Begawan Seni itu Telah Tiada
Bagong Kussudiardja
[ENSIKLOPEDI] Koreografer dan pelukis kenamaan yang digelari begawan seni, ini meninggal dalam usia 75 tahun di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, Selasa 15 Juni 2004 pukul 22.45. Seniman kelahiran Yogyakarta, 9 Oktober 1928 yang telah mencipta lebih 200 tari dalam bentuk tunggal atau massal, itu meninggal akibat komplikasi penyakit prostat, paru-paru, diabetes, dan jantung.
Pendiri Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo itu meninggalkan tujuh anak, 21 cucu, dan dua cicit, serta seorang isteri Yuli Sri Hastuti (38. Isteri pertamanya, Sofiana telah meninggal tahun 1997 dan Yuli Sri Hastuti (38). Beberapa anaknya mengikuti jejakya menjadi seniman.
Romo Gong, panggilan akrab Bagong Kussudiardja, meninggal di tengah proses penciptaan sendratari, pertunjukan lintasan sejarah berjudul Jakarta Maju, Indonesia Maju yang akan dipentaskan Kamis malam 17 Juni 2004 ini, dalam rangka pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Ide sendratari ini digarap oleh putera-puterinya kakak-beradik Ida Manu Trenggana, Butet Kertaradjasa, dan Djaduk Ferianto, bersama lebih dari 100-an cantrik Padepokan Bagong Kussudiardja.
Jenazahnya dimakamkan di sisi makam istri pertamanya, Sofiana, di makam keluarga Sembungan, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (16/6) siang.
Seniman tari yang pernah merasa “mabuk teknik tarian barat” itu, menurut Djaduk Ferianto, sekitar pukul 18.00, Selasa, meminta anak-anaknya melepaskan tali-tali kain yang mengikat tangan dan kakinya. Ikatan itu dilakukan karena selama dirawat di Rumah Sakit Bethesda almarhum sering berontak di tempat tidur.
Bagong kemudian meminta anak-anaknya melihatnya menari di atas tempat tidur. Masih dalam posisi duduk, ia kemudian menari. “Tangan Bapak kemudian bergerak-gerak membentuk tarian. Dia masih bersemangat sekali dan punya energi,” kata Djaduk kepada pers kemarin.
Saat itu Romo Gong berseloroh kepada anak dan cucunya yang menungguinya,”Aku nari dhewe ngene ki, piye aku koyo wong edan durung? (Aku menari sendiri begini ini, apa aku sudah seperti orang gila?-Red).”
Bagi Iman Sutrisno, Sardono W Kusumo, dan I Made Bandem, Bagong adalah salah satu seniman besar, seorang ayah, guru, idola, bahkan pahlawan, yang turut mengharumkan nama Indonesia di kancah kesenian dunia. Karya-karya tari dan lukisnya memiliki karakter dan taksu yang kuat, yang membedakannya dengan karya lain. Kepergiannya telah mewariskan jejak sejarah yang bisa mendorong seniman-seniman muda untuk berproses kreatif lebih keras lagi.
Dalam dunia tari Indonesia, sempat muncul aliran “Bagongisme”, yang merujuk pada karakter tarian-tarian khas Bagong. Sebagai pencipta tari dan koreografer, Bagong mampu melahirkan dan membawakan tari-tarian dengan gerak-gerak yang dimanis, energik, dan hidup.
Selain energik, Bagong juga mendasarkan estetika seni tarinya pada keikhlasan untuk mengabdi pada kemanusiaan. Keikhlasan dan pengabdian itu mewarnai hampir semua karya Bagong, seperti tari Layang-layang (1954), tari Satria Tangguh, dan Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih (1968), juga Bedaya Gendeng (1980-an). Selama hidup, Bagong menciptakan lebih dari 200 tari, dalam bentuk tunggal atau massal.
Penari Didik Nini Thowok menilai, Bagong mampu mengekplorasi khazanah tradisi leluhur Jawa dan memberinya sentuhan modern. Kombinasi itu terjadi karena dia adalah buyut dari Sultan Hamengku Buwono VII yang memiliki latar belakang tradisi Jawa yang kental dan sempat belajar ilmu tari modern dari Martha Graham, New York.
Dalam dunia seni lukis, karya-karya Bagong juga penuh spirit. Pelukis Djoko Pekik melihat spirit itu muncul sebagai hasil dinamika dari militansinya dalam bekerja. “Bagong memilih seni dan komitmen atas pilihannya itu. Dia total, hanya hidup dan menghidupi kesenian,” kata Pekik.
Lukisan-lukisan Bagong juga sarat dengan dinamika gerak. Ratusan kali dia berpameran di Indonesia dan luar negeri dan menyabet sejumlah penghargaan. Salah satunya, Medali Emas dari Paus Paulus II di Vatikan atas karya lukisnya yang menggambarkan Yesus dalam cita rasa Indonesia.
Profesional
Menurut dua putranya, aktor Butet Kertaradjasa dan musisi Djaduk Ferianto, Bagong adalah sosok seniman yang profesional dan bertanggung jawab atas kerja yang dipilihnya. Baginya, semua karya tergantung pada motivasi di balik karya, meski karya itu pesanan.
“Dalam soal ideologi seni, ayah bisa berdebat panjang dengan kami, berkompetisi, dan saling mengkritik. Beliau keras, tapi memberi kebebasan. Itu kami anggap sebagai proses pendewasaan dan bagian dari caranya untuk mendidik,” kata Butet.
Sebagai jebolan Taman Siswa Yogyakarta, sosok Bagong kental dengan nilai-nilai pendidikan. Buktinya, dia mendirikan Pusat Latihan Tari (PLT) pada tahun 1957 dan membangun Padepokan Seni Bagong Kussudiardja tahun 1978. Dengan tekun dan disiplin, kata Djaduk, Bagong telah mendidik ratusan siswa dari berbagai daerah, bahkan telah merambah Asia. Dan, tiap kali mendidik siswanya, Bagong selalu mengingatkan: “Jadilah Bagong-Bagong Besar”.
“Mas Gong, Mbak Sofi wis nggoreng kripik paru kesenenganmu. Wis sugeng tindak (Mas Gong, Mbak Sofi, istrinya yang pertama–sudah menggoreng keripik paru kesukaanmu. Silakan. Selamat jalan-Red),” kata Sardono W Kusumo. (K07/HRD)
Bagong memulai kariernya sebagai penari Jawa klasik di Yogyakarta pada 1954. Ia berkenalan dengan seni tersebut melalui Sekolah Tari Kredo Bekso Wiromo, yang dipimpin oleh Pangeran Tedjokusumo, seniman tari ternama.
Sebagai seniman yang proaktif, Bagong memiliki ide sendiri dan mengekspresikannya melalui tari. Menurutnya, tari Jawa harus tumbuh alami dan tidak bersifat statis.
Pada 5 Maret 1958 ia mendirikan Pusat Pelatihan Tari Bagong Kussudiardjo. Sejak itu banyak penari bermunculan.
Setelah sekian lama berpraktek menari dan melakukan observasi, Bagong akhirnya memutuskan untuk mendirikan padepokan seni di bidang tari, ketoprak, karawitan, dan sinden, pada 2 Oktober 1978.
Mengenai padepokan seni yang ditinggalkan oleh Bagong, Butet mengatakan bahwa saat ini belum diputuskan tentang siapa yang akan melanjutkan pengelolaannya. “Kami akan membahasnya dulu bersama keluarga,” katanya. e-ti | tsl-kompas-ant