Cerita Indah di Indonesia
Franz Magnis-Suseno02 | Jerman Beretika Jawa

Tahun 1973 dia meraih gelar doktor bidang filsafat di Munchen dengan karya tulis mengenai Karl Marx. Pencapaian itu adalah meneruskan garis spesialisasi bidang studi yang sudah dia mulai hampir 15 tahun sebelumnya di Pullach, dekat kota Munchen. Dia telah tertarik dengan Teori Kritis, Etika, dan Filsafat Politik. Etika, lebih khusus lagi Etika Politik adalah bidang studi paling pokok bagi dia.
Tema-tema lain, seperti yang sudah dia kuliahkan tentang masalah-masalah epistemologis fisika kwantum dan teori evolusi, harus dikesampingkan. Dengan Etika, ada keterarahan pada tantangan-tantangan aktual dalam kehidupan bersama seperti di bidang sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia yang sudah digariskan.
Beberapa orang Jerman yang tinggal di Jakarta, khususnya lewat Kedutaan Besar Jerman sangat mengenal Franz Magnis lewat karya bukunya mengenai “Etika Jawa”. Di Indonesia sendiri buku “Etika Jawa” dan terbitan lain, seperti buku “Wayang dan Kita” diterbitkan oleh Lappenas tahun 1983, di Jakarta, membawa dampak tersendiri bagi Frans Magnis. Misalnya, sejak menerbitkan buku tentang wayang rata-rata setiap tahun dia menerima undangan dan lalu ikut serta menghadiri pertunjukan wayang semalam suntuk.
Franz Magnis yang tergolong sangat “laris” memberi ceramah dalam seminar-seminar, jika ditelusuri lebih jauh semakin tampak bahwa presentasi ceramah dia cenderung semakin masuk ke tema-tema etika politik. Seperti, “Etika dan Pembangunan”, “Keadilan Sosial”, “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka”, dan tema tentang Pancasila sendiri. Kemudian, tema-tema yang menyangkut hak-hak manusia dan demokrasi, ideologi-ideologi, pembangunan dan ideologi, tanggungjawab sosial politik para mahasiswa, pemuda dan masa depan di Indonesia, makna Sumpah Pemuda, tanggungjawab sosial pers, politik dan etika, tantangan-tantangan untuk Indonesia, dan lain sebagainya. Di kalangan internal umat Katolik pun, sewaktu-waktu dia bisa memberikan tema ceramah tentang ajaran sosial Katolik, teologi pembebasan, atau tentang ensiklik-ensiklik baru dari Paus dan sebagainya.
Sebagai pembicara seminar terkemuka serta penulis buku dan artikel yang sangat produktif, Franz Magnis sangat memahami profil audiensnya. Para pembaca Indonesia, misalnya, menurutnya menuntut suatu uraian yang hati-hati, ikut merasakan, dan cocok dengan situasi dan kondisi terlebih-lebih di iklim rejim Orde Baru. Pembaca mengharapkan kritik muncul namun dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak tampak sebagai kritik.
Untuk memenuhi itu, Franz Magnis menyebutkan perlu kemampuan berjalan di atas garis sempit untuk bisa membicarakan al-hal yang diketahui setiap orang sedemikian rupa sehingga orang masih memperoleh suatu perspektif baru tetapi tanpa maksudnya menjadi terlalu jelas. “Jadi, mengatakan sesuatu dan sekaligus memberi kesan bahwa kita tidak mengatakan apa-apa,” katanya.
Namun, jika saja dia sebagai pembicara menjadi terkesan mengatakan terlalu banyak, atau apa yang dikatakannya timbul dimana-mana, terkesan terlalu sering mengatakan sesuatu sekalipun sebenarnya tidak mengatakan apa-apa. Kalau sudah demikian maka, jika ada seorang kenalan mengatakan bahwa akhir-akhir ini kok Anda memberikan banyak ceramah, itu sudah cukup untuk mengetahui sebaiknya beristirahat saja dahulu untuk beberapa lama. Atau, selama dua tiga bulan Franz Magnis membatasi diri hanya pada ceramah-ceramah mengenai etika kedokteran atau mistik Jawa.
Dalam bidang etika kedokteran atau mistik Jawa ini pernah suatu kali Franz Magnis mendapat reaksi keras. Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda dia diwawancara oleh harian “Kompas” mengenai makna serta pentingnya kebudayaan Jawa dalam kehidupan Indonesia. Pendapat Franz Magnis ini dimuat “Kompas” terpisah dengan judul besar, bahwa kebudayaan Jawa mempunyai makna khusus bagi persatuan Indonesia. Bermacam reaksi muncul bernada setuju dan membantah.
Bahkan, dua surat kabar besar “Sinar Harapan” (belakangan menjadi “Suara Pembaruan”) dan “Merdeka” mengulasnya khusus dalam sebuah tajuk rencana penuh. Keduanya mengecam keras pendapat Franz Magnis sebagai sesuatu yang merugikan persatuan bangsa. Franz Magnis sesungguhnya sadar sebelumnya, bahwa tema yang dilontarkannya itu adalah sebuah tema yang paling hangat dan dapat menyinggung perasaan. Tetapi dia menaksir kedalaman emosi yang akan muncul dan kuatnya tabuisasi tentang masalah itu.
Reaksi keras juga pernah muncul di bulan Februari dan Maret 1990, ketika Franz Magnis menurunkan satu seri tulisan terdiri empat artikel di sebuah surat kabar harian. Dua artikel pertama menganalisa implikasi perubahan-perubahan dalam komunisme internasional, yang mengulas sistem komunis secara sangat kritis. Artikel ketiga masih berkaitan, membahas teori Karl Marx, sejarah Marxisme, juga sangat kritis bahkan di kalangan rekan-rekannya terlalu negatif. Dan pada artikel terakhir atau keempat, Franz Magnis melontarkan pandangan bahwa, sosialisme sebagai harapan keselamatan berdasarkan penghapusan hak milik pribadi atas sarana-sarana produksi, adalah suatu pandangan yang sudah usang. Cuma, kali ini reaksi keras ditujukan bukan kepada Franz Magnis melainkan kepada suratkabar itu yang mendapat peringatan tertulis karena menerbitkan sesuatu mengenai ajaran Marxisme.
Setiap ceramah selalu disajikan Franz Magnis dalam gaya bicara yang “resmi”. Dia harus memperhitungkan, bahwa pada hari berikutnya terutama seusai seminar-seminar besar, materi ceramahnya itu akan ditulis dalam bentuk sebuah kalimat besar di suratkabar. Bahkan, terkadang ditulis dengan huruf-huruf tebal di atas bagian tengah halaman pertama. Padahal, kalimat itu menurut Frans Magnis sebetulnya adalah sebuah pernyataan yang sudah sedemikian umum, misalnya “Keadilan Sosial itu Perlu Diwujudkan”.
Dia, sebenarnya menjadi merasa malu melihat kalimat seperti itu ditonjolkan besar-besar seakan-akan ada kebijaksanaan khusus di situ. Sekalipun sebenarnya tidak ada apa-apa di situ, namun karena kalimat itu benar-benar dibaca oleh setiap orang maka jadilah itu menjadi isyu politik. Dan orang, seperti diri Franz Magnis, ditampilkan sebagai oknum yang memang telah mengatakan sesuatu.
Dalam kenyataan yang sesungguhnya Franz Magnis belumlah pernah mendapat kesulitan. Akan tetapi, jika memberikan ceramah dia akan selalu memperhatikan apakah ada atau tidak kehadiran pers di situ. Jika dirasakannya ada, maka dia terpaksa akan membatasi diri pada pembacaan naskah tertulis yang telah dia persiapkan dengan seksama. Padahal, jika tidak, maka biasanya Franz Magnis akan sering berbicara bebas walau tetap berdasarkan teks.
Franz Magnis memahami, di kalangan dunia pers Jerman sama sekali tidak akan pernah ditemukan pendapat seorang cendekiawan menjadi berita, apalagi di halaman pertama, kecuali pendapat politisi. Fakta itu memperlihatkan adanya perbedaan suasana keterbukaan masyarakat. Magnis Suseno menyebutkan, di Indonesia pers dapat melontarkan pandangan-pandangan dengan cukup aman dengan tidak melibatkan diri secara langsung, terserah pembaca untuk menemukan apa yang tersirat dalam yang tersurat itu.
Walau demikian pers harus selalu hati-hati sebab dalam seminar-seminar tertutup masalah-masalah dibicarakan secara terbuka. Tentang hal itu Franz Magnis berujar, “Sesungguhnya orang tak pernah mengetahui secara pasti apakah kegiatan seminar seperti itu lebih berupa pemanfaatan ruang-ruang kosong, atau apakah kami para cerdik pandai hanya meramaikan sebuah kebun binatang, yang ditinggalkan untuk kami, hanya supaya kami tetap merasa sibuk dengan sesuatu yang nampaknya penting. Mungkin, keduanya benar.”
Dalam berbagai seminar Franz Magnis seringkali mengalami peristiwa berkesan. Bahwa, dialah satu-satunya “bule” yang diundang lokakarya apa saja. Orang, benar-benar mau mendengar pendapatnya. Agar pendapatnya tetap didengar Franz Magnis sangat tahu bagaimana menempatkan diri dan tempat. Misalnya, dia selalu membawakan diri sebagai seorang Kasman atau bekas Jerman. Sehingga, apapaun pandangan serta kritik-kritiknya terhadap keadaan Indonesia tidak bersifat menggurui, tidak menunjukkan Franz Magnis mengetahui lebih, melainkan bersifat partisipatif saja. (Bersambung) e-ti | crs-marjuka situmorang | Majalah Tokoh Indonesia Edisi 12