Bapak KB Nasional
Haryono Suyono
[ENSIKLOPEDI] Kiprahnya di BKKB (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) selama lebih 26 tahun, dengan berbagai inovasi dan gerakan, telah menempatkannya sebagai personifikasi gerakan keluarga berencana di Indonesia. Dia pantas digelari Bapak Keluarga Berencana Nasional (Indonesia).
Tokoh berlatar belakang pendidikan statistik dan ahli komunikasi massa, sosiolog dan demograf, ini mengangkat BKKBN menjadi pusat data kependudukan Indonesia. Bahkan pendataannya tentang keluarga prasejahtera (miskin) masih diandalkan sampai saat ini.
Dia sukses menggalang keluarga berencana di Indonesia dengan semboyan sederhana: Dua Anak Cukup. Bahkan dia mengembangkan dan menggerakkan visi bersama cita-cita keluarga Indonesia, yakni membudayakan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia Sejahtera (NKKBS).
Visi ini menempatkan setiap keluarga Indonesia sebagai agen atau pelaku pembangunan dalam delapan fungsi utama yakni fungsi keagamaan, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan fungsi pemeliharaan lingkungan.
Haryono memiliki keyakinan, jika setiap keluarga yang hanya punya anak rata-rata dua, dengan sendirinya keluarga itu akan punya kemampuan lebih besar untuk memberdayakan anak-anaknya dan dan akan mampu secara aktif memainkan peran sebagai pelaku pembangunan.
Sungguh, ketika diminta memilih berkiprah di BPS atau BKKBN, Haryono memilih BKKBN, suatu pilihan yang kemudian dibuktikannya sangat tepat. Suatu pilihan yang dilandasi keyakinan dan keinginan bisa melayani masyarakat lebih dekat dengan berbagai dinamikanya.
Dia memilih BKKBN dilandasi keyakinan bahwa BKKBN secara profesional bisa mengantar manusia agar mampu melakukan proses perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat modern dan profesional.
Haryono mengabdikan diri dalam pilihannya. Dan ternyata di badan yang baru itu (BKKBN) karirnya menanjak. Dia diangkat menjadi Kepala BKKBN, lantas dipromosi menjadi Menteri Negara Kependudukan merangkap Kepala BKKBN, bahkan mencapai puncak sebagai Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra dan Taskin).
Haryono tidak hanya mendapat promosi jabatan, tetapi kiprahnya di bidang keluarga berencana dan kependudukan membuatnya menjadi tokoh yang diperhitungkan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Keputusannya memilih BKKBN, merupakan keputusan profesional. Biarpun dia bukan seorang dokter tetapi sosiolog, Haryono punya keyakinan bahwa dia bisa berkembang di situ. BKKBN berkembang pesat, karena Haryono mempunyai beberapa amunisi kreatif dan inovatif.
Di tangannya program keluarga berencana (KB) bergema sebagai jembatan untuk pemberdayaan keluarga dan manusia sejahtera. Dia makin mencintai pekerjaan itu lantaran dia orang desa, anak seorang ibu yang buta huruf dan ayahnya seorang guru, yang sangat mengenal kehidupan rakyat kecil, sehingga cita-citanya menyatu dengan pekerjaannya.
“Seakan-akan saya hanya seperti memainkan hobi saya. Saya tidak memikirkan naik pangkat atau tidak,” kata Haryono dalam wawancara dengan tim wartawan Tokoh Indonesia.
Haryono masuk ke BKKBN tahun 1973-an. Meskipun memperoleh tantangan dari berbagai pihak, perkembangan BKKBN selalu menuju ke arah yang menggembirakan. Di mana-mana terbentuk kelompok akseptor. Sudah ada 400 sampai 500.000 kelompok yang menjadi wahana untuk saling tukar informasi dan saling mengeluh.
Dan pada saat itu, sudah mulai dirumuskan konsep untuk melakukan intervensi pada keluarga, tidak lagi sebatas individu akseptor. Sudah mulai ada tagihan. Setelah mereka sudah ikut KB 10 tahun, sehingga norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) sudah mulai ditanya. “Anak saya hanya satu, dua atau tiga. Kita sudah sepuluh tahun pakai spiral, kok tidak sejahtera?”
Selaku seorang sosiolog, Haryono tahu bahwa keluarga di Indonesia, ternyata keluarga yang lemah, tidak bisa dibiarkan begitu saja melakukan perberdayaan sendiri. Juga tidak bisa dibiarkan begitu saja menerima kucuran dana. Karena, ternyata pada tahun 1990-an, kucuran dana mulai lamban dampaknya pada penurunan angka kemiskinan.
Ketika kemiskinan sudah sampai pada angka 16, 15, 14 juta tidak turun-turun lagi, di situ saja. Lalu menjelang Konferensi Kependudukan di PBB, tahun 1994, Indonesia mulai dipertanyakan tentang kontribusinya. Apakah hanya mandek di KB, dalam arti hanya menurunkan angka kelahiran atau ada hal lain. Untunglah saat itu, Indonesia sudah memiliki konsep NKKBS. crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 26)
02 | Butuh 65 Ribu Bidan
Saat itu, Haryono melapor kepada Presiden: “Pak keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera ini harus diwujudkan.” Karena sudah menjadi Kepala BKKBN, dia sudah punya akses ke Presiden. Minimal sebulan sekali dia melapor. Ada atau tidak ada masalah, dia menyusun paper ada masalah. Soalnya, dia juga seorang penulis piawai, yang bisa saja dengan kreatif merumuskan suatu masalah untuk dilaporkan.
Perihal seringnya di melapor kepada Presiden, secara berkelakar, Haryono menuturkan pengalamannya dengan beberapa menteri. “Kamu ini setiap bulan lapor, apa sih masalahnya? Padahal rutin saja.” Dalam hati, Haryono berasumsi: “Topik khususnya kita yang angkat menjadi masalah, dan harus diselesaikan. Penyelesaiannya direkomendasi oleh Presiden, bukan saya.”
Setelah dilaporkan masalahnya, Presiden memberi petunjuk ini dan itu. Memang banyak menteri yang tersinggung, karena pekerjaanya dilaporkan ke Presiden oleh Haryono.
Tahun pertama menjadi Meneg Kependudukan (1983-1988), Haryono dihantam menteri lain. Menteri itu mengeluh karena tidak berkoordinasi dengannya padahal itu pekerjaannya. Tetapi menteri itu tidak tahu keadaan di lapangan. Pekerjaan keluarga berencana ada di desa. KB bekerja dengan hanya delapan ribu bidan untuk 65 ribu desa. Jadi kalau satu desa butuh satu bidan berarti dibutuhkan 65 ribu bidan.
Karena itu, Haryono meminta kepada Presiden agar setiap desa disediakan seorang bidan. Sedangkan departemen kesehatan hanya punya 8.000 bidan.
Menkes marah-marah karena dianggap mencampuri wewenangnya. Dia meminta BKKBN menyiapkan uang untuk pelatihan 8.000 bidan. Tetapi setelah dilatih para bidan itu dikembalikan lagi ke Depkes.
Haryono lapor lagi ke Presiden: Padahal para bidan itu dibutuhkan di desa-desa. Lalu, Presiden bertanya kepadanya: “Jadi maumu apa?” Haryono menjawab: “Saya perlu bidan-bidan itu ditempatkan di desa-desa.” Lantas Presiden memerintahkan dia untuk merekrut sendiri para bidan dengan mengeluarkan Inpres.
Dalam kaitan Inpres ini, Haryono punya pengalaman unik dengan Presiden. Kala itu, Haryono menunggu kedatangan Presiden di Bali, karena malamnya akan membuka sebuah konfrensi internasional. Jadi sesampai di Bali, Presiden langsung ke kamar khususnya dan Haryono sempat mengantar sampai ke pintu. Namun, Presiden memanggilnya masuk bersama Gubernur Bali.
Di sidang kabinet saya sudah memerintahkan untuk mengeluarkan Inpres pengadaan bidan di desa-desa,” kata Presiden Soeharto kepada Haryono. Setelah keluar, Gubernur Bali bertanya kepada Haryono: “Kenapa Pak Harto lapor ke Pak Haryono tentang masalah bidan di desa.” Jawab Haryono: “Soalnya saya yang mengusulkan.”
Dia memang beruntung punya presiden yang selalu mendukungnya. Sehingga berbagai inovasi yang dilakukannya dapat digerakkan secara nasional.
Begitulah sekelumit kisah, betapa Haroyo selalu berusaha berbuat sesuatu demi keberhasilan program keluarga berencana di Indonesia. Tak peduli, apakah upaya dan langkahnya melebihi batas wewenang dan tanggung jawabnya sebagai Kepala BKKBN atau Menteri Negara Kependudukan.
Dia tidak pernah berhitung tentang jabatan dan pujian. Dia dengan tulus, bekerja keras bahkan melebihi panggilan tugasnya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat bangsanya. Maka tak berlebihan bila kepadanya dianugerahkan penghargaan sebagai Bapak KB Nasional. crs-sh (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 26)