Guru Arkeologi Indonesia

[ Mundardjito ]
 
0
2114
Mundardjito
Mundardjito | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Mundardjito menghabiskan 3/4 hidupnya untuk kemajuan dunia arkeologi di negeri ini. Profesor kelahiran Bogor, 8 Oktober 1936, ini adalah guru arkeologi Indonesia. Kesetiaannya terhadap arkeologi didasarkan pada keyakinan bahwa ilmu ini sangat penting bagi kehidupan bangsa. Baginya, arkeologi adalah bagian dari jati diri bangsa.

Prof Dr Mundardjito seakan sudah ditakdirkan menjadi seorang arkeolog. Ia juga mengaku tidak pernah punya cita-cita lain selain menjadi arkeolog. Sejak 1964, Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini telah menjelajah hampir seluruh situs arkeologi di Tanah Air, mulai dari yang besar-besar, seperti Borobudur, Trowulan, dan Banten Lama, hingga ke sudut-sudut Kutai, Muara Jambi, dan Pasir Angin (Jawa Barat).

Jika menengok ke belakang, akan terlihat bagaimana Mundardjito menghabiskan lebih dari setengah masa hidupnya untuk kemajuan dunia arkeologi di negeri ini. Tahun 1956, yakni setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas Negeri Bogor, Mundardjito memutuskan masuk ke Jurusan Arkeologi, yang waktu itu masih berada di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Rasa ingin tahu Mundardjito terhadap segala hal yang berbau ilmiah sudah muncul sejak ia masih anak-anak. Ayahnya, drh Soedardjo, yang pernah menjabat sebagai Kepala Kebun Raya Bogor di era prakemerdekaan, membuat Mundardjito kecil sudah dekat dengan alam. Rumah mereka dulu yang berada di dekat Museum Geologi dan Herbarium yang  membelakangi hutan, semakin mendukung kedekatan tersebut.

Salah satu tugas ayah Mundardjito adalah mengklasifikasi berbagai jenis tanaman yang tumbuh di Kebun Raya Bogor. Sang ayah pun sering mengajari anak kedua dari enam bersaudara ini bagaimana metode klasifikasi tanaman tersebut. Itulah pertama kali  yang mengilhaminya masuk bidang arkeologi. “Arkeologi adalah ilmu klasifikasi juga, meski obyeknya berbeda,” tuturnya.

Pengalaman masa kecilnya itulah yang ia bawa hingga ke bangku sekolah dan akhirnya masuk ke Jurusan Arkeologi UI. Kecemerlangan Mundardjito di kampus membuatnya langsung dipercaya sebagai asisten dosen begitu ia lulus sarjana muda.

Selama kuliah di Fakultas Sastra UI (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), ia menekuni ilmu kepurbakalaan. Tapi ia merasa ilmu itu belum utuh, sebab saat itu arkeologi memang lebih berorientasi pada perburuan artefak. Baginya, tanpa teori dan metode, arkeologi bukanlah ilmu (logos).

Setelah gelar sarjana ia peroleh pada tahun 1963, Mundardjito terus aktif sebagai asisten dosen di Jurusan Arkeologi UI. Tahun 1969 ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Yunani untuk belajar metodologi arkeologi di University of Athens di Yunani. Setelah pulang dari Yunani tahun 1971, dia pun merintis pengajaran metode dan teori arkeologi. Mundardjito juga mengembangkan cabang ilmu arkeologi baru, yakni arkeologi ekologi dan keruangan pada 1993.

Metodologi, menurut Mundardjito, adalah hal yang sangat penting untuk mendisiplinkan para calon arkeolog. Dalam hal disiplin ini, Mundardjito memang terkenal sangat keras. Ia sangat disiplin hingga ke hal paling kecil. Sekadar contoh, ia misalnya selalu mengingatkan muridnya dalam hal menempatkan ibu jari saat memegang cetok, yakni alat utama seorang arkeolog di lapangan, dan menggerakkan cetok itu saat mengeruk tanah. “Cetok itu harus digerakkan dengan metode khusus dan dengan perasaan karena kalau tidak, bisa merusak peninggalan purbakala yang ingin kita gali. Itu sebabnya seorang arkeolog tidak boleh pakai sarung tangan saat memegang cetok di lapangan supaya bisa mendapatkan feeling-nya,” katanya menjelaskan.

Mundardjito selalu mengajak para mahasiswanya dalam penelitian arkeologi di lapangan. Dalam sekali ekspedisi, ia bisa mengajak 20 mahasiswa sekaligus. Dengan cara itu, maka sekali ke lapangan bisa jadi pula 20 judul skripsi.

Advertisement

Mundardjito meraih gelar doktoral dari UI tahun 1993 tapi ia tidak pernah melalui jenjang S2. Ia lulus dengan predikat cum laude.

Setiap penelitian lapangan, Mundardjito selalu memimpin sendiri. Bahkan hingga Mundardjito diangkat sebagai guru besar arkeologi tahun 1995 saat usianya tidak muda lagi, ia tetap mendampingi mahasiswa bimbingannya melakukan penelitian di lapangan.

Mundardjito juga menerapkan disiplin yang sangat ketat bagi para mahasiswanya. Mulai dari waktu tidur, waktu makan, kegiatan di lokasi penggalian, hingga perjalanan pulang. Baginya, etika dan moral bahkan berada di atas undang-undang. “Saat saya, misalnya, di lokasi penggalian menemukan emas dari lapisan berumur 500 tahun, tak ada orang atau polisi yang tahu jika saya bilang emas itu ditemukan di lapisan yang berumur 5.000 tahun. Saya bisa kemudian menerbitkan temuan itu di jurnal internasional dan menjadi terkenal tanpa ada sanksi hukum. Tetapi, etika dan moral saya yang mencegah saya berbuat seperti itu,” katanya.

Ada satu lagi tradisi yang diterapkan Mundardjito sejak dulu adalah mengumpulkan seluruh anggota tim pada akhir ekspedisi, kemudian meminta mereka menaruh tas masing-masing di dalam ruang tertutup. Setelah itu Mundardjito sendiri yang akan memeriksa seluruh tas itu satu demi satu. “Jika ketahuan ada yang mengambil temuan purbakala dari lokasi, meski itu cuma secuil bata atau kereweng, ia akan perintahkan untuk mengembalikannya ke lokasi tempat benda itu ditemukan. Hal itu dipraktekkannya dengan landasan berpikir, bahwa jika sekarang berani mencuri kereweng, nantinya dia akan berani mencuri emas. Jadi menurut penggagas dan penyusun Kode Etik Arkeolog ini, etika moral dan hati nurani harus selalu ada dalam diri seorang arkeolog. Karena itulah yang akan menjaga mereka dari perbuatan menista sejarah.

Sedikit berbeda dari ilmuwan lainnya, dalam perjalanan karir dan pendidikannya, Mundardjito meraih gelar doktoral dari UI tahun 1993 tapi ia tidak pernah melalui jenjang S2. Ia lulus dengan predikat cum laude dengan mengusung disertasi berjudul “Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro.” Selain secara teknis memang masih memungkinkan pada waktu itu, karya-karya penelitiannya juga sudah dianggap layak untuk langsung masuk dalam program pascasarjana setingkat S-3.

Dalam disertasinya tersebut, Mundardjito mengatakan bahwa sebuah candi didirikan di sebuah lokasi bukan hanya karena pertimbangan keagamaan, melainkan juga melibatkan pertimbangan ekologis, seperti jarak dari sungai, kemiringan tanah, kesuburan tanah, dan kedalaman sumber air tanah. “Sebuah candi tidak dibangun untuk kemudian ditinggalkan, tetapi untuk digunakan. Orang yang menggunakan candi itu harus bisa hidup di sekitarnya sehingga membutuhkan syarat-syarat seperti kemiringan tanah yang tidak terlalu terjal, dekat dengan sumber air, dan bisa bercocok tanam,” paparnya.

Menanggapi disertasi Mundardjito,  Profesor Dr Sapardi Djoko Damono, mantan Dekan Fakultas Sastra UI, mengatakan disertasi itu telah menyejajarkan Mundardjito  dengan arkeolog kawakan seperti Edi Sedyawati dan R.P. Sujono. “Dia itu tangguh. Dia mengembangkan bidang ilmu yang khusus,” katanya memuji Mundardjito.

Hanya dua tahun setelah mendapat gelar doktor, Mundardjito diangkat sebagai guru besar arkeologi. Di UI ia pensiun sebagai pegawai negeri pada 2001. Namun setelah pensiun, pendiri Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) ini tetap diminta menjadi guru besar tidak tetap sampai sekarang. “Saya dulu mengira setelah pensiun bisa hidup lebih santai dan tenang. Ternyata malah dua kali lebih sibuk. Saya sekarang seperti layangan putus, diperebutkan banyak orang,” akunya tentang kesibukannya pascapensiun.

Hal tersebut bisa dimaklumi, sebab di samping mengajar dan melakukan penelitian, Mundardjito juga kerap mengikuti seminar. Selain itu, ia juga menulis bebagai artikel tentang ilmu yang didalaminya. Puluhan karya tulisnya telah dipublikasikan di berbagai media. Ia juga aktif di berbagai organisasi yang tidak jauh-jauh dari bidang arkeologi.

Kecintaan Mundardjito pada benda kuno warisan Indonesia terkadang membuatnya bak detektif . Telinganya selalu awas mendengar berita tentang barang-barang bersejarah itu. Ketika mendengar ada benda kuno yang hilang atau diperjualbelikan di pasar gelap, ia akan merasa masygul. Demikian juga tatkala sedang meneliti sebuah benda bersejarah, ia akan dengan hati-hati sekali memeriksa bak ahli forensik.

Buat pria yang oleh sejawat dan mahasiswanya disapa Otti ini, benda purbakala merupakan warisan masa lalu yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Menurutnya, peninggalan sejarah laksana KTP (kartu tanda penduduk) bagi generasi masa kini. Karena itu, wajib dipelihara. Bila benda-benda purbakala itu hilang atau dibawa ke mancanegara, ia khawatir Indonesia akan menjadi negeri dongeng. Kita hanya akan bisa bercerita kepada anak-cucunya bahwa bangsa ini memiliki kekayaan budaya dan situs purbakala tapi tak bisa menunjukkannya lagi. Generasi mendatang pun harus pergi ke luar negeri untuk belajar tentang sejarah bangsa sendiri. Oleh karena itu, bangsa Indonesia menurutnya patut bangga punya berbagai peninggalan sejarah seperti Borobudur, Prambanan, Kompleks Muaro Jambi, dan lain-lain.

Mundardjito sendiri telah menjelajahi lereng gunung dan bukit, menapaki lembah sungai lama dan baru, menyisiri dataran rendah, dan menjejakkan kaki hingga di pesisir pantai hampir seluruh Indonesia untuk menggali dan merawat situs-situs purbakala. Sampai saat ini, pemerintah telah mendata ada 4.834 benda “cagar budaya tak bergerak” dan tak terhitung “benda cagar budaya bergerak” yang disimpan di museum, kantor suaka purbakala, balai arkeologi, dan rumah para kolektor.

Sebagai arkeolog, Mundardjito sudah puluhan tahun bergelut dengan Candi Borobudur. Ia mengaku tetap takjub tiap kali menatap kuil raksasa yang dulunya tempat ibadah agama Budha itu. Ia selalu takjub jika membayangkan bagaimana menyusun dua juta bongkah batu di candi tersebut. “Bagaimana orang di masa lalu mampu mendirikan bangunan megah seperti itu?” ujarnya.

Dalam pandangan Mundardjito, ilmu arkeologi tidak berbeda dengan ilmu forensik. Tiap kali menyelidiki sebuah peninggalan sejarah, seorang arkeolog bertindak seperti detektif yang berhati-hati mengumpulkan bukti demi bukti berupa benda, bangunan, atau naskah. Dari sana bisa diketahui kondisi masyarakat, sistem religi, mata pencarian, dan sebagainya.

Sebagai arkeolog kawakan, dengan mata telanjang saja Mundardjito bisa mengetahui apakah di satu daerah ada peninggalan bersejarah yang tertimbun di dalam tanah. Caranya sederhana. Dia melihat dataran sekitar. Bila di kawasan itu banyak tumbuh pohon besar tapi di satu lokasi tertentu cuma ada rimbunan semak belukar, di bawahnya kemungkinan besar ada bangunan kuno yang terpendam. “Itu yang dinamakan crop mark,” ujarnya.

Lantaran keahliannya, ia kerap dilibatkan dalam berbagai kegiatan pemugaran cagar budaya. Contohnya antara lain Candi Borobudur, Taman Purbakala Nasional Candi Prambanan, Banten Lama, Kompleks Candi Muaro Jambi, sisa ibu kota Majapahit di Trowulan, Kubur Prasejarah di Gilimanuk, Bali, dan Kota Tua Jakarta.

Semasa muda, Mundardjito gemar mendaki gunung dan bersahabat dengan aktivis beken Soe Hok Gie. Tak banyak yang tahu, dialah yang-atas permintaan Soe Hok Gie-memberikan nama “Mapala” pada kelompok mahasiswa pencinta alam dari Universitas Indonesia. Kata itu, selain menjadi akronim dari “Mahasiswa Pencinta Alam”, berarti “Berbuah” dalam bahasa Sanskerta. Mundardjito juga menguasai bahasa Jawa kuno, di samping bahasa Sanskerta.

Selain gemar mendaki gunung, Mundardjito muda dulu sempat ikut bermain band untuk mengisi waktunya sekaligus mencari tambahan uang guna membiayai kuliahnya. Di grup bandnya, ia biasanya main gitar dan bas betot. Dulu grupnya sering main ke Wisma Nusantara, Societet Harmoni, sampai ke Istana Bogor. Namun atas peringatan Dekan Fakultas Sastra yang waktu itu menjadi Ketua Tim Penguji saat ujian sarjana muda, Mundardjito akhirnya meninggalkan musik dan serius belajar untuk jadi sarjana.

Dalam memperlakukan para asistennya, dia lebih bersikap sebagai teman sejawat ketimbang senior. Ia mengaku ingin dan senang bila asistennya berkembang, dan kalau boleh lebih besar dari dirinya. “Saya tak mau mereka menjadi Mundardjito kecil,” ujarnya.

Sikap seperti itu membuatnya populer di mata mahasiswa, asisten, dan koleganya. Bagi sebagian murid dan asistennya, Mundardjito dianggap sebagai teman, saudara, sekaligus ayah.  Pengetahuan Mundardjito yang luas dan lintas disiplin banyak dipuji muridnya. Di mata mereka, Mundardjito adalah orang yang berdedikasi dan memiliki kecintaan terhadap profesinya. Integritasnya juga terpuji. Sejak dulu, di kalangan mahasiswa dan dosen ia dijuluki Oemar Bakry. Soal duit baginya nomor dua.

Kendati tegas dalam upaya perlindungan benda purbakala, Mundardjito menurut murid-muridnya adalah orang yang berpandangan moderat. Ia misalnya tidak asal menyalahkan kolektor. Ia juga tidak melupakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 yang menyebut seseorang dipersilakan menyimpan benda cagar budaya secara pribadi asalkan melaporkannya serta membuka akses untuk publik dan kegiatan penelitian.

Bahkan menurutnya, kolektor justru perlu dihargai karena rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk merawat benda purbakala. Karena dengan anggaran yang terbatas, pemerintah belum terlalu bisa diharapkan melakukan pemeliharaan.

Walau bekerja untuk benda-benda dari masa lalu, namun Mundardjito sudah terbiasa bekerja dengan bantuan peralatan modern seperti kamera, pemindai, komputer, mesin pencetak, dan internet. Dia juga tak canggung memberikan kuliah atau menyampaikan hasil kajiannya menggunakan peranti power point.

Berbagi ilmu dengan generasi muda yang awam soal peninggalan sejarah juga amat disukainya. Dia bersedia datang ke acara anak-anak muda yang berkaitan dengan benda purbakala, seperti kelompok Sahabat Museum. Ia juga dengan rela akan menjelaskan berbagai hal yang ia ketahui, seperti sejarah sebuah benda kuno dan lain sebagainya.

Pada usia menjelang tiga perempat abad, Mundardjito tidak pernah surut bekerja. Ia masih kuat melakukan pekerjaan lapangan seperti anak muda. Mundardjito masih melakukan penggalian di sekitar Kota Tua, Jakarta. Dari penggalian itu, ia menemukan kembali jalur rel kereta api kuno di sana. Bila ke lapangan, ia biasanya akan tinggal di rumah penduduk. Ia terbiasa pula melakukan riset pustaka berjam-jam di belakang meja. Ia bahkan sudah terbiasa tidur pukul 02.00 dan bangun kembali pukul 05.30.

Mundardjito banyak memberi untuk bangsanya, selain penemuan-penemuan dan pelestarian benda purbakala, ia juga telah banyak menghasilkan sarjana-sarjana arkeolog penerusnya. Dua pejabat tinggi di bidang pelestarian peninggalan purbakala, yakni Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajad dan Direktur Peninggalan Purbakala Soeroso MP, adalah sebagian dari bekas muridnya.

Selama menekuni bidangnya, jalan Mundardjito tentu tidak selalu mulus-mulus saja. Ia misalnya pernah terhadang dana. Tapi dia bukan lelaki yang gampang menyerah. Untuk menggali situs di halaman Museum Bank Indonesia misalnya, ia menggandeng Bank Indonesia. Di proyek itu, Mundardjito akhirnya berhasil menggali satu dari 27 benteng Kota Tua Batavia.

Sekarang ini, terkait dana ini pulalah yang menjadi keluhan Mundardjito.  Menurutnya, perhatian dan anggaran pemerintah pada bidang arkeolog masih minim. “Inilah duka yang menjadi bagian hidup seorang arkeolog,” katanya. Bio TokohIndonesia.com | cid, red

Data Singkat
Mundardjito, Guru Arkeologi Indonesia / Guru Arkeologi Indonesia | Ensiklopedi | indonesia, arkeolog

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here