suami isteri ini menggunakan jamu tradisional Jawa, atas kehendak Allah, istrinya pun hamil. Dan, pasangan ini dikaruniai tiga anak. e-ti/crs