Pejuang Kemanusiaan dan Perdamaian
Gedong Bagoes Oka
[ENSIKLOPEDI] Ibu Gedong Bagoes Oka (81) tokoh pejuang kemanusiaan dan perdamaian dengan gerakan nonkekerasan, meninggal dunia pada hari Kamis (14/11/02) sekitar pukul 04.00 wib di kediaman salah satu putranya, Viraguna Bagoes Oka, di Jalan Brawijaya VIII/2A Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia meninggalkan enam orang anak, serta 11 orang cucu. Jenazahnya diterbangkan ke Bali dan disemayamkan di Puri Kawan, Karangasem, sekitar 20 kilometer sebelah timur Ashram Gandhi di Candidasa.
Kemudian upacara Palebon yang sering disebut Ngaben akan diselenggarakan tanggal 23 November 2002, di setra atau pemakaman Karangasem, Bali, dipimpin oleh Pedanda Siwa dan Buddha. Menurut Bengky Bagoes Oka (58), putra sulung almarhumah, pihak keluarga dan pedanda juga memutuskan upacara Palebon itu akan dilakukan langsung dengan layon atau jenazahnya.
Sampai tanggal 22 November setiap malam di Puri Kawan dilakukan upacara Kakawin, pembacaan cerita-cerita Lontar yang diinterpretasikan ke dalam Bahasa Bali. Selain itu dilakukan agnihotra, upacara yang dilakukan Ibu Gedong setiap Matahari terbit dan terbenam semasa hidupnya. Pada tanggal 22 akan dilakukan upacara nyiramang layon atau memandikan jenazah.
Kondisi kesehatan Ibu Gedong menurun drastis sejak kepulangannya dari Swedia, sekitar bulan Maret 2002 lalu dan sempat dirawat di RS Dharmais Jakarta. Sejak itu, pekerja kemanusiaan ini, membatasi berbagai aktivitasnya.
Ibu Gedong dilahirkan tanggal 3 Oktober 1921 dengan nama Ni Wayan Gedong di Karangasem sebagai putri pasangan I Komang Layang dan Ni Komang Pupuh, seorang anggota dewan pembina desa. Berbeda dengan keadaan perempuan saat itu, Gedong kecil mendapatkan kebebasan dari orang tuanya untuk menjalankan segala keinginannya. Hingga Gedong kecil melanjutkan sekolah dasar atau HIS pada tahun 1927 di Klungkung. Untuk ukuran perempuan saat itu, jarak tersebut termasuk jauh dari daerah kelahirannya.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke PMS di Batavia tahun 1938 dan AMS di Jagjakarta 1936. Saat menempuh pendidikan di AMS itu, ia diberi kebebasan untuk menekuni agama lain, yaitu agama Kristen.
Pemahamannya tentang Kristen dan kelahirannya pada tradisi Hindu menyebabkannya sangat dekat dengan Mahatma Gandhi. Bapak bangsa India tersebut lahir dari tradisi Hindu yang kental dan memahami Kristen dengan baik. Pemahaman tentang dua agama besar tersebut membuatnya sebagai penganut spirit Hindu, yaitu Ahimsa (anti kekerasan) dan satya (kebenaran).
Kepergian Ibu Gedong yang mendadak terasa sangat mengagetkan banyak pihak, termasuk keluarga yang merawatnya selama ini. Kendati ia telah berpulang, perempuan bertubuh mungil yang selalu tampil sederhana dengan kain kebaya dan sanggul kecil di mana pun, itu akan selalu hidup dalam kenangan banyak orang. Juga semangatnya untuk tetap berdiri tegak dalam situasi kemelut, sambil menyuarakan pesan-pesan Gandhi.
Selama ini orang lebih banyak dikesankan oleh kegesitan dan semangatnya yang luar biasa dalam mendukung berbagai aktivitas kemanusiaan, perdamaian, dan gerakan nonkekerasan.
Dua bulan terakhir ini Ibu Gedong berada di Jakarta karena kondisi kesehatannya memburuk. Tubuhnya semakin rapuh meski semangatnya masih menyala. Ia sempat dirawat di RS Dharmais dan RS Pondok Indah.
Ibu enam anak, nenek 11 cucu, ini kemudian tak bisa dilepaskan dari alat bantu pernapasan. Tetapi usia adalah milik Sang Pemberi Hidup, seperti halnya kehidupan yang dipinjamkan. Selesai sudah perjalanan panjang seorang pencari sejati, yang tidak pernah menyerah terhadap setiap bentuk penggunaan kekerasan dari sebuah mesin politik yang menindas.
Ia sosok yang lekat dengan disiplin spiritual. Sosok perempuan yang keras mendidik kedisiplinan. Terutama kedisiplinan rohani tentang pembiasaan diri yang berhubungan dengan spiritual manusia. Setiap pagi, sekitar pukul 04.30, ia pasti melakukan puja. Karena menurut keyakinannya dari puja atau doalah bisa mengubah keadaan. Ia juga orang yang bersikap konsisten berpihak kepada orang-orang yang tertindas, baik itu tertindas dari sisi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Seperti saat ia berpihak kepada Megawati ketika tertindas oleh Orba yang berpuncak pada Tragedi 27 Juli.
Perjuangannya di bidang spiritual berlangsung sejak dini, hingga dirinya dipersunting oleh I Gusti Bagoes Oka pada tahun 1943 yang kemudian menjadi tokoh pemerintahan di Bali. Latar belakang kehidupannya yang begitu dekat dengan kehidupan yang pernah dialami Mahatma Gandi, memberikan inspirasi kepada salah satu staf pengajar jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Udayana, untuk mendirikan Ashram Gandi Canti Dasa, di Candidasa, Karangasem, di tahun 1976.
Sesepuh puri Kesiman AA Ngurah Kusuma Wardhana mengatakan, Ibu Gedong lahir sebagai guru masyarkat Bali. Melalui ajaran-ajaran Gandhi yang disampaikan, ia telah memberikan kesejukan tersendiri bagi wajah perdamian dan kerukunan antar umat beragama. Menurutnya, apa yang dilakukan Ibu Gedong selama ini perlu menjadi contoh bagi seluruh masyarakat. “Sebagai tokoh Hindu ia meyakinkan pentingnya perdamian dan anti kekerasan dalam kehidupan bersama,” katanya.
Walikota Denpasar AA Ngurah Puspayoga juga menilai Ibu Gedong adalah figur yang selalu mengedepankan moralitas dalam kehidupannya. Sebagai tokoh yang dikenal senantiasa menyarankan jalan damai bagi penyelesaian masalah, Ibu Gedong tampil sebagai pribadi yang mewakili keinginan masyarakat Bali.
Ia orang yang sangat-sangat sederhana. Kesederhanaan itu, terlihat terutama dalam berpakaian. Dalam pertemuan level nasional maupun internasional, ia tetap berpakaian sederhana ala pakaian Jawa, kebaya dan selendang yang disampirkan. Ia yang sering mengikuti pertemuan lintas agama bahkan tak segan menenteng ‘kopor butut’ ke hotel mana pun.
Penampilannya juga amat tenang. Ia ibarat air tenang menghanyutkan. Pembawaannya tergambar dari cara bicara dan perilakunya sendiri. Namun di balik ketenangan itu, ia memiliki otoritas luar biasa, alias berkharisma. Setiap kali ia bicara, selalu disimak dan dihormati. Ia seorang yang teguh dalam upaya membangun kesadaran dialog antaragama. Terutama saat Indonesia tengah mengalami berbagai ‘cobaan’ ancaman konflik di mana pangkal persoalannya karena minimnya dialog.
Ibu Gedong termasuk sedikit dari perempuan Bali yang terdidik. Inteligensi, karakter dan keteguhan watak membawanya kepada pergaulan politik di tingkat nasional. Ia bersahabat dengan Bung Karno dan sering berdebat tentang masalah kebudayaan, politik, dan emansipasi perempuan. Namun, kritik-kritiknya terhadap Soekarno sangat tajam. Ia juga bersahabat dengan banyak tokoh. Antara lain dengan Abdurrahman Wahid yang telah diawali sejak lebih dari 20 tahun lalu.
Sejak awal ia mencurahkan tenaganya di bidang pendidikan. Ia sempat terjun di dunia politik dan menjadi anggota DPR pada tahun 1967-1972. Setelah reformasi, ia kembali memasuki gelanggang politik, menjadi wakil Utusan Golongan di MPR.
Namun, ia sebenarnya lebih dikenal sebagai pemimpin aliran nonkekerasan Gandhi di Indonesia. Ashram Gandhi-nya dikenal secara internasional. Ia aktif dalam dialog antar-agama di berbagai tingkatan. Ia yang melakukan reinterpretasi terhadap ajaran Hindu-khususnya yang menyangkut kesetaraan dan keadilan. Ia juga dikenal sebagai pribadi yang kukuh, keras pada prinsip, disiplin, dan penuh welas asih.
“Kita kehilangan seorang tokoh besar yang selama hidupnya bekerja tanpa kenal lelah untuk kemanusiaan dan perdamaian,” ujar Prof Dr Emil Salim saat melayat di rumah duka di Jakarta. Ibu Gedong yang menjadi salah satu anggota Dewan Penyantun Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), menurut Emil Salim, memasukkan dimensi spiritual ke dalam isu-isu lingkungan dengan keyakinan yang kuat bahwa spiritualitas sangat penting untuk menyelamatkan lingkungan. Ibu Gedong juga menjadi satu-satunya perempuan yang duduk di Komisi Etik LSM Bina Desa.
Ibu Gedong adalah inspirasi yang tidak ada habisnya. Beliau memberikan contoh bahwa perempuan bisa berbuat banyak untuk kemanusiaan dan perdamaian,” sambung Amanda Suharnoko, salah satu pendiri Musyawarah dan Dialog Antar Iman (Madia).
Hal senada dikemukakan Dr Moeslim Abdurrahman, yang mengenal Ibu Gedong sejak tahun 1985-an diperantarai Gus Dur. “Beliau bekerja tanpa pamrih atas keyakinan bahwa perdamaian bisa diwujudkan dengan prinsip-prinsip nonkekerasan.
Dengan kepergian Bu Gedong, kita kehilangan panutan,” ujar Th Sumartana, teolog dan Direktur Institute for Interfaith Dialog in Indonesia (Interfidei). “Beliau adalah ‘penjaga’ kita semua. Seluruh gerak dan kecenderungan dari bangsa ini diukur Ibu Gedong dengan nilai kemanusiaan yang dalam sekali.”
“Kita kehilangan pioner yang tak hanya berdialog di tingkat wacana, tetapi juga dalam kehidupan yang sangat riil. Konsep nonkekerasan ia coba kontekstualisasikan dengan tradisi yang ada, dan itu sulit sekali,” sambung Dr Mudji Soetrisno SJ yang pernah tinggal di Ashram Gandhi di Candidasa selama beberapa waktu.
Masih dengan mata basah Dr Karlina Leksono berkata terbata, “Ibu memberikan kekuatan ketika saya letih dan merasa tidak mampu berpacu dengan kekerasan yang melaju.” Karlina menganggap Ibu Gedong sebagai “ibu spiritual”. e-ti, dari berbagai sumber terutama Kompas dan Kopitime
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
***
Mengenang Ibu Gedong Bagoes Oka
Oleh Th Sumartana
SEORANG tokoh yang mengabdikan diri pada perdamaian telah pergi dari antara kita. Kita kehilangan lagi seorang yang tak mengenal lelah mewartakan cara-cara damai untuk menyelesaikan masalah. Tahun-tahun terakhir ini, Ibu Gedong seolah-olah benar-benar terpojok dengan segala macam berita tentang kekerasan, ketidaksabaran dan amuk yang terjadi di seluruh wilayah Tanah Air. Ibu Gedong seperti gelisah, antara bangun dan tidur, antara percaya dan tak percaya, antara putus asa dan berharap. Ia mondar-mandir dan mengajak ngobrol sampai pukul dua pagi.
Mungkin di pusat kesadarannya tak mampu menjawab, seperti orang lain tak bisa menjawabnya, mengapa negeri ini menyukai kekerasan? Apakah kebanyakan orang di negeri ini sudah kehilangan akal sehat, atau sekadar merasa tak punya daya dan spirit yang dibutuhkan untuk keluar dari labirin yang telah mengurungnya sekian lama?
Ibu Gedong berjalan mondar-mandir dari kamar tidur ke kamar makan, di mana kami biasa ngobrol, lalu menelepon seseorang, lalu memanggil untuk ngobrol lagi. Terakhir, ia terbaring lemah di rumah sakit. Mengajak berdoa, apalagi yang bisa diperbuat, kecuali mengumpulkan sisa kekuatan untuk tetap hidup dan membangun kembali harapan. Bukankah berdoa adalah salah satu cara untuk tetap berharap?
Ibu Gedong baru pulang dari perjalanan panjang ke Eropa, terutama di Swedia, untuk berceramah tentang berbagai macam tema, khususnya tentang langkah-langkah perdamaian di Indonesia yang banyak orang dari luar ingin mendengar sendiri tentang apa yang terjadi, dan bagaimana hal itu ditanggapi oleh seorang tokoh perdamaian dari negeri yang penuh kemelut ini. Sepulang dari beberapa negeri di Eropa, ia sempat mampir ke Dian/Interfidei di Yogyakarta. Meski tampak lelah, ia masih mengajak ngobrol tentang keadaan di Tanah Air. Ia selalu berbicara selang-seling, dengan bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia. Lebih sering ia berbahasa Belanda. Kami berkumpul di meja makan, sambil makan tahu atau tempe goreng yang tersisa. Tak sadar hari sudah hampir pagi. Pukul dua dini hari, ia masih menunjukkan keyakinannya. Dengan bahasa Belanda kami yang jauh dari sempurna, ia selalu mengoreksi apa yang kami katakan. “Jullie moeten sterkte met vrede”, kira-kira begitu katanya di pagi hari itu. “Kalian musti benar-benar bekerja keras untuk memperjuangkan perdamaian”. Seolah-olah dia ingin menunjukkan bagaimana dia sendiri tak kenal menyerah.
***
PADA tahun-tahun sebelum 1998, sebelum “masa reformasi”, bersama Romo Mangunwijaya dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), ketiga tokoh ini sering bertemu di Kantor Interfidei. Berbicara tentang soal rekonsiliasi, atau sekadar bercanda tentang perilaku para elite politik pada masa itu. Pada akhir pembicaraan, ketika sudah saling berpisah, Ibu Gedong selalu, sekali lagi, menegaskan “Di sinilah relevansi pemikiran Mahatma Gandhi. Dengan kekuatan spiritual orang seperti Gandhi, ia berjalan dengan keyakinan yang tak pernah bisa dikalahkan oleh kekuatan yang merusak kemanusiaan. Berapa besarnya kekuatan antikemanusiaan itu. Ia tetap bisa ditundukkan”. Bagi Ibu Gedong, perdamaian dan Gandhi tak pernah bisa dipisahkan. Dan, langkah yang ia jalani adalah dengan mengelola Ashram Gandhi, baik di Bali maupun di tempat lain, untuk mengasuh dan mendidik generasi muda agar menyadari panggilan mereka mencipta perdamaian. Tak banyak orang percaya, tetapi tak sedikit pula yang mendengar pesan-pesan Ibu Gedong.
Ketika bertanya-tanya tentang perkembangan konflik Maluku, Aceh, Kalimantan, dan Poso, Ibu Gedong mengernyitkan dahinya. Ia tampak enggan memberi komentar. Atau kemudian ia minta semua yang hadir untuk diam, bermeditasi atau berdoa menurut iman masing-masing. “Kita sekarang ini benar-benar menghadapi masa yang sulit,” katanya.
Pada usianya yang 80 tahun, fisiknya tak memungkinkan lagi untuk menggebrak atau menyuarakan geram. Ibu Gedong tampak renta, fisiknya lemah. Masih, lagi, ia mengatakan dengan setengah berbisik. “Jangan menyerah, kalian mesti kuat untuk memperjuangkan perdamaian. Zaman ini zaman yang penuh ujian. Tak seorang pun dari kalian boleh menyerah. Berbuatlah sesuatu, sekecil apa pun.”
Ibu Gedong adalah tokoh yang mampu menghormati dan menerima perbedaan dalam pandangan agama. Pada saat melakukan doa malam bersama, ia membaca mantra, menyelipkan senandung nyanyian Kristen, melagukan shalawat, dan mengucapkan berbagai kearifan hidup dari berbagai macam agama, Buddha, Konghucu, dan lain-lain. Ia tetap seorang Hindu yang amat taat dan teguh.
Namun, perbedaan agama tidak pernah menjadi alasan untuk tidak menghargai dan menghormati integritas kemanusiaan masing-masing. Ia memimpin upacara membakar dupa. Beberapa belas orang duduk berkeliling mengikuti dengan khusyuk. Doa dipanjatkan menurut keyakinan masing-masing, semoga damai datang ke bumi. Pada upacara keagamaan itu, seolah hendak disimpulkan oleh Ibu Gedong bahwa keyakinan iman dan perbuatan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Beragama yang sebenarnya adalah berbuat baik dengan sebenarnya. Dialog dan diapractice adalah satu. Berbicara dan berkomunikasi dan bekerja sama untuk berbuat baik adalah satu. Dan, itu merupakan esensi agama yang sesungguhnya.
Lalu, ketika ditanyakan pendapatnya tentang peristiwa “bom Bali”, ia terdiam sejenak. Matanya nyalang tak berkedip, tetapi tampak tubuhnya yang renta tak bisa lagi mengekspresikan kegeraman. Dalam bahasa Belanda, ia bergumam: “Wat stommen mensen!” “Betapa terbelakangnya pikiran orang-orang yang melakukan itu!” Ya, bukan hanya kebodohan, tetapi juga kebiadaban.
Ibu Gedong telah tiada, tetapi rohnya tetap ada di antara kita, di antara semua orang yang mengupayakan perdamaian. Dalam pergaulan dengan Ibu Gedong selama beberapa lama, semakin mengerti kita bahwa yang ia yakini benar adanya. “Tak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan perdamaian. Karena perdamaian adalah hajat hidup itu sendiri!”
Selamat jalan Ibu, doa kami menyertai Ibu, dan doa Ibu menyertai kami pula.
TH SUMARTANA Dian/Interfidei, Yogyakarta (Kompas 16/11/02)